Quote:
Suara langkah kaki menuruni undak –undakan terdengar. Tidak berapa lama sesosok tubuh gemuk dengan baju mantel panjang berwarna hitam berdiri di lantai tangga ke dua dari bawah. Perempuam gemuk itu tidak lain Prapti. Di tangan kanannya tergenggam sebuah golok. Mata golok itu berkilat tertimpa cahaya obor yang menempel di dinding. Prapti menyeringai.
“ Selamat malam, Sasongko ?”
“ Tampaknya kau sudah tidak sabar untuk berkumpul dengan keluargamu”
Lalu perempuan gemuk itu tertawa bergelak. Suaranya bergema di ruang bawah tanah itu. Sasongko yang sadar nyawanya terancam mundur dua langkah. Pemuda ini lalu berkata,
“ Budhe Prapti, mengapa budhe sangat kejam dan sangat keji?!”
Prapti tertawa gelak – gelak. Setelah mereda tawanya perempuan ini membentak galak.
“ Apa salah mu? Apa salah keluargamu?!"
“ Ketahuilah karena keluargamu, aku menderita batin bertahun –tahun. Penderitaan ku itu sangat dalam. Sehingga bara api dendam itu tidak akan pernah padam sebelum keluargamu mati semua di tangan ku! “
“ Kau seperti iblis budhe! Aku sama sekali tidak menyangka kaulah dalang dari semua ini! “
“ Sekarang kau sudah tahu segalanya bocah bagus. Sekarang saatnya akan budhe kirim kau untuk bertemu dengan keluarga mu. Mereka sudah sangat tidak sabar untuk bertemu dengan mu. Berkumpul lagi di alam baka “
Habis berkata seperti itu Prapti menyerang Sasongko dengan goloknya. Sasongko segera menghindar ke samping tatkala mata golok itu dibabatkan ke arah lehernya. Prapti masih memburu dengan buas. Sasongko kembali menghindar. Hingga pada akhirnya pemuda ini terpojok di sudut ruangan. Tidak mau nasibnya konyol. Diraihnya obor yang menempel di dinding tidak jauh dari tempatnya berdiri. Obor itu digengamnya erat –erat.
Serangan Prapti kembali datang. Kali ini tusukan golok itu diarahkan ke dada. Sasongko bergeser ke samping untuk menghindari tusukan golok. Lalu dengan cepat memukul tangan Prapti yang memegang golok menggunakan obor yang berada di genggaman tangannya.
Prapti mejerit tatkala batang obor yang terbuat dari bambu itu menghajar dengan telah pergelangan tangannya. Golok terlepas dari genggaman. Jatuh ke lantai menimbulkan suara yang berisik. Mengetahui golok itu telah jatuh. Sasongko segera mengambil kesempatan. Cepat sekali tendangannya menghantam dada perempuan gemuk itu.
Dess!!
Prapti melolong kesakitan. Tubuhnya terhuyung ke belakang hampir jatuh jika saja ia tidak sempat berpegangan pada kursi. Dadanya sesak. Mukanya terlihat memerah di bawah guyuran cahaya temaram obor yang tinggal satu menempel di tembok.
“ Kau kurang ajar Sasongko. Kau tega menendang ku. Hah?!”
Mata perempuan itu mendelik merah.
“ Saya terpaksa membela diri budhe. Saya juga tidak mau mati sia –sia. Di samping itu budhe harus mempertanggung jawabkan semua perbuatan budhe “
“ Jangan banyak bicara! Kau lah yang akan menjadi tumbal terakhir ku. Kursi kosong itu masih belum ada penghuninya! Dan kau yang akan menghuni nantinya “
Lalu perempuan itu menggereng. Kedua tangannya terjulur ke arah leher Sasongko. Pemuda itu tidak sedikitpun bergeming. Saat tangan itu tinggal sedikit lagi akan mencekiknya. Obor di tangannya di pukulkan ke arah kepala Prapti. Kembali terdengar perempuan ini melolong kesakitan. Tubuhnya terhempas jatuh ke lantai. Beberapa saat lamanya Prapti tidak mampu berdiri. Hanya terdengar rintihannya menahan sakit.
Hati Sasongko tergetar. Rasa iba menyelinap di dalam hatinya. Biar bagaimana pun, dia telah hidup bersama budhe nya itu hingga umur sepuluh tahun. Semasa bayi jika ibunya sedang bekerja di sawah. Praptilah yang senantiasa menemani dan mengurusinya seperti anaknya sendiri. Meskipun Prapti pada masa itu telah memiliki dua orang anak. Tetapi, perlakuan kepada Sasongko tidak pernah berbeda. Sasongko berjalan perlahan ke arah Prapti yang masih terkapar di lantai. Obor yang telah padam itu di lemparkannya ke lantai. Perlahan –lahan pemuda ini berjalan ke arah Prapti. Dia tidak mengetahui bahwa pilihannya itu mengantarkannya pada maut.
Karena pada saat yang bersamaan tangan kanan Prapti diam –diam meraih golok yang tadi terlempar akibat pergelangan tangan kena gebuk. Jarak Sasongko dengan Prapti semakin dekat. Perlahan Sasongko merunduk. Pada saat itulah Prapti menyabetkan goloknya ke arah leher Sasongko. Karena jarak yang terlalu dekat tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Meskipun dia menjatuhkan diri akan tetapi golok itu sempat menebas lehernya. Darah mengucur deras dari luka itu. Sesaat pandangan Sasongko berkunang – kunang.
Tubuhnya bergetar hebat lalu jatuh ke lantai. Kesadarannya belum hilang. Pandangannya masih sempat melihat ke arah Prapti yang juga telah berdiri sambil memegang golok. Maka dengan susah payah Sasongko mencoba untuk bangun dan berlutut. Tapi hal itu sia –sia belaka. Kedua kaki nya lemas seperti tidak bertulang. Beringsut –ingsut perlahan ia berusaha menjauhi Prapti. Akhirnya ia sampai di pojok ruangan. Susah payah Sasongko bersandar pada dinding.
Sasongko menekap lehernya yang masih saja mengeluarkan darah. Darah bercerceran di lantai batu. Sementara di sisi lain Prapti telah bangkit berdiri dengan susah payah. Golok ditangan kanannya tampak merah berlumuran darah segar.
“A-apa yang-yang kau i-inginkan budhe?” suara Sasongko tersengal-sengal, napasnya tak beraturan, ia duduk bersandar di sudut, darah sudah membanjiri bajunya. Perempuan gemuk itu mendekat sembari mengarahkan golok berlumuran darah itu.
Napas perempuan paruh baya itu bahkan semakin menggebu, ia seperti harimau kelaparan sedang mengincar mangsanya yang sedang terluka.
Sasongko tak berdaya, hanya diam menanti malaikat maut datang di ujung golok itu, napasnya tersengal bahkan untuk mengelap keringat bercampur darah yang mengucur di pelipisnya pun ia tak sempat. Sasongko memejamkan matanya......Dan..........Semuanya menjadi gelap.
TAMAT