- Beranda
- Stories from the Heart
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari | R-17
...
TS
m60e38
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari | R-17

Quote:
Apa kau percaya dengan Hukum Kekekalan Energi?
Kalau aku percaya dengan Hukum Kekekalan Cinta.
Bahwa Cinta itu tidak dapat dibuat atau dimusnahkan.
Tetapi hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya.
Itulah cinta yang kupercaya.
Ini adalah kisah nyata tentang mereka.
Tentang semua cinta yang tak terbalas.
Tentang semua rasa yang tak terungkap.
Yang terukir indah dalam 874 lembar buku harianku sejak SMA.
Ditambah 101 halaman dari kisahku yang hilang bersama seseorang.

Maka, saat kau bertanya, mengapa kau masih ingat?
Buku harianku yang mengingatkanku.
Disana tertulis nama lengkap mereka.
Disana tertulis semua perkataan antara aku dan mereka
Disana tertulis semua proses pendewasaanku.
Ini kisah nyata.
Buku harian 975 lembar letter size itu saksi sejarahnya.
Ditulis dengan font Times New Roman 10 Pt.
Dan akan kutulis ulang semuanya untuk kalian.
Bidadari yang pernah datang mengisi hariku.
Bidadari yang mendewasakanku.
Orang bilang, jatuh cinta itu menyenangkan.
Aku mengakui itu, sepanjang aku jatuh cinta, rasanya menyenangkan.
Tetapi orang juga bilang, jatuh cinta itu menyakitkan.
Entah, tetapi aku tidak pernah setuju dengan frasa bahwa cinta itu menyakitkan.
Cinta adalah saat kita menginginkan orang yang kita cintai bahagia.
Tidak peduli seberapa sakitnya kita dibuatnya.
Karena ketulusan yang akan mengobati semua sakit.
Di atas senyum bahagia, dia yang kita cintai.
Namum, apabila ada banyak hati yang saling mencinta.
Apakah akan berakhir bencana?
Ataukah ketulusan yang akan menyembukan mereka.
Ini kisah tentang mereka.
Bidadari sempurna yang hadir dalam hidupku.
Kembalilah (Tak Terungkap) | Ketulusan Cinta Para Bidadari

MAKLUMAT
Cerita ini berdasarkan kisah nyata, nama karakter disamarkan sesuai dengan kebutuhan untuk melindungi privasi dari tokoh yang ada di dalam cerita ini. Dan cerita ini sebisa mungkin menggunakan kaedah sastra secara teknis, sehingga akan dibutuhkan waktu yang lama untuk dicerna.
Rating dalam cerita ini adalah R-17, dengan kata lain, cerita ini mengandung bahasa yang kasar dan juga isi cerita yang hanya sesuai untuk usia 17 tahun atau di atasnya, dan atau usia di bawahnya dengan bimbingan orang yang lebih dewasa.
Perlu diingat, rating Restricted tidak serta merta hanya mengacu kepada konten cerita yang mengandung adegan dewasa, belajar dari cerita sebelumnya, saya selaku authorakan meminimalisir cerita dengan adegan dewasa di thread ini. Restricted di sini mengacu kepada kompleksitas cerita yang akan mempengaruhi ideologi pada pembaca, khususnya remaja yang memiliki usia di bawah 17 tahun.
Penggunaan bahasa yang tidak pantas, serta adegan yang penuh dengan konspirasi dan atau tindakan kejahatan juga menjadi pertimbangan saya untuk tetap mempertahankan rating Restricted di dalam cerita ini, jadi terlebih dahulu harus dipahami mengapa saya tetap menggunakan rating R-17 pada cerita ini, dan bukan serta merta karena adanya adegan yang kurang pantas di sini.
Mohon untuk pembaca memahami bahwa tidak semua adagan dalam cerita ini bisa dicontoh, ditiru, dan atau diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, terlebih untuk material yang hanya boleh dilakukan untuk pasangan pernikahan yang sah. Pembaca dimohon untuk mengambil hikmah dari cerita ini sebaik-baiknya.
Kritik dan saran dari pembaca sangatlah saya harapkan, dan mohon maaf apabila banyak tulisan dari karya saya yang masih jauh menyimpang dari Sastra Indonesia. Saya mohon koreksinya dari pembaca, karena saya ingin tetap mempertahankan kaedah menulis Sastra, bukan asal cerita.
Demikian maklumat dari saya, Terima Kasih.
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
OVERTURE
Selamat pagi rekan-rekan Kaskuser, khususnya di Sub-Forum Story from the Heart, perkenalkan, saya Faristama Aldirch, selaku Nubie SR di sini untuk berbagi kisah. Sebelumnya pasti rekan-rekan semua tahu apa alasan saya menggunakan User ID m60e38, tentunya ada hubungannya antara mesin BMW M60 dan sasis BMW E38.
Tentu saja, cerita ini berawal dari saya yang jatuh cinta kepada Aerish Rivier, menyatakan cinta kepada gadis itu, dan membuat saya menanti akan sebuah balasan yang tak berujung. Menutup hati dari banyak hati yang berusaha mengisi hati saya dan berusaha tak acuh dengan apa yang saya alami sendiri. Hingga pada akhirnya banyak hal yang terlewatkan hingga semuanya menjadi satu.
Tetapi, hal tersebut tidak pernah disadari oleh saya, Cauthelia Nandyadatang dengan membawa cinta dan keikhlasan yang begitu luar biasa, tertuang dalam diary-nya sejak tahun 2002. Nadine Helvelina datang dengan cinta dan ketulusan yang tidak pernah bisa diragukan. Shinta Adinda yang menjadi sahabat terbaik saya juga datang dengan ketulusan yang benar-benar membuat saya berpikir tidak akan meninggalkannya.
Arteana Andrianti, seorang Guru penjaga UKS yang merasakan bahwa saya adalah laki-laki yang telah menyelamatkannya di satu peristiwa pada pertengahan 2006. Hingga Aluna Amelia, gadis berdarah Oriental yang begitu cantik, mempercayakan segala perasaannya kepada saya atas semua apa yang pernah saya lakukan kepadanya.
Ketulusan mereka semua sudah tidak mungkin diragukan lagi, apapun mereka lakukan bukan serta merta menginginkan saya bahagia, tetapi ingin yang lainnya bahagia. Memang ini terlihat menyenangkan, dicintai banyak wanita sekaligus, dan mereka terlihat begitu akrab dan juga akur satu sama lainnya, padahal hal tersebut benar-benar menjadi sebuah beban yang begitu luar biasa untuk saya.
Semenjak kedatangan Erik di kehidupan saya, semuanya mulai terasa begitu berat, dengan anak buahnya, ia berusaha untuk mendekati satu per satu bidadari untuk sekadar mengancam saya, atau mungkin melakukan hal yang buruk kepada mereka. Hal tersebut membuat saya benar-benar was-was, terlebih saat ini saya tidak bisa tenang karena Cauthelia tidak bisa dihubungi.
Satu persatu masalah muncul dan semuanya bermuara ke satu nama, yaitu Markus, siapakah orang itu? Entahlah, hanya Sang Jabbar yang tahu siapakah Markus itu, yang pasti semenjak kedatangan Nancy malam itu, setidaknya selain hengkangnya Erik perlahan dari kehidupan saya, muncul aliansi baru yang akan membantu saya mengungkap siapa dan apa tujuan Markus sebenarnya.
Semoga cerita ini bisa menjadi salah satu kawan di kala senggang untuk rekan-rekan Kaskuser yang senang membaca cerita dengan format baku seperti yang saya suguhkan. Tidak perlu banyak kata-kata dalam pembukaan ini, saya akan melanjutkannya pada kisah yang akan saya tulis dengan format yang sama seperti cerita saya sebelumnya. Atas perhatian dan kerjasama Anda, saya mengucapkan Terima Kasih.
Quote:
Polling
0 suara
Siapa Karakter Perempuan Favorit Reader dalam Cerita Ini?
Diubah oleh m60e38 04-02-2024 10:41
jamalfirmans282 dan 24 lainnya memberi reputasi
23
304.3K
2.4K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
m60e38
#2216
Tentang Sebuah Nama: Talita | Bagian 1
TENTANG SEBUAH NAMA: TALITA (BAGIAN 1)
      April 2006.
      Setahun yang lalu, ya setahun yang lalu kami mengunjungi Bandung. Dan tahun ini, sekolah kami lagi-lagi memutuskan untuk menjadikan Bandung sebagai tempat destinasi karya wisata setelah tahun kemarin kami juga sudah menyambangi tempat-tempat menarik di Bandung.
      Pagi ini, kami semua berkumpul di sekolah untuk bersama-sama, dan khusus hari ini aku pergi ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum. Tidak mungkin rasanya menitipkan motor pinjaman Ayahku ini di sekolah saat kami harus berkarya wisata ke Bandung selama tiga hari dua malam. Dan tidak mungkin juga penjaga sekolah mau menerima sepeda motor untuk dijaga selama itu.
      Mendung masih saja mendekap langit Jakarta pagi ini. Sejenak saat aku tiba di sekolah, aku menghela napas begitu panjang saat melihat bus dengan warna dan merek yang sama terparkir tidak jauh dari sekolah. Sungguh, hal itu mengingatkanku kepada Aerish. Tahun lalu, ia masih berada di sini dan kami banyak menghabiskan waktu bersama, tetapi tidak tahun ini.
      Alih-alih berkumpul untuk mendengarkan pengarahan dari kepala sekolah, aku lebih memilih untuk menginjakkan kakiku di atas bus yang sudah ditandai sebagai bus untuk XI IPA I yang berada di posisi paling depan. Kuhela napas saat harum bus ini masih menyisakan kenangan yang begitu menyesakkan atas Aerish yang saat ini berada di sekolah lain.
      “Tama,” panggil suara itu seraya ia menghampiriku.
      “Talita?” tanyaku tidak percaya, “loe gak ikutan yang laen?”
      Ia menggeleng pelan, senyumannya yang begitu khas membuatnya terlihat begitu manis di antara sorot bola matanya yang begitu hitam dan mengkilap. Tanpa banyak kata, gadis itu lalu duduk di sebelahku, tanpa menghiraukan bahwa ia sudah memiliki kekasih saat ini, Lingga namanya. Setidaknya itu yang kutahu.
      “Kamu kenapa juga gak ikutan?” tanya gadis itu begitu penasaran.
      Aku mengangkat kedua pundakku pelan, “entahlah, gue agak males aja keluar soalnya.”
      Hening. Sesaat hanya suara riuh jalanan yang dipenuhi oleh deru mesin yang terus menerus mendesah, memagut indraku dengan suara yang terdengar begitu monoton. Sesekali suara klakson terdengar cukup nyaring di indraku, menandakan bahwa beberapa orang nampak meluapkan emosinya dalam bentuk harmoni dua frekuensi yang cukup menyatakan urgensi mereka.
      “Kamu kepikiran apaan sih?” tanya Talita, ia tertawa kecil seraya memandang ke arahku.
      Kugelengkan kepalaku pelan, “cuma inget tentang Bandung, sama Aerish yang pasti.”
      “Eh Tam,” panggil gadis itu, sesuatu yang tidak perlu ia lakukan karena aku berada di sebelahnya saat ini.
      “Kenapa Lit?” tanyaku penasaran.
      “Aku boleh enggak duduk di sini?” tanyanya, wajahnya yang begitu putih itu sedikit memerah.
      Tidak banyak berpikir, aku menganggukkan kepalaku pelan, “bebas Lit, loe boleh pilih di kiri ato di kanan.”
      “Aku di pinggir jendela, boleh?” tanyanya pelan, dan aku hanya menjawabnya dengan anggukan pelan.
      Entah apa yang gadis ini pikirkan saat ini. Aku bahkan tidak terlalu dekat dengan gadis ini, yang aku tahu ia adalah salah satu murid di kelas yang cukup pendiam. Parasnya yang begitu manis dengan balutan hijab yang selalu menutupi kepalanya itu seolah menambah kecantikan alaminya. Tetapi, apapun itu, ia adalah milik Lingga, bahkan dari sebelum ia masuk SMA, setidaknya itu yang kutahu.
      “Eh Tam, kamu kan jago tuh komputer,” ujarnya memulai pembicaraan setelah sekian lama kami hening, menikmati sunyinya kabin bus buatan Swedia ini, “pulang study tour bisa kan benerin komputer aku?”
      “Kenapa emangnya komputer loe?” tanyaku penasaran.
      “Abis minjem game dari kamu itu loh kemaren, terus komputer aku gak bisa booting,” ujarnya seraya tertawa kecil, “sebenernya gara-gara aku panik sih Tam, tiba-tiba Ayah aku dateng, terus aku langsung matiin pas aku lagi maen game.”
      Aku masih mengingatnya, awal tahun yang lalu ia sempat meminta kepadaku sebuah video game yang tidak biasa. Saat itu yang terpikirkan olehku adalah sebuah game yang seharusnya tidak kumainkan di usiaku sekarang, dan saat itu reaksi gadis itu sungguh tidak terduga. Ia malah menikmati memainkan permainan tersebut, dan meminta beberapa permainan lagi dua pekan setelahnya.
      “Lagian loe udah tau punya game begituan, maen di ruang tengah,” ujarku tertawa kecil seraya memandang ke arahnya.
      “Abisnya seru Tam, apalagi yang kamu kasih terakhir, asli itu seru banget,” ujarnya, wajahnya kembali memerah saat mengatakan hal itu.
      Aku menghela napas seraya menggelengkan kepalaku pelan, “loe itu Lit, cewek kan gak demen game begituan, ini kenapa loe demen deh?”
      “Namanya juga pengen tau Tam,” ujarnya, lalu menepuk-nepuk pundakku pelan, “apalagi gamenya seru beneran deh, asli.”
      “Tapi kan gambarnya gitu Lit,” ujaku lalu tertawa.
      “Gak apa-apa Tam,” ujarnya, seraya menjulurkan lidahnya, “itung-itung buat belajar.”
      Aku tertawa mendengar jawaban dari Talita barusan, dan ia pun merespons dengan tawa yang sama kerasnya denganku, seolah tidak ada penghalang antara diriku dan dirinya. Terlebih, kami berdua sama-sama tahu bahwa aku memiliki rasa kepada Aerish, dan Talita masih menjadi kekasih Lingga hingga saat ini.
      Ada senyuman yang terlihat begitu berbeda dari sosok Talita pagi ini, entahlah, tetapi aku melihat ada hal yang tersimpan di balik sorot matanya yang menyiratkan suatu hal yang aku sendiri tidak paham apa artinya. Hanya saja, ia terlihat nyaman berada di kursinya saat ini, dan itu sungguh membuatku sedikit terheran, apa yang sebenarnya terjadi kepadanya.
      Sekitar sepuluh menit, dan ditemani dengan obrolan ringan tentang video game yang kami mainkan dan juga tawa kecil yang terus saja teruntai sejak tadi, bus pun mulai dimasuki oleh beberapa teman kami yang tampak sedikit terkejut mendapati Talita duduk di sebelahku saat ini.
      Pandangan sinis bahkan tampak dari beberapa temanku yang juga mengetahui hubungan Talita dengan Lingga. Mungkin, dalam benak liar mereka, aku adalah orang yang begitu licik dan oportunis, mengambil celah yang ada di antara hubungan mereka dan memasukinya. Padahal, tidak ada sedikitpun niatanku untuk melakukan hal bodoh seperti itu.
      “Tama,” panggil Nadine, ia tampak tidak percaya aku saat ini duduk di sebelah Talita, “loe kenapa bareng sama Lita?”
      “Daripada loe berspekulasi, mendingan tanya langsung sama Talita,” ujarku lalu memandang ke arah Talita.
      “Iya Nad, aku tadi emang sengaja minta duduk di sebelah Tama,” ujar Talita, nada bicaranya yang begitu khas membuat pandangan sinis Nadine langsung berubah seketika.
      “Oh yaudah,” ujar Nadine datar.
      “Kamu gak marah kan Nad?” tanya Talita, masih bertanya, “kalo kamu marah, aku pindah deh,” ujarnya dan ingin beranjak dari kursinya saat ini.
      Nadine menggelengkan kepalanya dan tersenyum, “enggak kok Lit, gue cuma bingung aja kenapa Tama sama loe duduk barengan. Gue sama sekali gak marah kok Lit, lagian gue sama Tama kan juga sama kayak loe, kita sama-sama temenan.”
      Nadine lalu menepuk pundakku ringan dan tersenyum kepadaku, entah aku pun tidak mengerti arti senyumannya. Tetapi, ia langsung mengambil kursi yang begitu jauh di belakang, padahal di sekitarku masih tersisa banyak kursi kosong. Sejenak, setelah ia mendaratkan tubuhnya di atas jok kulit hitam ini, ia langsung tersenyum dari kejauhan, di balik kacamata full frame yang selalu bisa menyembunyikan ekspresi wajahnya.
      “Masa bodoh,” gumamku di dalam hati. Aku tidak ingin memikirkan gadis yang selalu mengutarakan ekspresi yang sulit kupahami. Meskipun kuakui, ia adalah gadis yang sangat baik di atas segala sikap skeptis dan sinis yang selalu ia lontarkan. Tetapi itu tidak pernah melunturkan ketulusan yang ia tunjukkan pada Januari tahun lalu, di mana ia menjagaku saat aku dirawat di rumah sakit.
      Jam 0730, terlambat tiga-puluh-menit dari jadwal seharusnya, kami akhirnya bertolak, meniggalkan sisa pembakaran hidrokarbon yang pangkatnya oleh CN, dan sayangnya untuk BBM di negara ini belum mengadopsi sistem standar pembuangan EURO II, di mana hanya tersedia BBM Diesel dengan sulfur masih di atas 500 ppm saat ini.
      Mesin enam-silinder-segaris berkapasitas delapan-ribu-sembilan-ratus-tujuh-puluh-empat-centimeter-kubik yang menghasilkan tenaga dua-ratus-enam-puluh-daya-kuda ini begitu tenang membawa seisi kabin bis ini melewati jalan tol dalam kota menuju ke jalan tol Jakarta – Cikampek.
      Transmisi delapan percepatan comfort shift yang digunakannya terasa begitu halus mengantarkan torsi mesin seribu-dua-ratus-lima-puluh-Newton-meter ke dua roda belakangnya. Suspensi udara yang digunakannya pun terasa begitu nyaman saat melintasi jalan tol Jakarta – Cikampek yang begitu tidak rata ini.
      Sesekali kupandangi Talita yang sedari tadi hanya menatap bahu jalan yang bergerak begitu cepat, sekejap lalu, dan sesekali pula ia memandang ke arahku. Tampak ada hal yang ingin ia bicarakan kepadaku, tetapi itu semua seolah tertahan di tenggorokannya. Entahlah, aku tidak ingin mengetahui hal itu dan aku juga tidak ingin memulainya terlebih dahulu.
      Satu jam berlalu, pengemudi bus ini memutuskan untuk berhenti di area peristirahatan pertama yang berada di jalan tol Purwakarta – Cileunyi. Kebetulan ada beberapa teman sekelasku yang saat itu hendak ke toilet. Kesempatan itu kugunakan untuk turun dari bus dan berjalan ke arah ujung tempat peristirahatan ini. Udara di Purwakarta ini tidak terlalu dingin, tetapi tetap sejuk di pagi ini.
      “Tam,” panggil suara lembut itu, aku langsung menoleh di mana suara itu berasal.
      “Talita?” tanyaku tidak percaya, “loe ngapain pula ngikutin gue?” tanyaku keheranan.
      “Gak boleh kah?” tanyanya yang menurutku terlambat saat ia sudah berdiri di sebelahku.
      “Gue sih boleh-boleh aja Lit, cuma anak-anak yang laen itu yang kayaknya mandangin gue sinis banget,” ujarku, tertawa kecil seraya memandang ke arahnya.
      “Pasti masalah Lingga,” ujarnya lalu tertawa kecil, “aku udah putus lama kali sama dia.”
      “Lah,” ujarku, seolah tidak tahu harus mengatakan frasa apa lagi selain hal itu, “gue pikir loe masih sama Lingga.”
      “Udah gak Tam,” ujar Talita pelan, ia lalu menundukkan kepalanya, “tapi bukan karena apa-apa loh Tam, cuma emang udah gak sreg aja sama dia.”
      “Ada masalah kah?” tanyaku pelan, di antara embusan angin semilir yang terus bertiup dari ujung bukit yang terlihat di ujung sana.
      Terdengar helaan napas berat yang terembus dari Talita, seraya ia memandang ke arah langit yang saat ini benar-benar membenamkan pendaran Sang Sol di dalam dekapan mega yang begitu erat bergandengan di atas kami. Seiring dengan wangi air yang sesekali terendus oleh indraku, ia lalu memandangku dengan pandangan yang berbeda.
      “Kalo loe gak bisa cerita, gak usah loe paksain Lit,” ujarku lalu menepuk pelan pundaknya.
      Ia menggeleng, “aku gak tahu harus mulai dari mana Tam. Aku cuma bingung mau mulai dari mana, mau cerita sama siapa, aku cuma bingung harus ngomong sama siapa.”
      Aku tersenyum, “gue bisa jadi pendengar terbaik buat loe, meskipun mungkin bukan sosok yang loe harepin Lit.”
      Ia memandangku, sorot matanya terlihat begitu berbeda saat ia menyunggingkan senyuman yang tidak pernah kulihat sebelumnya dari sosok Talita. Sesekali, ia mendekap sendiri tubuhnya di bawah sejuknya udara Purwakarta di pagi ini.
      Sejurus, kulepas sweater yang saat ini kugunakan dan langsung kuberikan kepadanya, “loe pake nih Lit. Dari tadi gue liat loe kedinginan.”
      “Iya sih,” ujarnya pelan, “AC di dalem bis dingin banget Tam.” Ia lalu meraih sweaterku, tanpa banyak kata, aku melangkah terlebih dahulu, takut-takut bus yang mengangkut kami berjalan lebih dahulu dan meninggalkan kami berdua di sini.
      “Eh, Tam, tungguin aku,” ujarnya setelah ia mengenakan sweater yang begitu kebesaran di tubuhnya yang mungil.
      “Gue cuma mastiin bisnya gak jalan Lit,” ujarku santai, “gak bakalan juga gue tinggalin loe di sini.”
      “Kirain kamu tau-tau tega ninggalin aku di sini,” ujarnya lalu melangkah pelan ke arahku, “eh tapi kamu bener kan Tam mau dengerin cerita aku?”
      Aku mengangguk pelan, “simpen cerita kamu buat di Bandung aja. Nanti ceritain sama aku pas makan siang aja ya.”
      Kulangkahkan kaki menuju ke bus yang mesinnya masih menyala. Saat aku meminta Talita untuk naik terlebih dahulu, dan itu membuat kami terlihat naik bersamaan ke dalam kabin bus, hampir seisi bus memandang kami dengan tatapan sinis. Seperti yang kukatakan kepada Talita barusan, bahwa banyak yang memandangku dengan tatapan seperti itu.
      Ia hanya tertawa kecil saat merebahkan tubuhnya di kursi tempatnya duduk tadi, seraya memandangku dengan tatapan yang tak pernah ia lontarkan sebelumnya kepadaku. Tetapi aku tidak mengacuhkan itu, aku tetap duduk di kursiku seraya menghela napas.
      Aneh mungkin melihat Talita yang saat ini dekat denganku, seraya sweater hitam yang saat ini dikenakannya, itu membuat sebuah retorika baru yang tidak akan bisa terelakkan. Aku adalah perebut kekasih orang, mungkin kumpulan frasa tersebut yang terputar di kepala mereka, yakinlah masa bodoh dengan itu semua.
      Sekitar dua-jam, bus ini pun menghentikan lajunya di salah satu objek studi pertama kami di Bandung. Semua murid begitu antusias mendengar pengarahan dari wali kelas sekaligus guru fisika tersebut. Semua murid bersemangat ketika keluar dari bus, sementara Talita hanya memandangku, menantiku untuk beranjak dari kursiku.
      “Tama, Talita, kalian kenapa masih duduk aja?” tanya Pak Galih, wali kelasku saat ini.
      “Iya Pak, saya nyusul sebentar lagi,” jawabku lalu memandang ke arah Talita.
      “Yaudah, jangan lama-lama, keburu siang soalnya jadwal kita masih padat.”
      Tak lama, Pak Galih keluar dari kabin bus, menyisakan aku, Talita, pak supir, dan juga pak kondektur yang tampaknya akan selalu berada di dalam kabin bus ini.
      “Ayo Lit,” ujarku lalu beranjak.
      Tanpa kuduga, sepasang tangan mungil dan lembut menahan pergelangan tangan kiriku. Aku menoleh ke arahnya, ia hanya tersenyum seraya menggerakkan tubuhnya untuk mengikutiku, dan ia benar-benar terus menggenggam erat pergelangan tanganku hingga kami turun dari bus ini.
      “Loe kenapa Lit?” tanyaku, setelah sekian lama ia terdiam karena aku memang hanya menghabiskan waktu untuk mendengarkan musik dari ponselku melalui earphonesepanjang perjalanan dari Purwakarta hingga ke Bandung ini.
      Gadis itu tersenyum seraya menggelengkan kepalanya pelan, entah apa yang ia pikirkan saat ini. Hanya saja, agak aneh melihat Talita yang awalnya adalah gadis yang sangat pendiam dan hanya sesekali berbincang denganku, tiba-tiba kini menjadi seseorang yang selalu ada bersamaku pada waktu yang sebenarnya tidak tepat ini. Sungguh, aku sendiri tidak menyangka, ini semua akan terjadi begitu saja dikala banyak mata yang tidak percaya akan apa yang kualami sendiri saat ini.
      “Loe kenapa Lit?” tanyaku, pertanyaan yang sama setelah sekian lama kami terbungkam oleh eratnya pagutan jemari Talita di pergelangan tanganku.
      “Aku cuma pengen aja pegang tangan kamu Tam, boleh?” tanya gadis itu dengan nada yang begitu pelan.
      Kuhela napas panjang dan tersenyum kepadanya, “loe boleh pegang tangan gue sesuka loe Lit, tapi loe juga inget, semua temen kita taunya loe itu ceweknya Lingga.”
      “Dan gue gak sehina itu Lit, ngerebut pacar orang. Menurut gue, cuma cowok gak percaya diri aja yang berani rebut cewek orang,” ujarku lalu melangkahkan kakiku untuk menyusul teman-temanku yang sudah lebih dahulu masuk saat ini.
      “Kenyataannya aku kan gak punya pacar Tam,” ujarnya pelan, “dan aku juga gak peduli sama omongan orang tentang aku ato kamu, karena yang aku tau pas SMP dulu kamu selalu temenin aku di saat apapun, sebelum aku ketemu sama Lingga.”
      Kuhela napas panjang, sekali lagi, “gue juga sependapat sama kamu Lit, kalo aku gak pernah peduli sama omongan orang, karena mereka gak tau apa yang kita rasain dan itu hal yang paling aneh kalo kita mikirin omongan orang, sementara dia gak tau apa yang terjadi sebenernya.”
      “Tapi Tam, aku mau tanya satu hal sama kamu,” ujarnya pelan, hela napasnya menggantung di akhir kalimatnya barusan.
<<< SEBELUMNYA (EP291)
0