- Beranda
- Stories from the Heart
JATMIKO THE SERIES
...
TS
breaking182
JATMIKO THE SERIES
JATMIKO THE SERIES
Quote:
EPISODE 1 : MISTERI MAYAT TERPOTONG
Quote:
EPISODE 2 : MAHKLUK SEBERANG ZAMAN
Quote:
EPISODE 3 : HANCURNYA ISTANA IBLIS
Diubah oleh breaking182 07-02-2021 01:28
itkgid dan 26 lainnya memberi reputasi
25
58K
Kutip
219
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#21
PART 1
Quote:
Mia menyeruput kopinya tanpa rasa nikmat seperti biasanya. Kopi hitam pekat yang masih mengepulkan asap dan berbau harum itu seperti terasa sangat hambar. Tanpa rasa dan tanpa aroma. Matanya tertuju dan sedikitpun tidak lepas melihat pada headline surat kabar pagi itu berita tentang kematian tragis tiga orang polisi yang menjadi pokok berita.
Mia memasang sepasang telinganya tajam-tajam demi mendengar gunjingan orang-orang di warung kopi pagi itu. Mia sengaja datang ke lokasi di seputaran kejadian perkara untuk mengais berita tentang kematian tiga polisi itu.
"Ada yang melihat ketiga orang itu tewas dicincang oleh beberapa orang bertopeng yang bersenjata samurai," kata salah seorang lelaki paruh baya yang duduk di ujung bangku sembari menyedot rokok kretek yang terjepit di jemari tangan kanannya.
"Hanya saja tadi sewaktu kemarin aku ada disana. Katanya ketiganya meninggal karena kecelakaan mobil. Mereka semua mati karena dilindas mobil misterius. Mobil itupun langsung dibawa dan sedang diselidiki oleh polisi" sahut bapak – bapak yang memakai jaket hitam lusuh.
Mia memasang kuping. Apapun beritanya, sangat bermanfaat untuk bahan menyimpulkan berita yang akan ditulisnya dan barangkali akan diselidiki siapakah sebenarnya pelaku dari pembunuhan ketiga polisi itu. Dia pun rela jauh –jauh dari Jogja pergi ke Wonosari untuk menulis berita dari surat kabar tempat ia bekerja.
Mia adalah seorang wartawan yang terkenal vokal dan berani dalam menulis berita. Beberapa tulisannya di sebuah surat kabar besar di Jogja bahkan berani mengkritisi dan membongkar beberapa kasus – kasus besar yang melibatkan oknum pejabat tinggi. Tidak jarang sering terjadi teror dan intimidasi dari orang –orang yang tidak suka kepadanya. Akan tetapi, gadis ini tidak sedikitpun mundur. Tulisan –tulisannya semakin tajam dan transparan.
Mia masih memasang sepasang kuping dengan tajam. Orang –orang itu tak lagi berbicara panjang lebar, saatnya bagi Mia untuk kembali menganalisa apa yang baru saja didengarnya. Berita duka ini sedang menjadi topik hangat warga yang bermukim di sekitar kejadian perkara. Mia tahu apa yang harus dilakukannya. Mia membalik koran, membacanya berulang -ulang. Mungkin saja ada yang terlewatkan ....
'Pengemudi mobil raib. Menurut pihak kepolisian yang melacak nomor plat mobil itu pemiliknya telah lama menghilang sekitar lima tahun yang lalu, mobil itu tiba –tiba ditemukan pagi harinya dan terdampar di tengah jalan dengan tiga orang meninggal dengan tragis di atas jalan beraspal. Sangat aneh, siapa yang bisa mengemudikan mobil tanpa kunci? Dan mobil itu juga telah lama raib bersama pemiliknya'
Mia tampak berkerut dahinya memikirkan hal itu. Aneh. Misteri. Lama Mia termangu. Kejadian itu sangat aneh. Apa yang bisa menjelaskan kejadian itu? Wajahnya yang cantik tampak tegang dan kuyu karena hampir satu hari satu malam ia tidak bisa memejamkan mata. Dan pagi –pagi buta tadi langsung menuju ke tempat kejadian perkara. Adakah logika yang dapat menjelaskan ini semua? Anggaplah ada sopir, tak mungkin sopirnya menghilang begitu saja? Di mana sopirnya?
