- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#546
EPISODE 3 : SANG DALANG
Quote:
ORANG yang duduk di belakang kemudi mobil mercy mewah berwarna hijau giok itu memarkirkan kendaraan di bawah pohon randu besar yang tumbuh menjulang di tepi sebuah desa. Cukup lama mobil itu berhenti disitu. Sepertinya pengemudinya sedang menunggu seseorang. Dari balik kaca depan mobil yang berwarna pekat tampak paras orang itu sangat gusar. Beberapa kali terdengar menarik nafas panjang. Sembari memukul – mukul stir dengan jari telunjuk dan jari tengahnya secara bergantian. Sementara langit sore tampak lebih cepat gelapnya karena mendung. Sebentar lagi tentu turun hujan lebat. Sebuah koran tergeletak di jok sebelahnya. Headline berita itu “ MAYAT PEREMPUAN DITEMUKAN TERPOTONG DI PUNCAK BUKIT BARISAN SERIBU“
"Sialan! Mana mereka itu?! Sudah hampir satu jam lebih aku disini tapi orang –orang itu belum juga terlihat batang hidungnya !"
Orang di dalam mobil memaki dalam hati.
Tidak berapa lama semak belukar di ujung kanan jalan tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian hitam muncul. Sebuah kain sarung berwarna merah melilit dimasing –masing pinggang mereka. Kedua mata orang itu jelalatan menyapu pandangan disekitarnya. Nampaknya takut jika ada orang yang melihat.
"Kami datang!" salah seorang dari keduanya cepat menjawab sembari mengetuk pelan kaca samping.
" Mengapa kalian lama sekali! “
Orang di dalam mobil membentak. Tanpa sedikitpun keluar dari mobil.
“ Maaf kami berdua tadi ketiduran di rumah. Semalaman kami tidak bisa tidur setelah melaksanakan tugas yang diberikan oleh tuan “
" Ingat! Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut namaku! "
Orang di dalam mobil membentak galak.
"Kami mengerti..." jawab orang yang bernama Rais.
Orang di dalam mobil membuka jendela sedikit lalu melemparkan sebuah amplop coklat yang berisi uang. Amplop itu jatuh di atas tanah. Rais segera mengambil amplop tebal itu.
" Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah ini kalian berdua harus tinggalkan daerah sekitar sini dan jangan berani kembali! Sekarang katakan, ada apa kalian meminta untuk bertemu?!"
Rais menarik nafas panjang. Wajahnya menegang.
"Sejak satu minggu lalu ada dua orang polisi muncul di beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah ada gadis hilang atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah cincin emas berukir kepala ular..."
"Astaga! Cincin itu!" kata si orang di dalam mobil hampir berteriak.
"Jadi cincin itu tidak sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!"
"Mohon maaf. Kami tidak memikirkan sejauh itu. Lagi pula saat itu ada orang datang hendak menemui dokter itu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi..."
" Ingat satu lagi, masalah ini tidak boleh sampai bocor. Kalau ternyata bocor kalian berdua yang akan aku cari lalu akan aku bunuh !"
"Soal kepercayaan dan kesetian kami tidak perlu diragukan. Yang kami khawatirkan justru dokter itu!"
Orang di dalam mobil jadi terkesiap mendengar kata-kata Rais.
"Ucapannya mungkin ada benarnya," katanya dalam hati.
Lalu dia mengeluarkan sebuah amplop lagi dan melemparkannya keluar mobil.
"Ambil dan pergi! Bereskan dokter itu! Dan jangan pernah kembalilagi ke desa ini. Pergilah jauh -jauh!"
"Terima kasih" ucap Rais sambil menyambut amplop yang dilemparkan lalu dia memberi isyarat pada kawannya.
Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas hutan langit semakin mendung. Gelegar guntur terdengar dikejauhan disambut oleh kerlapan kilat. Si orang di dalam mobil segera putar kendaraannya dan dengan cepat tinggalkan tepi desa itu.
"Sialan! Mana mereka itu?! Sudah hampir satu jam lebih aku disini tapi orang –orang itu belum juga terlihat batang hidungnya !"
Orang di dalam mobil memaki dalam hati.
Tidak berapa lama semak belukar di ujung kanan jalan tersibak dan dua orang lelaki bertubuh kurus mengenakan pakaian hitam muncul. Sebuah kain sarung berwarna merah melilit dimasing –masing pinggang mereka. Kedua mata orang itu jelalatan menyapu pandangan disekitarnya. Nampaknya takut jika ada orang yang melihat.
"Kami datang!" salah seorang dari keduanya cepat menjawab sembari mengetuk pelan kaca samping.
" Mengapa kalian lama sekali! “
Orang di dalam mobil membentak. Tanpa sedikitpun keluar dari mobil.
“ Maaf kami berdua tadi ketiduran di rumah. Semalaman kami tidak bisa tidur setelah melaksanakan tugas yang diberikan oleh tuan “
" Ingat! Dalam pembicaraan jangan sekali-kali menyebut namaku! "
Orang di dalam mobil membentak galak.
"Kami mengerti..." jawab orang yang bernama Rais.
Orang di dalam mobil membuka jendela sedikit lalu melemparkan sebuah amplop coklat yang berisi uang. Amplop itu jatuh di atas tanah. Rais segera mengambil amplop tebal itu.
" Itu uang terakhir yang kalian bisa bagi dua. Setelah ini kalian berdua harus tinggalkan daerah sekitar sini dan jangan berani kembali! Sekarang katakan, ada apa kalian meminta untuk bertemu?!"
Rais menarik nafas panjang. Wajahnya menegang.
"Sejak satu minggu lalu ada dua orang polisi muncul di beberapa tempat. Mereka menanyakan apakah ada gadis hilang atau diculik di daerah ini. Lalu mereka juga memperlihatkan sebuah cincin emas berukir kepala ular..."
"Astaga! Cincin itu!" kata si orang di dalam mobil hampir berteriak.
"Jadi cincin itu tidak sempat kalian amankan! Celaka! Benar-benar celaka! Kenapa kalian bekerja begitu sembrono?!"
"Mohon maaf. Kami tidak memikirkan sejauh itu. Lagi pula saat itu ada orang datang hendak menemui dokter itu. Kami berkemas cepat-cepat dan pergi..."
" Ingat satu lagi, masalah ini tidak boleh sampai bocor. Kalau ternyata bocor kalian berdua yang akan aku cari lalu akan aku bunuh !"
"Soal kepercayaan dan kesetian kami tidak perlu diragukan. Yang kami khawatirkan justru dokter itu!"
Orang di dalam mobil jadi terkesiap mendengar kata-kata Rais.
"Ucapannya mungkin ada benarnya," katanya dalam hati.
Lalu dia mengeluarkan sebuah amplop lagi dan melemparkannya keluar mobil.
"Ambil dan pergi! Bereskan dokter itu! Dan jangan pernah kembalilagi ke desa ini. Pergilah jauh -jauh!"
"Terima kasih" ucap Rais sambil menyambut amplop yang dilemparkan lalu dia memberi isyarat pada kawannya.
Kedua orang ini segera menyeruak di balik semak belukar dan lenyap. Di atas hutan langit semakin mendung. Gelegar guntur terdengar dikejauhan disambut oleh kerlapan kilat. Si orang di dalam mobil segera putar kendaraannya dan dengan cepat tinggalkan tepi desa itu.
Quote:
"ISTRIKU..." kata Parmin pada istrinya yang duduk terbatuk- batuk di kursi besar di ruang tengah kediaman mereka yang terletak di bagian selatan jauh dari desa Jatiwalu.
"Sudah hampir seminggu anak kita Galuh belum juga kembali dari Jogja. Apakah aku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?"
Sulastri sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang dahaknya ke sebuah kaleng bekas susu. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai obat telah diminumnya. Berbagai dokter di kota dan mantri puskesmas coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu segar montok itu berangsur-angsur menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya pucat.
Galuh adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Parmin kimpoi dengan Sulastri dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tiga tahun dan mempunyai seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di usia Parmin yang hampir enam puluh maka anak tirinya yaitu Galuh telah menjadi seorang gadis yang mewarisi kecantikan dan kemolekan tubuh ibunya di masa muda.
"Jika anak kita membatalkan pulang ke Wonogiri liburan semester ini mungkin dia mengambil semester pendek. Kau ingat keinginan anak kita itu? Ingin cepat –cepat lulus dan bekerja di kejaksaan. Sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang”
“ Tapi terus terang sejak satu minggu ini aku terus teringat padanya, bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku khawatir, terjadi sesuatu dengan anak kita itu “
“Ada baiknya Bapak telpon ke Jogja. Tanyakan pada Kang Daim bagaimana keadaan Galuh disana...”
"Kalau begitu segera akan ku telpon Kang Daim “, kata Parmin
"Kuharap kau jangan terlalu khawatir dan berpikir yang jelek Lastri “
Parmin mengelus punggung istrinya. Sesaat kemudian Parmin berdiri. Dia melangkah ke samping, ke arah ruang depan, dihampirinya sebuah pesawat telpon yang berada di atas meja berukiran. Sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya diraihnya gagang telpon. Jari tangan kanannya setengah gemetar memijit beberapa nomor yang ada di badan telpon. Sulastri yang tiba –tiba menyusul segera duduk di samping meja telpon, Tidak berapa lama terdengar sahutan dari seberang telpon.
“ Halo...” terdengar suara lelaki rada serak dan berat.
“ Saya Parmin Kang. Wonogiri ....”
“ Oh ya, ada apa dik Parmin? “
“ Hanya sekedar bertanya kabar. Bagaimana keluarga di Jogja?!”
Terdengar suara tertawa. Lalu disambut dengan jawaban.
“ Baik –baik saja disini..Bagaimana dengan keluarga Wonogiri?”
“ Baik juga Kang. Oh ya Kang, saya mau tanya Galuh apakah ada disitu? Karena tiga hari yang lalu katanya liburan semester akan pulang. Hanya saja sudah seminggu lebih anak itu tidak pulang –pulang juga “
Orang di seberang telpon terdiam. Sesaat kemudian.
“ Maaf Dik Parmin. Galuh telah mohon diri dari kos tiga hari yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia belum sampai...?"
Parmin menarik nafas lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada bayangan rasa khawatir pada wajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
"Saya takut sesuatu terjadi dengannya..." kata Sulastri dan air mata langsung saja meluncur ke pipinya yang cekung.
"Jangan-jangan ada orang jahat yang melakukan sesuatu terhadapnya. Menculiknya... Menyekapnya di satu tempat..."
"Selama Galuh berada di kos, apakah njenengan melihat ada kelainan-kelainan pada diri anak kami itu...?" bertanya Parmin.
"Maksud Dik Parmin...?" balik bertanya Kang Daim dari seberang telpon.
"Maksud saya mungkin sebagai induk semangnya, Galuh lebih terbuka terhadap njenengan dari pada kami. Mungkin ada sesuatu yang menjadi unek-unekannya atau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu dia sedang ada masalah di kampus atau sedang marah dengan kekasihnya yang bernama Johan itu..." sahut Parmin pula.
"Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Dik Parmin. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu ganjalan pada saya."
"Kalau begitu kemana perginya anak itu?" tanya Parmin seraya memandang pada istrinya yang tengah mengusap air mata.
"Kita harus mencari tahu dimana dia berada, Pak..." berkata Sulastri.
"Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan para bawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan turun tangan"
"Dan Kang Daim, aku minta kau juga melakukan pencarian..."
"Itu memang menjadi tanggung jawab saya, Dik Parmin", sahut Kang Daim.
"Maturnuwun..kita lanjutkan nanti Kang. Tolong beri kabar jika Kang Daim mendengar berita tentang Galuh “
Terdengar sambungan telpon terputus. Parmin meletakkan gagang telpon ditempatnya semula. Dihampiri istrinya yang masih menangis bercucuran air mata. Dipeluk perempuan yang telah tiga puluh tahun dinikahinya itu. Suasana menjadi sunyi hanya sesekali terdengar isak tangis Sulastri yang tenggelam dalam pelukan Parmin suaminya.
"Sudah hampir seminggu anak kita Galuh belum juga kembali dari Jogja. Apakah aku perlu menyuruh orang untuk menjemputnya?"
Sulastri sang istri terbatuk-batuk beberapa kali lalu membuang dahaknya ke sebuah kaleng bekas susu. Sudah sejak dua tahun ini perempuan itu menderita batuk seperti itu. Berbagai obat telah diminumnya. Berbagai dokter di kota dan mantri puskesmas coba mengobatinya tetapi sia-sia saja. Badan perempuan yang dulu segar montok itu berangsur-angsur menjadi kurus. Dalam waktu dua tahun tubuhnya boleh dikatakan hanya tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya pucat.
Galuh adalah anak satu-satunya kedua suami istri itu. Parmin kimpoi dengan Sulastri dalam usia yang agak lanjut yaitu empat puluh lima tahun sedang sang istri yang pada waktu itu adalah seorang janda berusia empat puluh tiga tahun dan mempunyai seorang anak perempuan dari suaminya yang terdahulu. Di usia Parmin yang hampir enam puluh maka anak tirinya yaitu Galuh telah menjadi seorang gadis yang mewarisi kecantikan dan kemolekan tubuh ibunya di masa muda.
"Jika anak kita membatalkan pulang ke Wonogiri liburan semester ini mungkin dia mengambil semester pendek. Kau ingat keinginan anak kita itu? Ingin cepat –cepat lulus dan bekerja di kejaksaan. Sebaiknya kita tidak usah mengganggu dan memanggilnya pulang”
“ Tapi terus terang sejak satu minggu ini aku terus teringat padanya, bahkan sampai memimpikan anak itu. Aku khawatir, terjadi sesuatu dengan anak kita itu “
“Ada baiknya Bapak telpon ke Jogja. Tanyakan pada Kang Daim bagaimana keadaan Galuh disana...”
"Kalau begitu segera akan ku telpon Kang Daim “, kata Parmin
"Kuharap kau jangan terlalu khawatir dan berpikir yang jelek Lastri “
Parmin mengelus punggung istrinya. Sesaat kemudian Parmin berdiri. Dia melangkah ke samping, ke arah ruang depan, dihampirinya sebuah pesawat telpon yang berada di atas meja berukiran. Sesaat tegak seperti termenung disitu sebelum akhirnya diraihnya gagang telpon. Jari tangan kanannya setengah gemetar memijit beberapa nomor yang ada di badan telpon. Sulastri yang tiba –tiba menyusul segera duduk di samping meja telpon, Tidak berapa lama terdengar sahutan dari seberang telpon.
“ Halo...” terdengar suara lelaki rada serak dan berat.
“ Saya Parmin Kang. Wonogiri ....”
“ Oh ya, ada apa dik Parmin? “
“ Hanya sekedar bertanya kabar. Bagaimana keluarga di Jogja?!”
Terdengar suara tertawa. Lalu disambut dengan jawaban.
“ Baik –baik saja disini..Bagaimana dengan keluarga Wonogiri?”
“ Baik juga Kang. Oh ya Kang, saya mau tanya Galuh apakah ada disitu? Karena tiga hari yang lalu katanya liburan semester akan pulang. Hanya saja sudah seminggu lebih anak itu tidak pulang –pulang juga “
Orang di seberang telpon terdiam. Sesaat kemudian.
“ Maaf Dik Parmin. Galuh telah mohon diri dari kos tiga hari yang lalu. Sesuai keterangannya dia berkata akan langsung pulang. Apakah dia belum sampai...?"
Parmin menarik nafas lalu saling pandang dengan istrinya. Jelas ada bayangan rasa khawatir pada wajah perempuan yang pucat dan sakit-sakitan itu.
"Saya takut sesuatu terjadi dengannya..." kata Sulastri dan air mata langsung saja meluncur ke pipinya yang cekung.
"Jangan-jangan ada orang jahat yang melakukan sesuatu terhadapnya. Menculiknya... Menyekapnya di satu tempat..."
"Selama Galuh berada di kos, apakah njenengan melihat ada kelainan-kelainan pada diri anak kami itu...?" bertanya Parmin.
"Maksud Dik Parmin...?" balik bertanya Kang Daim dari seberang telpon.
"Maksud saya mungkin sebagai induk semangnya, Galuh lebih terbuka terhadap njenengan dari pada kami. Mungkin ada sesuatu yang menjadi unek-unekannya atau yang menggelisahkannya. Misal siapa tahu dia sedang ada masalah di kampus atau sedang marah dengan kekasihnya yang bernama Johan itu..." sahut Parmin pula.
"Tidak tampak tanda-tanda apa-apa Dik Parmin. Juga tidak pernah dia mengatakan suatu ganjalan pada saya."
"Kalau begitu kemana perginya anak itu?" tanya Parmin seraya memandang pada istrinya yang tengah mengusap air mata.
"Kita harus mencari tahu dimana dia berada, Pak..." berkata Sulastri.
"Tentu... tentu saja. Aku akan memerintahkan para bawahanku. Bahkan aku sendiri yang akan turun tangan"
"Dan Kang Daim, aku minta kau juga melakukan pencarian..."
"Itu memang menjadi tanggung jawab saya, Dik Parmin", sahut Kang Daim.
"Maturnuwun..kita lanjutkan nanti Kang. Tolong beri kabar jika Kang Daim mendengar berita tentang Galuh “
Terdengar sambungan telpon terputus. Parmin meletakkan gagang telpon ditempatnya semula. Dihampiri istrinya yang masih menangis bercucuran air mata. Dipeluk perempuan yang telah tiga puluh tahun dinikahinya itu. Suasana menjadi sunyi hanya sesekali terdengar isak tangis Sulastri yang tenggelam dalam pelukan Parmin suaminya.
Diubah oleh breaking182 23-04-2018 05:54
itkgid dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas