Kaskus

Story

masukcomberaAvatar border
TS
masukcombera
Diary Seorang Penjahat Kelamin
Diary Seorang Penjahat Kelamin

Kenalan dulu.

Quote:

Lanjut disitu adalah kenangan saat saya sedang making lovedengan seorang wanita yang janjinya nggak bakal making love sebelum dia menikmati malam pertama dengan suami barunya, tapi kalau sudah soal kebutuhan seksual, siapa sihh yang bisa janji. Tepat sekali, siapa lagi kalau bukan Seira, partner in sex terbaik yang saya temukan di balik kelas dua keen saat masih berada di SMA. Dialah.., si seksi Seira Subrata, TTM saya yang paling juara.

Quote:


Note: Anggap aja ini kisah fiksi... biar nggak ribet mikirnya he-he-heemoticon-Angkat Beer

• $ • $ • $ •





INDEX
Kalo mampir kesini, sering² cek indeks aja kalo mau liat update...

Spoiler for Index:




Side Story

Spoiler for Side Story:



Kalau suka, SUBSCRIBE. SHARE. Cendol dan RATE 5 nya jangan lupa gansist...
Diubah oleh masukcombera 03-08-2021 17:58
samsung66Avatar border
MenthogAvatar border
c4punk1950...Avatar border
c4punk1950... dan 8 lainnya memberi reputasi
9
85K
395
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
masukcomberaAvatar border
TS
masukcombera
#303
Diary 10 — Misteri Pagi Hari
"Jangan cepet² jalan nya, nyawa ang belom kekumpul semua nihhh," seru saya kearah si Arang yang asik berjalan cepat didepan saya—dengan bleached jeans panjang nyantai kesayangan nya itu—dia berada enam meter didepan saya, cuek dan malah makin cepat derap langkahnya.

Sedangkan saya, ah bodo amat lah. Saya jelek banget kan pagi itu... cuma pake celana training aja, sendalnya juga sendal jepit—yang parahnya, bukan merk sw@llow, yang mungkin bisa lebih diterima oleh masyarakat sekitar.

Jadi kemungkinan orang lain ngeliat saya sebagai orang gila yang pagi² keluyuran nyari makanan di jalan itu besar persentase nya.
. . . .

Pagi hari itu hanya pagi hari seperti pagi² yang lainnya, biasa aja... di perumahan saya—setelah saya berhasil keluar dari pagar rumah—dibawah pohon² rimbun ini, saya lihat ada beberapa motor dan mobil yang berlalu lalang dan anak² sekolahan yang berjalan kaki berbarengan sambil menenteng tas sekolah mereka—yang selalu keliatan terlalu berat, hingga merosot ke bawah pantat... sedangkan si anak yang membawa tas itu badannya lebih kecil daripada tas dia sendiri kan.

Lucu juga sebenernya...

Dan ini cuma opini saya aja, itu bawa buku sekolah atau bawa² batako? Berat banget keliatannya..

Tapi jadi inget dulu—jaman saya sekolah di St. *ngela. Di sekolah buku² nya harus dititip di loker sekolahan, jadi saya gaperlu bawa buku dari rumah ke sekolahan ataupun sebaliknya.
. . . .

"Ayo naik ang, itu mobilnya—udah nunggu daritadii," teriak si Arang agak jauh didepan sana—lalu saya memperhatikan dia masuk kedalam sebuah angkot yang entah kenapa mauuu aja disuruh nunggu sama si arang buat nganterin saya dan dia beli bubur ke Ciumbuleuit.

Ternyata bener feeling saya, udah capek² jalan dari depan rumah sampai gerbang perumahan saya—sekarang saya harus naik angkot, yang barusan Arang bilang 'mobilnya udah nunggu' kenapa nggak ngomong 'angkotnya udah nunggu', aja?

Ini selanjutnya apalagi yang aneh² nih.., mungkin bukan beli bubur di Ciumbuleuit, tapi malah dateng ke tempat prostitusi, saya masih ngga tau gimana pastinya... yang jelas cuma bawa celana training juga jadilah... kan yang di blowjob bukan celana training nya, melainkan otong saya.

Tul?

Dan saya males aja nanya sama si Arang, soalnya saya pengen tau, kemana dia mau ngajak saya, yang jelas rencana awal dia pasti gak bakalan sesuai sama ajakannya itu, dan yang jelas untuk saat itu—apa yang ada di pikiran saya ya cuma satu hal, semangkuk bubur ayam yang nikmat luar biasa... dan saya yang menikmatinya diatas roche bobois kesayangan saya. Duh, surga dunia.

Dan tau begitu, mending pakai mobil saya aja. Tapi ya sutralah...

• $ • $ • $ •

"Gan Maddie, bade kamana?" panggil pak Jajang menyadarkan fokus saya—ketika saya melewati dia di pos penjagaan nya. Dibalik topi ini saya melirik kearah dia dan dua orang tenaga sekuriti lainnya yang sedang asik main catur didalam pos jaga mereka.

"Ke Ciumbuleuit pak, saya pergi dulu ya—kalo mau rokok sama kopi, minta aja ke pa Hendra" jawab saya Singkat kepada pak Jajang, menawarkan dia bonus kesukaannya—yaitu rokok dan kopi, yang bisa dia minta aja ke pak Hendra, sambil bersantai didepan rumah saya.

"Siap juragan!" jawabnya bersiaga.
. . . .

Setelah itu saya kembali jalan, mendekati angkot yang sudah ada si Arang didalamnya—dan kini, dia kembali melambai lambai—mengajak saya untuk segera masuk kedalam angkot yang sudah dia booking sejak tadi pagi.

Sebelum saya masuk kedalam angkot itu, saya nyempetin diri dulu untuk nanya ke supir angkotnya—yang keliatanya masih anak muda juga..,

"Jang, dipasihan artos sabaraha ku budak eta? (Dek, dikasih berapa duit sama anak itu? anak itu disini maksudnya adalah si Arang.)" tanya saya singkat kepada si supir angkotnya.

"Lima puluh rebu a," jawabnya cekatan.

"Ahhhh, dasar bat*k kopet si eta mah.. yeuh jang, ku saya ditambahan," jawab saya sembari menambahkan beberapa lembar rupiah lagi kepada supir angkot ini.

"NUHUN a, NUHUN!" jawabnya antusias banget, si supir angkot ini cekatan dalam berterima kasih. Jujur saya kaget.

"Sawangsulna, hayu ah, angkat," jawab saya kemudian segera masuk kedalam angkot APV yang kosong dan sudah di booking ini—lalu duduk berseberangan dengan si Arang yang sekarang sedang sibuk menelfon seseorang—gayanya belagu banget, ngomongnya pake bahasa Inggris pula dia itu.
. . . .

"Cool, keep me posted, talk to you later," kemudian dia menutup ponsel flip nya dengan cepat lalu memasukkan ponsel kecil itu kedalam kantung celana jeans berwarna pucatnya.

Jujur, selain merhatiin anak sialan ini—saya seharusnya masih berada diatas kasur saya... have fun with Essa... sambil mikir.., kira - kira konsep fotografi seperti apa lagi yang bisa saya tawarkan kepada rekan saya untuk majalah digital kami edisi bulan Desember mendatang nanti.

Kalau cuma hot babes yang pakai kostum sinterklas, terus foto in-studio—saya rasa semua majalah dewasa di seantero dunia juga pasti sudah menerapkan hal yang sama setiap Desember tiba—a sexy christmas, yang memang tema nya, adalah itu. Terserah mau dinamain apa juga, yang jelas itu ujung²nya sama.

Kali ini, saya pengen konsep fotografi yang agak berbeda untuk natal mendatang, okelah kalau misalnya saya ambil model seksi dan kostum sinterklas nya. Tapi saya nggak bakalan ambil fotografi in-studio nya. Saya rasa saya perlu campurin ini sama bidang utama saya—fotografi luar ruangan, tapi dengan model seksi nya yang masih terlibat.

Dan ya, itulah yang sebenernya pengen saya lakuin di minggu pagi ini. Setidaknya, saya lebih pengen ngelakuin itu—ketimbang kena tipu sama ponakan saya yang bandel nya gajelas ini.

• $ • $ • $ •

Mobil sudah beranjak dari jalan cemara dan kini saya hanya bisa memperhatikan suasana di sekitar jalanan cemara ini dari jendela belakang angkutan kota yang sedang kami tumpangi—dari balik topi yang saya kenakan, saya menghirup udara pagi yang saya dapatkan dari lika - liku di jalanan yang lumayan meneduhkan pan...tat.

Bercanda, meneduhkan mata.
. . . .

"I know that grumpy look, ang,—you hate me for inviting you to use the public transport service, but i just wanted to use it, hence the surprise." tiba² Arang angkat bicara, dia berterus terang mengenai alasan kenapa dia memilih naik angkot sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam kantung celana jeans nya—dan itu bukan ponselnya, dan saya nggak peduli.

"Nggak apa apa Rang... sekalian nostalgia, ang udah lama ngga naik angkot.." jawab saya bijak sambil tersenyum, justru saya jadi ingat masa² kecil saya—yang kalau pergi ke sekolah, hampir setiap hari sudah pasti harus naik angkot, walaupun keluarga kami punya ajudan² yang patuh itu.

Cuma bap² tetap mengajarkan saya untuk naik angkutan kota, sekalinya saya merengek—saya bakalan disuruh nemenin dia ngedengerin ocehan nasabah kami yang komplain mengenai pinjaman kredit mereka. Siapa yang suka?

Nggak... nggak ada yang suka. Hukuman kaya begini bukannya memberi efek jera, tapi malah memberi efek jijik. Ogah kalo misalnya disuruh menemani bap² ngedengerin komplenan lagi.
. . . .

"This is for the country, you know—me contributing some tiny cents down here, otherwise, it's for the goodness of that man's ass and his life behind," jawab Arang lagi, sambil menunjuk kearah punggung tukang angkot yang sedang sibuk mengemudi itu—kira² maksudnya Arang... dia cuma pengen menolong si tukang angkot itu, saya paham niat baiknya...

"Iya iya... tumben kamu waras, biasanya juga nangis - nangis kalo nggak naik jemputan kesayanganmu itu..." sindir saya kepada dia, iseng.

"Apa? naik jemputan pak Burhan?" tanya dia keheranan.

Saya belum merespon, dia udah cengengesan duluan, "Eh? eh, eheh, ehehh," kekehnya gila, nahh, keluar deh aslinya.

"Nah—kan, ketawan aslinya, di brainwash sama siapa kamu jadi berani naik angkot?" ucap saya memaksa—mewawancara dia didalam angkot yang sedang berjalan ini. Di sela - sela itu, saya merasa ada angin menerpa wajah saya.

"You know what—this is not, my first time, aku sebenernya udah coba belasan kali naik angkot, dan kurasa enak aja—dan ga ada masalah, aku juga dulu udah biasa kok ang, waktu jaman my dad jatuh miskin, aku harus naik angkot," jelasnya kepada saya.

"Kamu itu harusnya nggak sampe naik angkot... kan waktu itu ang Maddie udah nawarin bantuan ke ayah kamu... tapi ditolak, dosa, katanya," jawab saya menerangkan alasannya kepada Arang, jujur saya tau alesan pasti, cuma saya belaga bego, jalo saya sih bodo amat uangnya ngalir darimana.

"Hahah, let's not discuss that man, ang—he's out of my league," jawab Arang mengelak pembicaraan diantara kami didalam angkot yang masih terus melaju ini... saya prihatin aja melihat fakta bahwa dia harus beradaptasi dengan lingkungan nya itu.

Hening sesaat.

"Eh, itu apa?" tunjuk saya bereaksi—karena saya melihat Arang mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.

"Oh? Ini, biasa, audio player," jawab dia singkat, sebelum saya ingin berkata lagi—dia memotong kesempatan saya, "Jangan nanya beli dimana dan harganya berapa—aku gamau, nanti ang Maddie mah suka ikut²an beli yang sama persis kaya punya aku," protesnya lancar terhadap niat jahat saya.

"Hahahaha," dan saya hanya bisa tertawa, karena memang kalau anak itu beli gadget² anyar kesukaan dia—saya suka jadi pengen ikut²an dan nyobain punya juga—yaaa walopun saya udah tua, soal selera mah harus tetep muda dong ya... Tul gakk?

Tullll.

• $ • $ • $ •

"Ngomong² itu yang tadi nelfon siapa?" tanya saya penasaran kepada arang—mencoba mengalihkan topik.

"Bukan siapa siapa lah," jawab dia yang kayaknya ogah di interogasi.

"Kerjaan?" sambung saya lagi.

"Ang ko macet sih," tanyanya bingung—dia tidak menjawab pertanyaan saya, tapi malah celingak celinguk ke sekitar kondisi jalanan pagi ini, sebenarnya tadi pas didepan ayam goreng Soeh@rti macetnya belum separah ini.

"Ya siapa suruh naik angkot, tau gitu tadi pake motor ang Maddie aja. Ini kan ada car free day Rang...," keluh saya ringan—sekarang angkot kami sedang terjebak di ujung jalanan doktor Setiabudhi, tepat sebelum berbelok kiri dan mengarah ke jalanan ciumbuleuit.

