- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#550
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
Quote:
"Menurut kedua orang tuanya, Johan meninggalkan Jatiwalu sepuluh hari lalu. Mereka tidak tahu kemana anak mereka itu pergi. Aneh! Dan aku juga curiga!" kata Parmin sambil melangkah mondar mandir dalam kamar tidurnya yang besar sementara istrinya Sulastri duduk merenda dekat jendela.
"Kalau kau curiga Pak, dengan siapa kau curiga?" bertanya Sulastri.
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Johan! Sudah sejak dulu aku tidak suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Johan adalah calon suami yang paling cocok untuk Galuh! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Pekerjaannya tidak sesuai dengan status sosial kehidupan keluarga kita! Hanya kebetulan saja dulu kakeknya pernah jadi kepala desa di Jatiwalu...."
"Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu..."
"Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kimpoi lari. Karena dia tahu aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!"
Sulastri batuk-batuk beberapa kali lalu berkata:
"Sulit bagiku mempercayai bahwa Johan mau melakukan apa yang kau katakan itu..."
" Lalu kemana dia menghilang? Dan kemana lenyapnya anak gadis kita?!" tukas Parmin.
Sulastri meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Matanya menerawang jauh.
"Kalau kau curiga Pak, dengan siapa kau curiga?" bertanya Sulastri.
"Dengan siapa lagi kalau bukan dengan Johan! Sudah sejak dulu aku tidak suka pada anak itu. Tapi kau selalu membelanya, mengatakan Johan adalah calon suami yang paling cocok untuk Galuh! Padahal dia adalah pemuda bergajulan. Pekerjaannya tidak sesuai dengan status sosial kehidupan keluarga kita! Hanya kebetulan saja dulu kakeknya pernah jadi kepala desa di Jatiwalu...."
"Tentunya kau punya alasan mencurigai pemuda itu..."
"Aku yakin anak gadis kita telah dibujuknya untuk kimpoi lari. Karena dia tahu aku tidak suka kalau dia menjadi menantuku...!"
Sulastri batuk-batuk beberapa kali lalu berkata:
"Sulit bagiku mempercayai bahwa Johan mau melakukan apa yang kau katakan itu..."
" Lalu kemana dia menghilang? Dan kemana lenyapnya anak gadis kita?!" tukas Parmin.
Sulastri meletakkan rendaannya di atas pangkuan. Matanya menerawang jauh.
Quote:
Parmin dan istrinya sama-sama memandang pada puteri mereka satu-satunya dengan mata tak berkedip dan wajah yang menyatakan keheranan.
“ Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini pada dirimu Galuh,” kata Parmin pada puterinya.
Galuh hanya bisa menatap wajah kedua orang tuanya sesaat lalu tundukkan kepala. Sang ibu sesekali batuk. Setelah mengurut dadanya. Perempuan itu memegang lengan anak gadisnya itu lalu berkata.
“ Anakku, kami berdua tidak merasa heran jika kau mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau segera menemukan seorang calon suami. Meskipun sekarang kau masih kuliah semester enam. Katakan pada kami siapa pemuda kekasih hati mu itu?”
Batalkan saja niatmu untuk memperkenalkan pada kami. Jika pemuda itu hanya orang biasa. Bapak mu ini orang terpandang di desa Pandak ini. Seorang tuan tanah yang tersohor dan dihormati ”
Galuh terdiam di kursinya. Kepalanya ditundakkan dalam –dalam. Suaranya terdengar lirih.
“ Pemuda kekasih hati saya bernama Johan. Dia berasal dari desa Jatiwalu. Dan sekarang dia bekerja di sebuah peternakan ayam “
“Sudahlah anakku. Satu hal harus kau ingat, kami orang tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami lebih suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup daripada punya menantu yang memberi malu dan menurunkan derajat kami!”
Berubahlah paras Galuh mendengar kata - kata ayahnya itu.Kedua bola matanya tampak seperti membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat membuat ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari kursinya.
“Ayah dan ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan, jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa! Semua manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging! Dan saya benar-benar tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya menjadi perawan tua hanya karena gila jabatan dan derajat!”
“Galuh!” teriak Parmin keras sekali.
Galuh sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari dalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Parmin dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu berulang kali. Tapi Galuh menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras. Parmin geleng-gelengkan kepala. Kedua suami istri itu saling pandang beberapa ketika. Pengusaha sekaligus tuan tanah ini akhirnya mengangkat bahu dan berkata.
“Biarkan saja. Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri.”
“Saya rasa ada baiknya kau menemui pemuda itu Pak. Agar semua lebih jelas dan terang benderang. Galuh tidak akan bersikeras seperti ini jika memang pemuda yang bernama Johan itu memang telah membuat hati anak kita jatuh cinta,” berkata sang istri.
Paras Parmin tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat lalu berkata.
“Nah, nah… nah! Rupanya hatimu mulai mendua.Kalau kau memang ingin bermenantukan seorang rendahan yang hanya bekerja jadi buruh di petrrnakan, silahkan kau temui dan bicara sendiri dengan Johan!”
Setelah berkata begitu Parmin tinggalkan istrinya masuk ke dalamkamar tidur sambil membanting pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian dia kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar menemui suaminya.
“Yang saya takutkan, Pak. Jika kita terlalu keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri, minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.”
“Kalau dia memang mau minggat aku tidak akan mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehilangan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia kabur bersama pemuda itu, akan kubunuh kedua-duanya!” kata Parmin dengan wajah keras membesi.
“ Banyak keanehan terjadi akhir-akhir ini pada dirimu Galuh,” kata Parmin pada puterinya.
Galuh hanya bisa menatap wajah kedua orang tuanya sesaat lalu tundukkan kepala. Sang ibu sesekali batuk. Setelah mengurut dadanya. Perempuan itu memegang lengan anak gadisnya itu lalu berkata.
“ Anakku, kami berdua tidak merasa heran jika kau mengatakan telah tertarik pada seorang pemuda. Memang terus terang kami memang sangat mendambakan agar kau segera menemukan seorang calon suami. Meskipun sekarang kau masih kuliah semester enam. Katakan pada kami siapa pemuda kekasih hati mu itu?”
Batalkan saja niatmu untuk memperkenalkan pada kami. Jika pemuda itu hanya orang biasa. Bapak mu ini orang terpandang di desa Pandak ini. Seorang tuan tanah yang tersohor dan dihormati ”
Galuh terdiam di kursinya. Kepalanya ditundakkan dalam –dalam. Suaranya terdengar lirih.
“ Pemuda kekasih hati saya bernama Johan. Dia berasal dari desa Jatiwalu. Dan sekarang dia bekerja di sebuah peternakan ayam “
“Sudahlah anakku. Satu hal harus kau ingat, kami orang tuamu tidak akan menjodohkanmu dengan seorang pemuda gelandangan! Kami lebih suka kau jadi seorang perawan tua seumur hidup daripada punya menantu yang memberi malu dan menurunkan derajat kami!”
Berubahlah paras Galuh mendengar kata - kata ayahnya itu.Kedua bola matanya tampak seperti membesar dan mengeluarkan sinar yang sesaat sempat membuat ayah dan ibunya tercekat. Gadis ini bangkit dari kursinya.
“Ayah dan ibu terlalu diperbudak oleh kedudukan, jabatan, tingkatan dan derajat. Ayah dan ibu lupa! Semua manusia dilahirkan sama, terbuat dari darah dan daging! Dan saya benar-benar tidak mengerti, ada orang tua yang lebih suka melihat anak gadisnya menjadi perawan tua hanya karena gila jabatan dan derajat!”
“Galuh!” teriak Parmin keras sekali.
Galuh sendiri saat itu sudah bangkit berdiri lalu bergegas masuk ke dalam kamarnya. Pintu dikuncinya dari dalam. Sunyi sesaat lalu terdengar isak tangisnya. Parmin dan istrinya berusaha masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu berulang kali. Tapi Galuh menutupi wajahnya dengan bantal dan menangis lebih keras. Parmin geleng-gelengkan kepala. Kedua suami istri itu saling pandang beberapa ketika. Pengusaha sekaligus tuan tanah ini akhirnya mengangkat bahu dan berkata.
“Biarkan saja. Nanti kalau dia sudah tenang pasti mengerti sendiri.”
“Saya rasa ada baiknya kau menemui pemuda itu Pak. Agar semua lebih jelas dan terang benderang. Galuh tidak akan bersikeras seperti ini jika memang pemuda yang bernama Johan itu memang telah membuat hati anak kita jatuh cinta,” berkata sang istri.
Paras Parmin tampak berubah. Dia menatap istrinya sesaat lalu berkata.
“Nah, nah… nah! Rupanya hatimu mulai mendua.Kalau kau memang ingin bermenantukan seorang rendahan yang hanya bekerja jadi buruh di petrrnakan, silahkan kau temui dan bicara sendiri dengan Johan!”
Setelah berkata begitu Parmin tinggalkan istrinya masuk ke dalamkamar tidur sambil membanting pintu. Tinggal kini sang istri yang tegak sendiri termangu-mangu di depan pintu. Sesaat kemudian dia kembali mengetuk pintu kamar anak gadisnya itu. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Perempuan ini akhirnya masuk ke dalam kamar menemui suaminya.
“Yang saya takutkan, Pak. Jika kita terlalu keras saya khawatir anak itu akan melarikan diri, minggat dari rumah ini. Kita juga nanti yang akan malu.”
“Kalau dia memang mau minggat aku tidak akan mencarinya. Mungkin itu lebih baik. Aku tidak takut kehilangan anak daripada menerima malu besar. Kalau dia kabur bersama pemuda itu, akan kubunuh kedua-duanya!” kata Parmin dengan wajah keras membesi.
Quote:
ISTRI Parmin tidak bisa memicingkan matanya sementara suaminya sudah tertidur ngorok disebelahnya. Wajahnya yang pucat karena penyakit batuknya yang hampir setahun ini menderanya menjadi tambah pucat. Pikiran perempuan ini masih mengingat pada ketegangan yang terjadi antara dia dan suaminya di satu pihak dan dengan puteri mereka Galuh. Setelah bolak-balik beberapa kali akhirnya perempuan ini turun dari tempat tidur. Di luar kamar dia termenung sesaat sebelum kemudian melangkah menuju kamar tidur anaknya. Dia tahu Galuh telah mengunci kamar itu dari dalam.
Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung membukanya. Agak heran ternyata dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun cahaya rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang angin cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh puterinya!
“Ke mana anak itu…?” bertanya Sulastri dalam hati.
Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah memastikan Galuh tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat keluar. Dia memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu depan, membuka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak tertidur pulas. Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya. Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar, membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka lenyap entah ke mana.
“Jangan-jangan dia telah diculik pemuda dari desa Jatiwalu itu Pak !” kata istri Parmin.
Rumah kediaman pengusaha kaya raya itu menjadi heboh. Semua anak buahnya dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan mereka diperintahkan untuk segera mencari Galuh. Namun orang-orang itu termasuk Parmin sendiri tidak tahu harus mencari ke mana.
Supri si sopir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah menemuinya dan menanya apakah dia bersedia mengantarkan ke desa Jatiwalu untuk bertemu dengan pemuda bernama Johan itu.
“Kini kalau dia tiba-tiba lenyap jangan-jangan dia mencari pemuda itu ke desa Jatiwalu. Mbak Galuh, kenapa senekad itu dirimu…”
Gerak gerik sopir tua yang tidak seperti biasanya itu terlihat oleh Parmin. Lelaki ini jadi curiga. Dia menghampiri orang tua ini dan berkata.
“Pak Supri, sikapmu agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi dengan anakku…Selain kami orang tuanya kau adalah orang yang paling dekat dengan Galuh. Apa yang kau ketahui Pak Supri?!”
“Saya… saya tidak tahu…” Sopir tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga mulai ketakutan.
Saat itu tiba-tiba terdengar raungan mesin motor mendekat.
“Ada orang datang!” seru seorang anak buah Parmin.
Semua orang yang ada di serambi rumah serentak berpaling ke arah pintu gerbang. Sebuah motor Honda CB berwarna merah ditunggangi dua orang memasuki halaman dan sampai di tangga depan serambi. Semua orang karuan saja jadi terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang adalah Galuh sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang kemudi adalah seorang pemuda memakai jaket kulit dan berambut ikal sebahu.
Parmin melompat. Dengan cepat dipegangnya tangan puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari rambut sampai ke kaki. “Galuh, kau tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!”
Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di tempat itu, memeluknya lalu membimbingnya ke dekat tangga serambi. Parmin kini membelalak memandang pada si pemuda yang telah turun dari atas motornya. Pemuda inilah yang bernama Johan.
“Kau siapa?!” bentak Parmin keras sekali.
Johan segera berjalan menghampiri. Dia membungkuk dengan sikap hormat.
“Saya Johan. Saya…” jawab Johan.
Belum sempat dia meneruskan ucapannya Parmin sudah mendamprat.
“Jadi kau pemuda gelandangan dari desa Jatiwalu....”
“Ayah! Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar teriakan Galuh.
Parmin melotot ke arah anaknya. Hampir terlontar makian dari mulutnya. Dengan suara bergetar dia berkata.
“Kau membelanya! Benar rupanya kau menyukai pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang tua!”Parmin berpaling pada Johan.
“Berani kau main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta lalu kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!” Parmin melompat ke hadapan Johan.
“ Maaf Pak, biar saya jelaskan dulu…”kata Johan.
Namun jotosan Parmin itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk!!
Johan terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan bengkak. Galuh berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat memegang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar Johan kembali.
“Jangan, Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong saya…”
“Menolongmu? Dia? Si gelandangan ini? Apa yang sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah ini lalu kau bilang dia menolongmu!”
“Tidak, saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika dia menemui saya, dia lalu membujuk saya untuk pulang ke mari…”
“Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya hingga bisa kelua rmalam-malam untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada anak gadisku?!”
Parmin mendorong Galuh ke samping lalu dia menyerbu Johan dengan ganas. Si gadis menjerit keras. Dia melompatdi antara ayahnya dan pemuda idamannya itu. Galuh yang sudah tahu jika ayahnya itu telah kalap dan takut Johan akan mendapat celaka cepat menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya sehingga lelaki itu kini jadi sulit bergerak.
“Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Parmin. “Atau kepalamu ikut aku pecahkan saat ini juga!”
“Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan apa-apa! “
“Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!” Parmin menggerakkan tubuhnya tapi Galuh pun mengencangkan rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak selain membentak dan memaki habis-habisan.
“Johan! Pergilah! Lari cepat!” teriak Galuh.
Gadis ini khawatir dia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnya melemparkannya ke tanah. Johan sesaat masih tertegak di tempat itu. Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu.
“Johan! Lari!” teriak Galuh sekali lagi.
Johan hanya termangu sesaat. Setelah itu pemuda ini putar badan lalu melompat naik ke atas meja motornya. Sekali genjot motor merah itu segera melesat cepat dari tempat itu. Menyisakan kepulan asap putih yang berpendar –pendar tertiup angin. Suara mesin itu lama –lama mengecil. Lalu tidak terdengar sama sekali.
“Anak kurang ajar!” hardik Parmin marah. Tangan kanannya melayang dan...
Plakk!!
Tamparannya mendarat di pipi Galuh yang sampai saat itu masih memeluk tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya lalu melangkah pergi. Air mata berderai deras dari kedua bola matanya.
