EPISODE 9 : PENYERGAPAN
Quote:
MALAM sudah turun ketika Supri membawa Jatmiko, Parman dan Marwan di tempat persembunyian Johan serta dokter Jundi. Tempat itu ialah sebuah rumah papan jati yang terletak dalam rimba belantara, merupakan rumah kecil tempat orang beristirahat pada siang hari atau menginap pada malam hari ketika melakukan perburuan. Dan rumah ini adalah milik mendiang Lurah Dadap yang merupakan kakek dari Johan.
"Tampaknya kita keduluan orang lain..." bisik Jatmiko kepada kedua anak buahnya dari balik semak belukar sambil menunjuk pada sebuah mobil mercy mewah yang terparkir di bawah pohon akasia. Di bagian lain, di sebelah belakang rumah papan kelihatan pula satu mobil Toyota Hardtop berwarna hitam.
Parman tiba-tiba berbisik:
"Mercy hijau itu yang aku lihat malam itu. Meski tidak begitu jelas saat itu. Tapi saya yakin mobil itu mobil yang sama..."
Supri yang sedari tadi hanya diam diliputi ketegangan dengan suara bergetar dia berkata
“ Mobil itu milik Juragan Parmin dan mobil itu juga jarang dipergunakan. Bahkan saya yang telah lama jadi sopir pribadinya tidak sedikitpun diizinkan untuk membawa mobil itu. Juragan selalu mengendarainya sendiri...”
"Bagus! Kalau baik itu ada disini berarti semua urusan bisa dibikin tuntas!" ujar Jatmiko geram. Perkataannya hanya sampai disini saja tatkala dari dalam rumah papan tiba-tiba terdengar suara pekikan lelaki.
"Itu teriakan dokter Jundi..." memberi tahu Supri yang mengenali suara dokter itu.
Lalu menyusul suara bentakan: "Juragan keparat! Apa dosa dokter itu maka kau hendak membunuhnya?! Apa kau tidak puas hanya dengan membunuh anak tirimu yang kau rusak kehormatannya itu? Manusia Iblis! Kau boleh bunuh aku tapi lepaskan dokter itu!"
"Itu suara mas Johan..." Supri yang berbisik.
Lalu terdengar suara bentakan Juragan Parmin.
"Soal kematianmu tak usah kau risaukan anak muda! Aku memang tak pernah suka padamu! Kau saksikan dulu bagaimana aku membunuh dokter tidak berguna ini! Bagianmu kelak menyusul beberapa saat lagi!"
Tanpa pikir panjang lagi saat itu juga Jatmiko, Marwan dan Parman langsung melompat keluar dari balik semak belukar. Sebuah revolver telah tergengam di tangan masing –masing. Sementara Supri masih bersembunyi di balik semak –semak gemetaran. Air hangat tampak merembes keluar dari balik celananya!
Dengan kaki kirinya Jatmiko menendang pintu papan hingga hancur berantakan lalu diikuti oleh kedua anak buahnya. Mereka bertiga masuk ke dalam rumah yang diterangi sebuah lampu minyak itu. Di lantai rumah tampak tergeletak seorang lelaki paruh baya dengan rambut berwarna kelabu yang membeliak dan gemetaran sekujur tubuhnya karena ketakutan.
Di depannya juragan Parmin tengah menodongkan sebuah pistol ke arah pelipis dokter paruh baya itu. Di salah satu sudut, seorang pemuda dalam babak belur tersandar di dinding tanpa bisa bergerak. Disampingnya dua orang berwajah kasar berpakaian hitam sesekali menjejakkan kakinya ke arah tubuh pemuda itu. Dialah Johan, kekasih Galuh.
"Juragan hentikan semua ini! Menyerahlah! Kau harus mempertangung jawabkan semua perbuatan mu !” Yang berteriak adalah Parman. Lelaki ini langsung menyerbu Parmin.
Kedua tangannya berkelebat ke arah pergelangan tangan sang juragan. Berharap dengan memukulnya maka pistol itu akan jatuh ke lantai.
Ketika pintu rumah hancur berantakan dan tiga orang lelaki memakai jaket hitam serta berbadan tegap berkelebat masuk sambil menodongkan revolver, dan pada saat Parman berteriak, Juragan itu langsung memutar tubuh. Pistol yang tadi hendak ditembakkan ke kepala Jundi, kini diarahkan ke pada Parman.
Dorrr !!!!
Satu letusan bergema.
Sebagai seorang polisi yang bisa dibilang memiliki pengalaman yang banyak. Segera saja Parman membuang dirinya ke samping. Timah panas itu hanya berjarak setengah jengkal dari batok kepalanya. Timah itu menembus guci besar dari tanah liat yang ada di pojok ruangan. Guci itu hancur berkeping –keping. Berserakan di lantai.
Melihat anak buahnya terancam bahaya dengan cepat Jatmiko menendang dengan keras ke arah sambungan siku Juragan Parmin. Lelaki ini terdengar melolong kesakitan. Pistol terlepas dari genggaman tangannya. Sikunya patah. Dia tersandar di dinding dengan nafas memburu. Menahan rasa sakit di sambungan sikunya yang terasa sakit dan nyeri luar biasa.
Mengetahui ada tiga polisi dengan revolver di tangan. Dua orang berwajah kasar itu nyalinya langsung lumer. Serta merta mereka berusaha melarikan diri dengan cara melompati jendela samping yang terbuka. Baru satu langkah dua letusan revolver terdengar memecah kesunyian.
Disusul suara orang kesakitan. Lalu dua orang itu rebah ambruk ke lantai mengerang kesakitan. Satu peluru bersarang tepat di betis masing –masing kedua orang itu.
Juragan Parmin rupanya masih ingin mengadakan perlawanan. Lelaki tua ini berdiri sembari menahan sakit. Diraihnya balok kayu yang tadi sempat dipakai untuk menghajar Johan dengan tangan kiri. Dia berusaha memukulkan balok kayu itu ke arah kepala Marwan yang berdiri tidak jauh dari tempatnya. Mengetahui balok kayu terayun deras ke arah kepalanya dengan mudah anak buah Jatmiko ini menghindar sembari memukul lengan juragan Parmin dan merampas balok kayu sebesar lengan orang dewasa ini.
Jatmiko sempat melirik ke arah dua orang lelaki yang masih terkapar merintih –rintih di lantai. Darah mengucur deras dari kaki ke dua orang itu. Membasahi kaki dan beberapa berceceran di lantai. Menggenang merah. Sejenak ia tertegun.
“ Aku ingat dua orang ini yang beberapa kali aku lihat di warung makan itu. Aku juga yakin ular sendok itu piaraan mereka berdua “
Sersan ini kemudian melanjutkan langkahnya menghampiri juragan Parmin. Saat itu selain menderita cidera pada kedua lengannya dan kesakitan akibat pukulan. Juragan Parmin memang sudah pasrah karena sadar tak bisa berkelit lagi.
"Aku pasrah menerima segala hukuman !" katanya dengan suara serak.
Terbayang di pelupuk matanya saat-saat dia membacok memotongi tubuh anak tirinya itu. Juragan Parmin tekap wajahnya dengan dua telapak tangan lalu menangis sesenggukan. Bersusah payah dengan sedikit terhuyung dan menahan sakit Johan mendekati ketiga polisi itu. Setelah dekat pemuda itu berulang kali mengucapkan terima kasih.
" Mari kita tinggalkan tempat ini. Parman, Marwan tolong borgol ke tiga orang itu. Aku kan meminta pertolongan ke polsek terdekat “
“ Johan kau siap untuk bersaksi di pengadilan kelak? “
“ Siap pak polisi “
Pemuda ini tersenyum. Tiba –tiba di ambang pintu Supri berjalan tergopoh –gopoh. Bagian bawah Celananya hampir ke lutut tampak basah kuyup. Semua orang yang melihat hal itu tidak dapat menahan tertawanya.
TAMAT