- Beranda
- Stories from the Heart
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)
...
TS
dodydrogba
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)


Pengantar
Salam kenal gan dan sis, mungkin ane terbiasa nulis artikel - artikel di forum The Lounge, namun untuk forum ini ane benar - benar pemula, jadi harap maklum kalau penulisan cerita sedikit payah.Langsung saja guys, untuk cerita ini murni fiksi, namun inspirasinya berdasarkan kejadian nyata, yaitu kejadian kasus kematian hewan ternaksecara misterius akhir - akhir ini. Tentu dengan ditambah bumbu horor, komedi, drama dan sejenisnya. Selain itu juga terinspirasi dari serial tv Buffy dan Supernatural beserta film Vampires dan Daybreakers. Untuk rule, sama seperti rule SFTH pada umumnya.
Kisah ini bercerita tentang seorang wartawan dengan rekannya yang secara tak sengaja bertemu dengan para pemburu demit. Terkait para pemburu demit sendiri, disini bukan berunsur klenik dan mistis, untuk tahu lebih jauh bisa ikutin cerita ini, jadi langsung saja kita mulai.
Spoiler for PROLOG:

Kala itu, di desa - desa wilayah bagian selatan pulau Jawa tersebar luas kabar kematian mendadak para hewan ternak milik warga setempat. Isu ini sebenarnya sudah akan diantisipasi oleh warga desa lain yang berniat mencegah hal itu. Mereka melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang, namun jawaban yang didapat hanya ketidakseriusan dalam menanggapi masalah yang ada. Mereka menganggap itu hanya ulah hewan semata sehingga tak perlu dibesar - besarkan. Warga desa yang mulai panik itu mau tak mau harus menjaga hewan ternak mereka dengan upaya sendiri tanpa bantuan siapapun. Sayangnya usaha mereka masih kecolongan, beberapa kali hewan ternak mereka mati mengenaskan, mungkin karena peralatan mereka yang tak mendukung serta memadai.
Di lain pihak sebagian warga desa, juga masih banyak yang kurang perhatian dengan isu ini sehingga dengan muka polosnya mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka menyesal belakangan, hewan ternak mereka mati begitu saja tanpa sebab musabab yang jelas.
Di saat yang sama, tersiar kabar akan sebuah kelompok yang menangani ini. Tak ada yang melihat penampakan mereka dengan jelas, namun kabar yang beredar mengatakan setiap wilayah yang didatangi mereka, esoknya akan bersih dari mahluk yang diduga jadi - jadian itu. Ada yang bilang mereka orang - orang pintar yang punya aji - ajian sakti mandraguna, ada pula yang bilang mereka bukan manusia karena hanya beraksi di malam hari layaknya vampir. Mereka yang mengetahui mereka hanya melihat dari kejauhan, seperi bayang - bayang manusia yang tenggelam oleh seramnya hutan belantara.
Namun yang pasti, mereka tak tahu kapan kelompok misterius itu akan menolong dan membantu mereka. Atau mungkin itu cuma mitos belaka sama layaknya mitos lain yang mengatakan penunggu di hutan tersebut adalah mahluk gaib. Tidak ada yang tahu kebenarannya, yang jelas musibah kematian hewan ternak kali ini sedang menghantui Desa Sumbangsih. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah pada keadaan malang yang ada.
Spoiler for Chapter 1:
Pak Dadang terkejut bukan kepalang ketika mengetahui domba - dombanya habis tak tersisa. Ya, mereka semua mati mengenaskan dengan cara yang tak wajar. Bagaimana tak wajar kalau mereka mati dengan kehabisan darah, sebagian lainnya terkoyak di bagian perutnya. Jantung, usus, organ - organ lainnya menghilang. Sepertinya diambil atau lebih parah dimakan oleh sesuatu. Orang - orang yang terdorong atas rasa takutnya mulai menduga - duga. Dari sekte sesat, anjing jadi - jadian, hingga chupacabra mahluk mitos yang terkenal dari Amerika sana yang punya kesamaan dengan mahluk ini. Apalagi kalau dilihat dari jejak - jejaknya. Yang lebih menyedihkannya lagi, cuma ini jalan satu - satunya Pak Dadang mencari nafkah untuk keluarganya. Sebenarnya tidak cuma Pak Dadang yang mengalami kerugian seperti ini, tapi di desa itu cuma dia yang punya domba sebanyak ini.
