- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#61
Quote:
PART 17
Terkadang apa yang menurut kita baik, belum tentu baik di mata orang lain. Apa yang menurut kita benar, belum tentu benar menurut orang lain. Begitupun sebaliknya, sesuatu yang menurut kita salah belum tentu salah pula di mata orang lain.
Sebenarnya ini perbedaan persepsi yang biasa terjadi, tapi bagaimana jika itu terjadi di antara dua orang kakak adik yang punya ikatan yang sangat kuat, hingga takut perbedaan itu justru akan berdampak saling menyakiti satu sama lain?
Tampaknya hal ini yang sedang di alami oleh Adam dan Medina saat ini.
“ Kakak tadi ketemu sama Tirta?” tanya Medina saat Adam baru saja menyerahkan ponsel yang ia ambil dari Tirta. Mereka kini sudah tiba di rumah.
“ Iya,” jawab Adam singkat sambil membuka pintu rumah dan berjalan masuk ke dalam, disusul Medina di belakangnya.
“ Terus gimana menurut kakak?”
“ Gimana apanya?” tanya Adam langsung memilih duduk di kursi tamu.
“ Tirta. Menurut kakak dia gimana?” tanya Medina tak sabar dan memilih duduk di sisi Adam.
-Nggak sopan.
-Rese’
-Tengil.
-Sombong minta ampun
Empat kata itu yang bisa Adam jabarkan untuk menilai seperti apa teman adiknya. Tapi...tak ada satupun dari kata – kata itu yang meluncur dari mulut Adam. Alasannya...ia ingin tahu, apa yang membuat adiknya mau berteman dengan orang menyebalkan seperti itu. Mungkin...Tirta punya sisi baik yang belum Adam ketahui, hingga Medina mau berteman dengannya. Adam berusaha untuk tetap berpikiran positif.
“ Biasa aja,” jawab Adam pada akhirrnya.
“ Biasa aja kayak gimana? Cerita donk kak,”
Adam menghela nafas berat sambil memandangi Medina. Ia heran kenapa adiknya itu harus sepenasaran ini?
Apa jangan – jangan, Medina menyukai Tirta? Ah...tidak mungkin. Ia kenal betul Medina, tipe manusia sombong di atas rata – trata seperti Tirta bukan tipe cowok idaman Medina. Lagipula jikapun itu benar, Adam tidak akan pernah memberi restunya. Tidak akan pernah bahkan dalam mimpi Tirta sekalipun.
“ Kak...ayo cerita. Gimana pertemuan kakak sama Tirta tadi?” desak Medina semakin membuat Adam kelimpungan.
Adam bukan tipe orang yang pintar berbohong. Harus bagaimana ia menceritakan pertemuan yang tak menyenangkan tadi pada Medina. Jika ia berbicara jujur, apa Medina akan percaya? Dan jika ia berbohong, apa dia bisa? Terlebih lagi...ia tidak yakin bisa mengelabui adiknya.
---
“ Lo Adamkan?”
Seorang pria berambut ikal dan tampak seumuran Medina datang menghampiri Adam. Adam sempat berpikir itu bocah tidak sopan yang sok kenal dengannya. Namun pikiran itu seketika lenyap saat tatapaan Adam jatuh pada sebuah ponsel berwarna hitam dengan gantungan anak kunci di salah satu sisinya. Itu ponsel Medina. Dan orang itu, tentu saja orang yang menjawab teleponnya tadi.
“ Kenalin, gue Tirta.” Tirta menghulurkan tangan.
Adam menyambut perkenalan Tirta dengan senyum ramah,” Adam.”
Senyum Adam seketika pudar, saat ia melihat senyum meremehkan yang tengah di pamerkan Tirta. Adam memilih untuk tetap tenang dan menanti kalimat seperti apa yang akan di ucapkan bocah itu. Adam berusaha untuk tidak berpikiran jelek pada orang di hadapannya. Walau pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya.
“ Hm...kampungan!”
Adam tersenyum tenang. Ia tak ingin terpancing emosi hanya karena ucapan menyebalkan dari bocah yang ada dihadapannya.
“ Ini pertama kalinya kita ketemu. Tapi gue udah tahu banyak tentang lo dari Medina. Ya...walau dia nggak cerita sebegitu detail, entah kenapa gue yakin kalau lo itu penghalang besar buat masa depan dia.” Ucap Tirta lagi, dan terdengar kian menyebalkan. Tapi Adam tak ingin berdebat, ia lebih baik mendengarkan saja apa yang akan di sampaikan oleh Tirta. Lagi pula, cerita seperti apa yang Medina bagikan pada Tirta tentang dirinya? Adam ingin tahu itu.
“ Medina punya salah apa sih sama lo? Harus banget ya, lo ngelarang dia ini dan itu? Harus banget lo nentuin jalan hidupnya dia harus kemana? Dan apa harus dia nurutin semua kata – kata lo?”
Tirta tersenyum sinis,” Pantesan aja, Medina suka uring – uringan, tahunya dia punya kakak yang pikirannya primitif kayak lo. Ini nggak boleh. Itu nggak boleh. Liat aja...bahkan sampe sekarangpun Medina masih berdiri di garis start sedangkan gue? Gue udah hampir nyampe finish. Lo pikir itu karena siapa? Karena lo. Karena lo yang terlalu mengekang kehidupan dia.”
Adam kembali memilih diam. Meladeni Tirta sama saja membuang waktu, karena Tirta hanya berkomentar sesukanya tanpa tahu apa yang terjadi.
“ Saran gue, lo ubah pola pikir lo. Berhenti bersikap seakan – akan lo orang tuanya. Lo itu Cuma saudaranya. Dan Medina bukan boneka lo.”
Adam membuang nafas kasar, bagaimana bisa ada orang yang begitu sok tahu dengan kehidupannya dan Medina seperti ini. Apa dia tidak punya pekerjaan lain, hingga harus ikut campur dalam urusan orang.
“ Udah selesai?” tanya Adam memastikan jika Tirta memang telah menghentikan ocehan nggak jelasnya.
“ Gue boleh minta handphone adik gue balik?” tanya Adam tak mau bertele – tele.
Tirta tampak kesal karena tak ada satupun ocehannya tadi di tanggapi oleh Adam. Apa sebegitu nggak pentingnya semua kata – katanya tadi, hingga Adam begitu mudah mengabaikan? Entahlah.
Dengan perasaan sebal yang sudah memuncak, Tirta menyodorkan benda pipih berwarma hitam itu pada Adam.
“ Lo nggak tahu apa – apa soal gue ataupun Medina. Sekedar saran...lebih baik lo diem daripada lo ngomong tanpa lo tahu yang sebenarnya,”ucap Adam tenang, tak ada emosi sedikitpun tergambar di wajahnya. Adam berniat pergi tapi kemudian ia kembali membalikkan badannya.
”Oh...iya, dan satu hal lagi gue emang bukan orang tuanya. Tapi nggak pernah ada kata Cuma dalam keluarga, Gue kakaknya, dan dia adik gue. Dan lo... orang asing yang nggak berhak ikut campur. ITU yang harus lo tahu!” Adam berlalu pergi usai memukul telak hujatan dari Tirta tadi dengan ucapannya dalam sekali pukulan.
Bagi Adam menghadapi orang yang punya tabiat meledak – ledak seperti Tirta, harus dengan kepala dingin tanpa mengikutsertakan emosi didalamnya. Dengan begitu ia bisa membungkam ocehan tak bermutu Tirta tadi.
---
“ Kak...kok diem?” tanya Medina membuyarkan lamunan Adam. “Tirta pasti nggak sopan ya? Dia membanggakan dirinya sendirikan? Erghhh...itu anak nyebelin banget sih. Udah di bilang juga kalau ketemu sama orang yang lebih tua, harus lebih bisa jaga sikap.” Gerutu Medina membuat Adam mengernyit heran.
Udah tahu nggak sopan dan sombong gitu, kenapa masih akrab aja?
“ Gimana ceritanya kamu bisa temenan sama dia?” Bukannya menjawab Adam justru balik bertanya.
“ Kak...kan tadi pagi aku udah bilang dia itu temen SMA aku. Dan kebetulan kita tertarik pada dunia yang sama. Jadi ya langsung akrab aja.”
Adam mengangguk tanda mengerti, sepertinya Medina memang tidak tahu seberapa tidak sopan dan kurang ajarnya, cowok bernama Tirta itu.
Di satu sisi, Adam ingin sekali menceritakan kejadian di halte tadi. Tapi...di sisi lain ia terus berpikir, mungkin ada sisi baik dari Tirta yang membuat Medina bertahan menjadi temannya. Jadi...akan lebih baik Adam diam dan mengamati saja pola pertemanan antara Medina dan Tirta, sampai ia tahu orang seperti apa sebenarnya Tirta.
“ Oh...iya, kamu tadi kemana? Kenapa bolos mata kuliahnya pak Gaga?” tanya Adam mengalihkan pembicaraan.
Medina terdiam, bingung harus menjawab apa. Kenapa harus di bahas lagi sih?
“ Kamu darimana? Jalan bareng sama Tirta?” terka Adam asal.
“ Ihhh...nggak kok.” Sahut Medina cepat. Ia tak ingin di tuduh yang aneh – aneh lagi.
“ Terus kamu kemana? Kamu nggak lupa sama aturan nomor tiga di gulungan kertas itukan?”
Medina menggeleng dengan kepala tertunduk, ia terlihat sangat menyesal.
“ Apa?”
“ Di larang bolos kuliah untuk alasan apapun.”
“ Jadi...?”
“ Iya...maaf. Aku akuin, aku salah. Tapi...beneran kak, tadi itu aku lagi ada urusan penting banget.” Terang Medina dengan wajah meyakinkan.
“ Sepenting apa? Apa nggak bisa di selesaikan setelah kuliah kelar?”
“ Bisa sih. Tapikan-“
“ Dilarang bolos untuk alasan APAPUN!!” ucap Adam mengingatkan.
“ Iya...maaf.”
“ Jadi...tadi kamu kemana?”
Aduh...harus banget di tanyain lagi apa?
●●●
JabLai cOY memberi reputasi
3
Kutip
Balas