"Udah terlanjur lah~" gerutunya pasrah.

"Tadi kerjaan, ang," sambil menunggu macet, Arang akhirnya menjawab pertanyaan saya.
"Nih, daripada ang Maddie tanya² terus, aku pinjemin deh audio player nya, ang denger musik dulu aja," tawar dia kepada saya.

"Ah, cerdas kamu, thank you," jawab saya lalu menerima iPod dari dia dan segera menempelkan sepasang earphone nya di telinga saya—lalu mendengarkan musik yang sedang diputar di alat ini.

Setelah saya dengerin musiknya, kenapa liriknya... "Burung camarr... tinggi melaayanggg... Bersahutann dibalik awann..."

Wah, ini anak memang aneh. Muka aja keliatan fresh—selera musiknya ternyata jaman saya waktu masih TK dulu... yes, siapalagi kalo bukan mbak Vina Panduwinata.

Tanpa terasa saya larut ketika ngedengerin musik didalem angkot, menerobos kemacetan, ada mungkin sekitar limabelas menitan, soalnya musik² nya su Arang saya kenal semua—dan akhirnya Arang bilang 'berhenti' ke si supir angkotnya.

Satu hal yang saya heran, heran setengah mati—adalah kenapa saya nggak turun didepan tukang bubur ayam cabang RM priangan Ciumbuleuit yang nongkrongnya persis didepan Gal*ri Ciumbuleuit.

Tapi si Arang malah turun entah dimana—dan mau kemana lagi ini saya nggak tau—yang jelas nggak lama setelah dia dan saya turun dari angkot yang kami tumpangi barusan, sekarang dia meminta saya untuk mengikuti langkahnya lagi. Cuma bisa bengong, saya nggak banyak kasih komentar...

Kini saya berjalan mengekor, ngikutin dia—langkah kaki kami berdua kini sudah masuk melewati sebuah gerbang lebar—saya liat ada plang besi yang tinggi dan lumayan besar, disitu tertulis "Rumah sosial perlindungan anak," buset, mau ngapain ini si Arang bawa² saya ke tempat begini? desah saya dalem hati—bingung setengah mati.

Waktu itu saya inget, ada satu respon yang bisa saya keluarin begitu saya mulai masuk ke tempat ini, curiga berat—nggak ngerti kenapa, saya curiga dan agak panik, cuma beberapa menit kemudian saya ingat persis line (kalimat) nya si arang tercatat seperti dibawah ini;

"Some people says, that life begins here—but the truth, is... this is a hell in disguise, (kata orang, kehidupan dimulai disini, tapi sebenernya, tempat ini adalah neraka yang tersamarkan)," ucap arang menoleh ke belakang, menatap kearah saya—kemudian dia kembali berjalan lurus menuju ke sebuah sudut di tempat in,

"Maksudnya?" tanya saya agak resah—masih mengikuti langkahnya dan mempertanyakan maksud dan tujuan dari datang ke tempat seperti ini.
. . . .

"Aku mau liat, gimana reaksi ang Maddie ketika aku bawa ang Maddie dateng ke tempat begini," jawabnya lagi, saya masih bingung.

Enggak lama setelah itu—saat kami berjalan semakin mendekat ke sudut dari halaman depan tempat ini.

Di sisi lain, saya bertanya² kepada diri saya sendiri—apa jadinya saya bila saya datang berkunjung ke tempat ini. Kini pikiran saya bercabang cabang, saya jadi bingung sendiri—biasa diisi konten porno sekarang disuruh mampir ke rumah perlindungan sosial pake celana training, kaos dan saya rasa... saya ga sopan banget berpenampilan kayak begini.
. . . .

Rang, ini ang Maddie jabarin jalan pikiran kamu ya.

Jalan pikiran seorang Arang:

Rencana: Maksa ang Maddie bangun pagi².

Rencana kedua: Ngajak ang Maddie beli bubur.

Kenyataan: Datang ke rumah perlindungan sosial. Beli buburnya cuma tipu² gak jelas biar saya bangun pagi dan mau ikutan pergi sama kamu.

Kesimpulan: Ini belum lunas ya, kamu kudu nebus dosa kamu gara² ngebohong. Kamu ang Maddie sekandangin sama mas tex s@verio, liat aja nanti. Siap² pisang ketemu pisang ya.

• $ • $ • $ •

Rumah Perlindungan Sosial?
What the hell.



Quote:
Diubah oleh masukcombera 20-04-2018 18:03
kardison
kardison memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.