Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dumpsysAvatar border
TS
dumpsys
Merindukan Kematian
Merindukan Kematian


Bab 1 Meningitis


Tanggal 2 Februari saat kuputuskan untuk menyerah dan mengikuti saran ayahku: dirawat di rumah sakit! Setelah lebih dari sepekan kurasakan nyeri kepala yang luar biasa, kondisi kesehatanku semakin menurun. Aku lebih memilih tidur sepanjang hari daripada memaksakan diri untuk makan di tengah derita nyeri.

Nyeri kepala yang kurasakan ini seperti ditusuk jarum berkali-kali di banyak titik secara bertubi-tubi. Awalnya nyeri itu terasa mencengkram bagian belakang kepala. Kupikir yang kuderita itu anemia, tetapi warna kelopak mata yang merah dan tak pucat tidak menunjukkan penyakit tersebut. Nyeri kepala ini berlangsung sepanjang hari selama 10 hari. Karena nyeri yang teramat sangat inilah aku merasa mual hingga muntah setiap perut diisi makanan. Ketika aku merasa tak mampu lagi bertahan dan semakin lemas karena tubuh tak mendapat asupan, aku pun berangkat bersama suami ke rumah sakit untuk rawat inap.

Ruang UGD penuh sekali dengan pasien. Berbagai macam keadaan mereka. Beberapa dokter yang mendapat giliran piket jaga menginterogasi satu per satu untuk mengindikasi penyakit yang diderita. Aku sendiri menunggu tindakan setelah tes uji yang dilakukan di lab rumah sakit.

Tes pertama yang kulakukan adalah uji darah. Setelah hasil keluar, sedangkan dugaan pertama tidak terbukti, tes kedua dilakukan untuk menguji dugaan kedua. Tes kedua yang kulakukan adalah pengambilan sumsum tulang belakang dengan metode lumbal pungsi.

Jika pengambilan darah merupakan tes biasa yang sering kulakukan sebelumnya, maka pengambilan sumsum tulang merupakan tes yang baru kuketahui. Berarti penyakit yang kuderita sekarang berbeda dengan penyakit yang pernah kuderita dulu: demam berdarah, radang tenggorokan, dan tipes.

Ternyata hasil tes keluar esoknya. Setelah semalaman berada di ruang UGD yang dingin dan menyaksikan banyak pasien menunggu perolehan ruangan, akhirnya aku mendapat ruang rawat inap kelas dua. Aku divonis terkena penyakit meningitis, suatu penyakit yang menyerang meninges atau lebih dikenal sebagai selaput otak yang disebabkan bakteri tuberculosis/tubercle bacillus(TB).

Selama dirawat oleh dokter ahli syaraf di sana, aku diberikan 4 jenis obat secara rutin: rifampicin, isoniazid, ethambutol, dan pyrazinamide. Keempatnya merupakan obat umum yang diberikan untuk membasmi bakteri TB. Selain obat ini, aku pun mengonsumsi obat penguat lambung serta kostikoroid yang disuntikkan melalui cairan infus dan multivitamin penguat imunitas tubuh.

Penyakit yang disebabkan bakteri TB umumnya menyerang organ paru-paru yang ditunjukkan oleh batuk yang terus-menerus. Akan tetapi, dalam beberapa kasus bakteri TB yang giat mencari jalan menuju organ lain dapat menyerang organ tubuh lain tersebut. Ada yang menyerang tulang, kelenjar, kulit, dan selaput otak seperti yang kualami.

Penyakit meningitis TB merupakan penyakit TB yang agak lama penyembuhannya, tetapi penularannya tidak massif seperti halnya TBC yang menyerang paru-paru. Hal ini disebabkan lokasi perkembangbiakan bakteri tersebut agak terisolir. Bagaimanapun otak merupakan organ yang paling terlindungi dan akses kesana sangat terbatas. Berbeda dengan paru-paru yang berhubungan dengan jalur pernafasan sehingga bakteri dapat ditularkan melalui batuk dan bersin.

Bukan hanya aku yang kurang beruntung mendapat penyakit syaraf ini. Di ruang rawat inap itu aku bersama dua pasien lain yang juga menderita penyakit syaraf. Pasien yang satu terkena stroke sehingga sebagian tubuhnya tak dapat digerakkan. Pasien lainnya terkena tumor otak sehingga penglihatannya terganggu dan ia sering tak sadarkan diri jika tengah alami nyeri tak tertahankan.

Pasien pertama berprofesi sebagai guru yang hampir pensiun. Ia didampingi oleh suaminya yang juga seorang guru yang telah pensiun 3 tahun lalu. Pasien ini mengeluhkan tiba-tiba suatu pagi ia tak mampu berdiri dan jatuh di dalam kamar mandi. Saat dicek kadar gula dan tekanan darahnya ternyata memang cukup tinggi sehingga ia memilih untuk rawat inap hingga pulih.

Pasien kedua berprofesi sebagai ibu rumah tangga dengan tiga orang anak. Anak pertama dan keduanya yang perempuan telah bersuami dan memiliki anak yang masih kecil-kecil. Meskipun demikian, mereka berdualah yang paling rajin bergiliran merawat sang ibu. Jika malam datang, suami ibu pengidap tumor ini pun mendapat giliran jaga. Sesekali bersama anak ketiga mereka yang laki-laki.

Aku sendiri dijaga bergiliran oleh bibi, ayah, dan ibu. Bibi dan ibu menjagaku siang hari, sedangkan ayah menjagaku malam hari. Jika datang malam sabtu dan minggu, suami sengaja menjenguk dan menjagaku. Suamiku bekerja di Jakarta selama 5 hari dan berakhir pekan bersama istri di rumah sakit dan terkadang berakhir pekan dengan anak kami di rumah mertuanya.

Dengan perasaan yang remuk redam aku menyapih anak kami, Ahmad, di usianya yang baru 1.5 tahun. Aku tak diperkenankan untuk menyusuinya karena dikhawatirkan bakteri TB menginfeksi si kecil melalui asi. Hampir dua pekan asi terkumpul di kelenjar susu sehingga payudaraku menjadi sangat keras dan terasa nyeri. 

Aku pun sering menangis, tetapi bukan karena rasa nyeri yang membuatku sedikit meriang itu, melainkan rindu anakku berada di pangkuanku untuk menyusu. Aku berusaha memendam rindu agar ia tak rewel di rumah bersama aki, enin, dan amah-nya. Akan tetapi, rasa rindu itu seringkali meradang dan mau tak mau membuatku memboroskan air mata. 

Maafkan bunda, Nak, maafkan..

Quote:
Diubah oleh dumpsys 13-08-2018 01:34
Mardjoko
Mardjoko memberi reputasi
4
6.3K
26
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
dumpsysAvatar border
TS
dumpsys
#14
Bab 4
Ketakutan itu...


Entah sejak kapan bayangan tentang kematian yang tidak menyenangkan, bahkan bayangan menyedihkan dan menyakitkan, terbayang dalam benak. Aku ingat ada satu artikel tentang kematian su'ul khatimahyang diceritakan seorang pengurus jenazah kepada seorang ustadz. Ustadz tersebut membagikan ceritanya ke media sosial.

Penampakan jenazah sangat mengerikan: seolah gosong menghitam. Saat jenazah dimandikan ia berbau amat sangat busuk. Saat diurut yang keluar bukan sekedar kotoran yang keluar lewat mulut, melainkan cacing belatung yang teramat banyak. Tak ada seorang anggota keluarga pun yang mau mengurusi jenazahnya. Anak-anak yang sukses di negeri orang itu tak mau ikut memandikan terlebih menyalatkan ayah mereka. Bahkan istri tak mengizinkan jenazah suaminya diantar dengan mobil mewah miliknya sendiri. Akhirnya jenazah terpaksa dibawa mobil pengangkut sayur dari rekan pengurus jenazah sehingga baunya semakin tak sedap.

Belum selesai cerita memilukan ini terjadi. Tanah yang digali berkali-kali di berbagai lokasi selalu dipenuhi air dan anehnya saat jenazah diturunkan, ukuran galian selalu tidak cukup. Seolah bumi pun tak mau menerima jenazah tersebut dititipkan kepadanya. Dengan terpaksa jenazah dilipat paksa sehingga orang yang mendengar suara patahannya pasti merasa ngilu.

Sharing berakhir di sana. Entah bagaimana cerita lengkap saat malaikat maut menjemput dan bagaimana pula perjalanan alam kubur sang tokoh utama diawali pertanyaan dua malaikat penanya dalam kubur. Allahu a'lam.

Air mataku berderai-derai karena takut atas adzab-Nya pasca membaca kisah tersebut. Aku sungguh merasa tak punya amal yang selalu konsisten dalam kebaikan, bahkan tak ada satu jua pun amalan istimewa yang dapat kuandalkan untuk layak masuk ke dalam surga-Nya. Aku hanya punya air mata.

Bukan hanya itu. Ketakutan demi ketakutan lain pun menggangguku. Hal sesederhana kesunyian atau kegelapan atau kesendirian membuatku takut. Berita negatif di layar televisi ikut membuatku ciut. Kadang prasangka dan rasa tidak aman juga menekanku. Misalnya saat mobil yang kukendarai melewati jalan layang, kupikir jalan layang tersebut akan roboh menimpa mobilku. Atau saat masuk dalam kamar mandi, kubayangkan ada kabel terbuka yang menyentuh lantai yang basah sehingga listrik dapat menyengat tubuh yang lemah. Bahkan saat diam di kamar pun aku takut tertimpa gempa, banjir mendadak, ledakan vulkanis, dsb. Ketika didera ketakutan itulah aku menginsyafi bahwa perlindungan-Nya dari segala marabahaya adalah sangat berharga. Segala puji bagi Allah, alangkah kerdilnya rasa syukurku.

Hampir setiap malam aku takut untuk memulai tidur, untuk sekedar memejamkan mata, sekalipun rasa kantuk sudah menyapa. Aku khawatir tiba-tiba tak bisa menggerakkan anggota badanku, terlebih lagi aku benar-benar takut mati. Aku tak siap merasakan kesendirian sampai ditanya dua sosok malaikat yang entah akan berwujud indah atau mengerikan.

Suatu malam aku terbangun dan melihat suami dan anakku ada di sisiku. Aku pun menangisi kebahagiaan yang jarang sekali kusyukuri ini. Aku berharap jika aku terjaga dari pembaringanku di alam kubur kelak, aku senantiasa bermimpi ditemani keluargaku tertidur lelap. Semoga Allah mempertemukan dan menghimpun kembali kami di surga. Sungguh rasa takut terindah bagiku saat itu adalah takut ada di antara kami yang tak diselamatkan-Nya dari api neraka.

Puncak rasa takutku adalah saat menghadapi Jumat terakhir Ramadhan. Aku benar-benar takut jika doa yang pernah kudengungkan makbul. Lantas bagaimana aku mampu menghadapi kematian? Tidak, tidak sekarang, Rabbi. Beri aku waktu lebih untuk memperbaiki diri. Aku akui semua khilaf dan dosaku. Biarkan aku menebus mereka dengan amal baik terlebih dulu.

Setelah Jumat terakhir Ramadhan berlalu dengan keselamatan, aku pun bersyukur. Maka, mulai detik itu aku bertekad memperbaiki sikap-sikapku. Aku tak boleh menyiakan kesempatan yang Dia berikan kali ini.
0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.