- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#115
EPISODE 10 : TUMBAL DI MALAM PURNAMA
Quote:
SAMPAI menjelang tengah malam pesta pernikahan puteri Lurah Mangun Karso di desa Watu Wungkur dengan putera Demang Jambar Paksi masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati gamelan dan suara pesinden Nini Warda yang lembut mengalun membawakan tembang jawa.
Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama lima belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang. Lewat tengah malam pesta pernikahan usai. Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan pemain gamelan dan sindennya sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa Watu Wungkur yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan di beranda depan.
Pagi harinya Lurah Mangun Karso dan isterinya telah bangun lebih awal. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan kerabat beserta besan duduk berkumpul di pendopo sambil menikmati minuman hangat dan sarapan pagi.
“Sepasang pengantin rupanya masih tertidur pulas di kamar…” kata seorang di antara keluarga yang masih merupakan paman pengantin perempuan sambil tersenyum.
“Maklum saja. Namanya pengantin baru,” menyahuti anggota keluarga yang lain lalu menghirup wedang jahe hangatnya.
Tak terasa pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar.
“Tak enak rasanya kalau mereka masih terus di dalam kamar. Matahari sudah tinggi,” kata Lurah Mangun Karso pada istrinya dan besannya.
Besan lelaki yang bernama Jambar Paksi yang merupakan seorang demang di desa Sawo Jajar kemudian menukas.
“Coba kau bangunkan mereka Muladara…”
Muladara yang merupakan kakak si mempelai lelaki segera mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya. Diikuti oleh pandangan orang –orang yang tengah berkumpul di pendopo ia melangkah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak kamar pengantin. Lelaki ini mengetuk pintu kamar. Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawaban akhirnya dia kembali ke pendopo, memberitahu pada ayahnya.
“Mereka mungkin masih sangat pulas. Saya tidak berhasil membangunkan mereka,” kata Muladara.
Lurah Mangun Karso bangkit berdiri.
“Sudah, biar aku saja yang membangunkan.”
Lurah Mangun Karso mengetuk pintu kamar pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban. Beberapa orang anggota keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu kamar.
“Coba ketuk lebih keras,” kata Demang Jambar Paksi. Lurah Mangun Karso kali ini bukan lagi mengetuk, tapi menggedor pintu kamar.
“Aneh, apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” kata Lurah Mangun Karso sambil memandang pada orang-orang yang ada di depan pintu.
“Tak ada lobang untuk melihat keadaan di dalam kamar. Tidak ada jalan lain. Kita harus mendobrak pintu!” kata Muladara yang berbadan tinggi besar. Tampaknya lelaki ini hatinya merasa tidak tenang. Entah darimana datangnya timbul perasaan khawatir dan was –was.
“Kalau ayahanda izinkan tentunya.”
Lurah Mangun Karso meraba dagunya yang berjenggot lalu mengangguk,
“ Dobrak saja “
Muladara mundur beberapa langkah sementara semua orang yang ada di pintu menyisi ke samping. Ia memasang kuda –kuda. Dengan kaki kanannya yang kuat Muladara menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu terpentang lebar, Lurah Mangun Karso masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di antaranya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir semua orang secara berbarengan keluarkan seruan keras. Isteri Lurah Mangun Karso paling keras jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu terhuyung-huyung dan hampir roboh kalau tidak lekas ditahan oleh Muladara.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Lurah Mangun Karso.
“Anakku Galuh Rukmini! Cakra Wulung!”
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Watu Wungkur. Sepasang pengantin baru, Galuh Rukmini dan Cakra Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Galuh Rukmini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging tubuh dua insan ini. Wajah keduanya hampir tidak bisa dikenali. Wajah -wajah mereka berdua tampak koyak robek mengerikan. Kamar pengantin beraromakan amis dan anyir darah. Percikan darah terlihat mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding. Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?! Menurut dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu menemui ajal karena dikoyak dengan sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama lima belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang. Lewat tengah malam pesta pernikahan usai. Semua tamu pulang ke rumah masing-masing. Rombongan pemain gamelan dan sindennya sudah lama pergi. Rumah Kepala Desa Watu Wungkur yang tadinya ramai kini tampak sunyi walau masih ada dua lampu minyak besar yang sengaja dinyalakan di beranda depan.
Pagi harinya Lurah Mangun Karso dan isterinya telah bangun lebih awal. Suami istri ini bersama sanak keluarga dan kerabat beserta besan duduk berkumpul di pendopo sambil menikmati minuman hangat dan sarapan pagi.
“Sepasang pengantin rupanya masih tertidur pulas di kamar…” kata seorang di antara keluarga yang masih merupakan paman pengantin perempuan sambil tersenyum.
“Maklum saja. Namanya pengantin baru,” menyahuti anggota keluarga yang lain lalu menghirup wedang jahe hangatnya.
Tak terasa pagi bergerak siang. Dua pengantin di dalam kamar masih juga belum keluar.
“Tak enak rasanya kalau mereka masih terus di dalam kamar. Matahari sudah tinggi,” kata Lurah Mangun Karso pada istrinya dan besannya.
Besan lelaki yang bernama Jambar Paksi yang merupakan seorang demang di desa Sawo Jajar kemudian menukas.
“Coba kau bangunkan mereka Muladara…”
Muladara yang merupakan kakak si mempelai lelaki segera mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya. Diikuti oleh pandangan orang –orang yang tengah berkumpul di pendopo ia melangkah ke bagian depan kiri rumah besar di mana terletak kamar pengantin. Lelaki ini mengetuk pintu kamar. Mengetuk sampai berulang kali dan karena tak ada jawaban akhirnya dia kembali ke pendopo, memberitahu pada ayahnya.
“Mereka mungkin masih sangat pulas. Saya tidak berhasil membangunkan mereka,” kata Muladara.
Lurah Mangun Karso bangkit berdiri.
“Sudah, biar aku saja yang membangunkan.”
Lurah Mangun Karso mengetuk pintu kamar pengantin. Mula-mula perlahan saja. Lalu lebih keras. Dan lebih keras lagi bahkan sambil berseru memanggil-manggil nama anak perempuannya. Tetap saja tak ada jawaban. Beberapa orang anggota keluarga yang ada di ruangan tengah ikut berdiri dan berkumpul di depan pintu kamar.
“Coba ketuk lebih keras,” kata Demang Jambar Paksi. Lurah Mangun Karso kali ini bukan lagi mengetuk, tapi menggedor pintu kamar.
“Aneh, apa mereka begitu pulas hingga tidak terbangun oleh gedoranku?!” kata Lurah Mangun Karso sambil memandang pada orang-orang yang ada di depan pintu.
“Tak ada lobang untuk melihat keadaan di dalam kamar. Tidak ada jalan lain. Kita harus mendobrak pintu!” kata Muladara yang berbadan tinggi besar. Tampaknya lelaki ini hatinya merasa tidak tenang. Entah darimana datangnya timbul perasaan khawatir dan was –was.
“Kalau ayahanda izinkan tentunya.”
Lurah Mangun Karso meraba dagunya yang berjenggot lalu mengangguk,
“ Dobrak saja “
Muladara mundur beberapa langkah sementara semua orang yang ada di pintu menyisi ke samping. Ia memasang kuda –kuda. Dengan kaki kanannya yang kuat Muladara menghantam pintu kamar hingga pintu itu hancur berantakan. Begitu pintu terpentang lebar, Lurah Mangun Karso masuk ke dalam kamar diikuti beberapa orang, di antaranya istrinya sendiri. Begitu masuk ke dalam kamar hampir semua orang secara berbarengan keluarkan seruan keras. Isteri Lurah Mangun Karso paling keras jeritannya. Dia menutupi mukanya dengan kedua tangan lalu terhuyung-huyung dan hampir roboh kalau tidak lekas ditahan oleh Muladara.
“Gusti Allah! Apa yang terjadi di sini?!” teriak Lurah Mangun Karso.
“Anakku Galuh Rukmini! Cakra Wulung!”
Hari itu juga tersiar kabar mengerikan dan menyedihkan di seluruh desa Watu Wungkur. Sepasang pengantin baru, Galuh Rukmini dan Cakra Wulung, pagi tadi ditemukan telah jadi mayat. Galuh Rukmini terkapar menelentang di atas ranjang pengantin. Suaminya menggeletak di lantai dekat tempat tidur. Pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh masing-masing penuh dengan robekan-robekan besar.
Robekan-robekan itu ternyata sangat dalam. Bukan hanya mengoyak pakaian mereka tapi sampai tembus ke daging tubuh dua insan ini. Wajah keduanya hampir tidak bisa dikenali. Wajah -wajah mereka berdua tampak koyak robek mengerikan. Kamar pengantin beraromakan amis dan anyir darah. Percikan darah terlihat mulai dari ranjang sampai ke lantai dan beberapa bagian dinding. Jelas sepasang pengantin itu menemui ajal karena dibunuh. Tapi dibunuh dengan apa dan siapa pelakunya?! Menurut dugaan orang banyak, sepasang pengantin itu menemui ajal karena dikoyak dengan sejenis senjata tajam, mungkin pisau atau clurit besar.
Quote:
Tejo Sukmana duduk di batu hitam dimana dulu seorang gadis pernah pernah duduk disana. Pemuda ini duduk seperti merenung. Entah mengapa perasaannya jadi seperti ini. Dia selalu teringat pada Retno seorang gadis cantik yang hampir setiap hari mengisi relung –relung hati dan pikirannya. Hampir tak sekejap dia melupakan gadis itu. Dia rindu untuk bertemu. Karena status sosial dan derajat yang tidak sama. Hubungan cinta keduanya tidak direstui oleh orang tua Retno. Orang tua Retno seorang carik di Mataram. Itulah sebabnya malam- malam ini di bawah siraman sinar bulan purnama ia mengadakan pertemuan secara sembunyi –sembunyi di pinggir desa di tepian sungai Cadas Brantas. Malam berlalu bertambah sunyi dan bertambah dingin. Tanpa disadarinya sesosok tubuh mendekati tempatnya duduk di atas batu.
“Tejo…”
Satu suara memanggil. Tejo Sukmana kenal sekali suara itu. Suara orang yang dirindukannya, yang selama ini selalu dipikirkannya. Begitu berpaling dilihatnya seorang dara mengenakan kebaya bewarna kuning gading itu tersenyum padanya. Rambutnya tergerai panjang dipermainkan angin malam yang berhembus pelan.
“Retno…”
“Aku sudah lama menunggumu di sini…” kata Tejo seraya melangkah mendekati.
Retno datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman tangan.
“Aku merindukan mu setengah mati…”
“ Cinta kita tidak direstui. Sebuah hal yang konyol hanya karena kau seorang anak petani dan aku kebetulan anak seorang carik. Sehingga ayah ku melarang hubungan kita “
Tejo melihat ada air mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Retno…” bisik Teja dan semakin erat menggenggam jari jemari tangan gadis itu.
“Akan tiba saatnya Retno. Pasti kita akan bersama –sama tanpa seorang pun yang bisa menghalangi cinta kita berdua…”
Tejo lalu menuntun tangan Retno ke arah batu pipih di tepi sungai. Suara gemericik air bagaikan alunan irama musik dari surga. Di atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar indah sekali. Sambil tersenyum Retno menyandarkan kepala di dada TeJo. Penuh kasih sayang Tejo membelai rambut kekasih yang bersandar di dadanya itu. Perlahan –lahan Tejo mencium dengan lembut bibir Retno. Gadis ini menyambut bibir Tejo dengan lembut. Mereka berdua bercinta di bawah guyuran sinar bulan purnama. Tapi tiba-tiba Retno melepaskan diri dari pelukan Tejo.
“Ada apa, Retno?” bertanya Tejo Sukmana.
Melihat wajah Retno yang seperti ketakutan Tejo Sukmana memandang berkeliling.
Lalu dia bertanya sekali lagi.
“Ada apa…?”
“Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak. Aku khawatir ada orang mengintai kita…Jangan –jangan itu orang -orang suruhan ayah ku”
“Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini,” kata Tejo Sukmana.
“Apa kau tidak mendengar? Ada suara gemerisik semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di sebelah sana…” Retno memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan pohon bambu.
“Supaya kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik ke sekitar pohon bambu itu. Ada-ada saja kau Retno. Kau tunggu di sini…”
Tejo Sukmana bangkit berdiri. Pemuda ini melangkah ke arah rerimbunan pohon bambu. Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau bayangan apa pun di situ. Tejo Sukmana meneruskan langkahnya memutari pohon bambu ke sebelah belakang. Juga tidak ada apa-apa.
Dia segera hendak meninggalkan tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah cahaya aneh berwarna kemerahan di sebelah kiri.
Pemuda ini cepat berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar mendekam duduk dengan moncong terbuka. Kedua matanya berwarna merah, memancarkan sinar aneh menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam mengerikan. Suara nafas makhluk ini terdengar seperti gerengan harimau. Tengkuk Tejo Sukmana menjadi dingin.
Sepasang mata anjing besar ini membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara lolongan panjang. Tejo Sukmana merasakan nyawanya seperti terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum sempat dia melakukan sesuatu tiba-tiba anjing besar itu sudah melompat dan menerkamnya. Tejo Sukmana berteriak keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang berkuku panjang menyambar lehernya. Batang leher Tejo Sukmana koyak besar mengerikan. Tulang lehernya patah. Darah menyembur muncrat!
“Tejo…”
Satu suara memanggil. Tejo Sukmana kenal sekali suara itu. Suara orang yang dirindukannya, yang selama ini selalu dipikirkannya. Begitu berpaling dilihatnya seorang dara mengenakan kebaya bewarna kuning gading itu tersenyum padanya. Rambutnya tergerai panjang dipermainkan angin malam yang berhembus pelan.
“Retno…”
“Aku sudah lama menunggumu di sini…” kata Tejo seraya melangkah mendekati.
Retno datang menyongsong. Keduanya saling bergenggaman tangan.
“Aku merindukan mu setengah mati…”
“ Cinta kita tidak direstui. Sebuah hal yang konyol hanya karena kau seorang anak petani dan aku kebetulan anak seorang carik. Sehingga ayah ku melarang hubungan kita “
Tejo melihat ada air mata menetes di kedua pipi dara itu.
“Kau menangis, Retno…” bisik Teja dan semakin erat menggenggam jari jemari tangan gadis itu.
“Akan tiba saatnya Retno. Pasti kita akan bersama –sama tanpa seorang pun yang bisa menghalangi cinta kita berdua…”
Tejo lalu menuntun tangan Retno ke arah batu pipih di tepi sungai. Suara gemericik air bagaikan alunan irama musik dari surga. Di atasnya bulan purnama empat belas hari memancarkan sinar indah sekali. Sambil tersenyum Retno menyandarkan kepala di dada TeJo. Penuh kasih sayang Tejo membelai rambut kekasih yang bersandar di dadanya itu. Perlahan –lahan Tejo mencium dengan lembut bibir Retno. Gadis ini menyambut bibir Tejo dengan lembut. Mereka berdua bercinta di bawah guyuran sinar bulan purnama. Tapi tiba-tiba Retno melepaskan diri dari pelukan Tejo.
“Ada apa, Retno?” bertanya Tejo Sukmana.
Melihat wajah Retno yang seperti ketakutan Tejo Sukmana memandang berkeliling.
Lalu dia bertanya sekali lagi.
“Ada apa…?”
“Aku mendengar sesuatu. Suara gemerisik semak-semak. Aku khawatir ada orang mengintai kita…Jangan –jangan itu orang -orang suruhan ayah ku”
“Itu hanya perasaanmu saja. Tidak ada siapa-siapa di sekitar sini,” kata Tejo Sukmana.
“Apa kau tidak mendengar? Ada suara gemerisik semak-semak. Aku seperti melihat bayangan sesuatu di sebelah sana…” Retno memandang ke jurusan gelap dekat serumpunan pohon bambu.
“Supaya kau tidak ketakutan terus biar aku menyelidik ke sekitar pohon bambu itu. Ada-ada saja kau Retno. Kau tunggu di sini…”
Tejo Sukmana bangkit berdiri. Pemuda ini melangkah ke arah rerimbunan pohon bambu. Dia datang dari sebelah kiri. Sepi, tak ada siapa atau bayangan apa pun di situ. Tejo Sukmana meneruskan langkahnya memutari pohon bambu ke sebelah belakang. Juga tidak ada apa-apa.
Dia segera hendak meninggalkan tempat itu. Namun sudut matanya menangkap dua buah cahaya aneh berwarna kemerahan di sebelah kiri.
Pemuda ini cepat berpaling. Nafasnya tertahan. Beberapa langkah di depan kirinya dilihatnya sosok binatang seperti seekor anjing besar mendekam duduk dengan moncong terbuka. Kedua matanya berwarna merah, memancarkan sinar aneh menggidikkan. Lidahnya terjulur basah. Taring dan gigi-giginya besar tajam mengerikan. Suara nafas makhluk ini terdengar seperti gerengan harimau. Tengkuk Tejo Sukmana menjadi dingin.
Sepasang mata anjing besar ini membersitkan sinar merah mengerikan. Bersamaan dengan itu dari mulutnya keluar suara lolongan panjang. Tejo Sukmana merasakan nyawanya seperti terbang dan lututnya bergetar goyah. Sebelum sempat dia melakukan sesuatu tiba-tiba anjing besar itu sudah melompat dan menerkamnya. Tejo Sukmana berteriak keras. Tapi suara teriakan itu putus begitu kaki kanan srigala yang berkuku panjang menyambar lehernya. Batang leher Tejo Sukmana koyak besar mengerikan. Tulang lehernya patah. Darah menyembur muncrat!
Quote:
Di atas batu pipih di tepi sungai Retno setengah terlompat ketika mendengar suara lolongan binatang dari arah pohon bambu. Lalu menyusul suara teriakan orang.
“Itu Tejo Sukmana…” kata Retno dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Dengan dada berdebar –debar cepat-cepat dia melangkah ke arah pohon bambu kejurusan mana tadi lenyapnya Tejo Sukmana.
“Tejo Sukmana… Tejo Sukmana…” memanggil Retno.
Tak ada jawaban.
“Tejo Sukmana kau di mana…?” Retno sampai di dekat pohon bambu lalu memandang sekeliling.
Tiba-tiba satu jeritan keras keluar dari mulut Retno. Kedua matanya seperti hendak tanggal dari rongganya. Hanya beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh Tejo Sukmana. Tubuh itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Salah satu matanya mencuat keluar, hidungnya tanggal dan mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan darah!
Retno membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam ketakutannya.Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya seperti bara api menyala! Untuk kedua kalinya Retno menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya tersandung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk. Anjing besar melangkah mendekati.
“Tolong… tolong…!” jerit Retno.
Anjing besar meraung panjang lalu menerkam tubuh Retno. Gadis ini masih sempat menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar dengan suara tubuh yang tercabik -cabik.
Sosok tubuh Retno terbujur di tanah dalam keadaan hancur koyak mengerikan.
Anjing besar bermata merah itu mendongak ke atas melihat ke arah bulan purnama. Di langit rembulan masih tampak seindah sebelumnya. Gumpalan awan hitam bergerak menutupi. Anjing besar ini melolong sangat panjang. Tiba –tiba sekujur badan binatang buas itu mengeluarkan asap berwarna kelabu. Semakin lama semakin tebal dan menutupi sekujur tubuh. Tatkala asap itu lenyap anjing besar bermata merah menyala tadi telah raib. Sebagai gantinya seorang lelaki berbadan kokoh berdiri bertelanjang dada. Lelaki ini terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajahnya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang dingin. Tempat itu kini kembali sunyi senyap.
“Itu Tejo Sukmana…” kata Retno dalam hati. Mukanya mendadak pucat. Dengan dada berdebar –debar cepat-cepat dia melangkah ke arah pohon bambu kejurusan mana tadi lenyapnya Tejo Sukmana.
“Tejo Sukmana… Tejo Sukmana…” memanggil Retno.
Tak ada jawaban.
“Tejo Sukmana kau di mana…?” Retno sampai di dekat pohon bambu lalu memandang sekeliling.
Tiba-tiba satu jeritan keras keluar dari mulut Retno. Kedua matanya seperti hendak tanggal dari rongganya. Hanya beberapa langkah di hadapannya menggeletak tubuh Tejo Sukmana. Tubuh itu bergelimang darah penuh luka cabik-cabik. Wajahnya hampir tak bisa dikenali lagi. Salah satu matanya mencuat keluar, hidungnya tanggal dan mulutnya sobek. Di lehernya ada luka terbuka yang masih mengucurkan darah!
Retno membalikkan tubuh untuk melarikan diri dalam ketakutannya.Namun di hadapannya tiba-tiba saja muncul seekor binatang besar menghadangnya dengan mulut berlumuran darah terbuka mengerikan. Kedua matanya seperti bara api menyala! Untuk kedua kalinya Retno menjerit. Dia melangkah mundur ketakutan. Kakinya tersandung akar pohon yang menonjol di atas tanah. Tubuhnya jatuh terduduk. Anjing besar melangkah mendekati.
“Tolong… tolong…!” jerit Retno.
Anjing besar meraung panjang lalu menerkam tubuh Retno. Gadis ini masih sempat menjerit sekali lagi. Lalu suara jeritannya lenyap, bertukar dengan suara tubuh yang tercabik -cabik.
Sosok tubuh Retno terbujur di tanah dalam keadaan hancur koyak mengerikan.
Anjing besar bermata merah itu mendongak ke atas melihat ke arah bulan purnama. Di langit rembulan masih tampak seindah sebelumnya. Gumpalan awan hitam bergerak menutupi. Anjing besar ini melolong sangat panjang. Tiba –tiba sekujur badan binatang buas itu mengeluarkan asap berwarna kelabu. Semakin lama semakin tebal dan menutupi sekujur tubuh. Tatkala asap itu lenyap anjing besar bermata merah menyala tadi telah raib. Sebagai gantinya seorang lelaki berbadan kokoh berdiri bertelanjang dada. Lelaki ini terdengar menghela nafas panjang. Lalu diusapnya wajahnya dua kali berturut-turut dan tinggalkan tempat itu bersamaan dengan bertiupnya angin malam yang dingin. Tempat itu kini kembali sunyi senyap.
Diubah oleh breaking182 20-06-2018 20:27
User telah dihapus dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas