EPISODE 2 : EVAKUASI
Quote:
CUACA mendung gerimis ketika dua mobil polisi, lalu satu buah mobil ambulance dan dua kendaraan dinas Pemda setempat berhenti di kaki perbukitan seribu bagian selatan. Bondan duduk tertegun di atas rumput beralaskan dua lembar kertas koran. Di hadapannya banyak orang berkumpul di sebuah tanah lapang yang tidak begitu luas. Selain beberapa orang yang ia kenal karena masih warga desa Jatiwalu, beberapa orang lagi dari desa sebelah. Semua kelihatan dalam wajah-wajah tercekam ketegangan. Pintu belakang mobil ambulance terbuka. Seorang petugas terlihat membawa kantung besar berwarna kuning dengan tanda palang merah tepat ditengah -tengahnya. Petugas ini terlibat pembicaraan dengan tiga orang anggota polisi. Salah seorang anggota polisi bicara lewat handy talky. Tak lama kemudian orang - orang itu membuka bagasi mobil, tidak lama kemudian mereka telah siap membawa perlengkapan, semuanya siap bergerak ke atas bukit.
Seorang anggota Polisi yang membawa handy talk, gagah, masih muda, berpangkat Sersan mendekati Bondan. Pemuda warga desa Jatiwalu ini segera berdiri lalu berjalan menyongsong si polisi muda yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu.
“ Selamat sore...dengan saudara...?” polisi itu menghentikan ucapannya.
“ Bondan Pak..” Bondan menyebutkan nama seraya mengulurkan tangan. Polisi yang masih muda itu menyambut uluran tangan Bondan.
“ Jatmiko “ jawab Polisi muda itu dengan mantap.
" Sudah siap ya? Sekarang juga saudara tolong tunjukkan, kepada kami dimana saudara melihat dan menemukan mayat yang sudah terpotong – potong itu “
“ Siap Pak ! “
“ Sekarang, mari kita naik ke atas bukit itu “
Tanpa membuang waktu lagi Bondan segera beranjak dari tempat berdirinya. Tidak berapa lama kemudian iring –iringan yang berjumlah tujuh orang itu bergerak perlan - lahan mendaki bukit. Bondan berjalan paling depan karena bertugas sebagai penunjuk jalan.
Matahari sedari tadi sudah tidak kelihatan. Udara terasa tambah dingin. Bondan yang berjalan paling depan memandang ke langit. Mendung tebal menggantung di mana-mana menutupi langit. Angin bertiup kencang.
"Pak Jatmiko, sepertinya akan turun hujan lebat," kata Bondan.
"Man, siapkan tali." Jatmiko berkata pada anak buahnya yang berjalan tepat di belakangnya. Dari kantong perbekalannya polisi yang bernama Parman ini mengeluarkan seutas tali plastik besar berwarna kuning. Tujuh orang itu lantas meneruskan perjalanan mendaki perbukitan seribu. Bondan yang berjalan paling depan sesekali pemuda ini berjalan setengah jongkok karena medan yang sangat licin. Mereka bergerak beriringan sambil berpegangan pada tali kuning.
" Pak Jatmiko apakah tidak lebih baik kita mencari tempat berlindung dulu sekalian beristirahat?!" Parman yang berada paling belakang rombongan berseru.
Jatmiko memandang ke depan. Saat itu keadaan tambah gelap dan puncak yang hendak mereka tempuh kelihatan menanjak.
"Sebentar," tiba –tiba Jatmiko menghentikan langkahnya. Bondan yang masih berjalan mau tidak mau ikut berhenti juga.
"Jangan-jangan kita nyasar. Sepertinya kita hanya berputar – putar saja di tempat ini “
Hujan mulai turun.
"Jangan khawatir Pak. Kita tidak nyasar. Saya hafal betul bukit ini. Setiap hari saya mencari makan disini. Jangan terlalu lama berhenti di sini. Tempat mayat terpotong itu hanya tinggal sedikit lagi dari sini!"
"Semua lanjutkan perjalanan ke atas. Cepat!" teriak Jatmiko.
Ke tujuh orang itu dengan berpegangan pada tali kuning segera melanjutkan perjalanan, bergerak kembali ke atas bukit. Di langit kilat sambung menyambung dan guntur menggelegar hampir tak berkeputusan.
Sesaat kemudian. Bau busuk santer mulai tercium mengusik rongga hidung. Beberapa orang terlihat menekap hidung dan sesekali meludah di tanah.
“ Kita sudah semakin dekat dengan lokasi mayat itu Pak Jatmiko ! “
Bondan setengah berteriak berusaha bersaing dengan gemuruh hujan deras yang mulai mengguyur bumi.
Bondan menyibak rimbunan daun keladi hutan. Diikuti oleh keenam orang yang masih berjalan di belakangnya. Sampailah di tempat dimana bungkusan putih itu masih tetap berada di tempatnya. Bungkusan itu basah tersiram air hujan. Cairan merah kehitaman merembes keluar dari kain tersebut. Terbawa air hujan yang mengguyur. Bau busuk tercium sangat kuat.
Quote:
UNTUK BEBERAPA saat Bondan dan keenam orang di hadapannya itu saling berpandangan. Lalu terdengar suara pekik seorang warga desa yang turut serta ke atas ketika orang ini kaget melihat kaki berlumur darah yang tersembul keluar dari buntalan kain putih. Parman mendekati Jatmiko yang masih berdiri tertegun melihat pemandangan di depannya.
"Pak Jatmiko kita harus bergerak cepat sebelum malam semakin larut. Mau tidak mau malam ini juga kita harus turun...?"
“ Parman, Marwan dan kau Kurdi tolong lekas masukkan buntalan kain itu ke dalam kantong mayat “
Ketiga polisi ini sesaat saling pandang. Namun, akhirnya melangkah juga dan ulurkan kedua tangan, mengambil bungkusan kain putih berdarah. Bungkusan itu kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik berwarna kuning. Beberapa orang tidak tahan karena perutnya seperti terbalik-balik dan dari mulutnya terdengar suara mau muntah berulang kali.
Menjelang jam 8 malam di lereng terbawah pegunungan barisan seribu kelihatan nyala lampu-lampu senter dan cahaya terang lampu-lampu petromak. Lalu di radio ada permintaan agar ambulance disiap siagakan. Para warga desa yang sedari sore tadi masih menunggu di kaki bukit sontak berdiri dengan mata tidak putus-putusnya memandang ke arah kaki pegunungan seribu di kejauhan. Rombongan itu akhirnya sampai di kaki bukit. Para penduduk desa segera berdiri dan menyongsong kedatangan ketujuh orang yang telah menuruni bukit. Para petugas bertindak cepat. Mereka lalu masuk ke dalam mobil ambulance begitu juga Jatmiko dan anak buahnya segera masuk ke mobil masing –masing.Semua orang kecewa. Sesaat setelah mobil ambulance meninggalkan tempat itu dengan kawalan dua mobil polisi.
Quote:
KETIKA Jatmiko keluar dari Rumah Sakit di Wonosari banyak wartawan dari berbagai media telah menunggu. Ini satu hal yang tidak diduganya. Sersan ini menggulung lengan kiri jaket hitamnya. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 11.25 malam.
"Wawancara?!"
"Sudah larut malam. Ini semua peristiwa biasa. Buat apa wawancara segala?" Jatmiko menolak secara halus.
"Mayat perempuan yang meninggal itu katanya sedang hamil dan mati dengan cara yang menyedihkan. Apakah pembunuhnya sudah bisa diidentifikasikan Pak?" tanya seorang wartawati berambut pendek sebahu berkacamata minus yang lumayan tebal..
"Belum, tim forensik sedang bekerja malam ini. Kemungkinan besok sudah bisa disimpulkan “ jawab Jatmiko.
"Sudah, saya sudah sangat capek. Harus segera kembali ke Karangmojo untuk membuat laporan."
"Kalau capek jangan jalan dulu Pak. Istirahat sebentar di kantin sana. Kopi tubruk paling asyik malam-malam begini."
Yang bicara sambil senyum adalah seorang wartawan bertubuh pendek gemuk, berjaket kulit dan pakai topi pet dibalik. Dia mewakili sebuah tabloid kriminal dan di antara rekan-rekan wartawan dia dikenal dengan panggilan Gonteng. Nama ini cocok dengan keadaan dirinya yang gemuk pendek dengan kepala besar botak licin yang selalu di sembunyikan di bawah topi pet.
"Kamu ini pinter ngomong..."
"Kalau nggak pinter ngomong namanya bukan wartawan, Pak. Jadi kita ke Kantin sana Pak?" kata Gonteng.
"Cukup sampai di sini saja ya. Besok pagi kalau sudah ada perkembangan tentu pertanyaan kalian semua akan saya jawab secara gamblang “
Wartawan tabloid kriminal yang kondang dengan nama Gonteng itu bersandar di pintu Opel Blazer berwarna hitam itu, membuka topi pet lalu mengusap - usap kepala botaknya yang keringatan. Sepasang matanya masih memandang ke arah lenyapnya cahaya lampu belakang kendaraan yang dikemudikan oleh Jatmiko.
"Sersan itu..." Gonteng bicara sendirian.
" Hanya wawancara sebentar saja capek. Huhhh...”
Gonteng menggerutu dalam hati. Lalu dia pakai topinya kembali dan segera masuk ke dalam Opel Blazer hitam yang terparkir di depan rumah sakit.