- Beranda
- Stories from the Heart
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)
...
TS
dodydrogba
Para Pemburu Demit (Cerita Fiksi)


Pengantar
Salam kenal gan dan sis, mungkin ane terbiasa nulis artikel - artikel di forum The Lounge, namun untuk forum ini ane benar - benar pemula, jadi harap maklum kalau penulisan cerita sedikit payah.Langsung saja guys, untuk cerita ini murni fiksi, namun inspirasinya berdasarkan kejadian nyata, yaitu kejadian kasus kematian hewan ternaksecara misterius akhir - akhir ini. Tentu dengan ditambah bumbu horor, komedi, drama dan sejenisnya. Selain itu juga terinspirasi dari serial tv Buffy dan Supernatural beserta film Vampires dan Daybreakers. Untuk rule, sama seperti rule SFTH pada umumnya.
Kisah ini bercerita tentang seorang wartawan dengan rekannya yang secara tak sengaja bertemu dengan para pemburu demit. Terkait para pemburu demit sendiri, disini bukan berunsur klenik dan mistis, untuk tahu lebih jauh bisa ikutin cerita ini, jadi langsung saja kita mulai.
Spoiler for PROLOG:

Kala itu, di desa - desa wilayah bagian selatan pulau Jawa tersebar luas kabar kematian mendadak para hewan ternak milik warga setempat. Isu ini sebenarnya sudah akan diantisipasi oleh warga desa lain yang berniat mencegah hal itu. Mereka melaporkan hal tersebut ke pihak berwenang, namun jawaban yang didapat hanya ketidakseriusan dalam menanggapi masalah yang ada. Mereka menganggap itu hanya ulah hewan semata sehingga tak perlu dibesar - besarkan. Warga desa yang mulai panik itu mau tak mau harus menjaga hewan ternak mereka dengan upaya sendiri tanpa bantuan siapapun. Sayangnya usaha mereka masih kecolongan, beberapa kali hewan ternak mereka mati mengenaskan, mungkin karena peralatan mereka yang tak mendukung serta memadai.
Di lain pihak sebagian warga desa, juga masih banyak yang kurang perhatian dengan isu ini sehingga dengan muka polosnya mereka tak tahu apa yang terjadi. Mereka menyesal belakangan, hewan ternak mereka mati begitu saja tanpa sebab musabab yang jelas.
Di saat yang sama, tersiar kabar akan sebuah kelompok yang menangani ini. Tak ada yang melihat penampakan mereka dengan jelas, namun kabar yang beredar mengatakan setiap wilayah yang didatangi mereka, esoknya akan bersih dari mahluk yang diduga jadi - jadian itu. Ada yang bilang mereka orang - orang pintar yang punya aji - ajian sakti mandraguna, ada pula yang bilang mereka bukan manusia karena hanya beraksi di malam hari layaknya vampir. Mereka yang mengetahui mereka hanya melihat dari kejauhan, seperi bayang - bayang manusia yang tenggelam oleh seramnya hutan belantara.
Namun yang pasti, mereka tak tahu kapan kelompok misterius itu akan menolong dan membantu mereka. Atau mungkin itu cuma mitos belaka sama layaknya mitos lain yang mengatakan penunggu di hutan tersebut adalah mahluk gaib. Tidak ada yang tahu kebenarannya, yang jelas musibah kematian hewan ternak kali ini sedang menghantui Desa Sumbangsih. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah pada keadaan malang yang ada.
Spoiler for Chapter 1:
Pak Dadang terkejut bukan kepalang ketika mengetahui domba - dombanya habis tak tersisa. Ya, mereka semua mati mengenaskan dengan cara yang tak wajar. Bagaimana tak wajar kalau mereka mati dengan kehabisan darah, sebagian lainnya terkoyak di bagian perutnya. Jantung, usus, organ - organ lainnya menghilang. Sepertinya diambil atau lebih parah dimakan oleh sesuatu. Orang - orang yang terdorong atas rasa takutnya mulai menduga - duga. Dari sekte sesat, anjing jadi - jadian, hingga chupacabra mahluk mitos yang terkenal dari Amerika sana yang punya kesamaan dengan mahluk ini. Apalagi kalau dilihat dari jejak - jejaknya. Yang lebih menyedihkannya lagi, cuma ini jalan satu - satunya Pak Dadang mencari nafkah untuk keluarganya. Sebenarnya tidak cuma Pak Dadang yang mengalami kerugian seperti ini, tapi di desa itu cuma dia yang punya domba sebanyak ini.
Ia terpaksa merogoh tabungannya, melihat apakah memungkinkan untuk membeli dua ekor pasang domba yang berbeda jenis kelamin. Tak jauh dari situ, seorang wartawan wanita berumur dua puluh lima tahun bersama fotografer sekaligus kameramennya yang berusia tiga puluhan tampak sedang bekerja keras mencari berbagai narasumber untuk mendukung beritanya itu. Salah satu narasumber itu adalah Pak Dadang, mereka tak sia - siakan kesempatan itu untu menggali lebih dalam seputar kasus ini. Mereka pun mendatangi Pak Dadang, meminta ijin untuk mewancarai lalu memberinya beberapa pertanyaan.
"Jadi apakah sebelumnya pernah terjadi kejadian semacam ini di desa Anda pak?" tanya wartawan itu.
"Kalau kejadian di desa ini sih belum pernah mbak. Tapi saya dengar di desa lain pernah. Sebagian hewan ternak mereka mati dengan cara tidak wajar kayak gini," Pak Dadang menjawab dengan lesu.
"Lalu apa tindakan pemerintah atau instansi terkait hal itu?"
"Yah, dijawabnya cuma serangan hewan biasa mbak, tapi ya gak tahu hewannya apa."
"Bagaimana dengan kejadian di sini, apakah mereka sudah melakukan sesuatu?"
"Wah sepertinya sih belum, gak tahu apakah bakal didatangi atau tidak. Tapi firasat saya bilang paling gak bakal datang. Mana mau mereka ngurus urusan remeh temeh gak jelas kayak gini, mending yang ada proyek duitnya dong."
Melihat dari raut muka bapak itu, sedih dan jengkel bercampur aduk menjadi satu. Wartawan itu juga merasakan kesedihan yang mendalam terhadap bapak itu. Wartawan yang dikenal gigih dan ulet dalam menjalankan tugasnya itu bernama Anya. Walau hanya bekerja di majalah supranatural yang bagi sebagian orang kebanyakan dianggap aneh, tapi baginya merupakan sebuah kesempatan besar untuk mengembangkan kemampuan jurnalisnya. Yah, mungkin tema supranatural emang nyentrik untuk profesinya, tapi tema itu dalam industri media kapitalis masih banyak disukai. Buktinya masih ada saja acara - acara tv macam itu yang bisa bertahan sejak dulu.
Anya dan rekan kameramennya, Johan bergegas mencari narasumber lain di desa itu yang mungkin pernah melihat siapa dalang dibalik kejadian ini. Walau Anya dan Johan terpaut jarak umur yang cukup jauh, mereka bisa menciptakan chemistry yang baik ketika bekerja. Kekompakan mereka membuat setiap pekerjaan yang ada di depan menjadi mudah untuk dihadapi. Yang membedakan adalah status Anya yang masih bujangan, sedangkan Johan sudah menikah. Kali ini mereka mendatangi sesosok sepuh yang sepertinya sudah sangat lama tinggal di desa ini. Entah kenapa diantara yang lain, hanya ia yang paling merasa dikelilingi rasa takut yang amat dalam. Itu terlihat dari ekspresinya ketika melihat mayat - mayat domba itu.
"Maaf bapak, jika tidak merasa keberatan bolehkah saya mewancarai Anda?" tanya Anya dengan sopan.
"Oh iya, silahkan, tidak apa - apa? Tapi kalau boleh tahu mbak dan masnya ini dari media mana ya?" kakek itu penasaran.
"Kami dari majalah Investigasi Supranatural pak," jawab Anya.
"Oh begitu, oke - oke. Jadi mau bertanya apa ya?" kakek itu menggaruk kepalanya.
"Menurut kakek, apakah kakek tahu siapa yang melakukan ini?" Anya bertanya dengan nada sedikit serius.
"Hmm, saya tidak tahu apakah sebagian orang sini sudah tahu mitos ini atau belum. Tapi kakek ketika tahun enam puluhan dulu pada saat kakek masih usia lima belas tahun, sempat ikut ayah kakek menggembala domba - domba itu ke sebuah bukit yang agak jauh dari sini. Ayah kakek selalu bercerita kalau malam - malam jangan mendekati bukit itu atau hutan sekitar bukit itu," kakek itu menjawab seperti termenung akan suatu hal.
"Emangnya ada apa kek?" tanya Anya yang penasaran.
"Ketika itu teman kakek mencoba untuk mendekati bukit dan hutan itu pada malam hari. Ia tak percaya omong kosong orang tuanya itu. Ia bersama anjingnya itu akhirnya pergi pada saat hari mulai malam. Yah, saya akui kalau dia adalah anak pemberani yang selalu ingin dicap hebat oleh masyarakat setempat. Tidak seperti saya yang penakut ini, saya menolak ajakannya untuk pergi ke tempat itu malam hari. Ia pergi dengan riang gembira dan penuh semangat. Tapi ..." kakek itu mulai teringat akan kisah masa lalu yang mengerikan.
"Tapi kenapa kek??" Anya semakin penasaran.
"Tapi.. semua itu berubah ketika para orang kampung menemukan sesosok mayat remaja beserta anjing peliharannya tewas mengenaskan. Perutnya terkoyak, ususnya terburai keluar, darah berceceran di mana - mana. Jantungnya juga menghilang. Selain itu lehernya seperti habis digigit oleh sesuatu, darahnya seperti dihisap," kakek itu menjelaskan.
"Siapa yang menyerang anak itu kek?" tanya Anya.
"Teman saya itu diserang oleh mahluk yang mungkin bagi orang - orang pada umumnya menganggapnya hanya bualan kisah mistis belaka. Mereka berbicara tentang anjing jadi - jadian, tapi sepanjang saya hidup menggembala menjaga domba, tak pernah melihat anjing jadi - jadian atau anjing hutan menghisap darah sampai habis, memakan organ dalam saja. Dan cara mereka berburu tidaklah seperti itu, mereka akan menggigit kaki belakangnya agar kesusahan bergerak. Lalu sebagian anjing hutan lain akan melumpuhkannya ketika hewan buruannya sudah sulit bergerak. Memang ada sebagian yang mengigit di leher, tapi tidak untuk menghisap darahnya. Aku yakin itu adalah demit, iya demit, seperti yang diceritakan orang - orang jaman dahulu," kakek itu bercerita panjang lebar.
"Apakah demit itu yang menjadi dalang di balik kejadian ini?"
"Mungkin saja, aku harap demit itu tak kembali lagi di sini dan mulai membunuh penduduk di sini karena hewan ternaknya sudah habis."
Informasi yang didapat oleh Anya tampak sudah cukup bagus buat pendukung artikelnya. Ia pun berniat mengakhir wawancara dengan kakek itu.
"Terima kasih kakek atas kesempatannya. Mudah - mudahan kejadian ini tak terulang kembali," kata Anya.
"Iya, sama - sama. Kakek hanya berharap ada orang yang mau menyelesaikan masalah ini. Kalau begitu kakek pamit dulu ya nduk," kakek itu berpamitan dan meninggalkan mereka berdua.
Setelah kakek itu pergi, mereka mencari tempat teduh untuk istirahat. Akhirnya mereka menemukan toko kelontong di desa itu. Selain berniat istirahat mereka juga ingin mengisi perut mereka yang mulai keroncongan entah dengan kue ataupun makanan berat kalau ada. Di depan toko itu terdapat meja bundar dengan payung besar di atasnya dan di sekelilingnya terdapat kursi - kursi yang terbuat dari plastik. Anya duduk di kursi itu, laptopnya diletakkan di meja tersebut. Sementara Johan membeli makanan dan minuman untuk santapan siang. Terik panas matahari pada siang itu benar - benar menguras tenaga mereka.
Sambil mengetik, dipikiran Anya bergelayut kata - kata indah nan mistik agar menambah aura misteri artikel terbaru yang akan dibuatnya. Pembaca biasanya sangat tertarik dengan artikel seperti ini membuat mereka semakin penasaran tapi juga ketakutan disaat yang sama. Sama seperti menonton film horor, rasa takut membuat orang semakin tertarik dengan film itu.
Tak lama kemudian Johan keluar dari toko itu, lalu mendatanginya dan duduk di depanya. Ia sepertinya membeli banyak makanan, seperti nasi kuning dan roti isi coklat pisang. Tak lupa membeli air mineral sebagai pelepas dahaga. Ia lalu menyodorkan sebagian makanan dan minuman itu untuk rekan kerjanya itu.
"Anya, nih makan dulu. Nanti laper, kamu gak semangat nulisnya," Johan menawarkan.
"Oh iya, makasih Bang Johan. Bang Johan makan dulu aja, ini Anya nyelesain sekalian trus biar langsung di publish di internet," Anya menolak dengan halus.
"Ya udah, saya makan dulu ya," sambil makan roti Johan melihat Anya yang walau serius namun seperti memikirkan sesuatu.
Sebentar - sebentar mengetik, sebentar - sebentar berpikir akan suatu hal entah kehabisan ide tulisan atau memikirkan yang lain.
"Anya, kamu kehabisan ide ya?"
"Oh, enggak kok bang. Anya cuma memikirkan rumor yang hadir baru - baru ini. Yang berkembang dari mulut ke mulut para peternak desa itu."
"Jangan bilang kamu lagi memikirkan soal rumor para pemburu aneh itu?"
"Iya bang, emang itu."
Mendengar itu, Bang Johan hampir tersedak. Ia menghentikan makannya sebentar lalu menasihati Anya.
"Sudah kubilang mending gak perlu dipikirkan, paling itu cuma kabar burung belaka. Kita gak pernah tahu kalau mereka itu beneran ada atau enggak. Atau bahkan cuma isu yang digunakan buat nakut - nakutin sekte sesat itu. Kita bahkan tak punya bukti kuat soal itu."
"Tapi bang, jika kita bisa mendapatkan info soal mereka. Dan ternyata mereka beneran ada, kita kan bisa terkenal. Apalagi artikel tentang mereka bisa saja disukai banyak orang," kata Anya yang tak putus asa akan pendiriannya itu.
"Iya Anya, tapi kalau gini terus entar bisa mengganggu konsentrasi kamu. Entar kalau hasil kerjaan kita buruk, kita malah dipsk eh diphk. Entar sulit lagi nyari kerjaan kayak gini," Johan menasihati.
"Apalagi kita gak tahu mereka itu jahat atau baik. Dan kalau mereka ada, mereka sudah di sini membantu peternak itu dengan ajian - ajian sakti mandragunanya," lanjutnya.
"Iya juga sih bang," Anya mengangguk.
Tapi ada sebagian nasihat Johan yang ternyata malah menginspirasi Anya untuk melakukan sesuatu.
"Aha, aku punya ide!!" kata Anya sambil tersenyum.
"Ide apalagi?" Johan penasaran.
"Bagaimana kalau nanti malam kita melakukan investigasi di sekitar hutan dekat desa itu? Bisa saja mahluk itu kabur ke hutan seperti yang dikatakan kakek itu," ujar Anya dengan percaya diri.
Mendengar itu, Johan bak dipukul punggungnya dengan keras. Ia tak percaya rekannya itu mengeluarkan ide konyol bin gila yang membuatnya menyemburkan minuman yang diminumnya hingga muncrat ke mana - mana.
"Byurrr!!"
"Kamu sudah gila apa sinting Anya, kalau gitu caranya besok gak ada jaminan kita ngelihat orang tersayang untuk kedua kalinya!!" Johan terkejut setengah mati.
"Ya santai kali bang, muncrat semua ini sampai kena baju. Hmm mbuekk bau jigong lagi. Lagipula Anya kan masih jomblo," Anya membersihkan bekas semburan air dari mulut Johan.
"Ya udah, pokoknya jangan aneh - aneh. Kamu kebanyakan nonton film horor sih. Pokoknya setelah ini kita balik ke penginapan," tegas Johan.
"Iya bang, iya," Anya pun terpaksa menyetujuinya.
Walau ada yang masih mengganjal dalam hati Anya soal idenya itu, ia terpaksa menuruti keinginan seniornya demi kebaikan bersama. Anya pun sebenarnya masih kukuh akan pemikirannya, ia sangat tertarik dengan para kelompok pemburu mahluk - mahluk yang membunuh hewan - hewan ternak itu. Dalam hatinya ia yakin bahwa orang - orang itu pasti akan hadir di sekitar tempat kejadian perkara, atau paling tidak tak jauh dari situ. Ia pun memutar otak agar bisa merelisasikan idenya itu. Dan sepertinya dia mendapatkan secercah cahaya akan idenya tersebut.
"Bang, Anya boleh tanya gak?"
"Boleh, mau nanya apa? Kamu kayak mahasiswa baru aja, nanyanya kayak takut sama senior?"
"Iya, Anya nanti yang nyetir mobil buat balik ke penginapan boleh gak?"
"Hmm, tumben baik. Kayaknya ada sesuatu ini?"
"Ya gak lah bang. Emang niat ikhlas kok bang. Kan kasihan juga Bang Johan sudah capek ke mana - mana. Mana jauh pula jaraknya. Sekali - kali biar Anya yang nyetirin deh bang."
"Yang benar kamu mau nyetirin?"
"Iya bang. Diam - diam saya juga jago kok nyetirnya. Kayak si Takumi penjual tahu."
"Hah?? Siapa itu? Ah yaudahlah, tapi awas ntar kalau ngelecetin mobil ini. Ntar lain kali tak suruh kamu sprint ke tkp."
"Oke - oke, sip lah kalau sama Anya bang. Pasti barang tetap mulus dan kinclong kok."
Setelah perbincangan itu, Anya melanjutkan kembali tugasnya itu hingga selesai. Di tengah usianya yang masih muda, batinnya terus bergejolak tanpa henti. Ia harus memilih mengkuti idealismenya yang menggebu - gebu, atau tunduk pada aturan kaku yang ada. Karena rasa penasarannya yang besar, ia lebih memilih tunduk pada obsesi sintingnya itu. Saking kuat pendiriannya itu, kalimat pembunuh seperti ah itu cuma omong kosong atau khalayan rakyat belaka sudah tak mempan untuknya. Baginya sebuah kejadian tak bisa dikatakan omong kosong tanpa disertai bukti yang kuat sama halnya dengan mengatakan kejadian tersebut adalah fakta dan nyata tentu perlu memerlulan bukti yang kuat.
Ia yang juga bergulat dengan hoax dunia maya bahkan butuh bukti kuat kalau itu adalah hoax. Karena itulah ia mencari beberapa bukti untuk mendukung artikelnya itu. Ia tahu kali ini resikonya sangat besar, malah dapat berakibat fatal pada dirinya sendiri. Namun karena usianya yang muda dan idealismenya yang kuat itu membuatnya peduli setan dengan resiko fatal itu. Tentu ia juga sangat was - was karena ia tak tahu siapa atau apa yang akan ia hadapi.
Index:
Prolog
Chapter 1
Chaper 2 part 1
Chapter 2 part 2
Chapter 3 part 1
Chapter 3 part 2
Chapter 3 part 3
Chapter 3 part 4
Chapter 3 part 5
Chapter 3 part 6
Chapter 4 part 1
Chapter 4 part 2
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 part 3
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
CHapter 9 Part 3
Chapter 9 Part 4
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 10 Part 3
Chapter 10 part 4
Chapter 10 part 5
Chapter 11 Part 1
Chapter 11 Part 2
Chapter 11 Part 3
Diubah oleh dodydrogba 26-01-2019 16:06
banditos69 dan anasabila memberi reputasi
2
10.1K
Kutip
58
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dodydrogba
#26
Spoiler for Chapter 7 Part 3:
Batinnya merasakan sesosok demit hinggap di tubuhnya dan dengan cepat pedang katana diambilnya lalu dihunuskan ke kepala demit itu, "Rasakan pedang perak ini demit sialan!!"
Demit itu tersungkur ke tanah, tapi demit - demit lain mulai mendatanginya dengan tatapan penuh haus darah dan lapar yang luar biasa. Dirga sudah siap dengan macam - macam jurus kenjutsunya, beberapa demit itu nampak tak membuatnya gentar. Ia pun mulai menebas satu persatu kepala dari demit yang mendekatinya. Tak hanya itu, ia juga menghunuskan pedangnya ke jantung sebagian demit. Demit - demit itu pun mulai jatuh satu per satu, mati ditebas oleh pedang perkasa milik Dirga.
Hal serupa ternyata juga dialami oleh Jono dan Budi. Masing - masing dari mereka menjaga sebuah pos yang terdapat tiga ranjau sinar ultraviolet. Beberapa demit itu mengerumuni umpan kambing yang disediakan. Tapi sayangnya, sepertinya demit tahu ada mahluk lain selain mereka yang pas untuk melepas dahaga dan melenyapkan rasa lapar di tubuh mereka yaitu manusia. Mereka berkomunikasi dengan cara mereka sendiri, membuat suara yang hanya dimengerti oleh sesama mereka. Dan sebagian dari mereka pun berbondong - bondong menyergap para pemburu itu termasuk Jono dan Budi. Jono dan Budi pun tak henti - hentinya melayangkan tembakan beruntun ke tubuh mereka hingga satu persatu mulai mati kesakitan.
"Mampus kalian semua, ayo sini kalian. Menghindari tembakan ku saja tak mampu, apalagi mau membunuh ku. Tak ada yang mampu mengalahk kepiawaian Jono sang penembak legendaris hahahha!!" teriak Jono.
Demit - demit itu terus berdatangan, membuat mereka kewalahan di malam yang menegangkan. Budi, Jono, Johan, Rusman dan Dirga terpaksa mengeluarkan seluruh energinya agar rencana berjalan lancar, tak peduli fisik sendiri menjadi korban. Sayangnya, masih ada satu masalah lagi yang perlu diselesaikan yaitu mencari jejak kehadiran dari wanita cantik yang bernama Anya. Sambil berharap - harap cemas Dirga terus mencoba menghubungi Riki kembali sembari melayangkan pedang tajamnya ke arah para demit itu.
"Ayolah...berfungsilah!!! Ayo!!! Minggir kamu demit sialan!!" Dirga menebas kepala demit dewasa di sampingnya.
Secercah sinar harapan pun muncul, sinyal membaik, kini Riki mulai bisa kembali mendengar panggilan Dirga.
"Halloo Riki, kamu dengar saya!!"
"Iya haloo... Sori Dirga sinyal di hutan ini sangat buruk. Saya sudah berhasil menemukan lokasi keberadaan Anya."
Riki mengecek layar komputernya, mencoba lebih cermat dari sebelumnya. Berharap ketelitiannya bisa menolong teman barunya itu dan menghindari adanya korban jiwa. Dari tadi ia sendiri kesulitan medapatkan kondisi terakhir para pemburu demit dikarenakan sinyal yang memburuk, membuat visual kamera menjadi gelap serta suara yang terputus - putus bahkan mati. Dengan seluruh usahanya, ia berusaha agar masalah itu bisa ditangani hingga mampu membantu mereka kembali.
"Pergilah lurus kedepan, membelakangi ranjau - ranjau yang ada di belakangmu. Ingat jangan sampai tersesat, saya akan terus mengabari mu."
Secara ajaib demit - demit yang menyerang Dirga mulai berkurang sementara demit lain masih asyik berebutan kambing di belakangnya. Tentu ini sangat menguntungkan Dirga karena ia tak perlu banyak menghabisi energinya demi menyalamatkan Anya.
"Satu!!!" Dirga menebas demit di depannya, "Dua!!" menebas demit di samping kanannya, "Tiga!!" menghunus demit di samping kirinya, "Empat!!!" dan terakhir menghunus demit di belakangnya.
"Akhirnya habis juga kalian. Sekarang waktunya menyelamatkan Anya" Dirga merasa puas.
Setelah mengalahkan demit - demit itu, dia segera berlari kencang, menuju tempat Anya berada. Dalam hatinya ia berharap belun terlambat untuk menyelamatkannya.
Di lain tempat Anya sendiri masih sibuk berlari, menyelamatkan diri dari kejaran lima demit buas yang tak kenal lelah. Mau tak mau ia juga rela tak melepas lelah, jantungnya sendiri terus berdetak kencang sementara keringatnya mengucur deras, membasahi kepalanya. Satu hal yang pasti bahwa ia menyadari tak mendapatkan pelatihan dengan situasi seperti ini. Ia tak mau menengok kebelakang, pandangan seirama dengan langkahnya yang lurus ke depan, berharap ada secercah harapan. Dan harapan cerah pun muncul, tak jauh di depannya ia melihat sebuah ranjau sinar ultraviolet siap aktif. Siap aktif di sini maksudnya adalah akan menyala ketika seseorang menginjaknya setelah hitungan tiga detik. Dengan tenaga tersisa, Anya berhasil mencapainya lalu menginjak ranjau itu. Ia pun meloncat dan menjatuhkan diri tak jauh dari ranjau itu. Di belakangnya para demit itu berlari hingga mendekati ranjau itu dan hampir menerkam Anya. Di saat yang sama ranjau itu pun menyala, dalam batinnya Anya menghitung mundur dari hitungan tiga, dua, dan satu.
"Cplasshhh!!!"
Ranjau itu mengeluarkan sinar yang amat terang dengan jangkauan yang lebar dan jauh, membentuk lingkaran mirip bagian tengah lapangan bola. Jangkauannya cukup besar untuk menampung beberapa demit. Ketika itu Anya menutup bola matanya, menunggu sinar itu padam setelah lima detik. Dalam hatinya ia juga menghitung mundur dari angka lima ke angka satu. Setelah hitungan ke satu ia pun membuka matanya. Betapa mengerikannya pemandangan itu, lima demit itu hangus hingga tersisa tulang belulangnya saja, bau gosongnya menyeruak ke udara, menimbulkan bau yang tak sedap yang sangat menusuk hidung. Pancaran sinar ultraviolet itu benar - benar ampuh membunuh demit - demit mirip seperti obat melingkar untuk mengusir dan membunuh nyamuk, batin Anya.
Anya mencoba bangkit, dan kini ia dalam posisi duduk. Baru saja dikejar demit, muncul lagi suara tak wajar di belakangnya. Desis nyaring disertai endusan nafas yang kuat itu megoyangkan beberapa helai rambutnya serta membuatnya kembali ketakutan. Ia tak kuat lagi untuk menengok ke belakang sehingga ia lebih memilih memajamkan matanya. Ia pasrah kepada yang di atas, nyawanya sudah diujung tanduk. Tak tahu harus bagaimana lagi. Suara demit itu begitu nyaring di telinga, lalu beberapa detik kemudian berhenti keadaan kembali sunyi. Anya yang terpejam, tak tahu apa yang terjadi kala itu. Tiba - tiba saja seperti ada benda jatuh di depannya, "Bruukkk!!!"
Ia penasaran, kenapa daritadi ia belum dimakan atau dihisap darahnya. Bermodalkan keberanian ia mencoba membuka matanya dan ia menjerit histeris setelah menatap kepala demit itu dengan ekspresi menakutkan sekaligus menjijikan. Dari belakang, muncul lagi sebuah suara, namun kali ini ia tampak mengenalinya.
"Anya!!! Kamu tidak apa - apa kan?"
Anya menoleh ke samping lalu mendongak ke atas, ia melihat seseorang dengan katananya berdiri di sampingnya, ia tak dan tak bukan adalah Dirga sang pemimpin pemburu demit.
"Hah, Dirga? Bagaimana kamu bisa menemukan ku?" Anya penasaran.
"Penjelasannya nanti saja, ada baiknya kita pergi ke tempat yang lebih aman terlebih dahulu," Dirga menyodorkan tangannya, membantu Anya berdiri kembali.
"Terima kasih Dirga, maaf membuat mu repot dan susah gara - gara ulah ku ini," Anya mengungkapkan rasa terima kasihnya.
"Terima kasihnya juga nanti saja, ini semua juga berkat Riki kok. Lagipula kamu juga hebat punya strategi jitu buat menumpas demit - demit itu," kata Dirga.
"Ah itu cuma beruntung kok, oh iya ini berarti kita kembali ke tempat mobil terparkir kan?" tanya Anya.
"Nggak Anya, kita kembali ke pos tadi," jawab Dirga.
"Hmm... tapi itu tak terlihat seperti tempat yang aman," Anya memprotes halus.
"Nah, daripada kamu diam sendirian di sini, mending ikut saya ke pos tadi. Setidaknya jauh lebih aman," ajak Dirga.
"Baiklah, sepertinya emang gak ada tempat aman lain selain di situ. Kalau begitu ayo kita ke sana, sebelum demit yang lain malah memangsa kita di sini," Anya akhirnya luluh dan menyetujui ide Dirga.
"Nah, gitu baru semangat, ayo kita pergi dari sini," Dirga tampak senang.
Mereka pun kembali berlari, menuju tempat pos penjagaan mereka. Sementara yang lain masih berjibaku dengan demit - demit itu hingga titik darah penghabisan.
Demit itu tersungkur ke tanah, tapi demit - demit lain mulai mendatanginya dengan tatapan penuh haus darah dan lapar yang luar biasa. Dirga sudah siap dengan macam - macam jurus kenjutsunya, beberapa demit itu nampak tak membuatnya gentar. Ia pun mulai menebas satu persatu kepala dari demit yang mendekatinya. Tak hanya itu, ia juga menghunuskan pedangnya ke jantung sebagian demit. Demit - demit itu pun mulai jatuh satu per satu, mati ditebas oleh pedang perkasa milik Dirga.
Hal serupa ternyata juga dialami oleh Jono dan Budi. Masing - masing dari mereka menjaga sebuah pos yang terdapat tiga ranjau sinar ultraviolet. Beberapa demit itu mengerumuni umpan kambing yang disediakan. Tapi sayangnya, sepertinya demit tahu ada mahluk lain selain mereka yang pas untuk melepas dahaga dan melenyapkan rasa lapar di tubuh mereka yaitu manusia. Mereka berkomunikasi dengan cara mereka sendiri, membuat suara yang hanya dimengerti oleh sesama mereka. Dan sebagian dari mereka pun berbondong - bondong menyergap para pemburu itu termasuk Jono dan Budi. Jono dan Budi pun tak henti - hentinya melayangkan tembakan beruntun ke tubuh mereka hingga satu persatu mulai mati kesakitan.
"Mampus kalian semua, ayo sini kalian. Menghindari tembakan ku saja tak mampu, apalagi mau membunuh ku. Tak ada yang mampu mengalahk kepiawaian Jono sang penembak legendaris hahahha!!" teriak Jono.
Demit - demit itu terus berdatangan, membuat mereka kewalahan di malam yang menegangkan. Budi, Jono, Johan, Rusman dan Dirga terpaksa mengeluarkan seluruh energinya agar rencana berjalan lancar, tak peduli fisik sendiri menjadi korban. Sayangnya, masih ada satu masalah lagi yang perlu diselesaikan yaitu mencari jejak kehadiran dari wanita cantik yang bernama Anya. Sambil berharap - harap cemas Dirga terus mencoba menghubungi Riki kembali sembari melayangkan pedang tajamnya ke arah para demit itu.
"Ayolah...berfungsilah!!! Ayo!!! Minggir kamu demit sialan!!" Dirga menebas kepala demit dewasa di sampingnya.
Secercah sinar harapan pun muncul, sinyal membaik, kini Riki mulai bisa kembali mendengar panggilan Dirga.
"Halloo Riki, kamu dengar saya!!"
"Iya haloo... Sori Dirga sinyal di hutan ini sangat buruk. Saya sudah berhasil menemukan lokasi keberadaan Anya."
Riki mengecek layar komputernya, mencoba lebih cermat dari sebelumnya. Berharap ketelitiannya bisa menolong teman barunya itu dan menghindari adanya korban jiwa. Dari tadi ia sendiri kesulitan medapatkan kondisi terakhir para pemburu demit dikarenakan sinyal yang memburuk, membuat visual kamera menjadi gelap serta suara yang terputus - putus bahkan mati. Dengan seluruh usahanya, ia berusaha agar masalah itu bisa ditangani hingga mampu membantu mereka kembali.
"Pergilah lurus kedepan, membelakangi ranjau - ranjau yang ada di belakangmu. Ingat jangan sampai tersesat, saya akan terus mengabari mu."
Secara ajaib demit - demit yang menyerang Dirga mulai berkurang sementara demit lain masih asyik berebutan kambing di belakangnya. Tentu ini sangat menguntungkan Dirga karena ia tak perlu banyak menghabisi energinya demi menyalamatkan Anya.
"Satu!!!" Dirga menebas demit di depannya, "Dua!!" menebas demit di samping kanannya, "Tiga!!" menghunus demit di samping kirinya, "Empat!!!" dan terakhir menghunus demit di belakangnya.
"Akhirnya habis juga kalian. Sekarang waktunya menyelamatkan Anya" Dirga merasa puas.
Setelah mengalahkan demit - demit itu, dia segera berlari kencang, menuju tempat Anya berada. Dalam hatinya ia berharap belun terlambat untuk menyelamatkannya.
Di lain tempat Anya sendiri masih sibuk berlari, menyelamatkan diri dari kejaran lima demit buas yang tak kenal lelah. Mau tak mau ia juga rela tak melepas lelah, jantungnya sendiri terus berdetak kencang sementara keringatnya mengucur deras, membasahi kepalanya. Satu hal yang pasti bahwa ia menyadari tak mendapatkan pelatihan dengan situasi seperti ini. Ia tak mau menengok kebelakang, pandangan seirama dengan langkahnya yang lurus ke depan, berharap ada secercah harapan. Dan harapan cerah pun muncul, tak jauh di depannya ia melihat sebuah ranjau sinar ultraviolet siap aktif. Siap aktif di sini maksudnya adalah akan menyala ketika seseorang menginjaknya setelah hitungan tiga detik. Dengan tenaga tersisa, Anya berhasil mencapainya lalu menginjak ranjau itu. Ia pun meloncat dan menjatuhkan diri tak jauh dari ranjau itu. Di belakangnya para demit itu berlari hingga mendekati ranjau itu dan hampir menerkam Anya. Di saat yang sama ranjau itu pun menyala, dalam batinnya Anya menghitung mundur dari hitungan tiga, dua, dan satu.
"Cplasshhh!!!"
Ranjau itu mengeluarkan sinar yang amat terang dengan jangkauan yang lebar dan jauh, membentuk lingkaran mirip bagian tengah lapangan bola. Jangkauannya cukup besar untuk menampung beberapa demit. Ketika itu Anya menutup bola matanya, menunggu sinar itu padam setelah lima detik. Dalam hatinya ia juga menghitung mundur dari angka lima ke angka satu. Setelah hitungan ke satu ia pun membuka matanya. Betapa mengerikannya pemandangan itu, lima demit itu hangus hingga tersisa tulang belulangnya saja, bau gosongnya menyeruak ke udara, menimbulkan bau yang tak sedap yang sangat menusuk hidung. Pancaran sinar ultraviolet itu benar - benar ampuh membunuh demit - demit mirip seperti obat melingkar untuk mengusir dan membunuh nyamuk, batin Anya.
Anya mencoba bangkit, dan kini ia dalam posisi duduk. Baru saja dikejar demit, muncul lagi suara tak wajar di belakangnya. Desis nyaring disertai endusan nafas yang kuat itu megoyangkan beberapa helai rambutnya serta membuatnya kembali ketakutan. Ia tak kuat lagi untuk menengok ke belakang sehingga ia lebih memilih memajamkan matanya. Ia pasrah kepada yang di atas, nyawanya sudah diujung tanduk. Tak tahu harus bagaimana lagi. Suara demit itu begitu nyaring di telinga, lalu beberapa detik kemudian berhenti keadaan kembali sunyi. Anya yang terpejam, tak tahu apa yang terjadi kala itu. Tiba - tiba saja seperti ada benda jatuh di depannya, "Bruukkk!!!"
Ia penasaran, kenapa daritadi ia belum dimakan atau dihisap darahnya. Bermodalkan keberanian ia mencoba membuka matanya dan ia menjerit histeris setelah menatap kepala demit itu dengan ekspresi menakutkan sekaligus menjijikan. Dari belakang, muncul lagi sebuah suara, namun kali ini ia tampak mengenalinya.
"Anya!!! Kamu tidak apa - apa kan?"
Anya menoleh ke samping lalu mendongak ke atas, ia melihat seseorang dengan katananya berdiri di sampingnya, ia tak dan tak bukan adalah Dirga sang pemimpin pemburu demit.
"Hah, Dirga? Bagaimana kamu bisa menemukan ku?" Anya penasaran.
"Penjelasannya nanti saja, ada baiknya kita pergi ke tempat yang lebih aman terlebih dahulu," Dirga menyodorkan tangannya, membantu Anya berdiri kembali.
"Terima kasih Dirga, maaf membuat mu repot dan susah gara - gara ulah ku ini," Anya mengungkapkan rasa terima kasihnya.
"Terima kasihnya juga nanti saja, ini semua juga berkat Riki kok. Lagipula kamu juga hebat punya strategi jitu buat menumpas demit - demit itu," kata Dirga.
"Ah itu cuma beruntung kok, oh iya ini berarti kita kembali ke tempat mobil terparkir kan?" tanya Anya.
"Nggak Anya, kita kembali ke pos tadi," jawab Dirga.
"Hmm... tapi itu tak terlihat seperti tempat yang aman," Anya memprotes halus.
"Nah, daripada kamu diam sendirian di sini, mending ikut saya ke pos tadi. Setidaknya jauh lebih aman," ajak Dirga.
"Baiklah, sepertinya emang gak ada tempat aman lain selain di situ. Kalau begitu ayo kita ke sana, sebelum demit yang lain malah memangsa kita di sini," Anya akhirnya luluh dan menyetujui ide Dirga.
"Nah, gitu baru semangat, ayo kita pergi dari sini," Dirga tampak senang.
Mereka pun kembali berlari, menuju tempat pos penjagaan mereka. Sementara yang lain masih berjibaku dengan demit - demit itu hingga titik darah penghabisan.
Diubah oleh dodydrogba 29-04-2018 11:00
banditos69 memberi reputasi
1
Kutip
Balas