Tetapi entah mengapa dia tidak mengetuk pintu melainkan langsung membukanya. Agak heran ternyata dia mendapatkan pintu kamar tidak dikunci. Perempuan ini masuk ke dalam. Kamar berada dalam keadaan gelap. Namun cahaya rembulan yang menyeruak masuk lewat lobang angin cukup membantu hingga dia dapat melihat keadaan seisi kamar. Di atas ranjang sama sekali tidak ada sosok tubuh puterinya!
“Ke mana anak itu…?” bertanya Sulastri dalam hati.
Diperiksanya kamar sekali lagi. Setelah memastikan Galuh tidak ada dalam kamar, perempuan ini cepat keluar. Dia memeriksa seluruh rumah. Anak gadisnya tetap tidak ditemukan. Dia segera menuju ke pintu depan, membuka dan melihat ke luar. Penjaga di pintu gerbang tampak tertidur pulas. Perempuan ini tidak dapat lagi menahan rasa khawatirnya. Setengah berlari dia masuk ke dalam kamar, membangunkan suaminya dan memberitahu kalau puteri mereka lenyap entah ke mana.
“Jangan-jangan dia telah diculik pemuda dari desa Jatiwalu itu Pak !” kata istri Parmin.
Rumah kediaman pengusaha kaya raya itu menjadi heboh. Semua anak buahnya dipanggil. Setelah dimaki habis-habisan mereka diperintahkan untuk segera mencari Galuh. Namun orang-orang itu termasuk Parmin sendiri tidak tahu harus mencari ke mana.
Supri si sopir tua jadi bingung. Malam itu sebelumnya putri majikannya itu telah menemuinya dan menanya apakah dia bersedia mengantarkan ke desa Jatiwalu untuk bertemu dengan pemuda bernama Johan itu.
“Kini kalau dia tiba-tiba lenyap jangan-jangan dia mencari pemuda itu ke desa Jatiwalu. Mbak Galuh, kenapa senekad itu dirimu…”
Gerak gerik sopir tua yang tidak seperti biasanya itu terlihat oleh Parmin. Lelaki ini jadi curiga. Dia menghampiri orang tua ini dan berkata.
“Pak Supri, sikapmu agak lain kulihat. Aku rasa kau tahu apa yang terjadi dengan anakku…Selain kami orang tuanya kau adalah orang yang paling dekat dengan Galuh. Apa yang kau ketahui Pak Supri?!”
“Saya… saya tidak tahu…” Sopir tua itu bukan saja jadi gugup tetapi juga mulai ketakutan.
Saat itu tiba-tiba terdengar raungan mesin motor mendekat.
“Ada orang datang!” seru seorang anak buah Parmin.
Semua orang yang ada di serambi rumah serentak berpaling ke arah pintu gerbang. Sebuah motor Honda CB berwarna merah ditunggangi dua orang memasuki halaman dan sampai di tangga depan serambi. Semua orang karuan saja jadi terkejut. Karena yang duduk di sebelah belakang adalah Galuh sendiri, sedang di sebelah depan yang memegang kemudi adalah seorang pemuda memakai jaket kulit dan berambut ikal sebahu.
Parmin melompat. Dengan cepat dipegangnya tangan puterinya lalu diturunkannya ke tanah. Sepasang matanya memperhatikan sekujur tubuh anaknya mulai dari rambut sampai ke kaki. “Galuh, kau tidak apa-apa? Kau barusan dari mana?!”
Gadis itu tak menjawab. Ibunya sudah sampai pula di tempat itu, memeluknya lalu membimbingnya ke dekat tangga serambi. Parmin kini membelalak memandang pada si pemuda yang telah turun dari atas motornya. Pemuda inilah yang bernama Johan.
“Kau siapa?!” bentak Parmin keras sekali.
Johan segera berjalan menghampiri. Dia membungkuk dengan sikap hormat.
“Saya Johan. Saya…” jawab Johan.
Belum sempat dia meneruskan ucapannya Parmin sudah mendamprat.
“Jadi kau pemuda gelandangan dari desa Jatiwalu....”
“Ayah! Jangan menghina dia!” Tiba-tiba terdengar teriakan Galuh.
Parmin melotot ke arah anaknya. Hampir terlontar makian dari mulutnya. Dengan suara bergetar dia berkata.
“Kau membelanya! Benar rupanya kau menyukai pemuda ini! Anak tak tahu diri. Memberi malu orang tua!”Parmin berpaling pada Johan.
“Berani kau main gila dengan anakku! Kau bawa anakku di malam buta lalu kau kembalikan lagi dengan cara seperti ini! Benar-benar kurang ajar! Kupecahkan kepalamu!” Parmin melompat ke hadapan Johan.
“ Maaf Pak, biar saya jelaskan dulu…”kata Johan.
Namun jotosan Parmin itu sudah menghantam pipi kanannya lebih dulu.
Bukkk!!
Johan terjajar dan terpuntir ke belakang. Pipi kanannya tampak memar merah dan bengkak. Galuh berteriak dan lari dari pegangan ibunya. Dia cepat memegang pinggang ayahnya ketika lelaki ini hendak menghajar Johan kembali.
“Jangan, Ayah! Jangan pukul dia! Dia yang menolong saya…”
“Menolongmu? Dia? Si gelandangan ini? Apa yang sebenarnya terjadi anakku?! Dia membawamu dari rumah ini lalu kau bilang dia menolongmu!”
“Tidak, saya pergi dari rumah mau saya sendiri. Saya tidak sadar apa yang saya lakukan. Ketika dia menemui saya, dia lalu membujuk saya untuk pulang ke mari…”
“Ceritamu tidak masuk akal! Kau mengarang! Kau pasti telah diguna-gunainya hingga bisa kelua rmalam-malam untuk menemuinya! Pemuda jahanam! Apa yang telah kau lakukan pada anak gadisku?!”
Parmin mendorong Galuh ke samping lalu dia menyerbu Johan dengan ganas. Si gadis menjerit keras. Dia melompatdi antara ayahnya dan pemuda idamannya itu. Galuh yang sudah tahu jika ayahnya itu telah kalap dan takut Johan akan mendapat celaka cepat menghalangi. Kedua tangannya dirangkulkannya ke tubuh ayahnya sehingga lelaki itu kini jadi sulit bergerak.
“Anak setan! Lepaskan rangkulanmu!” teriak Parmin. “Atau kepalamu ikut aku pecahkan saat ini juga!”
“Jangan ayah! Dia tidak bersalah! Dia tidak melakukan apa-apa! “
“Anak setan! Siapa percaya ucapanmu!” Parmin menggerakkan tubuhnya tapi Galuh pun mengencangkan rangkulannya hingga lelaki itu tidak bisa berbuat banyak selain membentak dan memaki habis-habisan.
“Johan! Pergilah! Lari cepat!” teriak Galuh.
Gadis ini khawatir dia tidak bisa bertahan lama sebelum ayahnya melemparkannya ke tanah. Johan sesaat masih tertegak di tempat itu. Pipinya yang memar masih sakit. Tapi hatinya lebih sakit lagi diperlakukan dan dihina semena-mena seperti itu.
“Johan! Lari!” teriak Galuh sekali lagi.
Johan hanya termangu sesaat. Setelah itu pemuda ini putar badan lalu melompat naik ke atas meja motornya. Sekali genjot motor merah itu segera melesat cepat dari tempat itu. Menyisakan kepulan asap putih yang berpendar –pendar tertiup angin. Suara mesin itu lama –lama mengecil. Lalu tidak terdengar sama sekali.
“Anak kurang ajar!” hardik Parmin marah. Tangan kanannya melayang dan...
Plakk!!
Tamparannya mendarat di pipi Galuh yang sampai saat itu masih memeluk tubuhnya. Darah kelihatan mengucur di sela bibirnya sebelah kiri. Perlahan-lahan gadis ini lepaskan pegangannya lalu melangkah pergi. Air mata berderai deras dari kedua bola matanya.
Diubah oleh breaking182 23-04-2018 08:26
itkgid dan 7 lainnya memberi reputasi
8
Kutip
Balas