- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#163
Quote:
PART 24
“ Medina!!”
Medina hampir saja menyelesaikan piramida kartunya sesaat sebelum teriakan Nina membuat konsentrasinya terpecah dan berhasil meruntuhkan semuanya.
Medina hanya mendengus kesal memandangi kartu – kartu aneka warna unik itu saling berjatuhan bak do-mi-no. Dan membuat meja kantin berantakan.
“ Apa’an sih?” kesal Medina saat Nina kini telah duduk persis di sampingnya.
“ Lo harus baca ini,” – Perintah Nina sambil menyodorkan sebuah majalah pada Medina.- “ Pengusaha Vegar Raditya sakit keras. Anak sulungnya di pertanyakan keberadaannya?” Nina membaca headline pada majalah dengan wajah yang teramat serius. Medina yang melihat hanya geleng – geleng tak percaya. Sejak kapan masalah orang lain jadi urusannya?
Dan ini bukan kali pertama Nina membahas mengenai masalah pengusaha tajir yang hartanya nggak akan habis tujuh turunan itu. Medina bosan.
“ Kok lo diem? Komentar apa kek. Secara nih ya, nama belakang lo dan Kak Adam itu sama persis dengan nama dia,” protes Nina mulai sensi lantaran Medina tak kunjung merespon.
“ Lah terus, karena nama gue dan Kak Adam persis sama dengan nama tu orang, gue juga harus repot gitu mikirin masalahnya dia? Masalah gue sendiri aja udah bejibun kalik, Nin.”
“ Lo nggak curiga gitu?”
“ Nina jangan mulai lagi deh,” Medina kembali mendirikan piramida dengan kartu – kartunya, ia tak ingin terlalu serius menanggapi topik obrolan Nina yang sudah sangat teramat sering ia dengar.
“ Na...mungkin ajakan dugaan gue bener,” ngotot Nina semakin menyebalkan bagi Medina. “ Kalau lo dan kak Adam itu anaknya yang hilang atau terbuang.” Sambung Nina.
Kata – kata yang persis sama yang sering ia ucapkan jika ia sudah mendapatkan berita terhangat dari pengusaha berumur yang 'katanya' masih terlihat tampan itu.
Medina menghela nafas panjang, ia menghentikan pergerakannya, dan tanpa sengaja kembali meruntuhkan piramid kartu yang sedang ia bangun,” Harus berapa kali sih gue bilangn gue dan kak Adam itu nggak punya hubungan apapun sama keluarga tajir itu. Nama yang sama nggak membuktikan apapun kalau kita anaknya dia, Ninaaaa....” Medina berusaha meredam amarahnya.
“ Tapikan-,”
“ Udah deh Nin. Saran gue lo mendingan berhenti deh baca majalah kayak begitu. Bikin otak lo geser kayaknya,”
“ Apa’an!! Otak lo noh yang geser lima inci,” sungut Nina tak kalah sebalnya. “ Kartu apa’an sih nih?” tanya Nina tanpa basa basi mengambil kartu yang ada di bagian paling bawah piramid. Membuat Medina hanya bisa merungut, karena piramidnya kembali roboh.
“ Lo maenin tarot? Dapat darimana?” tanya Nina penasaran.
“ Punyanya Tasya gue sita. Hari gini masih percaya aja sama ramalan. Mau – mau aja di bohongin,” terang Medina santai dan kembali fokus pada permainannya mendirikan piramid. Medina kurang kerjaan kayaknya.
“ Oh iya Na, kemaren gue liat kak Adam,”
“ Kak Adam? Kapan? Dimana?”
“ Kemaren. Di mall. Tapi...dia lagi sama tante – tante gitu. Cantik dan...kelihatan tajir gitu deh.”
“ Gue tahu kok. Itu pasti wanita yang sama yang gue lihat di toko buku.”
“ Lo kenal dia siapa?”
Medina menggeleng pelan. Walau ia tampak sibuk dengan kegiatannya, sejujurnya Medina sama ingin tahunya dengan Nina. Ia juga penasaran siapa wanita itu sebenarnya.
Dan harus di akui Medina merasa sangat familiar dengan wajahnya. Tapi...Medina tidak ingat kapan dan dimana ia pernah melihat wanita itu?
***
Langkah kaki dua orang cowok yang baru saja usai melaksanakan shalat dzuhur tampak kompak menuruni undakan tangga masjid kampus. Dan kemudian meraih sepatu masing – masing serta memakainya sambil berbincang mengenai hal apapun.
“ Ternyata benar yang orang bilang, shalat itu bikin hati kita tenang kak,” ucap Nando terlihat begitu bahagia. “ Kalau bukan karena ajakan lo, gue mungkin nggak akan sampe ke sini.”
Adam tersenyum tipis,” Bukan gue. Tapi karena Allah yang ngegerakin hati lo buat shalat.”
“ Iya juga ya,” ucap Nando sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“ Eh Kak...lo seriusan mau berangkat ke Jerman? Apa nggak mau di pikir – pikir lagi?” Entah kenapa Nando langsung mengalihkan pembicaraan.
“ Emang lo mau gue berubah pikiran?”
“ Ya...nggak gitu juga sih. Cuman kalau lo ngerasa berat buat pergi karena harus ninggalin Medina, gue sama papa juga ngerasa nggak enak.”
“ Gue serius.”
“ Beneran lo nggak apa – apa ninggalin Medina? Lo nggak khawatir gitu sama dia?” tanya Nando, tampaknya justru ia yang terlihat sangat khawatir.
“ Khawatir. Banget. Tapi gue yakin dia bisa jaga dirinya sendiri.”
Nando mengangguk mengerti, ia yakin Adam tentu lebih mengenal Medina daripada dirinya. Jadi Adam pasti lebih paham seberapa mandirinya Medina.
“ Ndo...lo kenal Tirta?” tanya Adam tiba – tiba meembuat Nando mengernyit heran.
Kenapa Adam tiba – tiba menanyakan rival beratnya itu? Iya...saingan dalam segala hal, mulai dari bidang akademis, olahraga, hingga urusan hati. Takdir seakan selalu membuat keduanya jatuh cinta pada gadis yang sama.
“ Kenapa tiba – tiba lo nanyain soal dia?” tanya Nando penasaran.
“ Benar dia temen SMA kalian?” tanya Adam lagi penuh selidik. Ia sungguh ingin tahu orang seperti apa Tirta di mata teman – temannya yang lain. Adam tak ingin punya prasangka buruk terhadap siapapun, termasuk pada Tirta. Walau sejujurnya pikiran buruk itu sudah muncul sejak pertemuan pertama mereka.
“ Iya bener.” Jawab Nando seadanya.
Topik tentang Tirta, adalah topik yang paling membosankan sekaligus menyebalkan untuk di bahas.
“ Sedekat apa dia sama Medina?”
“ Lo kenapa sih kak? Kok lo mendadak kepo gini sih?” heran Nando mendapati Adam tak seperti biasanya.
“ Nggak. Gue-,”
Woii...Kampungan!!
Pekikan seseorang spontan membuat keduanya menoleh. Kedatangan Tirta dengan wajah yang merah padam, membuat heran keduanya. Dan lagi...siapa yang dia panggil kampungan?
Bukk...
Tanpa banyak basa basi, Tirta begitu brutal melayangkan satu pukulan pada rahang tegas Adam. Adam yang belum siap dan tak menyangka sama sekali akan pukulan itu, tentu tak punya kesempatan untuk mengelak. Lelaki bermata teduh itu jatuh tersungkur di pelataran Masjid.
Spontan saja pertunjukan dadakan itu langsung menarik perhatian orang - orang untuk lebih mendekat ke arah mereka.
“ WOII...APA – APA’AN LO!!” hardik Nando turut bersiap memukul wajah menyebalkan Tirta saat ini. Namun niatnya tertahan karena ia telah lebih dulu di tahan oleh orang – orang yang berada di sekitar Masjid. Bukan hanya Nando, Tirta juga mendapat perlakuan yang sama. Keduanya kini hanya saling melempar tatapan tajam dan cacian.
“ LEPASIN GUE. ORANG SAIKO KAYAK DIA INI. Emang harus di hajar!” pekik Nando berusaha memberontak. Tapi cengkraman tangan orang – orang yang menahannya jelas lebih kuat.
“ Gue Saiko? Hahaha...Temen lo yang kampungan itu saiko!!” balas Tirta tak kalah berangnya.
“ CUKUP!!” teriakan Adam dengan subut bibir yang masih tertinggal bercak darah semakin menarik semua perhatian orang disana.
“ Lo berdua nggak malu apa? Berantem dan saling mencaci di hadapan rumah Allah?” tanya Adam seketika membuat tenang keadaan. Kehebohan para penonton dadakan yang ingin menyaksikan perkelahian antara Nando dan Tirtapun seakan tergerus oleh tatapan penuh amarah Adam.
“ Lo Ndo. Kenapa gampang banget lo kepancing emosi?” tanya Adam yang tak mendapat jawaban sama sekali dari cowok berkacamata itu. Nando hanya diam dengan kepala tertunduk.
“ Dan lo,” – Adam mengarahkan telunjuknya persis ke arah Tirta – “ Gue nggak tahu, gue punya masalah apa sama lo. Yang jelas apapun masalahnya, seharusnya lo bisa omongin baik – baik. Bukan kayak gini caranya.”
Tirta melempar senyum sinis, ia juga berusaha melepaskan diri dari tangan – tangan yang mencengkramnya. Dengan melempar tatapan segarang harimau, Tirta berhasil menciutkan nyali orang – orang itu, hingga mundur teratur membebaskan Tirta dari pertahanan yang mereka buat.
“ Sok alim banget sih lo? Najis!!”
Satu pukulan kembali mendarat di wajah Adam. Tirta menyerang Adam membabi buta dan tanpa perlawanan sama sekali. Bahkan tak ada yang berani untuk melerai. Nando yang sudah berkali – kali mencoba tetap gagal menghentikan aksi brutal Tirta. Tirta sudah seperti orang kesurupan.
“ Woii...lerai donk. Bantuin gue napa,” gerutu Nando berusaha menjauhkan Tirta dari Adam, dan hanya berakhir dengan tubuhnya yang mental dan mencium aspal. Berkali – kali ia mencoba tapi berkali – kali pula ia tumbang. Tenaga Nando tak sebanding dengan Tirta yang terlihat begitu kalap.
“ KAK ADAM!!” Teriakan kepanikan yaang berasal dari seorang perempuan menarik perhatian semua orang. Medina tampak berlari mendekati Adam dan Tirta.
“ TIRTA STOP!!” pinta Medina sambil menarik kaos yang di kenakan Tirta, tapi Tirta seakan tak peduli sama sekali.
“ TIRTA GUE BILANG STOP!”
“ ARGHHH...MINGGIR!!” Tirta yaang kian kalap tanpa sadar mendorong Medina hingga tubuh gadis itu membentur undakan tangga masjid.
Dan suara mengaduh Medina serta kepanikan orang – orang yang mengitari mereka sukses menghentikan aksi Tirta.
“ Medina,” Tirta melempar tatapan penuh penyesalan. Namun terlambat ia sudah berhasil melukai gadis itu.
Tirta bodoh.
●●●
JabLai cOY memberi reputasi
3
Kutip
Balas