- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#101
EPISODE 7 : DIA DATANG LAGI.....
Quote:
Aku tertidur dalam gelisah. Suara berisik yang halus menyentuh gendang telingaku dengan tiba –tiba. Mata ku terbuka lebar menoleh ke samping ranjang. Arah dimana suara itu bersumber. Aku tersenyum kecut tatkala majalah yang kubaca sambil tiduran semenjak masuk kamar tadi telah jatuh dan terhampar di lantai. Majalah itu kugapai dengan malas dari ranjang. Lalu aku lemparkan ke atas meja.
Memang siang tadi kegiatan proyek KKN unutk memperbaiki saluran air bersih warga menghabiskan seluruh energi ku. Sesaat kulirik jam dinding yang menempel di tengah ruangan. Sudah lewat tengah malam lantas aku bermaksud melanjutkan tidur ku. Seraya menguap lebar kutarik selimut sampai ke batas leher. Ku gerakkan tubuh menyamping. Ku coba untuk memejamkan mata dan terlelap mengarungi alam mimpi. Akan tetapi, mata ku ini belum mau terpejam juga. Mengapa mendadak mataku sukar terpejam?!
Aku duduk di tepi ranjang. Dengkur Alit dan Nathan seakan berlomba di atas ku. Dengan resah kusulut sebatang rokok yang tinggal satu di dalam bungkus. Ku hisap rokok dalam –dalam ku hembuskan asap panjang –panjang dan perasaan nikmat mulai menggelayuti kedua kelopak mata.
Aku benar –benar hampir tertidur kembali waktu suara itu mengganggu daun telingaku. Suara berisik yang lebih keras. Bukan dari tepi ranjang. Terdengar agak jauh namun cukup jelas seperti suara jendela berderit. Disusul suara aneh seperti geraman yang sangat lirih. Berderit lagi seperti suara jendela yang ditutup dengan pelan –pelan. Apakah Ida terjaga dari tidurnya?! Sepertinya tidak mungkin. Seharian tadi aku lihat dia sudah sangat kepayahan. Lalu jendela kamar mana yang terbuka?!
Pelan –pelan aku bangkit dari ranjang. Kakiku menyentuh sandal, tetapi cepat kusingkirkan. Tanpa sandal, aku bisa berjingkat dengan tidak menimbulkan suara. Di atas ranjang susun itu Alit dan Nathan sudah terlelap bagai bangkai. Suara dengkurnya seakan berlomba. Siapa yang paling nyaring dan keras. Aku berjongkok di lantai. Aku raih tas ransel ku yang berada di bawah ranjang. Kubuka tas itu. Tanganku menyelusup ke dalam. Sebuah hulu pisau komando terpegang oleh tangan kanan ku. Pisau komando itu telah tergenggam erat. Cukup memperbesar nyali dan rasa percaya diri
Hati-hati, aku bergerak ke arah jendela kamar. Di sana, tertegun sesaat. Nafasku memburu. Mungkinkah suara – suara itu yang dimimpikan oleh Ida akan berulang kembali? Kalau ya?! Sekaranglah kesempatan untuk menyingkapkan tabir yang penuh tanda tanya itu. Pelan sekali, tangan kiri kuangkat, lalu ujung jari telunjuk kuselusurkan ke pinggir tirai jendela, lalu lebih pelan lagi menggesemya.
Sedikit demi sedikit. Setelah memperoleh celah, aku mengintai ke luar. Gelap. Gelap sekali. Kutajamkan lagi pandangan mata. Rupanya pohon sawo di pekarangan rumah tetangga sebelah, agak menutupi cahaya rembulan. Mataku kemudian menangkap bayangan daun jendela kamar tidur Ida. Tertutup. Aku melihat lebih ke atas. Dalam siraman cahaya rembulan yang mengintai pula lewat kerapatan daun sawo, tampak ventilas jendela, kelam dan hitam. Aku jadi teringat pesan gadis itu tadi sore.
Sedang waktu belum terlalu malam tadi, sehabis makan bersama. Ida telah berpesan:
“ Tolong isi penuh minyak pelita itu Zul. Aku tidak mau tengah malam nanti lampu mati di kamarku “
Pesannya kupatuhi, minyaknya sempat ku tambah dan sumbunya ku besarkan. Dan kini, lampu di kamar tidur Ida, padam! Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Selama beberapa saat, aku tertegun kebingungan. Pikiranku buntu. Lalu, tanpa bisa ditahan lagi kakiku melangkah panjang namun masih tetap agak berjingkat ke arah pintu. Kubuka perlahan-lahan. Tiba di koridor luar, rembulan yang bersinar terang merembes dari sela –sela venilasi, namun bayangan bulan empat belas hari yang agak pucat itu mendatangkan perasaan ganjil di dalam dada. Masuk ke ruang tengah, kutemui suasana sepi.
Lampu minyak di atas meja makan, padam juga. Padahal masih menyala waktu kutinggalkan tak sampai dua jam yang lalu. Mata kubiasakan dengan bayangan gelap lantas melangkah di antara kursi meja makan dengan tembok. Di depan kamar kepala desa, aku tertegun seketika. Pintu terbuka. Lampu di dalam menyala. Kecil. Namun cukup terang untuk bisa melihat suasana di dalamnya. Ranjang kosong. Tak ada gerakan. Tak ada suara.
Apakah Pak Jampadi keluar rumah tengah malam begini ? Hatiku berbisik curiga!
Hati –hati kaki ku melangkah berjingkat –jingkat ke arah kamar Ida. Pisau komando masih tergenggam erat di tangan kanan ku. Akhirnya, aku sampai juga di depan pintu kamar itu. Ku letakkan telinga di daun pintu. Mula –mula tidak terdengar apa – apa. Kemudian .......
Jantungku berdenyut kencang. Suara itu....aku seperti tidak asing dengan suara itu. Suara setengah menggeram halus.
Grrrrr... Grrrrr... Grrrrr...
Darah disekujur tubuhku mengalir deras. Aku gemetaran merasakan ketakutan dan kecemasan yang belum pernah aku alami sebelumnya. Setengah nekat dan memberanikan diri. Kaki ku bergerak. Sekali tendang pintu itu terdobrak terbuka!
Bayangan samar menerpa kamar yang gelap gulita itu. Sesosok tubuh hampir setinggi manusia berwarna kelabu kehitaman dengan tsekujur tubuh penuh bulu berdiri di samping tempat tidur. Seraut wajah itu mengingatkan ku pada tiga ekor mahkluk yang menghadangku sebelum tiba di desa itu. Mata merah kecil menyala itu dengan garang menatap ke arahku. Sekilas. Tapi mengapa mahkluk itu berdiri dengan kedua kaki seperti manusia?!
Ida terbangun oleh suara dobrakan pintu disusul oleh Mima dan Ajeng. Ketiganya menjerit dengan histeris. Sosok tubuh penuh bulu itu menggeram sesaat. Bayangan itu dengan cepat bergerak melompat ke arah jendela yang terbuka. Suara geraman dan lolongan lirih yang memilukan. Tanpa memperdulikan Ida, Mima dan Ajeng yang tampak tegang terpaku di atas ranjangnya. Aku berlari ke arah jendela kemudian meloncat keluar.
Sosok tubuh itu tampak samar –samar seperti karung kehitam –hitaman. Berlari ke arah pinggir desa. Aku menyusulnya. Tidak kuperdulikan lagi kaki ku tergores semak belukar yang berduri. Bayangan itu berlari sangat cepat. Menerobos hamparan ladang yang ditumbuhi singkong. Sosok bayangan itu telah berada di tepi hutan dan tinggal beberapa meter lagi di depan ku. Pikiranku cepat bekerja. Sekali mahkluk itu masuk hutan, jejaknya akan lenyap sama sekali.
Pisau komando aku pegang erat dan siap aku lemparkan. Setelah sebelumnya kaki kanan ku menjejak tanah tiga kali. Seperti yang dilakukan oleh orang tua di desa sebelah yang berhasil membunuh salah satu dari anjing jadi –jadian itu. Pisau kuangkat tinggi –tinggi, ancang –ancang kupasang lalu aku siap melempar.
Memang siang tadi kegiatan proyek KKN unutk memperbaiki saluran air bersih warga menghabiskan seluruh energi ku. Sesaat kulirik jam dinding yang menempel di tengah ruangan. Sudah lewat tengah malam lantas aku bermaksud melanjutkan tidur ku. Seraya menguap lebar kutarik selimut sampai ke batas leher. Ku gerakkan tubuh menyamping. Ku coba untuk memejamkan mata dan terlelap mengarungi alam mimpi. Akan tetapi, mata ku ini belum mau terpejam juga. Mengapa mendadak mataku sukar terpejam?!
Aku duduk di tepi ranjang. Dengkur Alit dan Nathan seakan berlomba di atas ku. Dengan resah kusulut sebatang rokok yang tinggal satu di dalam bungkus. Ku hisap rokok dalam –dalam ku hembuskan asap panjang –panjang dan perasaan nikmat mulai menggelayuti kedua kelopak mata.
Aku benar –benar hampir tertidur kembali waktu suara itu mengganggu daun telingaku. Suara berisik yang lebih keras. Bukan dari tepi ranjang. Terdengar agak jauh namun cukup jelas seperti suara jendela berderit. Disusul suara aneh seperti geraman yang sangat lirih. Berderit lagi seperti suara jendela yang ditutup dengan pelan –pelan. Apakah Ida terjaga dari tidurnya?! Sepertinya tidak mungkin. Seharian tadi aku lihat dia sudah sangat kepayahan. Lalu jendela kamar mana yang terbuka?!
Pelan –pelan aku bangkit dari ranjang. Kakiku menyentuh sandal, tetapi cepat kusingkirkan. Tanpa sandal, aku bisa berjingkat dengan tidak menimbulkan suara. Di atas ranjang susun itu Alit dan Nathan sudah terlelap bagai bangkai. Suara dengkurnya seakan berlomba. Siapa yang paling nyaring dan keras. Aku berjongkok di lantai. Aku raih tas ransel ku yang berada di bawah ranjang. Kubuka tas itu. Tanganku menyelusup ke dalam. Sebuah hulu pisau komando terpegang oleh tangan kanan ku. Pisau komando itu telah tergenggam erat. Cukup memperbesar nyali dan rasa percaya diri
Hati-hati, aku bergerak ke arah jendela kamar. Di sana, tertegun sesaat. Nafasku memburu. Mungkinkah suara – suara itu yang dimimpikan oleh Ida akan berulang kembali? Kalau ya?! Sekaranglah kesempatan untuk menyingkapkan tabir yang penuh tanda tanya itu. Pelan sekali, tangan kiri kuangkat, lalu ujung jari telunjuk kuselusurkan ke pinggir tirai jendela, lalu lebih pelan lagi menggesemya.
Sedikit demi sedikit. Setelah memperoleh celah, aku mengintai ke luar. Gelap. Gelap sekali. Kutajamkan lagi pandangan mata. Rupanya pohon sawo di pekarangan rumah tetangga sebelah, agak menutupi cahaya rembulan. Mataku kemudian menangkap bayangan daun jendela kamar tidur Ida. Tertutup. Aku melihat lebih ke atas. Dalam siraman cahaya rembulan yang mengintai pula lewat kerapatan daun sawo, tampak ventilas jendela, kelam dan hitam. Aku jadi teringat pesan gadis itu tadi sore.
Sedang waktu belum terlalu malam tadi, sehabis makan bersama. Ida telah berpesan:
“ Tolong isi penuh minyak pelita itu Zul. Aku tidak mau tengah malam nanti lampu mati di kamarku “
Pesannya kupatuhi, minyaknya sempat ku tambah dan sumbunya ku besarkan. Dan kini, lampu di kamar tidur Ida, padam! Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Selama beberapa saat, aku tertegun kebingungan. Pikiranku buntu. Lalu, tanpa bisa ditahan lagi kakiku melangkah panjang namun masih tetap agak berjingkat ke arah pintu. Kubuka perlahan-lahan. Tiba di koridor luar, rembulan yang bersinar terang merembes dari sela –sela venilasi, namun bayangan bulan empat belas hari yang agak pucat itu mendatangkan perasaan ganjil di dalam dada. Masuk ke ruang tengah, kutemui suasana sepi.
Lampu minyak di atas meja makan, padam juga. Padahal masih menyala waktu kutinggalkan tak sampai dua jam yang lalu. Mata kubiasakan dengan bayangan gelap lantas melangkah di antara kursi meja makan dengan tembok. Di depan kamar kepala desa, aku tertegun seketika. Pintu terbuka. Lampu di dalam menyala. Kecil. Namun cukup terang untuk bisa melihat suasana di dalamnya. Ranjang kosong. Tak ada gerakan. Tak ada suara.
Apakah Pak Jampadi keluar rumah tengah malam begini ? Hatiku berbisik curiga!
Hati –hati kaki ku melangkah berjingkat –jingkat ke arah kamar Ida. Pisau komando masih tergenggam erat di tangan kanan ku. Akhirnya, aku sampai juga di depan pintu kamar itu. Ku letakkan telinga di daun pintu. Mula –mula tidak terdengar apa – apa. Kemudian .......
Jantungku berdenyut kencang. Suara itu....aku seperti tidak asing dengan suara itu. Suara setengah menggeram halus.
Grrrrr... Grrrrr... Grrrrr...
Darah disekujur tubuhku mengalir deras. Aku gemetaran merasakan ketakutan dan kecemasan yang belum pernah aku alami sebelumnya. Setengah nekat dan memberanikan diri. Kaki ku bergerak. Sekali tendang pintu itu terdobrak terbuka!
Bayangan samar menerpa kamar yang gelap gulita itu. Sesosok tubuh hampir setinggi manusia berwarna kelabu kehitaman dengan tsekujur tubuh penuh bulu berdiri di samping tempat tidur. Seraut wajah itu mengingatkan ku pada tiga ekor mahkluk yang menghadangku sebelum tiba di desa itu. Mata merah kecil menyala itu dengan garang menatap ke arahku. Sekilas. Tapi mengapa mahkluk itu berdiri dengan kedua kaki seperti manusia?!
Ida terbangun oleh suara dobrakan pintu disusul oleh Mima dan Ajeng. Ketiganya menjerit dengan histeris. Sosok tubuh penuh bulu itu menggeram sesaat. Bayangan itu dengan cepat bergerak melompat ke arah jendela yang terbuka. Suara geraman dan lolongan lirih yang memilukan. Tanpa memperdulikan Ida, Mima dan Ajeng yang tampak tegang terpaku di atas ranjangnya. Aku berlari ke arah jendela kemudian meloncat keluar.
Sosok tubuh itu tampak samar –samar seperti karung kehitam –hitaman. Berlari ke arah pinggir desa. Aku menyusulnya. Tidak kuperdulikan lagi kaki ku tergores semak belukar yang berduri. Bayangan itu berlari sangat cepat. Menerobos hamparan ladang yang ditumbuhi singkong. Sosok bayangan itu telah berada di tepi hutan dan tinggal beberapa meter lagi di depan ku. Pikiranku cepat bekerja. Sekali mahkluk itu masuk hutan, jejaknya akan lenyap sama sekali.
Pisau komando aku pegang erat dan siap aku lemparkan. Setelah sebelumnya kaki kanan ku menjejak tanah tiga kali. Seperti yang dilakukan oleh orang tua di desa sebelah yang berhasil membunuh salah satu dari anjing jadi –jadian itu. Pisau kuangkat tinggi –tinggi, ancang –ancang kupasang lalu aku siap melempar.
Quote:
Pada saat itulah, sebuah benda tumpul menghajar tengkuk ku. Sangat telak. Sakit sekali. Aku terpekik, pandangan mata seketika berkunang –kunang. Tubuhku terhuyung lalu jatuh terkapar di tanah. Entah berapa lama aku tidak sadarkan diri.
Tatkala aku membuka mata beberapa orang penduduk yang semuanya laki –laki dan juga satu wajah yang sangat aku kenal. Wajah Danny. Salah satu dari mereka membantuku untuk duduk di atas balai –balai dari anyaman bambu. Aku berusaha duduk dangn susah payah. Kuusap –usap tengkuk yang terasa nyeri.
Ketika diantarkan Danny sampai ke depan rumah Pak Jampadi, aku bertanya penuh keheranan padanya.
“ Mengapa tak kau biarkan kuceritakan pada mereka ? “
“ Cerita apa?” Danny bertanya dengan ketus.
“ Cerita tentang asu ajag? Anjing jadi –jadian?!”
Kata -katanya terkesan menyindir dengan sinis.
“ Ya ! “ Jawabku pendek.
Ia terdiam sesaat. Lantas tiba –tiba tertawa.
“ Paling –paling yang kau lihat itu maling Zul”
“ Tetapi Dann yang kulihat itu.....”
“ Omong kosong! “
“ Sungguh. Tadi aku melihat anjing dan bentuknya aneh sekali.....”
“ Sekali kau buka mulut hal itu pada penduduk desa ini. Percayalah! Aku tidak menjamin keselamatan kalian berenam di desa ini “
“ Ha ?! “
“ Terkejut ?! “
“ Sudahlah. Pergilah tidur dan....besok hari Minggu. Santai sejenak lah. Aku mengajak kalian semua untuk ke Pantai Watuwalang. Sekedar menghilangkan penat dan suntuk “
Tadinya aku ingin menceritakan tentang adanya seseorang yang berusaha menghalang –halangiku melempar pisau mahkluk itu pada Danny. Tetapi, sepertinya mata anak itu tidak suka jika akan berbicara soal anjing itu.
Cepat aku mengangguk dan berkata,
“ Tergantung teman –teman yang lain dan lebih penting Ida ikut serta “
“ Teman –teman mu pasti mau. Dan Ida – mu itu aku yakin akan senang sekali “
“ Bagaimana?! “
Aku hanya mengangkat bahu. Danny sudah menjauh sambil sesekali senandung keluar dari mulutnya. Seraya geleng –geleng kepala dan mengurut tengkuk yang masi agak sakit. Aku memasuki pekarangan rumah itu. Aneh. Tadi aku keluar lewat jendela kamar menyusul mahkluk itu. Tetapi kini pintu depan rumah terbuka lebar. Nyala lampu menerobos keluar. Penuh tanda tanya aku melangkah masuk. Dan melihat Pak Jampadi, Ida, Mima, Nathan, Alit serta Ajeng duduk di kursi ruang tengah. Wajah mereka sangat tegang. Pak Jampadi memandangku dengan wajah lelah serta berkeringat.
“ Kau tidak apa –apa Nak?”
Aku hanya mengangguk lemah. Pandangan ku mengamati keenam kawanku satu persatu.
“ Maaf, mengganggu tidur kalian. Ayo kita kembali lagi ke kamar “
Mereka semua beranjak lalu membungkuk ke arah Pak Jampadi. Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum tipis. Waktu aku melewati temapt Pak Jampadi duduk, aku merasa yakin kalau laki –laki itu terus memandangiku dengan sorot mata yang tajam. Entah mengapa, tubuhku bergidik ngeri. Tatkala aku berdiri di depan kamar Ida. Gadis itu belum juga masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu itu dari luar. Gadis itu berdiri sangat dekat di hadapan ku. Perlahan ia mengecup bibirku dengan lembut kemudian memeluk ku seraya menangis tersedu –sedu.
Tatkala aku membuka mata beberapa orang penduduk yang semuanya laki –laki dan juga satu wajah yang sangat aku kenal. Wajah Danny. Salah satu dari mereka membantuku untuk duduk di atas balai –balai dari anyaman bambu. Aku berusaha duduk dangn susah payah. Kuusap –usap tengkuk yang terasa nyeri.
Ketika diantarkan Danny sampai ke depan rumah Pak Jampadi, aku bertanya penuh keheranan padanya.
“ Mengapa tak kau biarkan kuceritakan pada mereka ? “
“ Cerita apa?” Danny bertanya dengan ketus.
“ Cerita tentang asu ajag? Anjing jadi –jadian?!”
Kata -katanya terkesan menyindir dengan sinis.
“ Ya ! “ Jawabku pendek.
Ia terdiam sesaat. Lantas tiba –tiba tertawa.
“ Paling –paling yang kau lihat itu maling Zul”
“ Tetapi Dann yang kulihat itu.....”
“ Omong kosong! “
“ Sungguh. Tadi aku melihat anjing dan bentuknya aneh sekali.....”
“ Sekali kau buka mulut hal itu pada penduduk desa ini. Percayalah! Aku tidak menjamin keselamatan kalian berenam di desa ini “
“ Ha ?! “
“ Terkejut ?! “
“ Sudahlah. Pergilah tidur dan....besok hari Minggu. Santai sejenak lah. Aku mengajak kalian semua untuk ke Pantai Watuwalang. Sekedar menghilangkan penat dan suntuk “
Tadinya aku ingin menceritakan tentang adanya seseorang yang berusaha menghalang –halangiku melempar pisau mahkluk itu pada Danny. Tetapi, sepertinya mata anak itu tidak suka jika akan berbicara soal anjing itu.
Cepat aku mengangguk dan berkata,
“ Tergantung teman –teman yang lain dan lebih penting Ida ikut serta “
“ Teman –teman mu pasti mau. Dan Ida – mu itu aku yakin akan senang sekali “
“ Bagaimana?! “
Aku hanya mengangkat bahu. Danny sudah menjauh sambil sesekali senandung keluar dari mulutnya. Seraya geleng –geleng kepala dan mengurut tengkuk yang masi agak sakit. Aku memasuki pekarangan rumah itu. Aneh. Tadi aku keluar lewat jendela kamar menyusul mahkluk itu. Tetapi kini pintu depan rumah terbuka lebar. Nyala lampu menerobos keluar. Penuh tanda tanya aku melangkah masuk. Dan melihat Pak Jampadi, Ida, Mima, Nathan, Alit serta Ajeng duduk di kursi ruang tengah. Wajah mereka sangat tegang. Pak Jampadi memandangku dengan wajah lelah serta berkeringat.
“ Kau tidak apa –apa Nak?”
Aku hanya mengangguk lemah. Pandangan ku mengamati keenam kawanku satu persatu.
“ Maaf, mengganggu tidur kalian. Ayo kita kembali lagi ke kamar “
Mereka semua beranjak lalu membungkuk ke arah Pak Jampadi. Lelaki paruh baya itu hanya tersenyum tipis. Waktu aku melewati temapt Pak Jampadi duduk, aku merasa yakin kalau laki –laki itu terus memandangiku dengan sorot mata yang tajam. Entah mengapa, tubuhku bergidik ngeri. Tatkala aku berdiri di depan kamar Ida. Gadis itu belum juga masuk ke dalam kamar. Ia menutup pintu itu dari luar. Gadis itu berdiri sangat dekat di hadapan ku. Perlahan ia mengecup bibirku dengan lembut kemudian memeluk ku seraya menangis tersedu –sedu.
muhyi8813 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas