- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#109
Quote:
PART 22
Gelisah. Itulah yang tengah di rasakan Adam saat ini. Waktu kian larut, jarum jam, menit dan detik seakan tengah berlomba mencapai angka 2.
Harusnya ia sudah berada di rumah dan tidur nyenyak sekarang, tapi karena Medina belum juga pulang, jangankan memejamkan mata bahkan hanya sekadar berbaring menghilangkan penat di sekujur tubuhnya saja, ia tidak bisa. Ia begitu mengkhawatirkan Medina.
Kedatangan Mobil sedan porsche berwarna putih yang kemudian berhenti tepat didepan gang sempit, tempat dimana Adam berada saat ini menarik perhatian Adam. Ia kenal betul siapa pemilik mobil mewah ini. Nando.
Tapi apa yang sedang Nando lakukan di sini? Mengingat jam dua pagi bukanlah waktu yang pantas untuk keluyuran nggak jelas.
“ Medina,” ucap Adam dengan helaan nafas lega saat melihat Medina keluar dari balik pintu penumpang.
Tapi...wajah cerah Adam mendadak sendu mendapati wajah masam Medina. Apa Medina masih sakit hati lantaran insiden di parkiran tadi siang?
“ Kak...gue balik ya!” seruan Nando yang bertahan duduk di balik kemudi membuat Adam menoleh.
“ Ok. Thanks ya.”
Nando mengangguk,” Assalammualaikum.”
“ Waalaikumsalam.”
Mobil yang dikemudikan Nando perlahan mulai melesat meninggalkan kedua kakak adik ini. Medina hanya diam dengan tatapan nanar mengarah pada Adam.
“ Kakak minta maaf. Kakak tahu kakak salah. Kakak udah nampar kamu. Kakak udah kasar sama kamu. Kakak udah keterlaluan karena udah berpikiran jelek sama kamu. Kakak benar – benar minta maaf. Mbak Ningrum tadi ke cafe dan dia udah jelasin semuanya. Kakak benar – benar nyesel Medina,” sesal Adam tanpa memberikan Medina sedikitpun kesempatan untuk berbicara.
“ Kamu boleh balas tampar kakak,” – Adam meraih tangan Medina dan meletakkannya tepat di pipinya.” Kamu boleh pukul kakak sesuka kamu,” suruh Adam lagi. Sorot mata Medina terlihat tidak tega memandangi Adam. Tapi ia masih memilih bungkam. Seakan ada hal yang sedang ia tata untuk ia ucapkan pada Adam.
“ Kenapa kakak nggak pernah cerita?” tanya Medina pada akhirnya membuat Adam melayangkan tatapan tak mengerti.
“ Kenapa kakak terima tawaran dari orang tuanya Nando?” – Medina meloloskan tangannya dari genggaman Adam. “ Kenapa kakak lebih pilih kerja di perusahaan itu dengan ikatan kontrak bertahun – tahun ketimbang kejar impian kakak? Kenapa kakak lepas impian kakak buat dapat gelar S3 dan jadi dosen terbaik di HARVARD hanya karena tawaran itu? Kenapa kak? Kakak udah nyerah buat kejar semua beasiswa itu? Kakak nggak percaya kesempatan buat raih itu semua masih ada?” tanya Medina bertubi – tubi seakan ingin terus menyudutkan posisi Adam.
Bukannya tidak bersyukur atas tawaran menarik yang didapat Adam, hanya saja ia ingin kakaknya berhasil mewujudkan impiannya. Ia tak ingin Adam berhenti begitu saja, setelah apa yang sudah diperjuangkan selama ini.
“ Aku Cuma mau kakak bahagia kak. Aku mau bukan Cuma aku yang bisa meraih mimpi aku. Tapi kakak juga.”
“ Medina...dengarin kakak,” – Adam melempar tatapan serius sambil memegangi pundak Medina – “ Keputusan kakak ke Jerman bukan semata – mata untuk bekerja di perusahaan keluarga Nando. Ada alasan penting yang mengharuskan kakak harus ke sana.”
“ Alasan apa?” Medina memandangi Adam dengan wajah penasaran.
“ Kakak belum bisa kasih tahu sekarang. Tapi...yang jelas ini untuk kebaikan kita berdua,” Adam menolak memberitahu. Banyak hal yang harus ia pertimbangkan sebelum akhirnya mengungkap semuanya pada Medina.
“ Kita berdua? Kalau gitu kakak harus kasih tahu aku.” Desak Medina
“ Nggak sekarang Medina.”
Medina mulai kesal, ia menepis kedua tangan kokoh Adam yang sejak tadi bertengger di pundaknya,” Jadi kakak mulai rahasia – rahasiaan sama aku? Iya?” tuding Medina dengan tatapan tajam.
“ Untuk sementara. Iya.”
Medina diam, masih dengan tatapan tajamnya, tangannya terkepal erat seakan emosi yang ada terkumpul jadi satu di sana. Tapi...akan sangat tidak lucu jika ia memukul kakaknya sendiri.
“ Aku capek. Aku mau pulang,” Medina memutuskan beranjak darisana. Daripada ia kalap dan memukul Adam lantaran emosi yang kian menggunung.
Melarikan diri dari obrolan menyebalkan ini sepertinya memang lebih baik untuk Medina.
***
Jemari lentik Medina terlihat begitu sibuk mengikat tali sepatunya. Hari masih pagi, tapi ia sudah rapi dengan berbalut Jilbab dan gamisnya. Hal yang tak biasa dilakukan oleh seorang tukang molor seperti dirinya.
“ Mau kemana kamu?” tanya Adam saat menemukan Medina yang hendak bersiap pergi entah kemana. Ia baru saja keluar dari kamar sambil memanggul ranselnya.
“ Kampuslah,” jawab Medina asal dan terdengar agak ketus. Ia masih kesal soal kejadian tadi malam.
“ Ini minggu,” Adam juga mulai sibuk mengenakan sepatunya.
Medina membuang muka, sadar akan kebodohannya sendiri, yang ngomong kadang nggak pake pikir, “ Mak-maksudnya mau ke toko buku yang ada di dekat kampus.” Medina tetap mempertahankan muka juteknya.
Barangkali dengan menjalankan aksi perang dingin seperti ini, Adam akan jujur tentang alasan utamanya ke Jerman.
“ Sama siapa?”
“ Tirta.” – Medina menyodorkan tangannya, berniat bersalaman dengan Adam untuk pamitan,- “ Aku pergi dulu.”
Adam tak menyambut tangan itu sama sekali,“ Telepon Tirta. Bilang sama dia kalau kamu pergi sama kakak,” Itu perintah bukan pilihan. Medina jelas tahu itu.
“ Kok gitu?” tanya Medina bernada protes,” Bukannya kakak juga punya tujuan sendiri. Kenapa malah jadi ikut – ikutan ke toko buku?”
“ Jangan membantah. Buruan telepon.” Perintah Adam lebih tegas lagi.
Medina yang sedang malas meladeni kemarahan kakaknya, hanya menurut. Tak sepenuhnya menurut, karena mulutnya terus saja komat kamit menggumamkan semua kekesalannya. Kakaknya itu terkadang suka berlebihan.
Usai menelepon Tirta, Medina dan Adam meninggalkan rumah dan menuju ke toko buku dengan sebuah angkot. Sepanjang perjalanan keduanya bungkam, tak ada percakapan apapun yang terjadi karena sepertinya mereka terlalu sibuk dengan pikiran masing – masing.
Dan pastinya Medina kini tengah sibuk berpikir rahasia seperti apa yang sebenarnya tengah di sembunyikan Adam? Kenapa Adam jadi ikut ke toko buku? Dan sebenarnya Adam itu mau kemana di hari libur seperti ini? Yang Medina tahu, Adam itu selalu menghabiskan waktu libur dengan beristirahat penuh di rumah. Tapi hari ini bahkan sejak satu tahun terakhir? Bahkan di saat embun belum beranjak dari dedaunan, Adam selalu tidak ada di rumah setiap minggu pagi? Entah kemana kakaknya itu pergi. Medina sering bertanya tapi selalu di jawab seadanya oleh Adam. Urusan kampuslah. Urusan sama pak Tirtolah. Urusan kerjalah. Hingga akhirnya Medina bosan sendiri bertanya.
“ Kakak sebenarnya mau kemana sih?” ketus Medina saat mereka sudah tiba di toko buku. Aroma menyeruak dari deretan buku – buku yang berbaris rapi, langssung menyerobot indra penciuman siapapun yang ada di sini.
“ Nemenin kamu ke toko bukulah,” jawab Adam sambil menyisir setiap rak buku, berharap menemukan buku yang akan menarik minat bacanya. “ Kamu mau cari buku apa? Biar kakak bantu cari’in.”
Medina mencebik, ia kan sedang mengibarkan bendera perang dengan kakaknya. Tapi kenapa kakaknya terlihat cuek – cuek saja. Apa muka kecut dan ucapan ketus Medina belum cukup jelas menunjukkan rasa kesalnya pada Adam? Atau Adam yang memang tak ingin bertengkar lagi?
“ Nggak usah! Aku. Bisa. Sendiri.” Medina bergegas pergi meninggalkan Adam. Bukannya ia tidak ingin di bantu, hanya saja dari awal ia memang tak berniat ke sini. Apa yang ia katakan di rumah tadi hanya ucapan tanpa rencana. Karena sebenarnya ia hanya ingin keluar rumah demi menghindari kakaknya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Menyebalkan.
Tapi...berhubung ada di sini, sekalian aja cari novel baru buat nambah – nambahin koleksi di rumahnya. Medina terus menyusuri rak buku yang berjejer rapi novel – novel best seller.
Melihat novel – novel itu Medina merasa semakin terpacu untuk menulis. Ia juga ingin saat ke toko buku, bukan hanya novel dari penulis lain yang bisa ia lihat. Tapi juga novel karyanya.
Sayang...tak semudah itu mewujudkannya, ada begitu banyak hal dan rintangan yang harus ia hadapi. Medina sadar itu adalah bagian dari proses perjuangan itu sendiri, atau...itu justru suatu pertanda bahwa ia tidak pantas?
Ah...kenapa ia jadi minder dan patah semangat seperti ini? Bukannya Adam selalu meengingatkan, bahwa siapapun pantas bermimpi dan meraihnya, tinggal terserah Allah saja yang mengizinkan atau tidak. Karena sebesar apapun mimpimu, seindah apapun itu, jika Allah berkata itu bukan yang terbaik untukmu, maka Allah akan menggantikannya dengan hal yang labih baik dan lebih dari pantas untuk kamu perjuangkan.
Ngomong – ngomong soal Adam. Ada dimana laki – laki itu sekarang?
“ Sedang apa kamu di sini?” tanya seorang wanita yang sukses mengagetkaan Adam yang tengah asyik membaca sinopsis pada sebuah buku.
Melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang, Adam membuang muka. Ia menyimpan kembali buku di raknya dan berniat meninggalkan wanita dengan dandanan glamour itu, yang tak lain adalah ibunya sendiri.
“ Adam...mama sedang bicara sama kamu.”
Adam menghentikan pergerakannya, dan berbalik menatap ibunya.
" Buat apa kamu nemuin Pak Wahyu selama setahun ini?" tanya Mama membuat Adam sedikit terkejut. Bagaimana ibunya bisa tahu jika ia sering menemui mantan asisten ayahnya itu selama setahun terakhir? Bukankah sejak satu tahun lalu, mamanya itu ada di Australia bersama sang ayah?
" Kamu mau minta pak Wahyu buat bawa dia pulang?" tanya Mama kian menyudutkan Adam.
Adam memperhatikan keadaan sekitar, berharap Medina tidak menyaksikan pembicaraan mereka.
" Ma, kita bicara di tempat lain. Adam nggak mau jadi tontonan di sini."
Adam beranjak pergi lebih dulu, keluar dari toko buku. Mama hanya mengekori dengan wajah penuh kekesalan. Entah apa yang di lakukan Adam hingga berhasil memancing kemarahan wanita berusia 45 tahun itu.
Tanpa di sadari keduanya, Medina sempat melihat Adam berbicara dengan ibunya. Tapi sepertinya Medina tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, karena posisi mereka cukup jauh. Hingga akhirnya keduanya pergi dan sukses meninggalkan pertanyaan besar di kepala Medina.
Wanita itu siapa?
●●●
Diubah oleh riani14 13-05-2018 13:34
JabLai cOY memberi reputasi
3
Kutip
Balas