Mia mendongak, tatkala seorang ibu bertubuh gemuk pemilik warung kopi tersenyum ramah sembari bertanya,
" Mbak seorang wartawan?"
Si ibu bertanya sembari mengerling ke arah tanda pengenal yang tergantung di leher Mia.
Mia mengangguk dan berusaha tersenyum ramah.
“ Apakah ibu ada info atau pernah mendengar sesuatu hal sebelum kejadian tragis itu?”
Tangan Mia merogoh saku kemeja flanel merah yang dikenakannya, mengeluarkan sebuah buku kecil.
Sejenak perempuan paruh baya pemilik warung kopi itu terdiam. Seperti sedang mengingat –ingat sesuatu.
“ Mungkin mereka jadi tumbal pabrik pemotongan kayu lapis di ujung jalan itu Mbak "
“ Hah...tumbal ?! “
Mia terhenyak. Apa iya di jaman sekarang ini masih ada yang percaya hal –hal bersifat mistis seperti itu?
“ Pabrik itu sudah lama, kata kakek buyut saya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Bisa tetap bertahan sampai sekarang ya karena adanya tumbal –tumbal yang telah di korban kan oleh pemilik pabrik itu “
Pemilik warung kopi itu berkata dengan datar sembari buru - buru meracik kopi karena makin lama banyak pengunjung yang berdatangan.
"Nambah kopinya, Mbak? Saya lihat di gelas sudah kosong tinggal ampasnya saja"
Mia tersenyum menggeleng. Dia segera memancing pembicaraan lagi, karena ada fakta baru yang ditemuinya kalau pabrik itu telah lama berdiri demi bahan memperdalam tulisannya.
" Apa benar pabrik itu sering minta tumbal?"
Si ibu gendut tidak menjawab. Dia melirik seseorang yang sedang duduk di samping Mia. Seorang bapak yang sedang asik menyuap ketan susu ke dalam rongga mulutnya. Mia mengikuti pandangan.
" Pak, apa Bapak pernah dengar kabar burung yang beredar mengenai pabrik pengolahan kayu itu?"
" Hmm...," si bapak meneguk susu hangat yang masih terlihat penuh di dalam gelas.
“ Cerita ini udah dari zaman-zaman Belanda dulu, tapi Bapak juga tidak tahu mana yang benar."
Si bapak meneguk lagi susu hangatnya, lalu melanjutkan,
" Dulu katanya pemilik pabrik itu melakukan ritual gaib dengan penguasa kegelapan agar pabrik itu tetap ada dan berdiri sampai sekarang ini “
" Apa Bapak tahu pemilik pabrik itu?"
" Hanya pernah mendengar katanya namanya Parlin ( Siapa Parlin baca : Para Pemuja Iblis). Beberapa tetangga saya yang bekerja sebagai salah satu buruh disana juga belum pernah melihat orang yang bernama Parlin itu. Hanya orang –orang tertentu yang pernah melihatnya “
“ Ada lagi yang pernah bilang kalau.......”
Bapak tadi tidak melanjutkan kata –katanya.
“ Kalau apa Pak? “
Mia tampak tidak sabar. Si Bapak menarik nafas panjang.
“ Maaf, saya tidak bisa menceritakan disini Mbak. Tapi kalau Mbak berkenan dan sudi kita bisa melanjutkan pembicaraan ini secara gamblang di rumah saya saja “
Tanpa berpikir panjang gadis ini menyetujui ajakan si Bapak.
“ Maaf nama bapak siapa?”
“ Sudarmaji “
“ Saya Sumiati Pak. Panggil saja Mia “
Gadis ini menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan yang kemudian disambut oleh Sudarmaji nama lelaki paruh baya tadi.
“ Baiklah Mbak Mia. Nanti njenengan datang saja ke rumah. Karena saya musti berangkat ke tempat kerja sekarang “
Lelaki paruh baya itu lalu menyodorkan sebuah kartu nama berwarna putih. Mia menerima kartu nama itu tanpa membaca lalu memasukkannya di saku kemeja.
“ Saya tunggu Mbak Mia jam lima sore nanti “
" Terima kasih, Pak "
“ Saya pamit dulu “
Lelaki paruh baya itu segera beranjak dari tempat duduknya setelah sebelumnya membayar apa yang dimakan dan diminum kepada perempuan gemuk pemilik warung. Mia mengiringi kepergian lelaki itu dengan pandangan matanya sampai motor bebek berwarna merah yang dikendarai oleh lelaki tadi menghilang di tikungan jalan. Dan hanya menyisakan gumpalan asap kelabu di kejauhan.
Mia memasang sepasang telinganya tajam-tajam demi mendengar gunjingan orang-orang di warung kopi pagi itu. Mia sengaja datang ke lokasi di seputaran kejadian perkara untuk mengais berita tentang kematian tiga polisi itu.
"Ada yang melihat ketiga orang itu tewas dicincang oleh beberapa orang bertopeng yang bersenjata samurai," kata salah seorang lelaki paruh baya yang duduk di ujung bangku sembari menyedot rokok kretek yang terjepit di jemari tangan kanannya.
"Hanya saja tadi sewaktu kemarin aku ada disana. Katanya ketiganya meninggal karena kecelakaan mobil. Mereka semua mati karena dilindas mobil misterius. Mobil itupun langsung dibawa dan sedang diselidiki oleh polisi" sahut bapak – bapak yang memakai jaket hitam lusuh.
Mia memasang kuping. Apapun beritanya, sangat bermanfaat untuk bahan menyimpulkan berita yang akan ditulisnya dan barangkali akan diselidiki siapakah sebenarnya pelaku dari pembunuhan ketiga polisi itu. Dia pun rela jauh –jauh dari Jogja pergi ke Wonosari untuk menulis berita dari surat kabar tempat ia bekerja.
Mia adalah seorang wartawan yang terkenal vokal dan berani dalam menulis berita. Beberapa tulisannya di sebuah surat kabar besar di Jogja bahkan berani mengkritisi dan membongkar beberapa kasus – kasus besar yang melibatkan oknum pejabat tinggi. Tidak jarang sering terjadi teror dan intimidasi dari orang –orang yang tidak suka kepadanya. Akan tetapi, gadis ini tidak sedikitpun mundur. Tulisan –tulisannya semakin tajam dan transparan.
Mia masih memasang sepasang kuping dengan tajam. Orang –orang itu tak lagi berbicara panjang lebar, saatnya bagi Mia untuk kembali menganalisa apa yang baru saja didengarnya. Berita duka ini sedang menjadi topik hangat warga yang bermukim di sekitar kejadian perkara. Mia tahu apa yang harus dilakukannya. Mia membalik koran, membacanya berulang -ulang. Mungkin saja ada yang terlewatkan ....
'Pengemudi mobil raib. Menurut pihak kepolisian yang melacak nomor plat mobil itu pemiliknya telah lama menghilang sekitar lima tahun yang lalu, mobil itu tiba –tiba ditemukan pagi harinya dan terdampar di tengah jalan dengan tiga orang meninggal dengan tragis di atas jalan beraspal. Sangat aneh, siapa yang bisa mengemudikan mobil tanpa kunci? Dan mobil itu juga telah lama raib bersama pemiliknya'
Mia tampak berkerut dahinya memikirkan hal itu. Aneh. Misteri. Lama Mia termangu. Kejadian itu sangat aneh. Apa yang bisa menjelaskan kejadian itu? Wajahnya yang cantik tampak tegang dan kuyu karena hampir satu hari satu malam ia tidak bisa memejamkan mata. Dan pagi –pagi buta tadi langsung menuju ke tempat kejadian perkara. Adakah logika yang dapat menjelaskan ini semua? Anggaplah ada sopir, tak mungkin sopirnya menghilang begitu saja? Di mana sopirnya?
Mia mendongak, tatkala seorang ibu bertubuh gemuk pemilik warung kopi tersenyum ramah sembari bertanya,
" Mbak seorang wartawan?"
Si ibu bertanya sembari mengerling ke arah tanda pengenal yang tergantung di leher Mia.
Mia mengangguk dan berusaha tersenyum ramah.
“ Apakah ibu ada info atau pernah mendengar sesuatu hal sebelum kejadian tragis itu?”
Tangan Mia merogoh saku kemeja flanel merah yang dikenakannya, mengeluarkan sebuah buku kecil.
Sejenak perempuan paruh baya pemilik warung kopi itu terdiam. Seperti sedang mengingat –ingat sesuatu.
“ Mungkin mereka jadi tumbal pabrik pemotongan kayu lapis di ujung jalan itu Mbak "
“ Hah...tumbal ?! “
Mia terhenyak. Apa iya di jaman sekarang ini masih ada yang percaya hal –hal bersifat mistis seperti itu?
“ Pabrik itu sudah lama, kata kakek buyut saya sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Bisa tetap bertahan sampai sekarang ya karena adanya tumbal –tumbal yang telah di korban kan oleh pemilik pabrik itu “
Pemilik warung kopi itu berkata dengan datar sembari buru - buru meracik kopi karena makin lama banyak pengunjung yang berdatangan.
"Nambah kopinya, Mbak? Saya lihat di gelas sudah kosong tinggal ampasnya saja"
Mia tersenyum menggeleng. Dia segera memancing pembicaraan lagi, karena ada fakta baru yang ditemuinya kalau pabrik itu telah lama berdiri demi bahan memperdalam tulisannya.
" Apa benar pabrik itu sering minta tumbal?"
Si ibu gendut tidak menjawab. Dia melirik seseorang yang sedang duduk di samping Mia. Seorang bapak yang sedang asik menyuap ketan susu ke dalam rongga mulutnya. Mia mengikuti pandangan.
" Pak, apa Bapak pernah dengar kabar burung yang beredar mengenai pabrik pengolahan kayu itu?"
" Hmm...," si bapak meneguk susu hangat yang masih terlihat penuh di dalam gelas.
“ Cerita ini udah dari zaman-zaman Belanda dulu, tapi Bapak juga tidak tahu mana yang benar."
Si bapak meneguk lagi susu hangatnya, lalu melanjutkan,
" Dulu katanya pemilik pabrik itu melakukan ritual gaib dengan penguasa kegelapan agar pabrik itu tetap ada dan berdiri sampai sekarang ini “
" Apa Bapak tahu pemilik pabrik itu?"
" Hanya pernah mendengar katanya namanya Parlin ( Siapa Parlin baca : Para Pemuja Iblis). Beberapa tetangga saya yang bekerja sebagai salah satu buruh disana juga belum pernah melihat orang yang bernama Parlin itu. Hanya orang –orang tertentu yang pernah melihatnya “
“ Ada lagi yang pernah bilang kalau.......”
Bapak tadi tidak melanjutkan kata –katanya.
“ Kalau apa Pak? “
Mia tampak tidak sabar. Si Bapak menarik nafas panjang.
“ Maaf, saya tidak bisa menceritakan disini Mbak. Tapi kalau Mbak berkenan dan sudi kita bisa melanjutkan pembicaraan ini secara gamblang di rumah saya saja “
Tanpa berpikir panjang gadis ini menyetujui ajakan si Bapak.
“ Maaf nama bapak siapa?”
“ Sudarmaji “
“ Saya Sumiati Pak. Panggil saja Mia “
Gadis ini menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan yang kemudian disambut oleh Sudarmaji nama lelaki paruh baya tadi.
“ Baiklah Mbak Mia. Nanti njenengan datang saja ke rumah. Karena saya musti berangkat ke tempat kerja sekarang “
Lelaki paruh baya itu lalu menyodorkan sebuah kartu nama berwarna putih. Mia menerima kartu nama itu tanpa membaca lalu memasukkannya di saku kemeja.
“ Saya tunggu Mbak Mia jam lima sore nanti “
" Terima kasih, Pak "
“ Saya pamit dulu “
Lelaki paruh baya itu segera beranjak dari tempat duduknya setelah sebelumnya membayar apa yang dimakan dan diminum kepada perempuan gemuk pemilik warung. Mia mengiringi kepergian lelaki itu dengan pandangan matanya sampai motor bebek berwarna merah yang dikendarai oleh lelaki tadi menghilang di tikungan jalan. Dan hanya menyisakan gumpalan asap kelabu di kejauhan.
Diubah oleh breaking182 15-10-2019 08:08
1980decade dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup