- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#573
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
Quote:
Parmin sambil melangkah mondar - mandir di ruang tengah. Sebuah pipa dari gading berwarna kekuningan terselip di sudut bibirnya. Sesekali lelaki ini melayangkan pandangannya ke luar melalui jendela yang terbuka. Sementara istrinya Sulastri duduk merenda di atas kursi. Sesekali perempuan ini batuk –batuk. Mukanya terlihat sangat pucat.
"Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat seorang perempuan di hutan jati perbatsan Wonosari dan Wonogiri beberapa waktu lalu..."
Bertanya Sulastri sembari meletakkan hasil rendaan di atas meja.
"Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Galuh dengan mayat itu..."
"Tapi bukankah saya sudah meminta Pakne mengirimkan Supri kesana untuk menyelidik dan mencari tahu? Apakah Supri sudah kembali......?"
"Sudah. Jenazah itu disimpan di rumah sakit Wonosari karena sampai detik ini belum ketemu dengan keluarganya..."
"Kalau begitu Supri itu pasti mengenali jenazah tersebut!" ujar Sulastri.
Parmin menggeleng.
"Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu..." Parmin tidak meneruskan kata- katanya.
"Lalu apa Pakne...?"
Parmin menggelengkan kepala.
"Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu mengerikan..."
"Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku Pakne!"
"Menurut Supri, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-potong menjadi sebelas bagian..."
"Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?" desis Sulastri. Dia terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya.
"Pakne, kita harus berangkat ke Wonosari. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan- jangan..."
Suara Sulastri tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua pipinya.
"Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke Wonosari?!” Jangan mencari penyakit baru Bune!" ujar Parmin.
"Aku masih kuat untuk ke Wonosari. Jangankan Wonosari. Ke ujung duniapun akan kudatangi demi mencari kejelasan mengenai diri anak kita..."
"Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di hutan jati itu, biar aku dan Kang Daim saja yang pergi kesana... "
"Tidak Pakne. Aku harus ikut... Aku harus ikut….."
Parmin menghela nafas dalam akhirnya berkata:
"Jika itu maumu baiklah. Aku akan menyuruh Supri untuk bersiap –siap. Mungkin Kang Daim akan kuajak serta..." Lalu Parmin keluar dari kamar.
"Bagaimana dengan kabar ditemukannya mayat seorang perempuan di hutan jati perbatsan Wonosari dan Wonogiri beberapa waktu lalu..."
Bertanya Sulastri sembari meletakkan hasil rendaan di atas meja.
"Sebenarnya terlalu jauh kalau kita menghubungkan lenyapnya Galuh dengan mayat itu..."
"Tapi bukankah saya sudah meminta Pakne mengirimkan Supri kesana untuk menyelidik dan mencari tahu? Apakah Supri sudah kembali......?"
"Sudah. Jenazah itu disimpan di rumah sakit Wonosari karena sampai detik ini belum ketemu dengan keluarganya..."
"Kalau begitu Supri itu pasti mengenali jenazah tersebut!" ujar Sulastri.
Parmin menggeleng.
"Wajah mayat itu tidak dapat dikenali lagi. Hancur seperti bekas dicincang. Lalu..." Parmin tidak meneruskan kata- katanya.
"Lalu apa Pakne...?"
Parmin menggelengkan kepala.
"Aku tak mau mengatakannya padamu. Terlalu mengerikan..."
"Mengerikan? Apanya yang mengerikan...? Kau harus mengatakannya padaku Pakne!"
"Menurut Supri, mayat itu telah dibantai secara keji. Dipotong-potong menjadi sebelas bagian..."
"Gusti Allah! Siapa yang berbuat sekejam itu...?" desis Sulastri. Dia terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba saja muncul keinginan itu dalam hatinya.
"Pakne, kita harus berangkat ke Wonosari. Kita harus melihat sendiri mayat terpotong-potong itu. Jangan- jangan..."
Suara Sulastri tercekik putus. Tubuhnya terduduk ke tepi ranjang. Wajahnya menunjukkan rasa ngeri, namun kemudian tampak ada air mata yang meleleh di kedua pipinya.
"Kau berada dalam keadaan tidak sehat seperti ini. Mau ke Wonosari?!” Jangan mencari penyakit baru Bune!" ujar Parmin.
"Aku masih kuat untuk ke Wonosari. Jangankan Wonosari. Ke ujung duniapun akan kudatangi demi mencari kejelasan mengenai diri anak kita..."
"Jika kau memang ingin mengetahui mayat siapa yang ditemukan di hutan jati itu, biar aku dan Kang Daim saja yang pergi kesana... "
"Tidak Pakne. Aku harus ikut... Aku harus ikut….."
Parmin menghela nafas dalam akhirnya berkata:
"Jika itu maumu baiklah. Aku akan menyuruh Supri untuk bersiap –siap. Mungkin Kang Daim akan kuajak serta..." Lalu Parmin keluar dari kamar.
Quote:
Jatmiko, Marwan, Parman dan beberapa perawat bersama-sama berdiri ketika rombongan dari Wonogiri itu sampai di depan lobby rumah sakit. Rombongan itu terdiri dari Parmin, lalu istrinya Sulastri yang mengenakan baju ringkas dan celana panjang berwarna hitam, serta induk semang Galuh semasa kuliah di Jogja yaitu Kang Daim. Setelah saling memberi salam dan saling menghormat Jatmiko langsung berkata:
"Beberapa hari lalu anak buah saya melaporkan bahwa sopir Pak Parmin telah datang kemari untuk melihat mayat yang ditemukan di hutan jati itu. Menurut sopir itu Pak Parmin telah kehilangan puteri yang bernama Galuh. Apakah betul begitu...?"
Parmin menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya mendahului bicara.
"Kami ingin melihat mayat itu..."
"Saya tidak berani menolak. Tapi apakah Ibu mempunyai keberanian melihatnya? Lain dari itu apakah Pak Parmin memperbolehkan...?"
"Apakah jenazah itu ada di dalam rumah sakit ini?" tanya Parmin pula.
"Saya akan mengantarkan ke ruangan penyimpanan jenazah," kata Jatmiko sembari tersenyum ramah.
" Mari sama – sama ikut saya ke dalam “
Habis berkata begitu Jatmiko masuk ke dalam. Diikuti oleh Parmin dan Sulastri. Sebelumnya diam-diam Jatmiko memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan lobby rumah sakit itu. Wajah Parmin tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin, menunggu dengan segala ketabahan. Kang Daim sementara itu berdiri di ujung kiri luar lobby rumah sakit sambil menghisap sebatang rokok. Tampaknya dia juga tenang tapi mata Jatmiko yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang menjepit rokok itu gemetaran.
Sesampainya di kamar mayat. Seorang penjaga tampak mengangguk hormat seraya membuka pintu berwarna putih berteralis berwarna perak itu. Jatmiko melangkah masuk. Parmin dan Sulastri masih berdiri terpaku di ambang pintu.
Jatmiko menghentikan langkahnya. Lalu dia berpaling pada Parmin dan berkata:
" Pak Parmin dan Ibu, silahkan masuk untuk menyaksikan sendiri..."
Parmin berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak berkedip ke arah beberapa peti tersusun rapi di dalam ruangan, lalu dengan segala ketegaran tapi dada berdebar keras perempuan ini melangkah masuk. Suaminya mengikuti. Setelah memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Jatmiko kemudian membungkuk. Perlahan- lahan penutup peti kayu itu dibukanya. Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari beberapa mulut. Parmin tersurut mundur hampir dua langkah.
Lain halnya Sulastri, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan. Suaminya buru-buru menolong, menyandarkannya ke dinding.
"Kau tak apa-apa Bune...?" tanya Parmin. Sang istri berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng- gelengkan kepala saja. Masih sambil memegangi istrinya Parmin kembali memandang ke arah peti lalu tiba-tiba saja dia berkata setengah berteriak:
"Itu bukan Galuh! Bukan puteriku!"
" Apakah njenengan sudah yakin betul Pak Parmin...?" tanya Jatmiko
"Pasti sekali! Pasti sekali…."
Tiba-tiba istri Parmin yang tadi kelihatan seperti mau pingsan bangkit berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian- bagian tubuh lainnya.
"Anakku...anakku...!" jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Itu anakku! Itu Galuh...!" Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
"Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!"
"Tidak...tidak... Itu memang Galuh! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak kita pak! Anak kita...!"
Parmin menggoncang tubuh istrinya dengan keras.
"Bune...! Mayat itu bukan anak kita...?"
Sulastri tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Parmin berpaling pada Kang Daim yang telah menyusul ke dalam ruang penyimpanan jenazah:
"Siapkan mobil! Kita kembali ke Wonogiri saat ini juga!" memerintahkan Parmin itu.
Belum Kang Daim bergerak melangkah, Jatmiko mengeruk sesuatu dari dalam saku bajunya. Mengeluarkan sebuah benda, lalu dia mendekati istri Parmin. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya:
" Ibu, apakah njenengan mengenali anting-anting ini...?" Sulastri turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting emas di tangan Jatmiko.
Suaranya bergetar ketika berkata:
"Itu... itu anting-anting Galuh…."
"Apakah njenengan juga mengenali gelang Ini...?" bertanya Jatmiko lagi sembari memperlihatkan gelang emas berukiran kepala ular yang berada di genggaman tangan kirinya. Sulastri terpekik:
" Cincin itu! cincin emas kepala ular! Itu juga milik puteriku! Aku yang menyuruh membuat pada seorang pengrajin di Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana Pak Polisi mendapatkan perhiasan itu?!"
"Anting ini saya temukan dalam kain putih pembungkus mayat ketika ditemukan di puncak bukit," jawab Jatmiko.
"Dan cincin emas dan anting -anting ini sengaja saya ambil dari jenazah setelah sampai disini," berkata Jatmiko.
"Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puteri Pak Parmin dan Ibu !" kata Jatmiko.
“ Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!" teriak Parmin.
Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar di tembok. Jatmiko berpaling pada Kang Daim. Lalu berkata:
"Sebaiknya segera dipersiapkan peti untuk membawa jenazah ini ke Wonogiri lalu menguburkannya!"
Lalu pada Parmin orang tua ini berkata sambil memegang bahunya.
" Dik Parmin, kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti ini..."
Parmin anggukkan kepala.
"Walau Galuh hanya anak tiriku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke Wonogiri dan diurus pemakamannya..."
"Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan pada njenengan Pak Parmin," kata Jatmiko perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Sulastri.
"Puterimu itu meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan..."
"A...apa... Puteriku hamil...?!"
Sepasang mata Parmin membeliak. Dia berpaling pada istrinya. Justru saat itu Sulastri yang sudah sempat mendengar keterangan Jatmiko langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini dia benar-benar pingsan. Tersungkur di lantai. Beberapa orang perawat segera menghampiri lalu menggotongnya dan membaringkan di atas kursi panjang di luar ruangan.
"Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!" teriak Parmin tiba- tiba seraya mengepalkan tinju kanannya.
"Pasti Johan yang melakukannya! Dia menghamili Galuh! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Johan !"
Parmin berteriak – teriak kalap. Parasnya memerah dan membesi, amarahnya meluap. Tubuh lelaki tua itu lalu terduduk berlutut di lantai. Air mata membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia. Semua yang melihat hanya bisa terdiam dan menundukkan wajahnya dalam –dalam. Jatmiko berjalan menghampiri Parmin yang masih tertunduk lemah bersandar pada tembok.
"Bapak tidak usah terlalu risau. Jika memang pemuda bernama Johan itu dicurigai sebagai pelakunya. Sekarng juga akan saya perintahkan beberapa anak buah saya untuk mencari pemuda itu “
Parmin hanya mengangguk pelan. Parasnya yang murung terlihat jelas kesedihan disana.
"Beberapa hari lalu anak buah saya melaporkan bahwa sopir Pak Parmin telah datang kemari untuk melihat mayat yang ditemukan di hutan jati itu. Menurut sopir itu Pak Parmin telah kehilangan puteri yang bernama Galuh. Apakah betul begitu...?"
Parmin menganggukkan kepalanya. Sebelum dia menjawab istrinya mendahului bicara.
"Kami ingin melihat mayat itu..."
"Saya tidak berani menolak. Tapi apakah Ibu mempunyai keberanian melihatnya? Lain dari itu apakah Pak Parmin memperbolehkan...?"
"Apakah jenazah itu ada di dalam rumah sakit ini?" tanya Parmin pula.
"Saya akan mengantarkan ke ruangan penyimpanan jenazah," kata Jatmiko sembari tersenyum ramah.
" Mari sama – sama ikut saya ke dalam “
Habis berkata begitu Jatmiko masuk ke dalam. Diikuti oleh Parmin dan Sulastri. Sebelumnya diam-diam Jatmiko memperhatikan wajah satu persatu wajah orang-orang yang ada di depan lobby rumah sakit itu. Wajah Parmin tampak kaku membesi. Di sebelahnya istrinya kelihatan pucat. Urat-urat lehernya menyembul dan bibir bawahnya tampak digigit untuk dapat menahan tekanan batin, menunggu dengan segala ketabahan. Kang Daim sementara itu berdiri di ujung kiri luar lobby rumah sakit sambil menghisap sebatang rokok. Tampaknya dia juga tenang tapi mata Jatmiko yang tajam melihat bagaimana jari-jari yang menjepit rokok itu gemetaran.
Sesampainya di kamar mayat. Seorang penjaga tampak mengangguk hormat seraya membuka pintu berwarna putih berteralis berwarna perak itu. Jatmiko melangkah masuk. Parmin dan Sulastri masih berdiri terpaku di ambang pintu.
Jatmiko menghentikan langkahnya. Lalu dia berpaling pada Parmin dan berkata:
" Pak Parmin dan Ibu, silahkan masuk untuk menyaksikan sendiri..."
Parmin berpaling pada istrinya. Perempuan ini memandang tak berkedip ke arah beberapa peti tersusun rapi di dalam ruangan, lalu dengan segala ketegaran tapi dada berdebar keras perempuan ini melangkah masuk. Suaminya mengikuti. Setelah memandangi wajah-wajah di depannya satu demi satu, Jatmiko kemudian membungkuk. Perlahan- lahan penutup peti kayu itu dibukanya. Begitu penutup peti terbuka dan isinya terpampang jelas, seruan-seruan tertahan keluar dari beberapa mulut. Parmin tersurut mundur hampir dua langkah.
Lain halnya Sulastri, perempuan ini tampak tegak tanpa berkesip, namun sesaat kemudian dia mengeluarkan pekik kecil lalu melosoh jatuh duduk di langkan nyaris pingsan. Suaminya buru-buru menolong, menyandarkannya ke dinding.
"Kau tak apa-apa Bune...?" tanya Parmin. Sang istri berusaha menjawab, tapi tak ada suara yang keluar. Akhirnya dia hanya menggeleng- gelengkan kepala saja. Masih sambil memegangi istrinya Parmin kembali memandang ke arah peti lalu tiba-tiba saja dia berkata setengah berteriak:
"Itu bukan Galuh! Bukan puteriku!"
" Apakah njenengan sudah yakin betul Pak Parmin...?" tanya Jatmiko
"Pasti sekali! Pasti sekali…."
Tiba-tiba istri Parmin yang tadi kelihatan seperti mau pingsan bangkit berdiri. Dia memandang ke dalam peti dimana terletak potongan kepala dan bagian- bagian tubuh lainnya.
"Anakku...anakku...!" jerit perempuan itu lalu menutup mukanya dengan kedua tangan.
"Itu anakku! Itu Galuh...!" Lalu perempuan ini menangis keras sekali.
"Bune...Tenang! Hentikan tangismu. Itu bukan anak kita bune. Percayalah...!"
"Tidak...tidak... Itu memang Galuh! Ada tahi lalat di telapak kaki kanannya. Itu anak kita pak! Anak kita...!"
Parmin menggoncang tubuh istrinya dengan keras.
"Bune...! Mayat itu bukan anak kita...?"
Sulastri tidak menjawab. Suara tangisnya semakin keras. Parmin berpaling pada Kang Daim yang telah menyusul ke dalam ruang penyimpanan jenazah:
"Siapkan mobil! Kita kembali ke Wonogiri saat ini juga!" memerintahkan Parmin itu.
Belum Kang Daim bergerak melangkah, Jatmiko mengeruk sesuatu dari dalam saku bajunya. Mengeluarkan sebuah benda, lalu dia mendekati istri Parmin. Seraya mengacungkan benda itu dia bertanya:
" Ibu, apakah njenengan mengenali anting-anting ini...?" Sulastri turunkan kedua tangannya yang menutupi muka. Matanya membelalak melihat anting-anting emas di tangan Jatmiko.
Suaranya bergetar ketika berkata:
"Itu... itu anting-anting Galuh…."
"Apakah njenengan juga mengenali gelang Ini...?" bertanya Jatmiko lagi sembari memperlihatkan gelang emas berukiran kepala ular yang berada di genggaman tangan kirinya. Sulastri terpekik:
" Cincin itu! cincin emas kepala ular! Itu juga milik puteriku! Aku yang menyuruh membuat pada seorang pengrajin di Kotagede. Dari mana! Katakan dari mana Pak Polisi mendapatkan perhiasan itu?!"
"Anting ini saya temukan dalam kain putih pembungkus mayat ketika ditemukan di puncak bukit," jawab Jatmiko.
"Dan cincin emas dan anting -anting ini sengaja saya ambil dari jenazah setelah sampai disini," berkata Jatmiko.
"Kalau begitu jelas sudah, jenazah dalam peti ini adalah jenazah puteri Pak Parmin dan Ibu !" kata Jatmiko.
“ Tidak... Tidak mungkin! Tidak mungkin itu anakku!" teriak Parmin.
Tubuhnya terhuyung nanar lalu tersandar di tembok. Jatmiko berpaling pada Kang Daim. Lalu berkata:
"Sebaiknya segera dipersiapkan peti untuk membawa jenazah ini ke Wonogiri lalu menguburkannya!"
Lalu pada Parmin orang tua ini berkata sambil memegang bahunya.
" Dik Parmin, kau harus tabah menghadapi kenyataan kehilangan puterimu secara mengenaskan seperti ini..."
Parmin anggukkan kepala.
"Walau Galuh hanya anak tiriku, tapi aku sudah menganggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi aku memang tidak punya anak yang lain... Ya Tuhan... Jika itu memang jasad anakku memang sebaiknya harus cepat-cepat dibawa ke Wonogiri dan diurus pemakamannya..."
"Ada satu hal lain yang perlu saya beritahukan pada njenengan Pak Parmin," kata Jatmiko perlahan hampir berbisik, tapi masih sempat terdengar oleh Sulastri.
"Puterimu itu meninggal dalam keadaan hamil antara empat sampai lima bulan..."
"A...apa... Puteriku hamil...?!"
Sepasang mata Parmin membeliak. Dia berpaling pada istrinya. Justru saat itu Sulastri yang sudah sempat mendengar keterangan Jatmiko langsung menjerit keras dan untuk kedua kalinya tubuhnya terkulai. Kali ini dia benar-benar pingsan. Tersungkur di lantai. Beberapa orang perawat segera menghampiri lalu menggotongnya dan membaringkan di atas kursi panjang di luar ruangan.
"Tidak bisa tidak! Pasti dia! Pemuda keparat itu!" teriak Parmin tiba- tiba seraya mengepalkan tinju kanannya.
"Pasti Johan yang melakukannya! Dia menghamili Galuh! Lalu membunuh puteriku! Dia sendiri melenyapkan diri entah kemana! Kowe tak akan bisa lari jauh! Kemanapun kau pergi akan kucari! Akan kubunuh! Akan kucincang tubuhmu sampai lumat! Pemuda jahanam! Terkutuk kau Johan !"
Parmin berteriak – teriak kalap. Parasnya memerah dan membesi, amarahnya meluap. Tubuh lelaki tua itu lalu terduduk berlutut di lantai. Air mata membasahi kedua pipinya yang telah keriput dimakan usia. Semua yang melihat hanya bisa terdiam dan menundukkan wajahnya dalam –dalam. Jatmiko berjalan menghampiri Parmin yang masih tertunduk lemah bersandar pada tembok.
"Bapak tidak usah terlalu risau. Jika memang pemuda bernama Johan itu dicurigai sebagai pelakunya. Sekarng juga akan saya perintahkan beberapa anak buah saya untuk mencari pemuda itu “
Parmin hanya mengangguk pelan. Parasnya yang murung terlihat jelas kesedihan disana.
Diubah oleh breaking182 25-04-2018 17:12
itkgid dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup