- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#649
EPISODE 10 : PETUNJUK
Quote:
CUACA mendung gerimis ketika Phanter biru gelap itu berhenti di depan Pos pengawas proyek yang terletak di depan pintu masuk. Di depannya terlihat ratusan orang tengah sibuk dengan pekerjaannya masing –masing. Ada yang sedang menggali lubang untuk pondasi, di beberapa tempat terlihat beberapa orang berkelompok –kelompok tengah merajut besi untuk dipakai untuk rangka tulang bangunan.
Seorang lelaki paruh baya menjulurkan kepalanya dari jendela keluar dari pos. Begitu melihat ada mobil berhenti di depan pos. Jendela mobil samping kemudi terbuka separuh. Lelaki mengenakan jaket hitam terlihat disana. Menjulurkan kepala keluar dari mobil.
“ Pak saya ingin berbicara dengan pimpinan proyek ini “
“ Saya pimpinannya Pak. Tapi tolong mobilnya di parkir disana dulu “
Lelaki paruh baya itu menunjuk ke arah samping pos. Disitu ada dua mobil dan satu truk yang terparkir. Perlahan –lahan mobil Panther berwarna biru gelap itu meluncur ke arah area parkir. Dua orang keluar dari mobil. Mereka tidak lain Jatmiko dan Parman. Lelaki paruh baya tadi menunggu di dalam pos yang tidak terlalu luas.
Pos itu hanya terbuat dari papan kayu dan berlantaikan tanah yang diplester dengan semen tipis. Atapnya berupa seng. Sehingga menimbulkan suara berisik saat hujan mengguyur. Di tengah ruangan beberapa kursi terlihat mengelilingi meja kecil. Diatas meja itu seperangkat alat minum tertumpuk rapi. Sebuah tv tabung 21 inch berada di atas lemari kayu di sudut ruangan.
Begitu dua orang tamunya berada di ambang pintu. Lelaki ini mempersilahkan untuk masuk.
“ Silahkan masuk dan duduk. Maaf tempatnya berantakan “
Jatmiko dan Parman mengangguk. Di tariknya dua kursi. Lalu mereka duduk di sana.
“ Maaf, sebelumnya..bapak –bapak ini darimana?”
“ Perkenalkan kami dari kepolisian. Ini atasan saya namanya Pak Jatmiko. Dan saya sendiri Parman “
Jatmiko dan Parman bergantian mengulurkan tangan.
“ Narto....”
Sambut lelaki paruh baya tadi menyebutkan namanya.
“ Begini Pak Narto. Terkait kasus pembunuhan beberapa hari ini dan bahkan Edwin selaku arsitek dalam proyek ini juga menjadi salah satu korban. Saya ingin meminta keterangan dari Pak Narto “
Pak Narto membetulkan letak duduknya. Lelaki paruh baya ini mengangguk.
“ Baik Pak. Saya akan memberikan keterangan yang selengkap – lengkapnya. Demi pembunuh itu bisa ditangkap dan dihukum seberat –beratnya. Saya juga tidak menyangka Pak Edwin menjadi salah satu korban “
Paras lelaki itu menjadi sendu. Ada duka menggantung di pelupuk matanya.
“ Saya ingin bertanya Pak. Siapa yang pertama kali menemukan dan membuka peti itu?”
Pimpinan proyek yang terlah berusia hampir lima puluh tahun ini beberapa kali menyeka keringatnya dengan punggung tangan.
“ Gatra pak. Salah seorang pekerja kami “
“ Baiklah..Bisa kau panggilkan orang itu ?”
“ Sebentar Pak...”
Pak Narto setengah berlari –lari kecil meninggalkan ruangan itu. Tidak berapa lama kemudian ia masuk kembali ke dalam ruangan mengiringi seorang lelaki bertubuh tegap, berambut ikal. Dia Gatra, salah seorang pekerja yang pertama kali menemukan dan membuka peti hitam itu.
“ Silahkan duduk “
Jatmiko mempersilahkan Gatra untuk duduk.
“ Saudara yang bernama Gatra? “
“ Betul Pak “
Wajah Gatra sedikit tegang. Beberapa kali tampak ia menelan ludah yang tiba – tiba terasa pahit.
“ Saudara yang pertama kali menemukan dan membuka peti itu?”
Gatra mengangguk.
“ Coba kau ingat –ingat lagi di peti itu ada apa saja. Barangkali ada barang tertentu yang berada di dalam peti itu?! “
Gatra terdiam beberapa lamanya. Otaknya mencoba mengingat kembali sebuah peti hitam yang di dalamnya ada seorang mayat gadis dengan kondisi tubuh yang masih utuh.
“ Peti itu hitam. Sangat berat terbuat dari semacam kayu besi. Pada saat itu Pak Edwin memerintahkan saya untuk membuka. Setelah sebelumnya ditarik ke permukaan. Pada saat itu lah.........” Gatra menghentikan gumamannya.
“ Pada saat itu.... ada apa?!”
Parman setengah berteriak karena sudah tidak sabar ingin mendengar kelanjutan kesaksian orang di hadapannya. Jatmiko memberi isyarat dengan kedua tangannya agar Parman lebih tenang.
“.... Ada tiga buah tali yang memebelit peti itu. Dari ujung atas, tengah dan bawah. Tali itu saya potong menggunakan pisau lipat. Sesaat kemudian tutup peti itu terbuka sendiri “
Gatra menggeleng –gelengkan kepalanya.
“ Tali?! Tali apa yang saudara maksud? “
Jatmiko mencecar Gatra dengan pertanyaan.
“ Bukan tali..tapi lebih mirip sebuah pelepah dari tumbuhan yang sudah mengering. Saya tidak tahu itu pelepah apa. Kemungkinan pelepah pisang. Tapi pelepah itu sangat liat. Beberapa kali saya kesulitan untuk dapat memotongnya “
Jatmiko menarik nafas panjang.
“ Ada lagi yang saudara ingat. Misalnya di dalam peti itu ada apa?!”
“ Setahu saya di dalam peti itu hanya ada mayat. Tidak lama kemudian Pak Edwin menyuruh menutup kembali peti itu. Kemudian menugaskan Jarwo untuk membawa peti itu ke area pekuburan yang telah dipersiapkan. Malamnya kami mendengar kabar. Jarwo meninggal di dalam mobil itu. Peti beserta isinya juga lenyap “
“ Terimakasih atas kerjasamanya. Penjelasan saudara sudah cukup dan sangat lengkap “
“ Kalau begitu saya pamit dulu. Tolong berhati –hatilah. Jika ada wanita yang mencurigakan yang tiba –tba muncul di tempat ini “
Gatra mengusap tengkuknya yang tiba –tiba menjadi dingin. Ia kembali teringat pada saat pertama kali melihat peti itu di dalam lubang. Jantungnya kembali bergedup kencang.
Seorang lelaki paruh baya menjulurkan kepalanya dari jendela keluar dari pos. Begitu melihat ada mobil berhenti di depan pos. Jendela mobil samping kemudi terbuka separuh. Lelaki mengenakan jaket hitam terlihat disana. Menjulurkan kepala keluar dari mobil.
“ Pak saya ingin berbicara dengan pimpinan proyek ini “
“ Saya pimpinannya Pak. Tapi tolong mobilnya di parkir disana dulu “
Lelaki paruh baya itu menunjuk ke arah samping pos. Disitu ada dua mobil dan satu truk yang terparkir. Perlahan –lahan mobil Panther berwarna biru gelap itu meluncur ke arah area parkir. Dua orang keluar dari mobil. Mereka tidak lain Jatmiko dan Parman. Lelaki paruh baya tadi menunggu di dalam pos yang tidak terlalu luas.
Pos itu hanya terbuat dari papan kayu dan berlantaikan tanah yang diplester dengan semen tipis. Atapnya berupa seng. Sehingga menimbulkan suara berisik saat hujan mengguyur. Di tengah ruangan beberapa kursi terlihat mengelilingi meja kecil. Diatas meja itu seperangkat alat minum tertumpuk rapi. Sebuah tv tabung 21 inch berada di atas lemari kayu di sudut ruangan.
Begitu dua orang tamunya berada di ambang pintu. Lelaki ini mempersilahkan untuk masuk.
“ Silahkan masuk dan duduk. Maaf tempatnya berantakan “
Jatmiko dan Parman mengangguk. Di tariknya dua kursi. Lalu mereka duduk di sana.
“ Maaf, sebelumnya..bapak –bapak ini darimana?”
“ Perkenalkan kami dari kepolisian. Ini atasan saya namanya Pak Jatmiko. Dan saya sendiri Parman “
Jatmiko dan Parman bergantian mengulurkan tangan.
“ Narto....”
Sambut lelaki paruh baya tadi menyebutkan namanya.
“ Begini Pak Narto. Terkait kasus pembunuhan beberapa hari ini dan bahkan Edwin selaku arsitek dalam proyek ini juga menjadi salah satu korban. Saya ingin meminta keterangan dari Pak Narto “
Pak Narto membetulkan letak duduknya. Lelaki paruh baya ini mengangguk.
“ Baik Pak. Saya akan memberikan keterangan yang selengkap – lengkapnya. Demi pembunuh itu bisa ditangkap dan dihukum seberat –beratnya. Saya juga tidak menyangka Pak Edwin menjadi salah satu korban “
Paras lelaki itu menjadi sendu. Ada duka menggantung di pelupuk matanya.
“ Saya ingin bertanya Pak. Siapa yang pertama kali menemukan dan membuka peti itu?”
Pimpinan proyek yang terlah berusia hampir lima puluh tahun ini beberapa kali menyeka keringatnya dengan punggung tangan.
“ Gatra pak. Salah seorang pekerja kami “
“ Baiklah..Bisa kau panggilkan orang itu ?”
“ Sebentar Pak...”
Pak Narto setengah berlari –lari kecil meninggalkan ruangan itu. Tidak berapa lama kemudian ia masuk kembali ke dalam ruangan mengiringi seorang lelaki bertubuh tegap, berambut ikal. Dia Gatra, salah seorang pekerja yang pertama kali menemukan dan membuka peti hitam itu.
“ Silahkan duduk “
Jatmiko mempersilahkan Gatra untuk duduk.
“ Saudara yang bernama Gatra? “
“ Betul Pak “
Wajah Gatra sedikit tegang. Beberapa kali tampak ia menelan ludah yang tiba – tiba terasa pahit.
“ Saudara yang pertama kali menemukan dan membuka peti itu?”
Gatra mengangguk.
“ Coba kau ingat –ingat lagi di peti itu ada apa saja. Barangkali ada barang tertentu yang berada di dalam peti itu?! “
Gatra terdiam beberapa lamanya. Otaknya mencoba mengingat kembali sebuah peti hitam yang di dalamnya ada seorang mayat gadis dengan kondisi tubuh yang masih utuh.
“ Peti itu hitam. Sangat berat terbuat dari semacam kayu besi. Pada saat itu Pak Edwin memerintahkan saya untuk membuka. Setelah sebelumnya ditarik ke permukaan. Pada saat itu lah.........” Gatra menghentikan gumamannya.
“ Pada saat itu.... ada apa?!”
Parman setengah berteriak karena sudah tidak sabar ingin mendengar kelanjutan kesaksian orang di hadapannya. Jatmiko memberi isyarat dengan kedua tangannya agar Parman lebih tenang.
“.... Ada tiga buah tali yang memebelit peti itu. Dari ujung atas, tengah dan bawah. Tali itu saya potong menggunakan pisau lipat. Sesaat kemudian tutup peti itu terbuka sendiri “
Gatra menggeleng –gelengkan kepalanya.
“ Tali?! Tali apa yang saudara maksud? “
Jatmiko mencecar Gatra dengan pertanyaan.
“ Bukan tali..tapi lebih mirip sebuah pelepah dari tumbuhan yang sudah mengering. Saya tidak tahu itu pelepah apa. Kemungkinan pelepah pisang. Tapi pelepah itu sangat liat. Beberapa kali saya kesulitan untuk dapat memotongnya “
Jatmiko menarik nafas panjang.
“ Ada lagi yang saudara ingat. Misalnya di dalam peti itu ada apa?!”
“ Setahu saya di dalam peti itu hanya ada mayat. Tidak lama kemudian Pak Edwin menyuruh menutup kembali peti itu. Kemudian menugaskan Jarwo untuk membawa peti itu ke area pekuburan yang telah dipersiapkan. Malamnya kami mendengar kabar. Jarwo meninggal di dalam mobil itu. Peti beserta isinya juga lenyap “
“ Terimakasih atas kerjasamanya. Penjelasan saudara sudah cukup dan sangat lengkap “
“ Kalau begitu saya pamit dulu. Tolong berhati –hatilah. Jika ada wanita yang mencurigakan yang tiba –tba muncul di tempat ini “
Gatra mengusap tengkuknya yang tiba –tiba menjadi dingin. Ia kembali teringat pada saat pertama kali melihat peti itu di dalam lubang. Jantungnya kembali bergedup kencang.
Quote:
JATMIKO berdiri di depan rerumpunan pohon bambu di puncak Gunung Kelir yang memang tidak terlalu tinggi. Memandang ke depan, jauh di bawahnya terhampar pemandangan yang sangat indah berupa suatu pedataran yang dipenuhi petak-petak tanah persawahan. Sebuah sungai kecil berair bening yang berkilauan tertimpa sinar matahari pagi membelah pedataran persawahan dan daerah perumahan penduduk.
Memang sekembalinya dari proyek pembangunan Real Estate Jatmiko tidak pulang ke penginapan. Tetapi tinggal sementara di Pleret kebetulan di sana ia memiliki seorang saudara. Sersan ini mencoba mengorek keterangan tentang asal muasal area di bawah Gunung Kelir itu. Namun, keterangan yang ingin diperolehnya sama sekali tidak didapatkan.
Jatmiko memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil sepanjang satu depa yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Jatmiko segera menuruni gunung itu, menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi Jatmiko lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Mbah......, "Jatmiko menegur.
"Apakah simbah warga desa Pleret?"
Yang ditanya berpaling sambii kernyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
" Bukan. Aku orang dari Wonolelo “
"Kau bukan orang sini..." kata orang tua pengangon itik.
Jatmiko tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah mata air berair dangkal. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak,
"Mandi, ayo mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan itik itu tampak berserabutan masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara Cumiakan telinga. Ada yang mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah itik yang mencari cacing-cacing besar yang memang banyak terdapat disitu. Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Jatmiko ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang sini," kata Jatmiko.
"Saya kemari untuk menyambangi saudara “
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa-apa, seperti menunggu Jatmiko bercerita lebih lanjut. Tapi Jatmiko hanya diam saja. Pandangan matanya tidak lepas melihat ke tengah mata air itu. Dimana puluhan itik tampak riuh berenang dan mencari makan.
“ Kau sepertinya sedang ada sesuatu masalah? “
Jatmiko berpaling ke arah si pengangon itik. Dahinya berkernyit. Keheranan. Orang tua itu tiba -tiba tertawa tawar.
“Banyak orang yang sepertimu itu, masih muda tetapi masih saja tidak mampu berpikir dengan jernih” katanya.
“ Di jagat yang luas ini tidak ada yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Karena apa? “
" Seseorang yang ingin melebihi kodratnya akan menempuh jalan pintas dan menghalalkan segala cara. Membunuh orang lain misalnya. Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga “
“Apa yang kau lihat pertama kali. Itulah penangkalnya “
Jatmiko menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Aneh. Orang tua ini bicara soal apa?!
“ Maaf, Mbah...Simbah berbicara soal apa? “
Orang tua itu tertawa terkekeh. Sembari terbatuk –batuk karena tersedak asap dari rokok lintingan yang terselip di sudut bibir yang menghitam.
“ Meskipun aku tua. Dan tempat tinggalku di puncak Becici sana. Di dusun Wonolelo. Tetapi, kabar itu telah sampai juga di telinga tua ku ini “
“ Ganjarwungu telah bangkit dan menebar kejahatan dimana –mana. Wanita iblis itu telah menumpuk dosa lagi “
Ganjarwungu? Wanita Iblis? Telah bangkit?! Kata –kata itu berkali –kali digumamkan Jatmiko dalam hati. Jatmiko semakin tidak mengerti dengan perkataan orang tua yang duduk di sampingnya itu.
“ ....Mbah...”
Jatmiko menoleh ke samping. Betapa kagetnya hati polisi ini tatkala di hadapannya tidak ada siapa –siapa. Si orang tua itu telah raib. Entah kemana. Sementara itik –itik yang berjumlah puluhan ekor juga tidak tampak satupun di kubangan.
“ Kemana perginya orang tua dan itik –itik tadi?! Jangan –jangan tadi demit penunggu Gunung Kelir?”
Jatmiko mengusap tengkuknya yang berubah jadi beku dan dingin. Padahal suasana saat itu sangat terik. Ia melihat ke bawah sisa –sisa abu rokok masih berceceran di tanah.
Memang sekembalinya dari proyek pembangunan Real Estate Jatmiko tidak pulang ke penginapan. Tetapi tinggal sementara di Pleret kebetulan di sana ia memiliki seorang saudara. Sersan ini mencoba mengorek keterangan tentang asal muasal area di bawah Gunung Kelir itu. Namun, keterangan yang ingin diperolehnya sama sekali tidak didapatkan.
Jatmiko memalingkan kepalanya ketika di ujung jalan kecil di bawahnya terdengar suara hiruk pikuk. Seorang lelaki tua dilihatnya berjalan terbungkuk-bungkuk. Di tangan kanannya ada sebatang kayu kecil sepanjang satu depa yang selalu dikibas-kibaskan. Sedang didepannya berjalan beriringan sambil mengeluarkan suara riuh tiada henti serombongan itik yang jumlahnya lebih dari tiga puluh ekor. Jatmiko segera menuruni gunung itu, menghampiri orang tua pengangon itik dan melangkah di sampingnya. Sesaat orang tua itu menoleh dan memandangi Jatmiko lalu seperti tak acuh dia terus saja berjalan.
"Mbah......, "Jatmiko menegur.
"Apakah simbah warga desa Pleret?"
Yang ditanya berpaling sambii kernyitkan kening dan kibas-kibaskan tongkat kayu di tangan kanannya.
" Bukan. Aku orang dari Wonolelo “
"Kau bukan orang sini..." kata orang tua pengangon itik.
Jatmiko tersenyum. Saat itu dia sampai di sebuah mata air berair dangkal. Orang tua tadi kembali mengibas-kibaskan tongkatnya, malah kini berteriak,
"Mandi, ayo mandi! Cari cacing sekenyang kalian! Hari ini kita harus pulang lebih cepat."
Puluhan itik itu tampak berserabutan masuk ke dalam telaga. Ada yang berenang berputar-putar sambil mengeluarkan suara Cumiakan telinga. Ada yang mencelupkan kepalanya berulang kali. Tapi yang paling banyak adalah itik yang mencari cacing-cacing besar yang memang banyak terdapat disitu. Sambil duduk di sebatang tumbangan pohon orang tua pengangon itik mulai menggulung sebatang rokok. Jatmiko ikut duduk di sebelahnya.
"Saya memang bukan orang sini," kata Jatmiko.
"Saya kemari untuk menyambangi saudara “
Orang tua itu menoleh sebentar. Dia tidak berkata apa-apa, seperti menunggu Jatmiko bercerita lebih lanjut. Tapi Jatmiko hanya diam saja. Pandangan matanya tidak lepas melihat ke tengah mata air itu. Dimana puluhan itik tampak riuh berenang dan mencari makan.
“ Kau sepertinya sedang ada sesuatu masalah? “
Jatmiko berpaling ke arah si pengangon itik. Dahinya berkernyit. Keheranan. Orang tua itu tiba -tiba tertawa tawar.
“Banyak orang yang sepertimu itu, masih muda tetapi masih saja tidak mampu berpikir dengan jernih” katanya.
“ Di jagat yang luas ini tidak ada yang benar-benar sempurna, yang benar-benar tinggi? Semakin tinggi ilmu seseorang semakin harus disadari bahwa di atasnya masih banyak lagi ilmu-ilmu yang tinggi yang tak bakal sanggup dicapainya. Kemampuan dan pikiran manusia mempunyai titik batas. Bila dia coba untuk melampaui titik batas itu di luar kemampuannya, dirinya akan rusak, malapetaka akan datang! Karena apa? “
" Seseorang yang ingin melebihi kodratnya akan menempuh jalan pintas dan menghalalkan segala cara. Membunuh orang lain misalnya. Dan itu kemudian akan mudah menjadi sarang atau sumbernya kejahatan! Kejahatan muncul di mana-mana akibat manusia berusaha melampaui titik batasnya, melewati garis yang telah ditentukan. Kemudian bila datang kebaikan walau bagaimanapun kuatnya kejahatan itu, di satu hari dia akan kena ditumpas juga “
“Apa yang kau lihat pertama kali. Itulah penangkalnya “
Jatmiko menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. Aneh. Orang tua ini bicara soal apa?!
“ Maaf, Mbah...Simbah berbicara soal apa? “
Orang tua itu tertawa terkekeh. Sembari terbatuk –batuk karena tersedak asap dari rokok lintingan yang terselip di sudut bibir yang menghitam.
“ Meskipun aku tua. Dan tempat tinggalku di puncak Becici sana. Di dusun Wonolelo. Tetapi, kabar itu telah sampai juga di telinga tua ku ini “
“ Ganjarwungu telah bangkit dan menebar kejahatan dimana –mana. Wanita iblis itu telah menumpuk dosa lagi “
Ganjarwungu? Wanita Iblis? Telah bangkit?! Kata –kata itu berkali –kali digumamkan Jatmiko dalam hati. Jatmiko semakin tidak mengerti dengan perkataan orang tua yang duduk di sampingnya itu.
“ ....Mbah...”
Jatmiko menoleh ke samping. Betapa kagetnya hati polisi ini tatkala di hadapannya tidak ada siapa –siapa. Si orang tua itu telah raib. Entah kemana. Sementara itik –itik yang berjumlah puluhan ekor juga tidak tampak satupun di kubangan.
“ Kemana perginya orang tua dan itik –itik tadi?! Jangan –jangan tadi demit penunggu Gunung Kelir?”
Jatmiko mengusap tengkuknya yang berubah jadi beku dan dingin. Padahal suasana saat itu sangat terik. Ia melihat ke bawah sisa –sisa abu rokok masih berceceran di tanah.
Diubah oleh breaking182 04-05-2018 01:31
jenggalasunyi dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas