Dinamika politik menjelang hajat lima tahunan 2019 mulai menghangat. Tak hanya ribut "perang udara" antara kelompok kecebong dan kampret (hewan tak berdosa yang dipaksa berantem hehehe) di jagad maya, perang urang saraf kini bergulir di jalur darat. Pemakai kaus bertuliskan #2019GantiPresiden memarahi ibu-ibu berkaus #DiaSibukBekerja yang berujung berdebatan di lini masa, saat hari bebas kendaraan bermotor (car free day) beberapa waktu lalu.

Pertarungan masih mungkin berlanjut. Cebong dan kampret hanya akan berdamai bila Presiden incumbent Jokowi dan Prabowo Subianto berdamai, bergandeng tangan, naik ke "pelaminan" 2019. Lalu bagaimana nasib demokrasi kita?

Ya. Poros ketiga menjadi harapan masyarakat. Setidaknya publik "menu prasmanan" di Pilpres 2019. Hadirnya capres alternatif bukan untuk menggeser kekuatan Jokowi dan Prabowo, namun semata-mata menguji kualitas keduanya [atau bisa jadi bersama-sama] sebagai calon terkuat berdasarkan survei. 

“Menu” beragam tentu sangat menguntungkan lantaran memberikan ruang-ruang penilaian terhadap kandidat, selain membuka lebar arena kompetisi yang menjadi ukuran penting dalam demokrasi, selain partisipasi publik yang wajib ada.

Partai Demokrat mulai membuka diri [walaupun masih malu-malu] mengatakan kemungkinan bakal hadirnya porosnya ketiga di Pilpres mendatang. Selasa (8/5) kemarin, mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo bertemu Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Sayup-sayup terdengar, PAN juga tengah merancang adanya poros ketiga, tak menutup kemungkinan bekerja sama dengan Demokrat. Merujuk dari histori PAN yang memiliki hubungan baik dengan Cikeas. 

Bila bicara calon, Zulkifli menyatakan siap jadi capres. Bukan cawapres seperti baliho ketum-ketum partai pendukung Jokowi yang terkesan mencari aman. Dari Demokrat, juga ada Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, ada putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan lain-lain.

So, bagaimana menurut agan?

Sumber:

https://www.alinea.id/politik/demokr...tiga-b1Uzb9buX