JEJAK - JEJAK MISTERIUS
Quote:
Pagi –pagi buta, aku keluar dari rumah. Setelah kejadian semalam dari keluarga Dargo. Tidurku malam tadi tidak nyenyak. Berkali –kali terbangun dengan gelisah. Beberapa orang penghuni rumah -rumah tetangga yang letaknya saling berjauhan satu sama lain, telah pula ada yang keluar. Tampaknya siap akan pergi bekerja. Ke ladang atau ke sawah karena beberapa orang itu aku lihat memanggul cangkul di pundak. Beberapa ekor anak ayam berciap –ciap di dekat induknya tak jauh dari pagar rumah tetangga terdekat.
Seorang perempuan tua tengah duduk di atas balai –balai bambu seraya mengunyah sirih. Sekilas memandangiku lalu tatkala aku membalas pandangannya perempuan tua itu segera membuang muka. Di dekat jendela kamar Ida, aku berhenti. Bias matahari pagi mengintai dari ujung pepohonan kelapa yang berderet –deret bagai pagar raksasa. Jendela kamar itu masih tertutup rapat. Kucoba menggerakkan jendela itu. Tapi sedikitpun tidak bergeming. Jadi memang benar terkunci rapat dari dalam. Lalu suara kemarin malam yang aku dengar seperti jendela kamar yang terbuka itu berarti hanya ilusi pendengaran ku saja?
Aku berjongkok dengan hati –hati.
Mula –mula aku tidak melihat apa –apa karena matahari pagi yang belum begitu terang. Suasana pagi masih temaram. Tetapi setelah aku perhatikan dengan seksama dengan pandangan mata ku, aku mulai melihat sesuatu. Di atas tanah yang masih sedikit lembab bekas embun yang turun, tampak beberapa buah jejak yang samar –samar. Tidak begitu jelas, sehingga terlihat samar –samar. Jejak –jejak itu jelas bukan jejak kaki manusia.
Jejak –jejak kaki itu terus aku ikuti. Lurus ke arah pagar yang tingginya hanya sebatas pinggang. Diatas rerumputan jejak – jejak itu hilang, tetapi beberapa helai bunga mawar yang ditanam di tepi pagar tampak berserakan di atas rerumputan. Di luar pagar, jalanan desa yang lebar dan berbatu –batu tidak meninggalkan suatu pertanda apapun lagi. Aku kembali ke bawah jendela, memperhatikan jejak –jejak kaki binatang itu sekali lagi. Semakin aku berpikir, semakin aku yakin. Itu bukan jejak – jejak manusia. Tapi binatang...dan binatang itu adalah.... anjing! Lidahku mendadak kelu. Jantung ku berdebar –debar dengan keras.
“ ..... mencari sesuatu, nak?”
Suara yang berat itu membuatku terkejut. Ketika aku tengadah, aku melihat wajah pak Jampadi. Kepala desa Telaga Muncar. Aku berdiri dengan gugup dan agak resah oleh pandangan mata yang menghunjam dengan sinar mata yang aneh.
Seraya memperhatikan jejak –jejak aneh di atas tanah itu, aku balik bertanya dengan lugas.
“ ... apa yang kira-kira bapak bayangkan apa yang berada di sekitar tempat ini tadi malam?”
Wajah lelaki setengah baya itu berubah kaku. Aku melihat ada ekspresi tidak suka dari pandangan matanya.
“ Aku tidak mengerti maksudmu, nak Zulham “
Suaranya terdengar gelisah dan seperti menutupi sesuatu.
“ Ada jejak – jejak, pak “
“ Mungkin pencuri. Akhir –akhir ini memang sering terjadi!”
Aku hendak menyanggah dengan mengatakan bahwa apa yang aku lihat itu bukan jejak kaki manusia. Tetapi pintu jendela kamar yang satu lagi tiba –tiba terbuka. Wajah Ida muncul di balik jendela. Wajahnya terlihat pucat dengan rambut yang sedikit acak –acakan.
“Hai Zul, kau sudah bangun rupanya? Bagaimana makan malam tadi malam? “
Aku hanya tersenyum.
“ Akan lebih semarak kalau kau ikut serta. Tadi malam memang seru tapi aku kesepian karena tidak ada kamu “
Wajah cantik itu tersenyum manis
“ Pagi –pagi kau sudah ngegombal Zul “
Lalu gadis itu tersenyum. Senyuman yang selama beberapa hari ini tidak pernah aku lihat. Betapa cantiknya mahkluk Tuhan yang satu ini. Batin ku dalam hati.
“Ayolah masuk, bantu kita –kita mempersiapkan sarapan pagi. Hari ini agenda kita banyak “
Memang hari ini hari pertama melaksanakan program utama KKN ini. Membuat taman yang berisi tumbuh -tumbuhan obat. Atau biasa disebut Apotek Hidup.
Tertatih –tatih ia kemudian menghilang dari jendela. Waktu aku menoleh Pak Jampadi tidak lagi bersikap kaku. Ia tersenyum ramah. Sebelum aku sempat menebak arti perubahan sikapnya itu, ia telah bergumam.
“ Masuklah nak, bapak juga akan segera ke tegalan “
Lelaki paruh baya itu lalu berjalan ke belakang rumah. Tidak lama kemudian aku melihatnya sudah berjalan keluar pagar dengan cangkul di bahu dan sebilah golok terselip di pinggang. Beberapa warga desa yang berpapasan dengannya mengangguk dengan hormat. Punggung kepala desa itu lenyap di tikungan jalan.