- Beranda
- Stories from the Heart
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)
...
TS
dodydrogba
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)


Pengantar
Salam kenal gan dan sis, mungkin ane terbiasa nulis artikel - artikel di forum The Lounge, namun untuk forum ini ane benar - benar pemula, jadi harap maklum kalau penulisan cerita sedikit payah.Langsung saja guys, untuk cerita ini murni fiksi, namun inspirasinya berdasarkan kejadian nyata, yaitu kejadian kasus kematian hewan ternaksecara misterius akhir - akhir ini. Tentu dengan ditambah bumbu horor, komedi, drama dan sejenisnya. Selain itu juga terinspirasi dari serial tv Buffy dan Supernatural beserta film Vampires dan Daybreakers. Untuk rule, sama seperti rule SFTH pada umumnya.
Kisah ini bercerita tentang seorang wartawan dengan rekannya yang secara tak sengaja bertemu dengan para pemburu demit. Terkait para pemburu demit sendiri, disini bukan berunsur klenik dan mistis, untuk tahu lebih jauh bisa ikutin cerita ini, jadi langsung saja kita mulai.
Spoiler for PROLOG:

Kala itu, di desa - desa wilayah bagian selatan pulau Jawa tersebar luas kabar kematian mendadak para hewan ternak milik warga setempat. Isu ini sebenarnya sudah akan diantisipasi oleh warga desa lain yang berniat mencegah hal itu. Mereka melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang, namun jawaban yang didapat hanya ketidakseriusan dalam menanggapi masalah yang ada. Mereka menganggap itu hanya ulah hewan semata sehingga tak perlu dibesar - besarkan. Warga desa yang mulai panik itu mau tak mau harus menjaga hewan ternak mereka dengan upaya sendiri tanpa bantuan siapapun. Sayangnya usaha mereka masih kecolongan, beberapa kali hewan ternak mereka mati mengenaskan, mungkin karena peralatan mereka yang tak mendukung serta memadai.
Di lain pihak sebagian warga desa, juga masih banyak yang kurang perhatian dengan isu ini sehingga dengan muka polosnya mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka menyesal belakangan, hewan ternak mereka mati begitu saja tanpa sebab musabab yang jelas.
Di saat yang sama, tersiar kabar akan sebuah kelompok yang menangani ini. Tak ada yang melihat penampakan mereka dengan jelas, namun kabar yang beredar mengatakan setiap wilayah yang didatangi mereka, esoknya akan bersih dari mahluk yang diduga jadi - jadian itu. Ada yang bilang mereka orang - orang pintar yang punya aji - ajian sakti mandraguna, ada pula yang bilang mereka bukan manusia karena hanya beraksi di malam hari layaknya vampir. Mereka yang mengetahui mereka hanya melihat dari kejauhan, seperi bayang - bayang manusia yang tenggelam oleh seramnya hutan belantara.
Namun yang pasti, mereka tak tahu kapan kelompok misterius itu akan menolong dan membantu mereka. Atau mungkin itu cuma mitos belaka sama layaknya mitos lain yang mengatakan penunggu di hutan tersebut adalah mahluk gaib. Tidak ada yang tahu kebenarannya, yang jelas musibah kematian hewan ternak kali ini sedang menghantui Desa Sumbangsih. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah pada keadaan malang yang ada.
Spoiler for Chapter 1:
Pak Dadang terkejut bukan kepalang ketika mengetahui domba - dombanya habis tak tersisa. Ya, mereka semua mati mengenaskan dengan cara yang tak wajar. Bagaimana tak wajar kalau mereka mati dengan kehabisan darah, sebagian lainnya terkoyak di bagian perutnya. Jantung, usus, organ - organ lainnya menghilang. Sepertinya diambil atau lebih parah dimakan oleh sesuatu. Orang - orang yang terdorong atas rasa takutnya mulai menduga - duga. Dari sekte sesat, anjing jadi - jadian, hingga chupacabra mahluk mitos yang terkenal dari Amerika sana yang punya kesamaan dengan mahluk ini. Apalagi kalau dilihat dari jejak - jejaknya. Yang lebih menyedihkannya lagi, cuma ini jalan satu - satunya Pak Dadang mencari nafkah untuk keluarganya. Sebenarnya tidak cuma Pak Dadang yang mengalami kerugian seperti ini, tapi di desa itu cuma dia yang punya domba sebanyak ini.
Ia terpaksa merogoh tabungannya, melihat apakah memungkinkan untuk membeli dua ekor pasang domba yang berbeda jenis kelamin. Tak jauh dari situ, seorang wartawan wanita berumur dua puluh lima tahun bersama fotografer sekaligus kameramennya yang berusia tiga puluhan tampak sedang bekerja keras mencari berbagai narasumber untuk mendukung beritanya itu. Salah satu narasumber itu adalah Pak Dadang, mereka tak sia - siakan kesempatan itu untu menggali lebih dalam seputar kasus ini. Mereka pun mendatangi Pak Dadang, meminta ijin untuk mewancarai lalu memberinya beberapa pertanyaan.
"Jadi apakah sebelumnya pernah terjadi kejadian semacam ini di desa Anda pak?" tanya wartawan itu.
"Kalau kejadian di desa ini sih belum pernah mbak. Tapi saya dengar di desa lain pernah. Sebagian hewan ternak mereka mati dengan cara tidak wajar kayak gini," Pak Dadang menjawab dengan lesu.
"Lalu apa tindakan pemerintah atau instansi terkait hal itu?"
"Yah, dijawabnya cuma serangan hewan biasa mbak, tapi ya gak tahu hewannya apa."
"Bagaimana dengan kejadian di sini, apakah mereka sudah melakukan sesuatu?"
"Wah sepertinya sih belum, gak tahu apakah bakal didatangi atau tidak. Tapi firasat saya bilang paling gak bakal datang. Mana mau mereka ngurus urusan remeh temeh gak jelas kayak gini, mending yang ada proyek duitnya dong."
Melihat dari raut muka bapak itu, sedih dan jengkel bercampur aduk menjadi satu. Wartawan itu juga merasakan kesedihan yang mendalam terhadap bapak itu. Wartawan yang dikenal gigih dan ulet dalam menjalankan tugasnya itu bernama Anya. Walau hanya bekerja di majalah supranatural yang bagi sebagian orang kebanyakan dianggap aneh, tapi baginya merupakan sebuah kesempatan besar untuk mengembangkan kemampuan jurnalisnya. Yah, mungkin tema supranatural emang nyentrik untuk profesinya, tapi tema itu dalam industri media kapitalis masih banyak disukai. Buktinya masih ada saja acara - acara tv macam itu yang bisa bertahan sejak dulu.
Anya dan rekan kameramennya, Johan bergegas mencari narasumber lain di desa itu yang mungkin pernah melihat siapa dalang dibalik kejadian ini. Walau Anya dan Johan terpaut jarak umur yang cukup jauh, mereka bisa menciptakan chemistry yang baik ketika bekerja. Kekompakan mereka membuat setiap pekerjaan yang ada di depan menjadi mudah untuk dihadapi. Yang membedakan adalah status Anya yang masih bujangan, sedangkan Johan sudah menikah. Kali ini mereka mendatangi sesosok sepuh yang sepertinya sudah sangat lama tinggal di desa ini. Entah kenapa diantara yang lain, hanya ia yang paling merasa dikelilingi rasa takut yang amat dalam. Itu terlihat dari ekspresinya ketika melihat mayat - mayat domba itu.
"Maaf bapak, jika tidak merasa keberatan bolehkah saya mewancarai Anda?" tanya Anya dengan sopan.
"Oh iya, silahkan, tidak apa - apa? Tapi kalau boleh tahu mbak dan masnya ini dari media mana ya?" kakek itu penasaran.
"Kami dari majalah Investigasi Supranatural pak," jawab Anya.
"Oh begitu, oke - oke. Jadi mau bertanya apa ya?" kakek itu menggaruk kepalanya.
"Menurut kakek, apakah kakek tahu siapa yang melakukan ini?" Anya bertanya dengan nada sedikit serius.
"Hmm, saya tidak tahu apakah sebagian orang sini sudah tahu mitos ini atau belum. Tapi kakek ketika tahun enam puluhan dulu pada saat kakek masih usia lima belas tahun, sempat ikut ayah kakek menggembala domba - domba itu ke sebuah bukit yang agak jauh dari sini. Ayah kakek selalu bercerita kalau malam - malam jangan mendekati bukit itu atau hutan sekitar bukit itu," kakek itu menjawab seperti termenung akan suatu hal.
"Emangnya ada apa kek?" tanya Anya yang penasaran.
"Ketika itu teman kakek mencoba untuk mendekati bukit dan hutan itu pada malam hari. Ia tak percaya omong kosong orang tuanya itu. Ia bersama anjingnya itu akhirnya pergi pada saat hari mulai malam. Yah, saya akui kalau dia adalah anak pemberani yang selalu ingin dicap hebat oleh masyarakat setempat. Tidak seperti saya yang penakut ini, saya menolak ajakannya untuk pergi ke tempat itu malam hari. Ia pergi dengan riang gembira dan penuh semangat. Tapi ..." kakek itu mulai teringat akan kisah masa lalu yang mengerikan.
"Tapi kenapa kek??" Anya semakin penasaran.
"Tapi.. semua itu berubah ketika para orang kampung menemukan sesosok mayat remaja beserta anjing peliharannya tewas mengenaskan. Perutnya terkoyak, ususnya terburai keluar, darah berceceran di mana - mana. Jantungnya juga menghilang. Selain itu lehernya seperti habis digigit oleh sesuatu, darahnya seperti dihisap," kakek itu menjelaskan.
"Siapa yang menyerang anak itu kek?" tanya Anya.
"Teman saya itu diserang oleh mahluk yang mungkin bagi orang - orang pada umumnya menganggapnya hanya bualan kisah mistis belaka. Mereka berbicara tentang anjing jadi - jadian, tapi sepanjang saya hidup menggembala menjaga domba, tak pernah melihat anjing jadi - jadian atau anjing hutan menghisap darah sampai habis, memakan organ dalam saja. Dan cara mereka berburu tidaklah seperti itu, mereka akan menggigit kaki belakangnya agar kesusahan bergerak. Lalu sebagian anjing hutan lain akan melumpuhkannya ketika hewan buruannya sudah sulit bergerak. Memang ada sebagian yang mengigit di leher, tapi tidak untuk menghisap darahnya. Aku yakin itu adalah demit, iya demit, seperti yang diceritakan orang - orang jaman dahulu," kakek itu bercerita panjang lebar.
"Apakah demit itu yang menjadi dalang di balik kejadian ini?"
"Mungkin saja, aku harap demit itu tak kembali lagi di sini dan mulai membunuh penduduk di sini karena hewan ternaknya sudah habis."
Informasi yang didapat oleh Anya tampak sudah cukup bagus buat pendukung artikelnya. Ia pun berniat mengakhir wawancara dengan kakek itu.
"Terima kasih kakek atas kesempatannya. Mudah - mudahan kejadian ini tak terulang kembali," kata Anya.
"Iya, sama - sama. Kakek hanya berharap ada orang yang mau menyelesaikan masalah ini. Kalau begitu kakek pamit dulu ya nduk," kakek itu berpamitan dan meninggalkan mereka berdua.
Setelah kakek itu pergi, mereka mencari tempat teduh untuk istirahat. Akhirnya mereka menemukan toko kelontong di desa itu. Selain berniat istirahat mereka juga ingin mengisi perut mereka yang mulai keroncongan entah dengan kue ataupun makanan berat kalau ada. Di depan toko itu terdapat meja bundar dengan payung besar di atasnya dan di sekelilingnya terdapat kursi - kursi yang terbuat dari plastik. Anya duduk di kursi itu, laptopnya diletakkan di meja tersebut. Sementara Johan membeli makanan dan minuman untuk santapan siang. Terik panas matahari pada siang itu benar - benar menguras tenaga mereka.
Sambil mengetik, dipikiran Anya bergelayut kata - kata indah nan mistik agar menambah aura misteri artikel terbaru yang akan dibuatnya. Pembaca biasanya sangat tertarik dengan artikel seperti ini membuat mereka semakin penasaran tapi juga ketakutan disaat yang sama. Sama seperti menonton film horor, rasa takut membuat orang semakin tertarik dengan film itu.
Tak lama kemudian Johan keluar dari toko itu, lalu mendatanginya dan duduk di depanya. Ia sepertinya membeli banyak makanan, seperti nasi kuning dan roti isi coklat pisang. Tak lupa membeli air mineral sebagai pelepas dahaga. Ia lalu menyodorkan sebagian makanan dan minuman itu untuk rekan kerjanya itu.
"Anya, nih makan dulu. Nanti laper, kamu gak semangat nulisnya," Johan menawarkan.
"Oh iya, makasih Bang Johan. Bang Johan makan dulu aja, ini Anya nyelesain sekalian trus biar langsung di publish di internet," Anya menolak dengan halus.
"Ya udah, saya makan dulu ya," sambil makan roti Johan melihat Anya yang walau serius namun seperti memikirkan sesuatu.
Sebentar - sebentar mengetik, sebentar - sebentar berpikir akan suatu hal entah kehabisan ide tulisan atau memikirkan yang lain.
"Anya, kamu kehabisan ide ya?"
"Oh, enggak kok bang. Anya cuma memikirkan rumor yang hadir baru - baru ini. Yang berkembang dari mulut ke mulut para peternak desa itu."
"Jangan bilang kamu lagi memikirkan soal rumor para pemburu aneh itu?"
"Iya bang, emang itu."
Mendengar itu, Bang Johan hampir tersedak. Ia menghentikan makannya sebentar lalu menasihati Anya.
"Sudah kubilang mending gak perlu dipikirkan, paling itu cuma kabar burung belaka. Kita gak pernah tahu kalau mereka itu beneran ada atau enggak. Atau bahkan cuma isu yang digunakan buat nakut - nakutin sekte sesat itu. Kita bahkan tak punya bukti kuat soal itu."
"Tapi bang, jika kita bisa mendapatkan info soal mereka. Dan ternyata mereka beneran ada, kita kan bisa terkenal. Apalagi artikel tentang mereka bisa saja disukai banyak orang," kata Anya yang tak putus asa akan pendiriannya itu.
"Iya Anya, tapi kalau gini terus entar bisa mengganggu konsentrasi kamu. Entar kalau hasil kerjaan kita buruk, kita malah dipsk eh diphk. Entar sulit lagi nyari kerjaan kayak gini," Johan menasihati.
"Apalagi kita gak tahu mereka itu jahat atau baik. Dan kalau mereka ada, mereka sudah di sini membantu peternak itu dengan ajian - ajian sakti mandragunanya," lanjutnya.
"Iya juga sih bang," Anya mengangguk.
Tapi ada sebagian nasihat Johan yang ternyata malah menginspirasi Anya untuk melakukan sesuatu.
"Aha, aku punya ide!!" kata Anya sambil tersenyum.
"Ide apalagi?" Johan penasaran.
"Bagaimana kalau nanti malam kita melakukan investigasi di sekitar hutan dekat desa itu? Bisa saja mahluk itu kabur ke hutan seperti yang dikatakan kakek itu," ujar Anya dengan percaya diri.
Mendengar itu, Johan bak dipukul punggungnya dengan keras. Ia tak percaya rekannya itu mengeluarkan ide konyol bin gila yang membuatnya menyemburkan minuman yang diminumnya hingga muncrat ke mana - mana.
"Byurrr!!"
"Kamu sudah gila apa sinting Anya, kalau gitu caranya besok gak ada jaminan kita ngelihat orang tersayang untuk kedua kalinya!!" Johan terkejut setengah mati.
"Ya santai kali bang, muncrat semua ini sampai kena baju. Hmm mbuekk bau jigong lagi. Lagipula Anya kan masih jomblo," Anya membersihkan bekas semburan air dari mulut Johan.
"Ya udah, pokoknya jangan aneh - aneh. Kamu kebanyakan nonton film horor sih. Pokoknya setelah ini kita balik ke penginapan," tegas Johan.
"Iya bang, iya," Anya pun terpaksa menyetujuinya.
Walau ada yang masih mengganjal dalam hati Anya soal idenya itu, ia terpaksa menuruti keinginan seniornya demi kebaikan bersama. Anya pun sebenarnya masih kukuh akan pemikirannya, ia sangat tertarik dengan para kelompok pemburu mahluk - mahluk yang membunuh hewan - hewan ternak itu. Dalam hatinya ia yakin bahwa orang - orang itu pasti akan hadir di sekitar tempat kejadian perkara, atau paling tidak tak jauh dari situ. Ia pun memutar otak agar bisa merelisasikan idenya itu. Dan sepertinya dia mendapatkan secercah cahaya akan idenya tersebut.
"Bang, Anya boleh tanya gak?"
"Boleh, mau nanya apa? Kamu kayak mahasiswa baru aja, nanyanya kayak takut sama senior?"
"Iya, Anya nanti yang nyetir mobil buat balik ke penginapan boleh gak?"
"Hmm, tumben baik. Kayaknya ada sesuatu ini?"
"Ya gak lah bang. Emang niat ikhlas kok bang. Kan kasihan juga Bang Johan sudah capek ke mana - mana. Mana jauh pula jaraknya. Sekali - kali biar Anya yang nyetirin deh bang."
"Yang benar kamu mau nyetirin?"
"Iya bang. Diam - diam saya juga jago kok nyetirnya. Kayak si Takumi penjual tahu."
"Hah?? Siapa itu? Ah yaudahlah, tapi awas ntar kalau ngelecetin mobil ini. Ntar lain kali tak suruh kamu sprint ke tkp."
"Oke - oke, sip lah kalau sama Anya bang. Pasti barang tetap mulus dan kinclong kok."
Setelah perbincangan itu, Anya melanjutkan kembali tugasnya itu hingga selesai. Di tengah usianya yang masih muda, batinnya terus bergejolak tanpa henti. Ia harus memilih mengkuti idealismenya yang menggebu - gebu, atau tunduk pada aturan kaku yang ada. Karena rasa penasarannya yang besar, ia lebih memilih tunduk pada obsesi sintingnya itu. Saking kuat pendiriannya itu, kalimat pembunuh seperti ah itu cuma omong kosong atau khalayan rakyat belaka sudah tak mempan untuknya. Baginya sebuah kejadian tak bisa dikatakan omong kosong tanpa disertai bukti yang kuat sama halnya dengan mengatakan kejadian tersebut adalah fakta dan nyata tentu perlu memerlulan bukti yang kuat.
Ia yang juga bergulat dengan hoax dunia maya bahkan butuh bukti kuat kalau itu adalah hoax. Karena itulah ia mencari beberapa bukti untuk mendukung artikelnya itu. Ia tahu kali ini resikonya sangat besar, malah dapat berakibat fatal pada dirinya sendiri. Namun karena usianya yang muda dan idealismenya yang kuat itu membuatnya peduli setan dengan resiko fatal itu. Tentu ia juga sangat was - was karena ia tak tahu siapa atau apa yang akan ia hadapi.
Index:
Prolog
Chapter 1
Chaper 2 part 1
Chapter 2 part 2
Chapter 3 part 1
Chapter 3 part 2
Chapter 3 part 3
Chapter 3 part 4
Chapter 3 part 5
Chapter 3 part 6
Chapter 4 part 1
Chapter 4 part 2
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 part 3
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
CHapter 9 Part 3
Chapter 9 Part 4
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 10 Part 3
Chapter 10 part 4
Chapter 10 part 5
Chapter 11 Part 1
Chapter 11 Part 2
Chapter 11 Part 3
Diubah oleh dodydrogba 26-01-2019 16:06
banditos69 dan anasabila memberi reputasi
2
10.1K
Kutip
58
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dodydrogba
#35
Spoiler for Chapter 10 Part 3:
"Kita benar - benar harus berterima kasih pada rekan mu itu Anya, jika tidak mungkin kita tak sampai sejauh ini," sanjung Riki.
"Iya, entar saya sampaikan kok. Dia pasti juga merasa bangga sekarang, tapi tumben dia bisa sepintar itu," balas Anya.
"Ya namanya juga manusia, kadang di bawah, kadang di atas, kadang pintar, kadang pula bego. Mungkin itu senjata rahasia Bang Johan, pintar mendadak di situasi gawat yang mendadak," Riki bercanda.
"Ah, bisa aja kamu ini," Anya mencoba menahan tawa.
Lagi - lagi Anya terbawa perasaannya oleh kehadiran Riki yang selalu mengeluarkan guyonan ringan. Di antara pria sebaya yang lain, hanya dia sepertinya yang selalu membuatnya tertawa, sisanya cuma rekan seniornya yang tak lain adalah Johan. Anya merasa apa yang Riki lakukan secara tak langsung membuat merasa nyaman bahkan untuk situasi seperti ini. Walau ia mencoba untuk fokus, ketika Riki berbicara, ia seperti mempunyai aura memikat tersendiri melalui canda ringannya ataupun kejeniusannya. Walau begitu Anya justru tak ingin tenggelam ke dalam hal itu, ia justru ingin membuktikan dirinya mampu menghadapi tantangan ini. Agar riki sendiri dan rekannya bisa semakin menaruh hormat padanya dan dengan begitu pula ia juga bisa menarik perhatian Riki. Kini mereka pun, kembali mempusatkan perhatian kepada demit yang berjalan pelan itu. Semakin lama berjalan, demit itu semakin cepat berlari merangkak dengan kedua kaki dan tangannya hingga tak terlihat lagi, tertelan oleh kabut malam di bawah sinar rembulan.
Tak mau kehilangan jejak, Dirga pun menanyai perihal ini kepada Riki.
"Riki, kamu bisa melihat jejaknya bukan?"
"Iya, tenang saja, sejauh apapun larinya, demit itu tak bisa lolos oleh pandangan ku."
"Bagus lah, lalu ke manakah dia berlari?"
"Kalau melihat jejak itu, sepertinya ia berlari ke hutan. Apakah perlu kita kejar?"
"Sepertinya begitu, namun ingat, jangan sampai membuat suara berisik."
"Baiklah."
"Mari kita jalan pelan - pelan."
Dirga melangkah pelan keluar dari persembunyiannya, lalu disusul Riki, Anya dan Jono. Riki yang di sebelah Dirga memberi instruksi melalui kode tangannya. Mereka mengikuti jejak dari demit itu yang terkena sebuah cairan khusus tersebut. Sepatu mereka terus beradu gesek dengan rerumputan liar, walau begitu, mereka berusaha sebisa mungkin tak menghasilkan suara yang mencurigakan di keheningan malam. Setelah melangkahkan kaki dari jarak yang jauh mereka sampai pada sebuah hutan dengan pohon tinggi berjejer menyamping dan berbaris kebelakang. Dengan penuh kehati - hatian mereka masuk lalu menyusuri hutan itu. Kali ini Anya pun tak ingin mengulangi kesalahan yang sama pada hari - hari sebelumnya, ia mencoba lebih berhati - hati kali ini. Dengan dibantu senter yang lebih terang, Anya sebenarnya jauh merasa nyaman apalagi ditemani oleh tiga pria hebat di sisinya. Ia bisa leluasa melihat sekitar, menghindari patahan ranting dan dedaunan yang berjatuhan dengan mudah.
Tak lama kemudian langkahnya terhenti ketika Riki memberikan kode tangan kanan nya yang diangkat ke atas. Kode tangan itu ternyata sebuah pesan bagi para pemburu demit untuk menghentikan langkahnya. Riki meminta Dirga, Anya dan Jono untuk menunggu sebentar di tempat mereka berpijak. Setelah itu ia berjalan pelan beberapa langkah hingga keluar dari hutan itu, alangkah terkejutnya dia ketika melihat padang rumput luas di sebuah dataran yang menurun. Namun itu bukan satu - satunya yang membuat takjub, sebuah bangunan besar tua jaman penjajahan Belanda masih berdiri kokoh di tengah padang rumput. Setelah melihat hal tersebut, Riki memanggil rekan - rekannya itu dengan tangannya. Mereka bertiga berdiri di samping Riki, merasakan perasaan yang sama yaitu terpesona pada pandangan indah yang penuh hawa misterius di baliknya. Tak ingin aksinya ketahuan, mereka kembali memilih bersembunyi di balik sebuah pohon besar tak jauh dari tempat itu.
"Apa yang kamu lihat Riki?" Dirga menanyakan situasi terkini.
"Seperti yang saya lihat, jejak itu terus ada melewati samping bangunan itu, mungkin berjalan ke arah belakang bangunan Belanda itu," duga Riki.
"Hmm... kalau begitu kita harus mengetahui apa sebenarnya yang berada di balik bangunan tua itu. Kalau semua ke sana mungkin hanya menimbulkan suara gaduh dan itu berbahaya buat kita semua. Mungkin ada baiknya salah satu dari kita, ada yang harus turun ke bawah dan mengintip gedung itu untuk memastikan keadaan yang ada," Dirga menyampaikan idenya.
"Tapi siapa??" Riki menatap ke rekan pemburu demit yang lain.
Tak pikir panjang, Anya pun mengajukan dirinya untuk terjun langsung mengawasi target. Ia tampaknya ingin membuktikan dirinya pas berada di tim pemburu demit terutama kepada Riki.
"Eee... Biar saya saja yang turun ke bawah," Anya mengajukan diri.
Sontak hal itu membuat Dirga, Riki dan Jono menatap tak percaya ke arahnya. Bagaimana mungkin orang yang baru saja bergabung berani mengajukan dirinya sementara mereka yang terlatih saja perlu mikir dua kali untuk melihat keadaan yang ada. Riki yang selalu dekat dengannya tentu memiliki rasa tak percaya dengan apa yang ia lakukan. Tentu ia kuatir akan keselamatan jiwanya apalagi dirinya yang belum punya pengalaman banyak terkait perburuan demit. Riki pun mempertanyakan kembali keputusan Anya itu. Berbanding terbalik dengan Dirga, ia justru sangat mempercayainya. Semenjak perburan kemaren, ia yakin Anya punya keahlian yang terpendam terkait hal ini.
"Tunggu sebentar, apa kamu gila Anya? Kamu bisa kehilangan nyawa mu kalau mereka memergoki mu ada di sana," Riki merasa risih terkait hal ini.
"Tenang Riki, saya pasti bisa mengatasi hal ini. Selain itu saya juga percaya kalian akan melindungi ku dari atas sana," tutur Anya.
"Dia benar Riki, tak perlu kuatir, kita akan menjaganya dari sini. Lagi pula sesama rekan tim harus saling percaya bukan, agar semakin kuat kerja samanya, ya kan Jono?" Riki menatap Jono.
Jono membalasnya dengan anggukan kepala yang berarti setuju. Riki pun masih sedikit gusar akan keputusan ini, tapi demi berjalannya misi, ia terpaksa mengalah dengan keadaan. Ia pun memberi sebuag alat komunikasi kepada Anya agar bisa memberi tahu situasi apa saja yang terjadi di sana.
"Hmmm.. baiklah, tapi ingat, jika terjadi sesuatu yang berbahaya cepatlah berlari ke sini. Kamu paham kan, Anya?" Riki mewanti - wanti Anya.
"Iya, saya mengerti. Saya bisa jaga diri sendiri juga," Anya merasa yakin.
"Kalau begitu, pakailah ini, taruh di sekitar telinga mu. Alat ini penting untuk keberlangsungan hidup mu. Alat ini tak cuma menyediakan perangkat komunikasi tapi juga kamera sehingga kita bisa melihat apa yang kamu lihat," Riki menyodorkan alat komunikasi itu.
Anya mengambil alat itu, lalu memasangnya di telinganya. Dan tak lama kemudian Dirga juga menyodorkan sesuatu sebelum ia berangkat pergi.
"Anya, bawalah ini. Ini juga berguna ketika situasi menjadi semakin buruk" Dirga menyerahkan sebuah pistol kepada Anya.
"Terima kasih, Dirga dan juga Riki. Lalu sebaiknya saya harus mengintip lewat mana?" tanya Anya.
"Sapaya kita bisa mengawasi mu lebih jelas, bagaimana kalau lewat sisi depan. Lihatlah itu, pintu bangunan itu terdapat sebuah lubangan seukuran telapak tangan. Mungkin kamu bisa mengintipnya lewat situ," Dirga menunjuk ke arah bangunan itu.
"Oke, saya mengerti," kata Anya.
"Kalau begitu, ayo kita mulai sekarang!!" seru Riki
Sebelum bergegas pergi, Riki memberikan sebuah pesan khusus kepada Anya.
"Anya ... ingat jangan gegabah dan berhati - hatilah."
Anya membalasnya dengan mengangguk, lalu ia pun berjalan perlahan menuruni dataran rumput yang menurun terjal. Sementara Riki mengambil laptop dari ranselnya, dan menyalakannya dengan cepat. Sedangkan Dirga dan Jono mengawasi Anya dari atas, memandang tajam bak elang agar aksinya tak diketahui siapapun termasuk demit itu sendiri.
Anya sendiri kini sudah sampai di depan pintu itu, tangan kanannya lalu menekan tombol yang terletak pada alat komunikasinya itu. Dan dalam sekejap layar laptop milik Riki terlihat gambar visual dari pintu bangunan itu secara dekat.
"Halo... Anya ... kamu bisa mendengar ku kan?" Riki memastikan alat komunikasi nya berfungsi dengam baik.
"Iya.. halo ini Anya, alat nya bisa berfungsi dengan baik," jawab Anya.
"Baguslah, sekarang cobalah untuk mengintip melalui lubang pintu itu. Ingat jangan sampai menimbulkan suara berisik," perintah Riki.
Anya mulai menggerakan kepalanya ke arah lubang itu, kakinya sedikit menjinjit karena ukuran tubuhnya tak setinggi pintu. Mata kanannya mulai mengawasi seisi ruangan yang luas itu. Kini ia mulai bisa melihat dengan jelas kondisi bangunan itu yang ternyata sangat kumuh, tak terawat, di sisi dindingnya penuh jaring laba - laba, belum lagi sebagian benda seperti meja dan kursi yang terlihat sangat berdebu. Sepertinya bangunan itu sudah tak terawat dalam waktu yang lama. Dirga pun punya firasat yang sama akan hal ini.
"Iya, entar saya sampaikan kok. Dia pasti juga merasa bangga sekarang, tapi tumben dia bisa sepintar itu," balas Anya.
"Ya namanya juga manusia, kadang di bawah, kadang di atas, kadang pintar, kadang pula bego. Mungkin itu senjata rahasia Bang Johan, pintar mendadak di situasi gawat yang mendadak," Riki bercanda.
"Ah, bisa aja kamu ini," Anya mencoba menahan tawa.
Lagi - lagi Anya terbawa perasaannya oleh kehadiran Riki yang selalu mengeluarkan guyonan ringan. Di antara pria sebaya yang lain, hanya dia sepertinya yang selalu membuatnya tertawa, sisanya cuma rekan seniornya yang tak lain adalah Johan. Anya merasa apa yang Riki lakukan secara tak langsung membuat merasa nyaman bahkan untuk situasi seperti ini. Walau ia mencoba untuk fokus, ketika Riki berbicara, ia seperti mempunyai aura memikat tersendiri melalui canda ringannya ataupun kejeniusannya. Walau begitu Anya justru tak ingin tenggelam ke dalam hal itu, ia justru ingin membuktikan dirinya mampu menghadapi tantangan ini. Agar riki sendiri dan rekannya bisa semakin menaruh hormat padanya dan dengan begitu pula ia juga bisa menarik perhatian Riki. Kini mereka pun, kembali mempusatkan perhatian kepada demit yang berjalan pelan itu. Semakin lama berjalan, demit itu semakin cepat berlari merangkak dengan kedua kaki dan tangannya hingga tak terlihat lagi, tertelan oleh kabut malam di bawah sinar rembulan.
Tak mau kehilangan jejak, Dirga pun menanyai perihal ini kepada Riki.
"Riki, kamu bisa melihat jejaknya bukan?"
"Iya, tenang saja, sejauh apapun larinya, demit itu tak bisa lolos oleh pandangan ku."
"Bagus lah, lalu ke manakah dia berlari?"
"Kalau melihat jejak itu, sepertinya ia berlari ke hutan. Apakah perlu kita kejar?"
"Sepertinya begitu, namun ingat, jangan sampai membuat suara berisik."
"Baiklah."
"Mari kita jalan pelan - pelan."
Dirga melangkah pelan keluar dari persembunyiannya, lalu disusul Riki, Anya dan Jono. Riki yang di sebelah Dirga memberi instruksi melalui kode tangannya. Mereka mengikuti jejak dari demit itu yang terkena sebuah cairan khusus tersebut. Sepatu mereka terus beradu gesek dengan rerumputan liar, walau begitu, mereka berusaha sebisa mungkin tak menghasilkan suara yang mencurigakan di keheningan malam. Setelah melangkahkan kaki dari jarak yang jauh mereka sampai pada sebuah hutan dengan pohon tinggi berjejer menyamping dan berbaris kebelakang. Dengan penuh kehati - hatian mereka masuk lalu menyusuri hutan itu. Kali ini Anya pun tak ingin mengulangi kesalahan yang sama pada hari - hari sebelumnya, ia mencoba lebih berhati - hati kali ini. Dengan dibantu senter yang lebih terang, Anya sebenarnya jauh merasa nyaman apalagi ditemani oleh tiga pria hebat di sisinya. Ia bisa leluasa melihat sekitar, menghindari patahan ranting dan dedaunan yang berjatuhan dengan mudah.
Tak lama kemudian langkahnya terhenti ketika Riki memberikan kode tangan kanan nya yang diangkat ke atas. Kode tangan itu ternyata sebuah pesan bagi para pemburu demit untuk menghentikan langkahnya. Riki meminta Dirga, Anya dan Jono untuk menunggu sebentar di tempat mereka berpijak. Setelah itu ia berjalan pelan beberapa langkah hingga keluar dari hutan itu, alangkah terkejutnya dia ketika melihat padang rumput luas di sebuah dataran yang menurun. Namun itu bukan satu - satunya yang membuat takjub, sebuah bangunan besar tua jaman penjajahan Belanda masih berdiri kokoh di tengah padang rumput. Setelah melihat hal tersebut, Riki memanggil rekan - rekannya itu dengan tangannya. Mereka bertiga berdiri di samping Riki, merasakan perasaan yang sama yaitu terpesona pada pandangan indah yang penuh hawa misterius di baliknya. Tak ingin aksinya ketahuan, mereka kembali memilih bersembunyi di balik sebuah pohon besar tak jauh dari tempat itu.
"Apa yang kamu lihat Riki?" Dirga menanyakan situasi terkini.
"Seperti yang saya lihat, jejak itu terus ada melewati samping bangunan itu, mungkin berjalan ke arah belakang bangunan Belanda itu," duga Riki.
"Hmm... kalau begitu kita harus mengetahui apa sebenarnya yang berada di balik bangunan tua itu. Kalau semua ke sana mungkin hanya menimbulkan suara gaduh dan itu berbahaya buat kita semua. Mungkin ada baiknya salah satu dari kita, ada yang harus turun ke bawah dan mengintip gedung itu untuk memastikan keadaan yang ada," Dirga menyampaikan idenya.
"Tapi siapa??" Riki menatap ke rekan pemburu demit yang lain.
Tak pikir panjang, Anya pun mengajukan dirinya untuk terjun langsung mengawasi target. Ia tampaknya ingin membuktikan dirinya pas berada di tim pemburu demit terutama kepada Riki.
"Eee... Biar saya saja yang turun ke bawah," Anya mengajukan diri.
Sontak hal itu membuat Dirga, Riki dan Jono menatap tak percaya ke arahnya. Bagaimana mungkin orang yang baru saja bergabung berani mengajukan dirinya sementara mereka yang terlatih saja perlu mikir dua kali untuk melihat keadaan yang ada. Riki yang selalu dekat dengannya tentu memiliki rasa tak percaya dengan apa yang ia lakukan. Tentu ia kuatir akan keselamatan jiwanya apalagi dirinya yang belum punya pengalaman banyak terkait perburuan demit. Riki pun mempertanyakan kembali keputusan Anya itu. Berbanding terbalik dengan Dirga, ia justru sangat mempercayainya. Semenjak perburan kemaren, ia yakin Anya punya keahlian yang terpendam terkait hal ini.
"Tunggu sebentar, apa kamu gila Anya? Kamu bisa kehilangan nyawa mu kalau mereka memergoki mu ada di sana," Riki merasa risih terkait hal ini.
"Tenang Riki, saya pasti bisa mengatasi hal ini. Selain itu saya juga percaya kalian akan melindungi ku dari atas sana," tutur Anya.
"Dia benar Riki, tak perlu kuatir, kita akan menjaganya dari sini. Lagi pula sesama rekan tim harus saling percaya bukan, agar semakin kuat kerja samanya, ya kan Jono?" Riki menatap Jono.
Jono membalasnya dengan anggukan kepala yang berarti setuju. Riki pun masih sedikit gusar akan keputusan ini, tapi demi berjalannya misi, ia terpaksa mengalah dengan keadaan. Ia pun memberi sebuag alat komunikasi kepada Anya agar bisa memberi tahu situasi apa saja yang terjadi di sana.
"Hmmm.. baiklah, tapi ingat, jika terjadi sesuatu yang berbahaya cepatlah berlari ke sini. Kamu paham kan, Anya?" Riki mewanti - wanti Anya.
"Iya, saya mengerti. Saya bisa jaga diri sendiri juga," Anya merasa yakin.
"Kalau begitu, pakailah ini, taruh di sekitar telinga mu. Alat ini penting untuk keberlangsungan hidup mu. Alat ini tak cuma menyediakan perangkat komunikasi tapi juga kamera sehingga kita bisa melihat apa yang kamu lihat," Riki menyodorkan alat komunikasi itu.
Anya mengambil alat itu, lalu memasangnya di telinganya. Dan tak lama kemudian Dirga juga menyodorkan sesuatu sebelum ia berangkat pergi.
"Anya, bawalah ini. Ini juga berguna ketika situasi menjadi semakin buruk" Dirga menyerahkan sebuah pistol kepada Anya.
"Terima kasih, Dirga dan juga Riki. Lalu sebaiknya saya harus mengintip lewat mana?" tanya Anya.
"Sapaya kita bisa mengawasi mu lebih jelas, bagaimana kalau lewat sisi depan. Lihatlah itu, pintu bangunan itu terdapat sebuah lubangan seukuran telapak tangan. Mungkin kamu bisa mengintipnya lewat situ," Dirga menunjuk ke arah bangunan itu.
"Oke, saya mengerti," kata Anya.
"Kalau begitu, ayo kita mulai sekarang!!" seru Riki
Sebelum bergegas pergi, Riki memberikan sebuah pesan khusus kepada Anya.
"Anya ... ingat jangan gegabah dan berhati - hatilah."
Anya membalasnya dengan mengangguk, lalu ia pun berjalan perlahan menuruni dataran rumput yang menurun terjal. Sementara Riki mengambil laptop dari ranselnya, dan menyalakannya dengan cepat. Sedangkan Dirga dan Jono mengawasi Anya dari atas, memandang tajam bak elang agar aksinya tak diketahui siapapun termasuk demit itu sendiri.
Anya sendiri kini sudah sampai di depan pintu itu, tangan kanannya lalu menekan tombol yang terletak pada alat komunikasinya itu. Dan dalam sekejap layar laptop milik Riki terlihat gambar visual dari pintu bangunan itu secara dekat.
"Halo... Anya ... kamu bisa mendengar ku kan?" Riki memastikan alat komunikasi nya berfungsi dengam baik.
"Iya.. halo ini Anya, alat nya bisa berfungsi dengan baik," jawab Anya.
"Baguslah, sekarang cobalah untuk mengintip melalui lubang pintu itu. Ingat jangan sampai menimbulkan suara berisik," perintah Riki.
Anya mulai menggerakan kepalanya ke arah lubang itu, kakinya sedikit menjinjit karena ukuran tubuhnya tak setinggi pintu. Mata kanannya mulai mengawasi seisi ruangan yang luas itu. Kini ia mulai bisa melihat dengan jelas kondisi bangunan itu yang ternyata sangat kumuh, tak terawat, di sisi dindingnya penuh jaring laba - laba, belum lagi sebagian benda seperti meja dan kursi yang terlihat sangat berdebu. Sepertinya bangunan itu sudah tak terawat dalam waktu yang lama. Dirga pun punya firasat yang sama akan hal ini.
banditos69 memberi reputasi
1
Kutip
Balas