- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#327
Quote:
PART 28
“ Kamu kenapa?” tanya Adam pada Medina yang sejak tadi hanya duduk diam di kursi tamu dengan tatapan kosong. Adam sendiri terlihat sibuk mengetik skripsinya. Ia memang harus segera menyelesaikan studynya ssbelum ia berangkat ke Jerman.
“ Nggak apa – apa,” jawab Medina sekedarnya. Akan sangat memalukan jika ia menceritakan hal yang sebenarnya pada Adam.
“ Masih kepikiran sama ucapannya Nando?” terka Adam tepat sasaran dan sukses membuat Medina salah tingkah.
“ Ng-nggak kok,” Medina masih ngeles.
Adam tersenyum kecil,” Iya juga nggak apa – apa kok.”
“ Nggak kak. Ucapan nggak penting kayak gitu kenapa musti di pikirin sih. Lagian Nando kan paling jago bercanda.”
“ Oh...jadi kalau Nando nggak bercanda, kamu percaya?” Adam kian gencar menggoda adiknya yang semakin tampak tersipu malu. Wajah Medina sudah semerah tomat sekarang.
“ Ih...apa’an sih kak? Udah deh,” rungut Medina dengan muka kecut.
Adam tersenyum menanggapi, ia kembali fokus dengan kegiatannya.
Suasana kembali hening, Adam sesekali melirik ke arah Medina. Gadis itu terlihat sibuk dengan pikirannya. Dan Adam jelas tahu apa yang ada di pikiran Medina saat ini, ia kembali tersenyum namun memutuskan untuk tidak berkomentar lagi.
“ Oh...iya, kakak nggak ke Cafe hari ini?” tanya Medina tiba – tiba.
“ Nggak, soalnya kakak lagi di kejar deadline. Jadi kakak memutuskan untuk ambil cuti beberapa hari.”
“ Hmm...begitu.”
“ Kamu sendiri gimana?”
“ Gimana apanya?”
“ Udah dapat penerbit yang pas belum?”
Medina menggeleng kecil, raut wajah tampak tak semangat. Dan Adam menyadari hal itu.
“ Jangan sedih gitu. Kakak yakin kalau kamu terus usaha, doa, dan menggantungkan semua harapa hanya sama Allah subhanahuwata’ala, semua urusannya pasti akan dipermudah,” Adam berusaha menyemangati, kali ini ia tidak bisa membantu banyak selain berusaha mempertahankan semangat adiknya supaya tidak runtuh.
Medina mengangguk tanda setuju, tatapannya kini menerawang ke langit – langit. “ Andai aja ibu sama ayah masih hidup, mereka pasti akan terus ngasih aku dukungan dan ngomong yang sama kayak kakak.”
Adam terdiam, setiap kali Medina membicarakan prihal kedua orang tuanya. Maka setiap kali itu juga ia merasa sangat bersalah pada Medina. Entah sampai kapan ia menutupi kebohongan ini pada adiknya.
“ Oh iya kak, kakak ingat pengusaha yang namanya Vegar Raditya itu?”
Pertanyaan Medina spontan membuat Adam tercengang. Sudah sangat lama Medina tidak pernah membahas ataupun bertanya tentang laki – laki itu. Lantas kenapa selarang topik ini harus muncul lagi di saat Adam juga tengah bingung harus jujur atau memilih tetap berbohong demi tidak melukai perasaan Medina.
“ I – ingat, yang waktu SD dulu kamu pikir dia ayah kamukan? Karena namanya sama dengan nama belakang kita?” Adam berusaha menanggapi sewajarnya.
“ Iya...terus kakak marahin aku, karena secara nggak langsung aku nyakitin perasaan ayah kandung kita. Terus akhirnya aku ngambek dan ngumpet di kolong meja,” jawab Medina sambil terkikik kecil mengingat kisah masa lalunya.
“ Memang sekarang ada apa lagi? Kok kamu tiba – tiba bahas dia?” tanya Adam sangat ingin tahu.
“ Tadi itu Nina nyodorin majalah yang memuat berita tentang orang itu. Udah gitu dia masih keukeuh bilang kalau orang itu ayah kita. Lucukan? Ada – ada aja tu anak.” Medina masih merasa geli sendiri membayangkan wajah serius Nina pagi tadi.
“ Memang isi beritanya apa?”
“ Aku nggak baca sih, cuman tahu judulnya doank. Itu juga Nina yang bacaini. Kalau nggak salah... ‘Pengusaha Vegar Raditya sakit keras. Anak sulungnya di pertanyakan keberadaannya?’. Iya itu judul headlinenya kak.”
Adam kembali diam, jadi ibunya tidak berbohong. Ayahnya memang sedang sakit keras. Ia mungkin marah dan sakit hati dengan kedua orang tuanya. Tapi sedikit banyak ia tentu masih menaruh rasa khawatir pada keduanya. Dan...seberat apa sakit ayahnya hingga membutuhkan anak sulungnya?
Tok...tok...
Suara ketukan di pintu membuat keduanya menoleh, dan kemudian saling melempar tatapan, seakan saling melempar pertanyaan ‘ siapa yang bertamu kerumah mereka malam – malam begini?’ .
Adam yang tak ingin membuang waktu, bergegas membukakan pintu. Kehadiran seseorang yang ada di balik pintu membuatnya sedikit kaget.
“ Pak Wahyu,”
“ Mas Adam, ada sesuatu yang ingin saya sampaikan,” ucap pak Wahyu dengan suara pelan. Seakan tak ingin ada yang mendengar selain Adam.
Adam terlihat gelisah, apapun yang ingin di sampaikan pak Wahyu tentu tidak boleh di ketahui Medina untuk saat ini. Ia berjalan mendekat ke arah Medina. “ Dek...kakak ada keperluan sebentar. Kamu jaga rumah ya. Jangan lupa kunci pintunya.” Perintah Adam.
Medina hanya mengangguk dengan wajah bingung. Ia ingin bertanya lebih, tapi sepertinya ini bukan waktu yang pas. Adam tampak sangat buru – buru.
“ Kakak pergi dulu. Assalammualaikum,” pamit Adam sambil mengusap pucuk kepalla adiknya dan kemudian berlalu pergi.
“ Waalaikumsalam.”
Medina masih diam memperhatikan kepergian Adam dengan di antar mobil bersama bapak paruh baya yang belum pernah ia temui. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya saat ini, tapi Medina berusaha mengabaikannya. Masalahnya sendiri saja belum selesai, toh jika di rasa penting Adam juga pasti akan bercerita sendiri nantinya.
Dering ponsel yang tergeletak di atas meja, membuat Medina dengan cepat menoleh. Itu ponsel Adam, karena buru – buru pergi kakaknya itu sampai lupa membawa handphone. Dasar.
“ Hallo, assalammualaikum,” Medina menjawab telepon dari nomor asing yang tertera di layar handphone.
Tak ada sahutan. Medina mulai merasa aneh sekaligus curiga dengan si penelepon. Curiga jika itu hanya prank call dari cewek – cewek kampus yang ngefans sama kakaknya.
“ Hallo...assalammualaikum, ini gue bicara dengan siapa ya? Kebetulan kak Adam lagi di luar, kalau masih nggak mau ngomong juga, gue mati’in nih. Gue masih banyak urusan.”
Masih belum ada sahutan, Medina mulai sebal ia sudah berniat ingin memutuskan sambungan telepon, tapi suara seorang wanita di ujung telepon membuatnya urung.
Medina. Benar ini kamu?
Medina terdiam ia merasa seakan sangat mengenal suara itu. Tapi....siapa?
***
Mobil kijang berwarna hitam itu berhenti tepat di depan sebuah taman kota. Tak ada tanda – tanda kalau penumpang di dalamnya akan turun. Baik pengemudi maupun yang duduk di kursi penumpang lebih memilih berbicara di dalam mobil.
“ Mas Adam, bapak butuh mas sekarang. Temui dulu, Mas.” Ucap Pak Wahyu entah sudah keberapa kali. Sejak tadi ia mencoba membujuk Adam agar mau mendengarkannya satu kali saja, tapi hanya berujung kegagalan. Hati Adam sudah sekeras batu semenjak di tinggal pergi oleh kedua oraang tuanya.
“ Pak...yang di butuhin papa itu bukan aku. Bapak tahu itu kan? Jadi buat apa aku temuin dia sekarang?” Adam masih keras kepala, rahangnya mengeras, sorot matanya tajam mengesankan jika ia sedang berada di titik puncak emosinya.
“ Bapak sakit keras mas. Komplikasi. Ibu juga butuh dorongan semangat dari mas dan mbak Medina.”
“ Pokoknya aku nggak akan temuin dia, sebelum aku mencapai tujuan aku.”
“ Tolonglah mas, jangan keras kepala seperti ini. Singkirkan dulu egonya. Jangan sampe suatu saat nanti mas menyesal.”
“ ..... “
“ Kita masih bisa selesaikan tujuan kita. Tapi mas juga harus ingat, dia orang tua kandung mas. Seenggaknya jenguk bapak, walaupun Cuma satu kali.”
“ ... “
“ Bukannya mas juga pengen ketemu sama pengacaranya bapak? Ini kesempatan bagus buat kita.”
Adam memandangi wajah pak Wahyu dengan seksama, kali ini ia wajahnya tidak setegang tadi. Tatapannya melunak seiring dengan anggukan kepala. Ia setuju untuk menemui kedua orang tuanya kali ini. Walau ia ragu keputusannya kali ini sudah benar atau belum. Kita lihat saja nanti.
●●●
JabLai cOY memberi reputasi
3
Kutip
Balas