BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Macet Jakarta kalahkan London dan New York

Kondisi macet di salah satu sudut di Jakarta pada Selasa (31/5/2011) sore.
Foto di atas adalah pemandangan umum di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat, saban sore. Puluhan, bahkan ratusan andai dilihat dari daerah sekitarnya, mobil bergerak lambat. Acap kali, bila melihat dari belakang, dua lampu bokong kendaraan itu berwarna merah.

Itulah kondisi jalan raya di salah satu daerah pusat bisnis di Jakarta: macet.

Baik melalui daerah Cideng menujuThamrin maupun sebaliknya menuju Slipi, pemandangan yang sama bakal tersaji. "Kuda besi" bergerak sangat lambat, dan sering berhenti mirip sedang parkir.

Bukan hanya di daerah Tanah Abang saja kondisi tiap sore itu terjadi. Namun, banyak di wilayah lain--entah Jakarta Barat, Timur, Selatan, atau Utara--kondisi macet menjadi kondisi sehari-hari perjalanan warga Ibu Kota dan sekitar.

Jakarta memang menjadi salah satu kota termacet di dunia. Tomtom, perusahaan asal Belanda penyedia jasa informasi lalu lintas, peta, dan navigasi, menempatkan Jakarta sebagai kota termacet ketiga di dunia; di bawah Mexico City (Meksiko), dan Bangkok (Thailand).

Andi, salah seorang pengguna mobil yang bekerja di daerah Blok M, Jakarta Selatan, dan bertempat tinggal di daerah Bintaro, Tangerang Selatan, sudah menjadikan kondisi itu sebagai "teman".

"Mau bagaimana lagi. Risiko kerja di Jakarta," ucap Andi kepada Beritagar.id, Senin (28/5/2018). Itu Andi, yang mencoba untuk tak ambil pusing dengan kemacetan di Jakarta, meski kadang ngedumel.

Namun, tidak sedikit yang menjadikan kemacetan sebagai momok. Sebab, perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan mobil menjadi tak mudah dilakukan--terlebih saat puncak kemacetan yang biasanya terjadi pada pagi dan sore hari (peak hour).

Sepuluh besar kota termacet di dunia menurut Tomtom.
Banyak yang dipertaruhkan di sana. Misalnya saja, putaran ekonomi. INRIX--lembaga penyedia jasa analisis transportasi berbasis di Washington, AS--belum lama ini mengeluarkan hasil riset soal itu dengan objek utama di tiga negara: Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman.

Di AS, kerugian negara--baik langsung atau tidak--akibat kemacetan mencapai 305 miliar dolar AS (Rp4.275 triliun), hampir dua kali lipat APBN Indonesia 2018, Rp2.220 triliun. Los Angeles, New York City, dan San Francisco menjadi kota penyumbang terbesar atas kerugian tersebut.

Sedangkan di Eropa, Inggris menjadi negara dengan kerugian terbesar, yakni mencapai 37 miliar pounds. London, sebagai salah satu kota tersibuk di dunia, menjadi penyumbang terbesar.

Jumlah kerugian itu, menurut INRIX, diambil dari kerugian akibat penggunaan bahan bakar dan waktu yang terbuang (langsung) hingga peningkatan harga barang akibat lamanya waktu tempuh barang (tidak langsung).

Lalu, bagaimana dengan di Indonesia? Tentu saja, Jakarta dan sekitar menjadi kota dengan kerugian ekonomi terbesar di Indonesia. Menurut data yang dilansir Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ), kerugian di Jabodetabek mencapai Rp100 triliun saban tahun.

Tinggi? Jelas. Hampir setara dengan kerugian di London bila merujuk riset INRIX tadi. Di London, kerugian karena macet mencapai Rp132 triliun pada 2017. Padahal, PDB dua kota metropolitan tersebut terpaut jauh.

Jakarta memang memiliki tingkat kemacetan parah di dunia --begitu Tomtom membahasakannya. Bila ditakar dalam skala persentase 1 (terendah) hingga 100 (tertinggi), rata-rata kemacetan di Jakarta mencapai 58 persen--di atas New York City (35 persen) dan London (40 persen).

Level kemacetan di kota metropolitan di dunia.
Menurut BPTJ dalam keterangan persnya, tiga penyebab utama yang membuat Jakarta macet parah yaitu tingginya V/C ratio (perbandingan volume kendaraan dengan kapasitas jalan).

Rata-rata V/C ratio jalan-jalan di Jakarta sudah mencapai angka 1, yang artinya perlu penanganan. Kedua, semakin tingginya kepemilikan sepeda motor oleh masyarakat, yang saban tahun sejak periode 2000-2010 pertumbuhan rata-ratanya mencapai 4,6 kali lipat.

Dan terakhir, minimnya pengguna angkutan umum. Saat ini dari penggunaan angkutan umum di Jakarta baru 19,8 persen, dan di Bodetabek baru 20 persen.
Karakteristik macet di dunia
"Waktu tempuhnya berbeda," begitu kata Andi saat ditanyai berapa lama ia sampai dari rumah ke kantornya maupun sebaliknya. Menurut Andi, untuk berangkat, bila keluar dari rumah sekitar jam enam pagi, waktu tempuh sekitar 1,5 jam.

Sebaliknya, saat pulang, bila keluar dari kantornya jam lima sore, bisa ditempuh hingga 2 jam. "Pulang memang lebih lama. Mungkin karena keluarnya berbarengan, beda dengan berangkat yang keluar rumahnya beda-beda," begitu prediksinya.

Dalam data yang dilansir Tomtom, kota-kota termacet di Asia memang memiliki karakteristik yang berbeda dengan benua lain: Eropa, Oceania, dan Afrika. Untuk Afrika, Tomtom hanya memasukkan Johannesburg di Afrika Selatan.

Di Eropa dan Johannesburg, kondisi macetnya justru banyak terjadi di pagi hari. Beda dengan Asia dan Amerika, sore hari.

Perbandingan karekateristik kota macet di dunia.
Angka 58 persen di atas tadi hanya rata-rata saja. Paling parah, yakni sore hari, persentase kemacetan bisa mencapai 95 persen. Maka, tak perlu heran bila kecapatan rata-rata kecapatan kendaraan di Jakarta sangat rendah.

Misalnya, dalam catatan Tomtom pada dua hari terakhir, yakni Minggu (27/5/2018) dan Senin (28/5/2018), hanya di angka 23 km/jam. Terendah, yakni terjadi pada Senin sore, 15 km/jam.
Akrab dengan penyakit
Bukan hal yang rahasia lagi bahwa terdapat korelasi antara kemacetan, stres, dan penyakit. Sudah banyak penelitian yang mengaitkan hal-hal itu.

Contohnya adalah sebuah penelitian yang dimuat di jurnal Aggressive Behavior (1999). Penelitian yang dilakukan oleh Dwight A. Hennessy dan David L. Wiesenthal dan dibukukan dengan judul Traffic congestion, driver stress, and driver aggression itu menunjukkan adanya peningkatan stres dan perilaku agresif pada para pengemudi.

Kondisi itu berlaku tak hanya pada laki-laki, demikian juga dengan perempuan.

Kemacetan juga dikaitkan dengan penyakit fisik, seperti yang diteliti oleh profesor di UC Irvine Institute of Transportation Studies, California, Amerika Serikat, Raymon Novaco.

Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Washington Post pada April 2007 itu menunjukkan bahwa kemacetan dapat meningkatkan tekanan darah, sakit kepala, nyeri di beberapa bagian tubuh seperti punggung, kaki, dan leher.

Untuk mengurangi tingkat stres, menurut dr Tun Kurniasih Bastaman, SpKJ(K), dokter spesialis kesehatan jiwa, pengendara bisa membuat rileks kondisi mereka. Caranya, dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya.

"Misalnya, mendengarkan musik atau bermain games," ucap Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia itu, seperti dilansir Detik.

Atau, cara lainnya, seperti Andi: "berteman" dengan kemacetan.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...n-dan-new-york

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- KTP elektronik yang tercecer adalah kecerobohan dan ketidaksengajaan

- Swasta naikkan harga, Pertamina tetap bertahan

- Catatan Sumber Waras dan Cengkareng dalam WTP DKI

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
9.6K
173
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread730Anggota
Tampilkan semua post
uchonsAvatar border
uchons
#6
Ga ada solusi buat kemacetan dimarih vreh
Diubah oleh uchons 29-05-2018 21:08
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.