KELUARGA DARGO
Quote:
PINTU TEBAL dari kayu yang telihat kokoh tiba –tiba bergetar dan bergerak membuka. Sesosok tubuh tinggi dengan rambut panjang tergerai berdiri di ambang pintu. Cahaya bulan yang merembes dari sela –sela pepohonan membiaskan wajah itu. Sesosok wanita paruh baya. Mukanya tirus dengan mata cekung. Pandanganya dingin menyeramkan. Pakaian seragam asisten rumah tangga berwarna hitam dan putih membungkus tubuhnya. Perempuan paruh baya ini membungkuk langsung memberi hormat ketika melihat kemunculan ku dan kelima teman ku yang berdiri mematung di muka pintu.
“ Kalian mahasiswa yang sedang KKN di desa Telaga Muncar? “
Perempuan itu suaranya sangat datar, hampir tanpa intonasi.
“ Benar...Bu...” Aku tergagap menjawabnya
Angin malam tiba –tiba bertiup kencang. Terdengar kepakan sayap kelelawar yang terbang dari pucuk pohon asem dan menghilang di kgelaan malam. Perempuan kurus paruh baya ini lalu memberi isyarat untuk mengikuti. Bersama- sama dengan kelima kawan ku, aku melangkah mengikuti perempuan itu. Bagian tengah ruangan itu ternyata sangat besar. Lantai dari batu marmer berkilauan memantulkan dari cahaya beberapa lilin yang diletakkan dalam tatakan tebuat dari perak. Tatakan itu menempel berjajar di tembok. Sebuah lukisan keluarga yang sangat besar menempel di dinding tengah ruangan.
Orang –orang di lukisan ada lima. Tiga lelaki dan dua perempuan. Ketiga lelaki memakai setelan jas dan dua perempuannya memakai gaun panjang berwarna krem. Layaknya noni –noni Belanda. Di tengah ruangan, perempuan kurus pembantu rumah tangga Keluarga Dargo itu mengajak kami menuruni tangga ke bawah. Tangga itu terbuat dari batu marmer berwarna kelabu. Suara langkah kaki kami bergema di seantero ruangan itu. Menimbulkan aura yang aneh. Tidak berapa lama aku melihat ada cahaya terang di sebelah depan. Ruangan tengah yang sangat lega dan besar. Di depan kami terbentang meja yang diapit oleh kursi –kursi berjok empuk berwarna merah yang disusun rapi.
Aku melihat hanya ada dua orang yang telah duduk menunggu kami. Salah satunya sudah sangat aku kenali. Danny. Ya Danni pemuda yang tampak selalu rapi itu. Malam itu dia mengenakan kemeja putih. Duduk di sebelah sisi kanan meja. Di paling ujung meja duduk seorang lelaki tua. Meskipun usianya bisa aku taksir sekitar 70an lebih. Akan tetapi, air mukanya masih terlihat gagah dan kukuh. Wajahnya juga kelimis sama sekali tidak ada bulu disana. Rambutnya yang sudah hampir semua putih disisir rapi ke belakang. Sesekali lelaki tua itu menyedot pipa gading berwarna krem yang terselip di sudut bibirnya.
Bau tembakau yang wangi seperti bukan tembakau biasa terbakar memenuhi tempat itu. Di atas meja, terutama di kepala meja terdapat banyak makanan. Dari bermacam-macam olahan daging, sayur –sayuran dan buahan –buahan. Tiga buah teko besar berwarna silver menebarkan aroma wangi menggiurkan. Di setiap sisi meja terdapat piring besar dan sendok garpu serta pisau makan yang terbungkus saputangan putih. Lelaki tua berpakaian hitam rapi itu memberi isyarat pada kami untuk mengambil tempat duduk.
Nathan, Ajeng dan Alit duduk di kepala meja sebelah kiri sedang aku dan diikuti oleh Mira serta Mima di kursi bagian tengah. Lelaki tua yang menghisap pipa, sesaat memandang berkeliling lalu lepas pipanya, berpaling pada Danny.
"Semua yang ditunggu sudah hadir?”
“ Sudah Kek “
Danny menjawab sembari mengangguk .
" Perkenalkan dulu aku Dargo, dan ini Danny cuucku satu –satunya. Dan yang tadi menjemput kalian di depan bernama Gina. Pembantu yang setia di keluarga Dargo “
Suara lelaki tua itu berat dan memancarkan kewibawaan yang sangat nyata sampai di hatiku.
Suara lelaki tua itu kembali bergema lagi.
“ Aku sudah lama menunggu adanya adik –adik ini. Jogja sangat banyak universitas terkemuka. Cendekiawan muda juga tentunya sangat banyak. Saya mewakili penduduk desa Telaga Muncar mengucapkan terimaksaih pada kalian yang telah sudi datang ke desa ini. Dan khususnya telah memenuhi undangan ku malam ini “
“ Kita akan berbincang –bincang santai malam ini tapi sebelumnya silahkan kita makan dahulu. Kebetulan aku sudah sangat lapar “
“ Kalian juga! Sudah lapar dan hauskan?! Sebelum memulai pembicaraan kita makan dan minum dulu sekenyang-kenyangnya! Ha...ha...ha...!
Dargo tertawa terbahak –bahak. Aku dan kelima kawan ku dengan segan segera membalik piring yang sudah terlungkup di atas meja. Lalu dengan diiringi senyum kaku dan malu –malu mengambil nasi dalam wadah berwarna silver. Kepulan asap putih masih terlihat di tumpukan nasi itu.
Aku mencoba mancairkan suasana kaku di meja makan itu.
“ Kakek mu elite juga Dann...”
Danny menghentikan kunyahan daging sapi yang ada dimulutnya.
“ Memang! Kakekku dulu tuan tanah di jaman Belanda. Tapi jangan salah dia tidak pernah berpihak pada kompeni. Bahkan, beliau sering sekali membagi –bagikan bahan makanan dan uang untuk penduduk desa ini “
Danny berkata setengah bangga. Dargo yang kembali sedang menghisap pipa gadingnya tersenyum mendengar perkataan cucunya itu.
“ Jangan kau percaya perkataan si Danny..siapa nama mu tadi nak?”
Kening orang tua itu mengernyit mencoba mengingat – ingat nama ku.
“ Zulham pak “, jawab ku malu – malu.
Pak Dargo hanya manggut –manggut seraya menghisap pipa rokoknya lagi.
“ Oh jadi, pak Dargo dulu tuan tanah ya?”
Nathan berusaha ikut larut dalam pembicaraan itu. Sementara Mira, Ajeng dan Mima hanya sekedar mendengarkan. Sambil sesekali minum sirup berwarna merah yang ada di gelas mereka masing –masing.
“ Begitulah, tuan tanah yang rajin dan tidak mencekik para penduduk desa. Sehingga kakek ku ini disanjung –sanjung dan dihormati oleh penduduk desa pada saat itu “
“ Kalian lihat tadi kincir besar di depan?”
Aku dan Alit mengangguk bersamaan.
“ Itu dulu digunakan untuk menggiling padi “
Oh ya, lukisan di bawah itu kalau tidak salah ada gambar Pak Dargo juga. Lukisannya sangat bagus mirip foto dari kamera “
“ Iya, itu kakek ku semasa muda. Ada juga nenek ku dan ayah ku “
Lukisan itu dibuat oleh seorang pelukis ulung di masa itu “
Aku terdiam sejenak. Pikiran ku melayang pada lukisan di atas itu. Seorang wanita asing. Ya wanita Belanda.
“ Nenek mu bukan pribumi?
Danny tertawa.
“ Iya, nenek ku orang Belanda “
Aku sempat melihat perubahan paras Pak Dargo yang duduk di paling ujung. Wajah itu tiba –tiba terlihat kuyu dan sedih. Aku memandang sekali lagi pada laki –laki tua itu. Tetapi ia sudah keburu berdiri, kemudian meninggalkan meja makan tanpa permisi. Lalu tubuhnya lenyap di balik tirai pintu berwarna ungu yang berada di samping ruang tengah.