EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
Quote:
Masuk kawasan Keraton Kesultanan Yogyakarta pada malam hari tidak semudah siang hari seperti berkunjungnya wisatawan. Berkat seorang abdi dalem bernama Sumitro sehingga Jatmiko, Parman dan Pak Burhan bisa masuk leluasa dalam lingkungan keraton. Sultan telah mendengar kekacauan yang ditimbulkan oleh iblis wanita yang nama aslinya Ganjarwungu itu. Sehingga beliau memerintahkan wakil dari kepolisian untuk bertemu dengan salah seorang sesepuh keraton.
Masjid Besar terletak di sebelah barat Alun-alun Lor. Bangunannya berbentuk pendopo besar dengan serambi cukup luas di sebelah depan. Seorang lelaki tua berkacamata, mengenakan surjan putih dan blangkon hitam di kepalanya, yang oleh Pak Burhan dipanggil dengan nama Pak Mitro mengantarkan ke tiga orang itu sampai di depan Masjid Besar. Sebelum masuk ke dalam bangunan dia melepaskan selop lalu meminta Burhan dan Jatmiko serta Parman membuka sepatu masing- masing.
Jatmiko melangkah di samping Burhan, paling belakang Parman berjalan mengikuti Pak Mitro. Di dalam bangunan mesjid tidak seorang pun kelihatan. Jatmiko tengah menghitung-hitung jumlah tiang kayu jati bulat penyanggah atap yang ada dalam bangunan Masjid Besar ketika lapat-lapat dia mendengar suara orang mengaji. Suara itu perlahan saja, tapi menimbulkan gema di seantero bangunan.
Di dekat sebuah tiang bulat kayu jati Pak Mitro duduk bersimpuh di lantai beralaskan karpet berwarna hijau. Dia memberi isyarat pada ketiga orang yang ada di belakangnya agar ikut duduk. Rupanya orang yang mengaji berada di balik tiang besar. Dari tempatnya duduk baik Jatmiko maupun Burhan ataupun Parman tidak dapat melihat orang itu. Dan sepertinya Pak Mitro, hanya bersikap menunggu, tidak berani menganggu. Jatmiko merasa pinggangnya seperti mau patah dan pantatnya terasa panas karena setelah menunggu sekian lama orang dibalik tiang besar baru mengakhiri kajiannya. Pak Mitro, dengan beringsut-ingsut bergerak mendekati tiang besar.
Lalu dia membungkuk memberi salam sambil mengulurkan tangan bersalaman dan mencium tangan orang di balik tiang. Kemudian kedua orang itu bercakap perlahan sekali dalarn bahasa Jawa. Tak selang berapa lama Pak Mitro memberi isyarat pada Burhan dan Jatmiko serta Parman untuk datang mendekat. Ketika Jatmiko, Parman bersama Burhan sampai di sebelah Pak Mitro, dekat tiang kayu jati besar bulat, untuk pertama kalinya Jatmiko melihat orang yang tadi hanya didengarnya suaranya.
Seorang lelaki tua berusia lebih dari delapan puluh tahun dengan kumis, janggut dan alis putih. Jatmiko ternganga keheranan. Lelaki tua itu lah yang ditemuinya tempo hari di kaki Gunung Kelir sedang angon itik. Dan tiba –tiba raib secara misterius. Orang tua itu tersenyum penuh arti melihat perubahan paras lelaki yang duduk di hadapannya itu.
Pak Mitro kemudian memberitahu ketiga orang itu bahwa orang tua yang duduk di depan tiang besar kayu jati adalah Ki Ageng Brajaguna, sesepuh Keraton Kasultanan Ngayojokarto Hadiningrat. Konon, lelaki tua ini bisa melakukan perjalanan waktu ke masa lalu. Sebenarnya, orang tua ini telah mengundurkan diri dari hiruk pikuk dunia tetapi Sultan berhasil membujuk dan meyakinkan beliau untuk sekedar memberi petunjuk untuk mengalahkan siluman wanita Ganjarwungu.
Pak Mitro kemudian merunduk menyalami Ki Ageng Brajaguna. Jatmiko maju mendekat, merunduk bersalaman dan mencium tangan orang tua itu. Ketika Jatmiko mencium punggung tangan Ki Ageng Brajaguna, dia mencium bau wangi sekali dan merasa hawa wangi itu merasuk masuk ke jalan pernafasannya hingga dadanya terasa sejuk dan lega. Diikuti oleh Burhan dan Parman melakukan hal yang serupa.
Lelaki tua itu mendeham beberapa kali. Lalu ia berkata,
“ Aku telah mendengar tentang Ganjarwungu yang telah bangkit dan menebar kekacauan dimana –mana. Sebenarnya, aku bisa saja turun tangan. Akan tetapi, aku sudah bersumpah untuk tidak ikut serta dalam carut – marut masalah dunia. Aku hanya ingin membantu sedikit saja “
“ Kemarilah..lebih mendekat “
Ki Ageng Brajaguna memberi isyarat dengan tangan agar Jatmiko lebih mendekat lagi. Sesaat Jatmiko hanya tertegun. Pak Mitro menepuk bahu sersan muda itu. Perlahan –lahan Jatmiko beringsut untuk maju lebih ke depan.
" Ulurkan tangan kirimu."
Jatmiko melakukan apa yang dikatakan Ki Ageng Brajaguna. Orang tua ini perhatikan telapak tangan Jatmiko. Matanya sesaat membesar lalu kepala diangkat menatap lelaki di hadapannya itu. Ki Ageng Brajaguna mendongak, pejamkan mata. Mulutnya berucap.
"Ganti, ulurkan tangan kanan."
Jatmiko ulurkan tangan kanannya. Begitu Jatmiko mengulurkan tangan kanan, Ki Ageng Brajaguna ulurkan pula tangan kanannya. Sebuah benda bulat dan hangat diletakkannya di atas telapak tangan Jatmiko.
"Pegang baik-baik, jangan sampai jatuh dan hilang. Simpan di saku jaket atau dimanapun itu terserah pada mu. Asalkan benda itu selalu ada di badan mu "
Ki Ageng Brajaguna lalu menarik tangannya kembali. Jatmiko perhatikan benda di atas telapak tangannya. Ternyata sebutir batu berwarna putih pekat sebesar telur burung dara.
“ Batu itu akan menyala berwarna biru jika di sekitar mu ada Ganjarwungu ataupun energi gaib yang kuat. Tentu kau sudah tahu senjata apa yang paling ampuh untuk mengalahkannya “
“ Bukankah tempo hari sudah aku beri tahu?! “
Jatmiko hanya mengangguk pelan. Sebenarnya sersan ini sama sekali belum tahu senjata ampuh yang dimaksud oleh Ki Ageng Brajaguna itu apa.
Pak Mitro tersentak kaget. Ia menatap ke arah Jatmiko. Lalu abdi dalem ini tersenyum sambil mengangguk –anggukan kepalanya.
"Terima kasih”
“ Satu hal lagi yang perlu kau ingat. Setelah Ganjarwungu berhasil kau kalahkan. Batu itu akan hilang dan kembali kepadaku “
" Nah, sekarang kalian pergilah "
Jatmiko mengucapkan terima kasih sekali lagi. Baru beberapa langkah berjalan, masih di dalam Masjid Besar itu, di belakang sana terdengar kembali suara Ki Ageng Brajaguna mengaji melantunkan ayat-ayat suci Al Qur'an.