- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#300
Quote:
PART 27
Sepanjang perjalanan Medina hanya diam, tak ada satu katapun yang meluncur dari bibirnya. Bahkan hanya sekedar ikut nimbrung ke dalam obrolan seru Nando dan Nina yang entah membahas apa, ia pun enggan.
Ucapan Tirta tadi terus menghantui pikirannya, ia sedang berusaha memahami lebih jauh bagaimana hal seperti itu bisa terjadi antara ia dan Tirta.
Bagaimana mungkin Tirta menyimpan perasaan lebih terhadapnya? Selama ini Medina merasa semua kedekatan mereka hanya sebatas teman. Lagipula bagaimana bisa mantan kekasih sahabatnya kini berbalik mencintainya.Lelucon macam appa apa itu? Lalu apa yang akan terjadi jika Nina mengetahuinya? Akan seperti apa tanggapannya nanti? Dan Nando...bagaimana dengan Nando?
Ahh...kepala Medina serasa mau pecah sekarang. Jika saja ia bisa memutar ulang waktu, ia ingin sekali kembali pada waktu di mana ia belum bertemu dengan Tirta.
“ Na...lo mikirin apa’an sih? Dari tadi diem aja.” tegur Nina yang kebetulan duduk di jok depan menemani Nando yang tampak fokus mengemudi.
“ By the way, tu bocah ngomong apa’an sama lo? Lo belum cerita lo sama kita?” timpal Nando tak mau kalah.
Medina membenahi posisi duduknya, sambil mencari jawaban yang pas agar tidak di sodorkan pertanyaan yang lain lagi. Sungguh ia tengah malas cerita apapun sekarang. “ Harus banget apa di cerita’in? Nggak penting ini.”
“ Ok...tapi seenggaknya lo jangan manyun gitu. Mood gue ikutan nggak enak jadinya liat bidadari gue mukanya di tekuk gitu,” Nando kembali menunjukkan kekonyolannya.
Terkadang ini cowok nggak bisa baca situasi. Wajah Medina tentu sudah cukup menjelaskan bahwa dia sedang tidak ingin bercanda, tapi Nando memilih cuek bebek. Niatnya mungkin baik, ingin menghibur dan membuat senyum Medina kembali hadir. Tapi ya...nggak sekarang juga.
“ Bidadari? Lo pikir lo Jaka Tarub,” protes Nina dengan nada bergurau sambil melempar kertas tissue pada Nando.
Keadaan kembali hening untuk Medina. Ia kembali sibuk dengan pikirannya, sementara Nina dan Nando memilih untuk ngobrol apa saja yang mereka suka. Sungguh...ia hanya ingin segera tiba di rumah sekarang, lalu tidur, dan berharap besok ia sudah melupakan semua kejadian hari ini.
***
Medina tiba di rumah, ia menghela nafas panjang mendapati kakaknya tengah tertidur pulas di kamar. Perasaan cemas dan bersalah terus merongrongnya sejak tadi. Bagaimanapun apa yang terjadi pada Adam, itu semua karenanya. Karena Tirta yang terlalu peduli padanya.
“ Kamu udah pulang?” Adam yang tiba – tiba bangun, membuat Medina sedikit kaget. Adam memecah lamunannya.
Medina mengangguk sambil mendekati kasur yang Adam tempati,” Gimana keadaan kakak? Udah baikan?”
Adam mengangguk kecil dan tersenyum, tapi kemudian senyum itu sirna saat sepasang mata teduhnya menemukan jidat Medina yang di plester,” Jidat kamu kenapa? Kok bisa di plester gitu?” cemas Adam berusaha menyentuh luka Medina, namun gagal karena Medina telah lebih dulu menepisnya pelan.
“ Aku nggak apa – apa kak. Ini cuma kebentur doank,” kilah Medina, ia tak ingin Adam semakin khawatir jika tahu, luka yang ia dapat karena ulah Tirta.
“ Kok bisa?”
“ Aku kurang hati – hati.”
“ Kakak tahu kalau kamu lagi berusaha ngebohongin kakak, ya kan?” curiga Adam membuat Medina kelimpungan dan terpaksa memutar otak lebih keras lagi, untuk mencari alasan yang lebih masuk akal. Tapi...apa?
“ Kakak jadi ke Jerman?” Medina sengaja mengalihkan topik pembicaraan, tindakannya membuat Adam langsung melayangkan tatapan protes. Tapi dengan cepat ia tanggapi,” Beneran kak, ini Cuma kebentur doank. Jangan lebay gitu deh.”
“ So...kakak beneran jadi ke Jerman?”
Adam mengangguk cepat,” Kamu nggak apa – apakan di tinggal?”
“ Nggak apa – apa. Aku yakin kok, kakak ngelakuin ini buat yang terbaik.”
Adam tersenyum sambil mengusap pucuk kepala Medina,” Kakak janji, kalau urusan kakak udah selesai, kakak akan langsung pulang.” Ucap Adam berusaha menghalau kesedihan yang tampak begitu jelas di wajah adiknya.
Jujur ia masih begitu berat meninggalkan Medina sendirian, tapi jika ia tidak mengambil kesempatan ini, kapan lagi ia bisa menyelesaikan masalah yang terus menghantuinya sejak dulu?
“ Pulang?” Medina agak kaget-“ Kenapa pulang? Bukannya kakak terikat kontrak dengan perusahaan ayah Nando?”
“ Untuk itu biar kakak yang urus. Pokoknya kamu tunggu kakak pulang.”
Medina mengangguk dan berangsur memeluk Adam,” Andai aja ayah sama ibu masih hidup, mereka pasti bangga lihat kakak sekarang,” lirih Medina dengan mata berkaca – kaca.
Adam terdiam, ia tak berani berkomentar apapun. Jika suatu saat nanti Medina tahu jika kedua oraang tua mereka masih hidup, apa yang akan terjadi pada Adam yang telah sukses membohonginya selama bertahun – tahun? Adam enggan membayangkannya. Bisa saja Medina akan membencinya atau bahkan mungkin meninggalkannya? Adam tidak ingin hal itu terjadi. Tapi mau sampai kapan ia terus berbohong seperti ini? Dia yang acap kali memberi nasehat pada Medina untuk tidak berbohong, kini justru melanggar ucapannya sendiri.
“ Santai kak, gue akan jadi orang yang berada di baris terdepan yang bakal ngejagain Medina,” ucapan Nando yang tiba – tiba menyela pembicaraan kakak adek ini, langsung menarik perhatian.
“ Lo ngapain ada di sini? Bukannya pulang juga,” protes Medina kesal.
“ Niatnya sih gitu, tapi ada satu hal penting yang sukses menahan gue untuk stay”
“ Apa’an?” tanya Medina pelan namun dengan intonasi yang tidak santai.
“ Lo.”
“ Jangan mulai lagi deh,”
“ Kak, gue ngobrol sama Medina bentar boleh?” tanya Nando tak peduli dengan kejutekan yang di perlihatkan Medina.
Adam mengangguk tanda setuju. Sementara Medina hanya bisa pasrah. Ia heran sejak kapan kakaknya dan Nando jadi sebegitu kompaknya.
“ Di teras. Gue nggak mau kerusuhan lo ganggu waktu istirahat kakak gue,” Medina masih ketus, ia berjalan keluar dari kamar Adam dan berjalan menuju teras dengan Nando yang mengiringi di belakang sambil tersenyum lebar.
“ Buruan...lo mau ngomong apa?” – Medina duduk di kursi rotan yang ada di sana – “ Lo punya waktu lima menit. Nggak lebih.”
“ Tirta udah jujur ya sama lo?” tanya Nando yang masih betah berdiri di ambang pintu. Mendadak ia memamerkan wajah seriusnya. Sangat serius hingga membuat kening Medina berkedut heran.
“ Jujur soal apa?” Medina pura – pura bego’, padahal jelas ia sangat tahu apa maksud dari ucapan Nando.
Tapi...tahu darimana dia? Apa Nando punya indra ke enam yang dengan begitu mudah membaca pikirannya? Ah...nggak mungkin.
Atau...Nando sudah mengetahuinya lebih dulu?
“ Na...lo jangan pura – pura bego’. Diamnya lo setelah ketemu dia tadi, buat siapapun curiga kalau ada hal yang nggak seharusnya lo dengar dari dia. Dia suka sama lo. Benarkan?” Nando memilih duduk di kursi rotan yang juga ada di dekat Medina.
“ Apa Nina juga punya kecurigaan yang sama kayak lo?” tanya Medina cemas. Ia tak ingin persahabatan mereka hancur, hanya karena mantan kekasih sahabatnya itu juga menyukainya.
Nando menggeleng,” Kayaknya nggak. Kenapa? Lo takut kalau Nina bakal sakit hati?”
“ Gue nggak mau hal bodoh kayak gitu menghancurkan persahabatan gue.”
Nando tersenyum kecil,” Hal bodoh? Sejak kapan cinta jadi satu hal yang bodoh?”
Medina terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Kata – kata tadi terucap begitu saja olehnya.
“ Apa perasaan gue ke lo, juga sebodoh itu di mata lo?” tanya Nando lagi.
“ Lo percaya?” Medina kembali ke topik awal. Ia tak ingin turut larut dengan pembahasan yang di ciptakan Nando, yang hingga saat ini dia sendiri masih bingung mendeskripsikannya.
“ Soal Tirta?” tanya Nando memastikan. “ Sebenarnya gue nggak mau percaya, tapi hati nggak bisa bohong Na.” Nando beranjak dari posisinya dan berjalan menuju undakan tangga teras dengan kedua tangan di jejalkan di saku swetar hitam yang ia kenakan.
“ Asal lo tahu, Tirta adalah satu – satunya orang yang sukses membuat gue takut akan satu hal.”
“ Apa?”
“ Kehilangan lo.”
●●●
JabLai cOY memberi reputasi
3
Kutip
Balas