Ia terpaksa merogoh tabungannya, melihat apakah memungkinkan untuk membeli dua ekor pasang domba yang berbeda jenis kelamin. Tak jauh dari situ, seorang wartawan wanita berumur dua puluh lima tahun bersama fotografer sekaligus kameramennya yang berusia tiga puluhan tampak sedang bekerja keras mencari berbagai narasumber untuk mendukung beritanya itu. Salah satu narasumber itu adalah Pak Dadang, mereka tak sia - siakan kesempatan itu untu menggali lebih dalam seputar kasus ini. Mereka pun mendatangi Pak Dadang, meminta ijin untuk mewancarai lalu memberinya beberapa pertanyaan.
"Jadi apakah sebelumnya pernah terjadi kejadian semacam ini di desa Anda pak?" tanya wartawan itu.
"Kalau kejadian di desa ini sih belum pernah mbak. Tapi saya dengar di desa lain pernah. Sebagian hewan ternak mereka mati dengan cara tidak wajar kayak gini," Pak Dadang menjawab dengan lesu.
"Lalu apa tindakan pemerintah atau instansi terkait hal itu?"
"Yah, dijawabnya cuma serangan hewan biasa mbak, tapi ya gak tahu hewannya apa."
"Bagaimana dengan kejadian di sini, apakah mereka sudah melakukan sesuatu?"
"Wah sepertinya sih belum, gak tahu apakah bakal didatangi atau tidak. Tapi firasat saya bilang paling gak bakal datang. Mana mau mereka ngurus urusan remeh temeh gak jelas kayak gini, mending yang ada proyek duitnya dong."
Melihat dari raut muka bapak itu, sedih dan jengkel bercampur aduk menjadi satu. Wartawan itu juga merasakan kesedihan yang mendalam terhadap bapak itu. Wartawan yang dikenal gigih dan ulet dalam menjalankan tugasnya itu bernama Anya. Walau hanya bekerja di majalah supranatural yang bagi sebagian orang kebanyakan dianggap aneh, tapi baginya merupakan sebuah kesempatan besar untuk mengembangkan kemampuan jurnalisnya. Yah, mungkin tema supranatural emang nyentrik untuk profesinya, tapi tema itu dalam industri media kapitalis masih banyak disukai. Buktinya masih ada saja acara - acara tv macam itu yang bisa bertahan sejak dulu.
Anya dan rekan kameramennya, Johan bergegas mencari narasumber lain di desa itu yang mungkin pernah melihat siapa dalang dibalik kejadian ini. Walau Anya dan Johan terpaut jarak umur yang cukup jauh, mereka bisa menciptakan chemistry yang baik ketika bekerja. Kekompakan mereka membuat setiap pekerjaan yang ada di depan menjadi mudah untuk dihadapi. Yang membedakan adalah status Anya yang masih bujangan, sedangkan Johan sudah menikah. Kali ini mereka mendatangi sesosok sepuh yang sepertinya sudah sangat lama tinggal di desa ini. Entah kenapa diantara yang lain, hanya ia yang paling merasa dikelilingi rasa takut yang amat dalam. Itu terlihat dari ekspresinya ketika melihat mayat - mayat domba itu.
"Maaf bapak, jika tidak merasa keberatan bolehkah saya mewancarai Anda?" tanya Anya dengan sopan.
"Oh iya, silahkan, tidak apa - apa? Tapi kalau boleh tahu mbak dan masnya ini dari media mana ya?" kakek itu penasaran.
"Kami dari majalah Investigasi Supranatural pak," jawab Anya.
"Oh begitu, oke - oke. Jadi mau bertanya apa ya?" kakek itu menggaruk kepalanya.
"Menurut kakek, apakah kakek tahu siapa yang melakukan ini?" Anya bertanya dengan nada sedikit serius.
"Hmm, saya tidak tahu apakah sebagian orang sini sudah tahu mitos ini atau belum. Tapi kakek ketika tahun enam puluhan dulu pada saat kakek masih usia lima belas tahun, sempat ikut ayah kakek menggembala domba - domba itu ke sebuah bukit yang agak jauh dari sini. Ayah kakek selalu bercerita kalau malam - malam jangan mendekati bukit itu atau hutan sekitar bukit itu," kakek itu menjawab seperti termenung akan suatu hal.
"Emangnya ada apa kek?" tanya Anya yang penasaran.
"Ketika itu teman kakek mencoba untuk mendekati bukit dan hutan itu pada malam hari. Ia tak percaya omong kosong orang tuanya itu. Ia bersama anjingnya itu akhirnya pergi pada saat hari mulai malam. Yah, saya akui kalau dia adalah anak pemberani yang selalu ingin dicap hebat oleh masyarakat setempat. Tidak seperti saya yang penakut ini, saya menolak ajakannya untuk pergi ke tempat itu malam hari. Ia pergi dengan riang gembira dan penuh semangat. Tapi ..." kakek itu mulai teringat akan kisah masa lalu yang mengerikan.
"Tapi kenapa kek??" Anya semakin penasaran.
"Tapi.. semua itu berubah ketika para orang kampung menemukan sesosok mayat remaja beserta anjing peliharannya tewas mengenaskan. Perutnya terkoyak, ususnya terburai keluar, darah berceceran di mana - mana. Jantungnya juga menghilang. Selain itu lehernya seperti habis digigit oleh sesuatu, darahnya seperti dihisap," kakek itu menjelaskan.
"Siapa yang menyerang anak itu kek?" tanya Anya.
"Teman saya itu diserang oleh mahluk yang mungkin bagi orang - orang pada umumnya menganggapnya hanya bualan kisah mistis belaka. Mereka berbicara tentang anjing jadi - jadian, tapi sepanjang saya hidup menggembala menjaga domba, tak pernah melihat anjing jadi - jadian atau anjing hutan menghisap darah sampai habis, memakan organ dalam saja. Dan cara mereka berburu tidaklah seperti itu, mereka akan menggigit kaki belakangnya agar kesusahan bergerak. Lalu sebagian anjing hutan lain akan melumpuhkannya ketika hewan buruannya sudah sulit bergerak. Memang ada sebagian yang mengigit di leher, tapi tidak untuk menghisap darahnya. Aku yakin itu adalah demit, iya demit, seperti yang diceritakan orang - orang jaman dahulu," kakek itu bercerita panjang lebar.
"Apakah demit itu yang menjadi dalang di balik kejadian ini?"
"Mungkin saja, aku harap demit itu tak kembali lagi di sini dan mulai membunuh penduduk di sini karena hewan ternaknya sudah habis."
Informasi yang didapat oleh Anya tampak sudah cukup bagus buat pendukung artikelnya. Ia pun berniat mengakhir wawancara dengan kakek itu.
"Terima kasih kakek atas kesempatannya. Mudah - mudahan kejadian ini tak terulang kembali," kata Anya.
"Iya, sama - sama. Kakek hanya berharap ada orang yang mau menyelesaikan masalah ini. Kalau begitu kakek pamit dulu ya nduk," kakek itu berpamitan dan meninggalkan mereka berdua.
Setelah kakek itu pergi, mereka mencari tempat teduh untuk istirahat. Akhirnya mereka menemukan toko kelontong di desa itu. Selain berniat istirahat mereka juga ingin mengisi perut mereka yang mulai keroncongan entah dengan kue ataupun makanan berat kalau ada. Di depan toko itu terdapat meja bundar dengan payung besar di atasnya dan di sekelilingnya terdapat kursi - kursi yang terbuat dari plastik. Anya duduk di kursi itu, laptopnya diletakkan di meja tersebut. Sementara Johan membeli makanan dan minuman untuk santapan siang. Terik panas matahari pada siang itu benar - benar menguras tenaga mereka.
Sambil mengetik, dipikiran Anya bergelayut kata - kata indah nan mistik agar menambah aura misteri artikel terbaru yang akan dibuatnya. Pembaca biasanya sangat tertarik dengan artikel seperti ini membuat mereka semakin penasaran tapi juga ketakutan disaat yang sama. Sama seperti menonton film horor, rasa takut membuat orang semakin tertarik dengan film itu.
Tak lama kemudian Johan keluar dari toko itu, lalu mendatanginya dan duduk di depanya. Ia sepertinya membeli banyak makanan, seperti nasi kuning dan roti isi coklat pisang. Tak lupa membeli air mineral sebagai pelepas dahaga. Ia lalu menyodorkan sebagian makanan dan minuman itu untuk rekan kerjanya itu.
"Anya, nih makan dulu. Nanti laper, kamu gak semangat nulisnya," Johan menawarkan.
"Oh iya, makasih Bang Johan. Bang Johan makan dulu aja, ini Anya nyelesain sekalian trus biar langsung di publish di internet," Anya menolak dengan halus.
"Ya udah, saya makan dulu ya," sambil makan roti Johan melihat Anya yang walau serius namun seperti memikirkan sesuatu.
Sebentar - sebentar mengetik, sebentar - sebentar berpikir akan suatu hal entah kehabisan ide tulisan atau memikirkan yang lain.
"Anya, kamu kehabisan ide ya?"
"Oh, enggak kok bang. Anya cuma memikirkan rumor yang hadir baru - baru ini. Yang berkembang dari mulut ke mulut para peternak desa itu."
"Jangan bilang kamu lagi memikirkan soal rumor para pemburu aneh itu?"
"Iya bang, emang itu."
Mendengar itu, Bang Johan hampir tersedak. Ia menghentikan makannya sebentar lalu menasihati Anya.
"Sudah kubilang mending gak perlu dipikirkan, paling itu cuma kabar burung belaka. Kita gak pernah tahu kalau mereka itu beneran ada atau enggak. Atau bahkan cuma isu yang digunakan buat nakut - nakutin sekte sesat itu. Kita bahkan tak punya bukti kuat soal itu."
"Tapi bang, jika kita bisa mendapatkan info soal mereka. Dan ternyata mereka beneran ada, kita kan bisa terkenal. Apalagi artikel tentang mereka bisa saja disukai banyak orang," kata Anya yang tak putus asa akan pendiriannya itu.
"Iya Anya, tapi kalau gini terus entar bisa mengganggu konsentrasi kamu. Entar kalau hasil kerjaan kita buruk, kita malah dipsk eh diphk. Entar sulit lagi nyari kerjaan kayak gini," Johan menasihati.
"Apalagi kita gak tahu mereka itu jahat atau baik. Dan kalau mereka ada, mereka sudah di sini membantu peternak itu dengan ajian - ajian sakti mandragunanya," lanjutnya.
"Iya juga sih bang," Anya mengangguk.
Tapi ada sebagian nasihat Johan yang ternyata malah menginspirasi Anya untuk melakukan sesuatu.
"Aha, aku punya ide!!" kata Anya sambil tersenyum.
"Ide apalagi?" Johan penasaran.
"Bagaimana kalau nanti malam kita melakukan investigasi di sekitar hutan dekat desa itu? Bisa saja mahluk itu kabur ke hutan seperti yang dikatakan kakek itu," ujar Anya dengan percaya diri.
Mendengar itu, Johan bak dipukul punggungnya dengan keras. Ia tak percaya rekannya itu mengeluarkan ide konyol bin gila yang membuatnya menyemburkan minuman yang diminumnya hingga muncrat ke mana - mana.
"Byurrr!!"
"Kamu sudah gila apa sinting Anya, kalau gitu caranya besok gak ada jaminan kita ngelihat orang tersayang untuk kedua kalinya!!" Johan terkejut setengah mati.
"Ya santai kali bang, muncrat semua ini sampai kena baju. Hmm mbuekk bau jigong lagi. Lagipula Anya kan masih jomblo," Anya membersihkan bekas semburan air dari mulut Johan.
"Ya udah, pokoknya jangan aneh - aneh. Kamu kebanyakan nonton film horor sih. Pokoknya setelah ini kita balik ke penginapan," tegas Johan.
"Iya bang, iya," Anya pun terpaksa menyetujuinya.
Walau ada yang masih mengganjal dalam hati Anya soal idenya itu, ia terpaksa menuruti keinginan seniornya demi kebaikan bersama. Anya pun sebenarnya masih kukuh akan pemikirannya, ia sangat tertarik dengan para kelompok pemburu mahluk - mahluk yang membunuh hewan - hewan ternak itu. Dalam hatinya ia yakin bahwa orang - orang itu pasti akan hadir di sekitar tempat kejadian perkara, atau paling tidak tak jauh dari situ. Ia pun memutar otak agar bisa merelisasikan idenya itu. Dan sepertinya dia mendapatkan secercah cahaya akan idenya tersebut.
"Bang, Anya boleh tanya gak?"
"Boleh, mau nanya apa? Kamu kayak mahasiswa baru aja, nanyanya kayak takut sama senior?"
"Iya, Anya nanti yang nyetir mobil buat balik ke penginapan boleh gak?"
"Hmm, tumben baik. Kayaknya ada sesuatu ini?"
"Ya gak lah bang. Emang niat ikhlas kok bang. Kan kasihan juga Bang Johan sudah capek ke mana - mana. Mana jauh pula jaraknya. Sekali - kali biar Anya yang nyetirin deh bang."
"Yang benar kamu mau nyetirin?"
"Iya bang. Diam - diam saya juga jago kok nyetirnya. Kayak si Takumi penjual tahu."
"Hah?? Siapa itu? Ah yaudahlah, tapi awas ntar kalau ngelecetin mobil ini. Ntar lain kali tak suruh kamu sprint ke tkp."
"Oke - oke, sip lah kalau sama Anya bang. Pasti barang tetap mulus dan kinclong kok."
Setelah perbincangan itu, Anya melanjutkan kembali tugasnya itu hingga selesai. Di tengah usianya yang masih muda, batinnya terus bergejolak tanpa henti. Ia harus memilih mengkuti idealismenya yang menggebu - gebu, atau tunduk pada aturan kaku yang ada. Karena rasa penasarannya yang besar, ia lebih memilih tunduk pada obsesi sintingnya itu. Saking kuat pendiriannya itu, kalimat pembunuh seperti ah itu cuma omong kosong atau khalayan rakyat belaka sudah tak mempan untuknya. Baginya sebuah kejadian tak bisa dikatakan omong kosong tanpa disertai bukti yang kuat sama halnya dengan mengatakan kejadian tersebut adalah fakta dan nyata tentu perlu memerlulan bukti yang kuat.
Ia yang juga bergulat dengan hoax dunia maya bahkan butuh bukti kuat kalau itu adalah hoax. Karena itulah ia mencari beberapa bukti untuk mendukung artikelnya itu. Ia tahu kali ini resikonya sangat besar, malah dapat berakibat fatal pada dirinya sendiri. Namun karena usianya yang muda dan idealismenya yang kuat itu membuatnya peduli setan dengan resiko fatal itu. Tentu ia juga sangat was - was karena ia tak tahu siapa atau apa yang akan ia hadapi.
Index:
Prolog
Chapter 1
Chaper 2 part 1
Chapter 2 part 2
Chapter 3 part 1
Chapter 3 part 2
Chapter 3 part 3
Chapter 3 part 4
Chapter 3 part 5
Chapter 3 part 6
Chapter 4 part 1
Chapter 4 part 2
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 part 3
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
CHapter 9 Part 3
Chapter 9 Part 4
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 10 Part 3
Chapter 10 part 4
Chapter 10 part 5
Chapter 11 Part 1
Chapter 11 Part 2
Chapter 11 Part 3
Diubah oleh dodydrogba 26-01-2019 16:06
banditos69 dan anasabila memberi reputasi
2
10.1K
Kutip
58
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dodydrogba
#29
Spoiler for Chapter 9 Part 1:
Sinar matahari itu menerobos masuk melalui celah jendela, menyentuh tubuh Anya sehingga membuat kulitnya jauh lebih hangat. Namun bukan itu sebenarnya yang membuat nya terusik, sebuah dering handphone yang keras yang terus - terusan berbunyi tiada henti terpaksa membuat dirinya harus bangun dari tidur lelapnya. Dengan setengah ngantuk, ia mencoba bangkit lalu mengangkat panggilan handphone di meja kecil samping kasur tempat tidurnya. Entah kenapa setelah sekian detik menerima panggilan itu, Anya yang tadinya masih digelayuti rasa kantuk tiba - tiba langsung sepenuhnya sadar. Melalui pesan itu , raut mukanya menggambarkan rasa pilu sekaligus kesedihan yang mendalam. Dahinya berkerut, tatapan matanya kosong serta mulut menganga lebar. Ia terkejut setengah mati ketika bos nya menyuruhnya ke sebuah tempat kejadian perkara di Desa Sumbang Nyowo. Sebuah kejadian mengerikan telah terjadi di sana. Ia tak mampu berucap apa - apa, ia menyesal ikut dalam perayaan kemenangan yang terlalu dini itu. Tak lama kemudian ia menutup panggilan bosnya yang belum selesai bicara sepenuhnya. Ia bangkit dari tempat tidurnya lalu bergegas ke kamar Riki dan Dirga. Ia membuka pintu, lalu berlari kencang ke depan pintu kamar mereka. Dengan sekuat tenaga ia mengetuk dengan keras dalam tempo yang cepat. Tentu suara ketukan nyaring itu membuat telinga siapapun yang mendengarnya menjadi tak nyaman termasuk Riki yang terbangun karenanya. Dengan agak terburu - buru ia bangkit, sambil mencoba menahan rasa kantuk ia pun membuka pintu tersebut.
"Oh, Anya, Ada apa pagi - pagi gini menemui ku? Kamu kesusahan buka air keran ya, atau gak dapat sarapan roti," Riki mengusap matanya.
"Riki, ini serius. Kita sedang mendapat masalah besar!!" kata Anya sedang gusar itu.
"Serius?? masalah besar?? Kamu bicara apa sih Anya?" Riki kebingungan.
"Mereka menyerang desa!!" jawab Anya.
"Mereka?? Demit maksud mu, kamu sedang tidak ngelindur kan?" Riki setengah tak percaya.
"Iya, demit - demit itu. Tadi barusan bos ku menelpon, saya disuruh untuk segera meliput ke sana," Anya menjelaskan dengan terburu - buru.
"Oke - oke, Anya kamu tahan napas lalu keluarkan, santai aja. Sekarang kamu bisa jelaskan lebih detil apa yang terjadi saat ini," Riki mencoba membuat Anya lebih rileks.
"Huffff...hhuuuu, oke, kamu mau berita baik atau berita buruk?" Anya menawarkan.
"Berita baik dulu?" kata Riki.
"Berita baiknya, hewan ternak mereka semua selamat," jawab Anya.
"Hufhhh, baguslah, lalu berita buruknya?" Riki merasa lega namun masih menyimpan rasa penasaran.
"Berita buruknya...eeee... banyak terjadi koban jiwa, lebih dari sepuluh orang diantaranya polisi tewas dalam serangan itu," Anya menjawab dengan sedikit rasa takut.
"Apa??? Itu beneran terjadi? Sialan tadi malam kita benar - benar terkecoh," kesal Riki.
"Riki, tak ada waktu untuk menjelaskan lebih jauh soal ini. Mendingan kamu ikut dengan saya dan Johan ke Desa Sumbang Nyowo itu. Kita bisa mengetahui banyak soal ini," ajak Anya.
"Iya, kamu benar. Baiklah, kamu dan Johan nanti tunggu di depan halaman hotel. Saya akan bersiap diri dengan cepat," kata Riki.
"Oke, kalau begitu saya akan menemui Bang Johan terlebih dahulu. Saya tunggu di depan hotel nanti," Anya pun meninggalkan Riki.
Sementara Riki mempersiapkan dirinya, Anya pun berusaha memanggil sekaligus membangunkan Bang Johan di kamar nya. Setelah semuanya sudah siap, mereka langsung meluncur ke tempat kejadian perkara di Desa Sumbang Nyowo dengan mobil van milik kantor tempat Anya bekerja. Sesampainya di sana mereka langsung melakukan tugasnya masing - masing, Anya melakukan peliputan dengan mewawancarai beberapa narasumber, sedangkan Johan yang merekamnya. Riki lebih memilih menunggu di warung tak jauh dari situ, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa tersebut.
"Ini mas kopi nya," mbok penjaga warung menyerahkan kopi hangat kepada Riki.
"Terima kasih ya mbok, oh iya mbok boleh gak kalau saya bertanya sesuatu?" Riki menaruh gelas di mejanya.
"Silahkan aja, mas. Gak usah sungkan - sungkan," mbok penjaga warung mempersilahkan.
"Sebenarnya apa terjadi di sini ya, kok kayaknya ramai betul? Ada polisi, kades, dan sebagainya, emang ada apa ya?" Riki mengajukan pertanyaan.
"Oh itu, sebenarnya mbok rada takut bilangnya. Agak gak enak sama tetangga yang jadi korban, tapi karena masnya pingin tahu, ya udah mbok ceritain aja. Jadi begini mas, tadi malam sebagian bapak - bapak, dan remaja pria jadi korban serangan mahluk jadi - jadian mas. Bapak - bapak dan polisi itu niatnya ya semacam ngeronda menjaga desa gitu mas. Saya jadi sedih melihat korbannya, juga tetangga - tetangga saya. Untung suami dan anak saya ketiduran pas itu, jadi masih bisa selamat," jawab mbok itu dengan raut muka ketakutan.
"Wah, maaf mbok kalau saya agak lancang," Riki merasa tidak enak.
"Ah, gak apa - apa kok. Mbok cuma berharap ada yang bisa menyelesaikan masalah seperti ini. Warga desa tidak ingin tiap hari diselimuti rasa takut dalam hidupnya, mereka juga punya kehidupan. Berharap bisa kembali menjalankan aktifitas seperti biasa pada umumnya," keluh mbok itu.
"Iya mbok, saya turut berduka cita. Saya juga merasakan kesedihan yang mendalam atas meninggalnya para korban itu. Mudah - mudahan masalah seperti ini bisa selesai," kata Riki.
Untuk menenangkan dirinya, Rikipun menyeruput kopi hangatnya itu. Selang beberapa detik kemudian, jiwa dan pikirannya jauh lebih tenang. Mungkin jika ada jahe atau stmj, ia lebih memilih itu karena lebih menyegarkan. Ia berusaha sebisa mungkin menikmati kopinya di tengah suasana tak mengenakkan. Selagi menyeruput kopi, sesekali ia melirik tempat kejadian perkara. Ia melihat Anya sedang sibuk mewawancari polisi, lalu disekitarnya terpasang memanjang garis kuning polisi yang mengkilap. Beberapa mayat sudah ditutupi, sedangkan yang lain masih tahap identifikasi dan penyelidikan. Ia bisa melihat jelas bekas noda darah yang menempel di tanah dalam jumlah yang cukup banyak.
Berbeda dengan Riki yang mulai adem, situasi yang tak hangat sedang dialami Dirga, Budi, Jono dan Rusman. Mereka duduk termenung menatap layar televisi yang memberitakan kejadian semalam. Raut muka mereka menggambarkan rasa duka yang mendalam serta kekesalan yang sangat besar. Harusnya mereka tahu demit - demit itu tak semuanya musnah. Namun sayang, mereka tenggelam di sebuah aura kebahagiaan yang sangat dalam. Membuat mereka terkecoh, tak berpikir akan ada kejadian mengerikan di tempat lain. Jono pun tak kuasa menahan rasa kesalnya pada saat itu.
"Sialan, harusnya kita tahu kalau mereka masih ada. Sighh, mungkin M4 ku ini masih ada waktu buat menyelamatkan warga itu."
Mendengar hal itu, Rusman pun mencoba untuk menenangkannya, "Santai kawan, saya yakin kita semua dipenuhi emosi negatif yang sangat tinggi. Namun kita jangan sampai tenggelam di jurang emosi negatif yang sangat dalam. Nanti membuat kita tak bisa berpikir bersih, susah fokus untuk melaksanakan aksi selanjutnya."
"Iya, Rusman benar. Kita harus bisa menahan diri. Mungkin dengan begitu kita bisa merencanakan hal yang lebih baik untuk masalah ini," Budi setuju dengan omongan Rusman.
Dirga sendiri seperti tak mempedulikan mereka, ia diam menatap layar televisi itu, walau begitu hatinya sudah dipenuhi rasa amarah. Ia hanya ingin kembali bertemu demit - demit itu untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai.
"Oh, Anya, Ada apa pagi - pagi gini menemui ku? Kamu kesusahan buka air keran ya, atau gak dapat sarapan roti," Riki mengusap matanya.
"Riki, ini serius. Kita sedang mendapat masalah besar!!" kata Anya sedang gusar itu.
"Serius?? masalah besar?? Kamu bicara apa sih Anya?" Riki kebingungan.
"Mereka menyerang desa!!" jawab Anya.
"Mereka?? Demit maksud mu, kamu sedang tidak ngelindur kan?" Riki setengah tak percaya.
"Iya, demit - demit itu. Tadi barusan bos ku menelpon, saya disuruh untuk segera meliput ke sana," Anya menjelaskan dengan terburu - buru.
"Oke - oke, Anya kamu tahan napas lalu keluarkan, santai aja. Sekarang kamu bisa jelaskan lebih detil apa yang terjadi saat ini," Riki mencoba membuat Anya lebih rileks.
"Huffff...hhuuuu, oke, kamu mau berita baik atau berita buruk?" Anya menawarkan.
"Berita baik dulu?" kata Riki.
"Berita baiknya, hewan ternak mereka semua selamat," jawab Anya.
"Hufhhh, baguslah, lalu berita buruknya?" Riki merasa lega namun masih menyimpan rasa penasaran.
"Berita buruknya...eeee... banyak terjadi koban jiwa, lebih dari sepuluh orang diantaranya polisi tewas dalam serangan itu," Anya menjawab dengan sedikit rasa takut.
"Apa??? Itu beneran terjadi? Sialan tadi malam kita benar - benar terkecoh," kesal Riki.
"Riki, tak ada waktu untuk menjelaskan lebih jauh soal ini. Mendingan kamu ikut dengan saya dan Johan ke Desa Sumbang Nyowo itu. Kita bisa mengetahui banyak soal ini," ajak Anya.
"Iya, kamu benar. Baiklah, kamu dan Johan nanti tunggu di depan halaman hotel. Saya akan bersiap diri dengan cepat," kata Riki.
"Oke, kalau begitu saya akan menemui Bang Johan terlebih dahulu. Saya tunggu di depan hotel nanti," Anya pun meninggalkan Riki.
Sementara Riki mempersiapkan dirinya, Anya pun berusaha memanggil sekaligus membangunkan Bang Johan di kamar nya. Setelah semuanya sudah siap, mereka langsung meluncur ke tempat kejadian perkara di Desa Sumbang Nyowo dengan mobil van milik kantor tempat Anya bekerja. Sesampainya di sana mereka langsung melakukan tugasnya masing - masing, Anya melakukan peliputan dengan mewawancarai beberapa narasumber, sedangkan Johan yang merekamnya. Riki lebih memilih menunggu di warung tak jauh dari situ, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di desa tersebut.
"Ini mas kopi nya," mbok penjaga warung menyerahkan kopi hangat kepada Riki.
"Terima kasih ya mbok, oh iya mbok boleh gak kalau saya bertanya sesuatu?" Riki menaruh gelas di mejanya.
"Silahkan aja, mas. Gak usah sungkan - sungkan," mbok penjaga warung mempersilahkan.
"Sebenarnya apa terjadi di sini ya, kok kayaknya ramai betul? Ada polisi, kades, dan sebagainya, emang ada apa ya?" Riki mengajukan pertanyaan.
"Oh itu, sebenarnya mbok rada takut bilangnya. Agak gak enak sama tetangga yang jadi korban, tapi karena masnya pingin tahu, ya udah mbok ceritain aja. Jadi begini mas, tadi malam sebagian bapak - bapak, dan remaja pria jadi korban serangan mahluk jadi - jadian mas. Bapak - bapak dan polisi itu niatnya ya semacam ngeronda menjaga desa gitu mas. Saya jadi sedih melihat korbannya, juga tetangga - tetangga saya. Untung suami dan anak saya ketiduran pas itu, jadi masih bisa selamat," jawab mbok itu dengan raut muka ketakutan.
"Wah, maaf mbok kalau saya agak lancang," Riki merasa tidak enak.
"Ah, gak apa - apa kok. Mbok cuma berharap ada yang bisa menyelesaikan masalah seperti ini. Warga desa tidak ingin tiap hari diselimuti rasa takut dalam hidupnya, mereka juga punya kehidupan. Berharap bisa kembali menjalankan aktifitas seperti biasa pada umumnya," keluh mbok itu.
"Iya mbok, saya turut berduka cita. Saya juga merasakan kesedihan yang mendalam atas meninggalnya para korban itu. Mudah - mudahan masalah seperti ini bisa selesai," kata Riki.
Untuk menenangkan dirinya, Rikipun menyeruput kopi hangatnya itu. Selang beberapa detik kemudian, jiwa dan pikirannya jauh lebih tenang. Mungkin jika ada jahe atau stmj, ia lebih memilih itu karena lebih menyegarkan. Ia berusaha sebisa mungkin menikmati kopinya di tengah suasana tak mengenakkan. Selagi menyeruput kopi, sesekali ia melirik tempat kejadian perkara. Ia melihat Anya sedang sibuk mewawancari polisi, lalu disekitarnya terpasang memanjang garis kuning polisi yang mengkilap. Beberapa mayat sudah ditutupi, sedangkan yang lain masih tahap identifikasi dan penyelidikan. Ia bisa melihat jelas bekas noda darah yang menempel di tanah dalam jumlah yang cukup banyak.
Berbeda dengan Riki yang mulai adem, situasi yang tak hangat sedang dialami Dirga, Budi, Jono dan Rusman. Mereka duduk termenung menatap layar televisi yang memberitakan kejadian semalam. Raut muka mereka menggambarkan rasa duka yang mendalam serta kekesalan yang sangat besar. Harusnya mereka tahu demit - demit itu tak semuanya musnah. Namun sayang, mereka tenggelam di sebuah aura kebahagiaan yang sangat dalam. Membuat mereka terkecoh, tak berpikir akan ada kejadian mengerikan di tempat lain. Jono pun tak kuasa menahan rasa kesalnya pada saat itu.
"Sialan, harusnya kita tahu kalau mereka masih ada. Sighh, mungkin M4 ku ini masih ada waktu buat menyelamatkan warga itu."
Mendengar hal itu, Rusman pun mencoba untuk menenangkannya, "Santai kawan, saya yakin kita semua dipenuhi emosi negatif yang sangat tinggi. Namun kita jangan sampai tenggelam di jurang emosi negatif yang sangat dalam. Nanti membuat kita tak bisa berpikir bersih, susah fokus untuk melaksanakan aksi selanjutnya."
"Iya, Rusman benar. Kita harus bisa menahan diri. Mungkin dengan begitu kita bisa merencanakan hal yang lebih baik untuk masalah ini," Budi setuju dengan omongan Rusman.
Dirga sendiri seperti tak mempedulikan mereka, ia diam menatap layar televisi itu, walau begitu hatinya sudah dipenuhi rasa amarah. Ia hanya ingin kembali bertemu demit - demit itu untuk menyelesaikan apa yang mereka mulai.
Diubah oleh dodydrogba 01-05-2018 13:25
banditos69 memberi reputasi
1
Kutip
Balas