- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#477
Quote:
Pagi itu enam anak, empat perempuan dan dua anak lelaki rata-rata berusia sepuluh tahun tampak bermain galah asin. Suara pekik tawa mereka terdengar sampai jauh. Sebuah mobil mercy tiger berwarna biru laut muncul dari arah timur berjalan perlahan -lahan. Di belakang kemudi seorang lelaki berbadan gemuk tampak sesekali menoleh keluar mobil dari jendela yang dibiarkan terbuka setengah. Di jok belakang seorang lelaki berpakain rapi tampak duduk tenang. Pandangan mata lurus ke depan. Di hadapan sebuah rumah besar berbentuk joglo dia memberi kode dengan lambaian tangan kepada sopirnya untuk berhenti sejenak.
“ Sepertinya anak terakhir keturunan pengkhianat itu tinggal disini. Kau tunggulah sebentar disini Manto “
Sopir yang dipanggil Manto itu mengangguk hormat. Lalu dengan cepat keluar dari mobil dan menuju pintu belakang sebelah kanan. Dibukanya pintu itu.
Sesosok lelaki tadi segera beranjak dari jok belakang. Kini tampak jelaslah wajah dan penampilan lelaki itu. Seorang lelaki memakai pakaian rapi. Layaknya pejabat atau direktur sebuah perisahaan bonafit. Setelan jas yang setengah terbuka memperlihatkan kemeja licin berwarna putih dan dasi motif polkadot yang melilit di lehernya. Sementara postur tubuh biasa saja. Karena agak gemuk sehingga terlihat agak pendek. Wajahnya bulat, beralis tebal melengkung menyerupai celurit, pipi tebal berlemak serta mulut yang tebal dengan rahang yang terlihat kukuh.
" Anak-anak! "
Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah rumah besar.
" Apakah ini rumahnya Mangku Wirya lurah desa Tawang? "
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan hendak
menjawab mengiyakan.
" Hai! Kalian tak perlu takut! Aku hanya bertanya benar ini rumah Mangku Wirya ?"
Lalu orang itu merogoh saku jas nya dilemparkan beberapa keping uang ke tanah.
" Ambil uang itu untuk membeli penganan dan bagi-bagi! " katanya.
Salah seorang dari enam anak itu memungut uang yang ada di tanah lalu memberanikan diri menjawab.
" Memang betul. Itu rumahnya kakek Mangku. "
Seorang anak lelaki berambut hitam ikal tiba-tiba memotong ucapan kawannya itu.
" Kita tidak tahu siapa orang itu, mengapa kau lancang menjawab pertanyaannya?! "
" Cah bagus berambut hitam. Siapa kau? Apa masih ada sangkut paut dengan Mangku Wirya? " orang itu bertanya.
" Dia cucu kakek Mangku! "
Lagi-lagi yang menjawab adalah anak perempuan tadi yang kini tegak sambil memegang kepingan uang.
" Kembali kau bertindak lancang, Murti! "
Anak yang disebut sebagai cucu Mangku Wirya tampak gelisah dan takut. Lebih lebih ketika dilihatnya orang berpakaian rapi itu memandang tak berkedip ke arahnya.
" Hemm… anak ini seperti memiliki suatu tabir aneh. Aku tidak bisa menembusnya. Apakah ini anak yang sepuluh tahun lalu lepas di hutan itu? Apakah bocah lelaki itu anak si pengkhianat Mangun Sarkoro?!“
" Apakah orang tua mu ada di rumah, cah bagus? " tanyanya pada anak lelaki yang dikatakan sebagai cucu Mangku Wirya itu.
Si anak anak lelaki tidak menjawab. Lagi-lagi temannya yang tadi malah yang membuka mulut.
" Kakek Mangku sudah tidak menjabat lurah lagi. Beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Sekarang lurah desa dipegang oleh Pak Tejo “
" Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmu dengan kawan-kawan… " kata orang itu.
Dia mengerling sekilas pada cucu Mangku Wirya dan tersenyum aneh, lalu berjalan pelan dan bergerak menuju bagian depan rumah joglo itu. Cucu Mangku Wirya memperhatikan orang itu beberapa lamanya. Ketika orang yang diperhatikan tepat berdiri di muka pintu. Dan pintu terbuka. Sesosok wanita berbadan subur berdiri di ambang pintu. Mukanya tampak sedikit kaget karena telah ada orang berdiri di depannya. Bocah lelaki ini mendengar teman- temannya memanggil. Maka dia pun membalikkan tubuh dan bergabung kembali dengan kawan-kawannya meneruskan permainan galah asin.
“ Maaf anda siapa? Apakah ada urusan dan ingin bertemu dengan Pak Lurah? “
Lelaki tapi tersenyum. Lalu menggelengkan kepalanya.
“ Kenalkan namaku Parlin “
Seraya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Perempuan gemuk yang masih berdiri diambang pintu itu dengan sedikit segan menyambut jabat tangan itu.
“ Prapti...” ucapannya sedikit bergetar.
“ Maaf, silahkan duduk dahulu “
Prapti mempersilahkan tamunya untuk duduk di serambi. Disana ada empat kursi yang disusun mengitari sebuah meja dari rotan yang berbentuk bulat yang tepat berada di tengah. Setelah dirasa tamunya itu nyaman duduknya.
“ Apa tujuan Pak Parlin ke rumah saya? “
Prapti bertanya sambil sesekali melihat ke depan. Ke arah anak –anak yang masih asyik bermain.
“ Mangun Sarkoro...”
Meskipun ucapan itu pendek dan pelan. Akan tetapi, membuat perempuan gemuk yang duduk di depannya itu menampakkan perubahan paras muka.
“ Mengapa wajah mu berubah Prapti..? “
“ Tidak ada apa –apa “
Prapti tergagap. Berbohong. Lidahnya kelu seperti tersangkut di tenggorokan.
“ Kau jangan berbohong. Sekarang lekas katakan dimana Mangun Sarkoro dan anaknya itu?!”
Prapti sama sekali tidak menjawab. Dia hanya terdiam. Tiba –tiba pikirannya kalut. Semua rasa kecewa dan sakit hati pada bapaknya yang selama ini berusaha untuk diendapkan. Tercerai – berai lagi. Luka lama seperti dicabik –cabik duri.
“ Baiklah..kalau kau tidak mau mengatakan. Aku tidak akan memaksa. Suatu saat kau akan mencari dan memohon bantuan kepada ku “
Kata –katanya datar dan dingin. Pandangan mata juga terkesan beku dan aneh.
“ Saya akan ke belakang. Membuat minuman dahulu “
Prapti bermaksud akan beranjak. Akan tetapi, tangan lelaki bernama Parlin itu dengan cepat menahan tangan Prapti. Seperti ada kekuatan gaib yang mempengaruhi. Prapti mengurungkan niatnya itu. Sejurus kemudian Parlin terdiam. Seperti memberi kesempatan pada perempuan yang duduk di depannya itu untuk berpikir.
“ Ketahuilah Mangun Sarkoro dan anaknya itu akan membawa bencana dan musibah atas kehidupan mu. Wajah mu menyiratkan penderitaan dan kekecewaan serta sakit hati yang mendalam. Dimata mu masih ada bara api dendam yang belum juga padam. Serapat apa kau menyembunyikan. Aku masih bisa melihat itu dengan jelas “
“ Dendam mu itu kalau dipergunakan akan membuat kau menjadi kuat dan yang lebih penting akan mendatangkan kekayaan di hidup mu..suami mu seorang lurah? “
Prapti hanya terdiam diri. Tidak menggeleng ataupun mengangguk.
“ Jabatan Lurah tidak selamanya. Hidupmu sebentar lagi akan berputar dan berada di bawah “
“ Di sebelah desa Tawang ini, di kaki Gunung Merapi sebelah barat ada sebuah dusun bernama Padas Lintang. Kau bisa menemui seseorang disana jika kau mulai terjepit “
Tanpa memperdulikan Prapti yang masih duduk termenung di kursinya. Parlin beranjak dari tempatnya. Tubuh lelaki itu berjalan ke arah mobil yang masih terparkir diam di seberang pekarangan rumah. Dia berhenti sejenak di samping anak –anak yang masih bermain galah asin. Ditatap tajam – tajam ke arah bocah kecil laki –laki berambut ikal yang tengah bermain. Tidak lama kemudian ia berjalan lagi. Mobil itu menggeram dengan pelan setelah sebelumnya lelaki berpakain rapi itu masuk dan duduk di kursi belakang. Dan mobil itu berlalu diikuti oleh pandangan berpasang - pasang mata anak –anak yang sedang bermain dipekarangan itu.
Prapti masih terpekur di tempat duduknya. Sama sekali tidak beranjak. Pikirannya tiba –tiba kacau. Kata –kata lelaki bernama Parlin tadi seperti menempel dan mempengaruhi pikiran alam bawah sadarnya.
Apakah benar Mangun Sarkoro dan anaknya itu akan membawa bencana dan musibah atas kehidupan ku? Apakah benar dendam ku itu kalau dipergunakan akan membuat aku menjadi kuat dan akan mendatangkan kekayaan?
Prapti beranjak dari tempat duduknya. Lalu perempuan gemuk itu berdiri di depan serambi. Masih memandang ke arah kerumunan anak –anak yang bermain.
“ Hartono..... sini nak !”
“ Sepertinya anak terakhir keturunan pengkhianat itu tinggal disini. Kau tunggulah sebentar disini Manto “
Sopir yang dipanggil Manto itu mengangguk hormat. Lalu dengan cepat keluar dari mobil dan menuju pintu belakang sebelah kanan. Dibukanya pintu itu.
Sesosok lelaki tadi segera beranjak dari jok belakang. Kini tampak jelaslah wajah dan penampilan lelaki itu. Seorang lelaki memakai pakaian rapi. Layaknya pejabat atau direktur sebuah perisahaan bonafit. Setelan jas yang setengah terbuka memperlihatkan kemeja licin berwarna putih dan dasi motif polkadot yang melilit di lehernya. Sementara postur tubuh biasa saja. Karena agak gemuk sehingga terlihat agak pendek. Wajahnya bulat, beralis tebal melengkung menyerupai celurit, pipi tebal berlemak serta mulut yang tebal dengan rahang yang terlihat kukuh.
" Anak-anak! "
Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah rumah besar.
" Apakah ini rumahnya Mangku Wirya lurah desa Tawang? "
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan hendak
menjawab mengiyakan.
" Hai! Kalian tak perlu takut! Aku hanya bertanya benar ini rumah Mangku Wirya ?"
Lalu orang itu merogoh saku jas nya dilemparkan beberapa keping uang ke tanah.
" Ambil uang itu untuk membeli penganan dan bagi-bagi! " katanya.
Salah seorang dari enam anak itu memungut uang yang ada di tanah lalu memberanikan diri menjawab.
" Memang betul. Itu rumahnya kakek Mangku. "
Seorang anak lelaki berambut hitam ikal tiba-tiba memotong ucapan kawannya itu.
" Kita tidak tahu siapa orang itu, mengapa kau lancang menjawab pertanyaannya?! "
" Cah bagus berambut hitam. Siapa kau? Apa masih ada sangkut paut dengan Mangku Wirya? " orang itu bertanya.
" Dia cucu kakek Mangku! "
Lagi-lagi yang menjawab adalah anak perempuan tadi yang kini tegak sambil memegang kepingan uang.
" Kembali kau bertindak lancang, Murti! "
Anak yang disebut sebagai cucu Mangku Wirya tampak gelisah dan takut. Lebih lebih ketika dilihatnya orang berpakaian rapi itu memandang tak berkedip ke arahnya.
" Hemm… anak ini seperti memiliki suatu tabir aneh. Aku tidak bisa menembusnya. Apakah ini anak yang sepuluh tahun lalu lepas di hutan itu? Apakah bocah lelaki itu anak si pengkhianat Mangun Sarkoro?!“
" Apakah orang tua mu ada di rumah, cah bagus? " tanyanya pada anak lelaki yang dikatakan sebagai cucu Mangku Wirya itu.
Si anak anak lelaki tidak menjawab. Lagi-lagi temannya yang tadi malah yang membuka mulut.
" Kakek Mangku sudah tidak menjabat lurah lagi. Beliau sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Sekarang lurah desa dipegang oleh Pak Tejo “
" Ah! Kau anak pandai. Teruskan permainanmu dengan kawan-kawan… " kata orang itu.
Dia mengerling sekilas pada cucu Mangku Wirya dan tersenyum aneh, lalu berjalan pelan dan bergerak menuju bagian depan rumah joglo itu. Cucu Mangku Wirya memperhatikan orang itu beberapa lamanya. Ketika orang yang diperhatikan tepat berdiri di muka pintu. Dan pintu terbuka. Sesosok wanita berbadan subur berdiri di ambang pintu. Mukanya tampak sedikit kaget karena telah ada orang berdiri di depannya. Bocah lelaki ini mendengar teman- temannya memanggil. Maka dia pun membalikkan tubuh dan bergabung kembali dengan kawan-kawannya meneruskan permainan galah asin.
“ Maaf anda siapa? Apakah ada urusan dan ingin bertemu dengan Pak Lurah? “
Lelaki tapi tersenyum. Lalu menggelengkan kepalanya.
“ Kenalkan namaku Parlin “
Seraya menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Perempuan gemuk yang masih berdiri diambang pintu itu dengan sedikit segan menyambut jabat tangan itu.
“ Prapti...” ucapannya sedikit bergetar.
“ Maaf, silahkan duduk dahulu “
Prapti mempersilahkan tamunya untuk duduk di serambi. Disana ada empat kursi yang disusun mengitari sebuah meja dari rotan yang berbentuk bulat yang tepat berada di tengah. Setelah dirasa tamunya itu nyaman duduknya.
“ Apa tujuan Pak Parlin ke rumah saya? “
Prapti bertanya sambil sesekali melihat ke depan. Ke arah anak –anak yang masih asyik bermain.
“ Mangun Sarkoro...”
Meskipun ucapan itu pendek dan pelan. Akan tetapi, membuat perempuan gemuk yang duduk di depannya itu menampakkan perubahan paras muka.
“ Mengapa wajah mu berubah Prapti..? “
“ Tidak ada apa –apa “
Prapti tergagap. Berbohong. Lidahnya kelu seperti tersangkut di tenggorokan.
“ Kau jangan berbohong. Sekarang lekas katakan dimana Mangun Sarkoro dan anaknya itu?!”
Prapti sama sekali tidak menjawab. Dia hanya terdiam. Tiba –tiba pikirannya kalut. Semua rasa kecewa dan sakit hati pada bapaknya yang selama ini berusaha untuk diendapkan. Tercerai – berai lagi. Luka lama seperti dicabik –cabik duri.
“ Baiklah..kalau kau tidak mau mengatakan. Aku tidak akan memaksa. Suatu saat kau akan mencari dan memohon bantuan kepada ku “
Kata –katanya datar dan dingin. Pandangan mata juga terkesan beku dan aneh.
“ Saya akan ke belakang. Membuat minuman dahulu “
Prapti bermaksud akan beranjak. Akan tetapi, tangan lelaki bernama Parlin itu dengan cepat menahan tangan Prapti. Seperti ada kekuatan gaib yang mempengaruhi. Prapti mengurungkan niatnya itu. Sejurus kemudian Parlin terdiam. Seperti memberi kesempatan pada perempuan yang duduk di depannya itu untuk berpikir.
“ Ketahuilah Mangun Sarkoro dan anaknya itu akan membawa bencana dan musibah atas kehidupan mu. Wajah mu menyiratkan penderitaan dan kekecewaan serta sakit hati yang mendalam. Dimata mu masih ada bara api dendam yang belum juga padam. Serapat apa kau menyembunyikan. Aku masih bisa melihat itu dengan jelas “
“ Dendam mu itu kalau dipergunakan akan membuat kau menjadi kuat dan yang lebih penting akan mendatangkan kekayaan di hidup mu..suami mu seorang lurah? “
Prapti hanya terdiam diri. Tidak menggeleng ataupun mengangguk.
“ Jabatan Lurah tidak selamanya. Hidupmu sebentar lagi akan berputar dan berada di bawah “
“ Di sebelah desa Tawang ini, di kaki Gunung Merapi sebelah barat ada sebuah dusun bernama Padas Lintang. Kau bisa menemui seseorang disana jika kau mulai terjepit “
Tanpa memperdulikan Prapti yang masih duduk termenung di kursinya. Parlin beranjak dari tempatnya. Tubuh lelaki itu berjalan ke arah mobil yang masih terparkir diam di seberang pekarangan rumah. Dia berhenti sejenak di samping anak –anak yang masih bermain galah asin. Ditatap tajam – tajam ke arah bocah kecil laki –laki berambut ikal yang tengah bermain. Tidak lama kemudian ia berjalan lagi. Mobil itu menggeram dengan pelan setelah sebelumnya lelaki berpakain rapi itu masuk dan duduk di kursi belakang. Dan mobil itu berlalu diikuti oleh pandangan berpasang - pasang mata anak –anak yang sedang bermain dipekarangan itu.
Prapti masih terpekur di tempat duduknya. Sama sekali tidak beranjak. Pikirannya tiba –tiba kacau. Kata –kata lelaki bernama Parlin tadi seperti menempel dan mempengaruhi pikiran alam bawah sadarnya.
Apakah benar Mangun Sarkoro dan anaknya itu akan membawa bencana dan musibah atas kehidupan ku? Apakah benar dendam ku itu kalau dipergunakan akan membuat aku menjadi kuat dan akan mendatangkan kekayaan?
Prapti beranjak dari tempat duduknya. Lalu perempuan gemuk itu berdiri di depan serambi. Masih memandang ke arah kerumunan anak –anak yang bermain.
“ Hartono..... sini nak !”
Quote:
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan perempuan gemuk itu. Dia terhenyak. Lalu berdiri dan berjalan ke arah pintu depan. Dan suara ketukan pelan itu kembali terdengar.
“ Iya, sebentar...”
Prapti mempercepat langkahnya. Diputar handle pintu, dan pintu terbuka lebar. Di muka pintu berdiri seoang pemuda berumur sekitar dua puluhan tahun. Prapti terperanjat melihat pemuda itu.
“ Mengapa anak ini belum mampus juga?!” Desisnya dalam hati.
“ Budhe...”
Pemuda itu yang tidak lain adalah Sasongko segera menghambur memeluk perempuan itu dengan penuh keharuan. Air matanya menetes tidak dapat terbendung lagi. Bahunya terguncang –guncang menahan kesedihan. Prapti dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. Ia lalu mengelus –elus punggung Sasongko yang masih hanyut tergelam dalam kesedihannya.
“ Sudah.. Le..sudah....hentikan tangisan mu itu “
" Ayo masuk ke dalam. Tentu kau sangat capek dan lelah "
Sasongko mengendurkan pelukan pada budhe nya itu. Sambil terisak –isak dia berkata
“ Saya ingin ke makam ibu, tujuan saya yang paling utama ke Muntilan ini selain untuk bertemu budhe juga ingin ke makam ibu “
Paras perempuan gemuk itu sedikit berubah. Tetapi, buru –buru ia dapat menguasai keadaan kembali.
“ Iya, nanti budhe antar ke tepi desa. Ibu mu aku makam kan di sana “
“ Mengapa budhe tidak membiarkan ibu di makamkan di Wonosari? Dekat dengan bapak, dengan kakek dan dengan Witri? “
“ Marni orang asli Muntilan Le, makanya budhe membawa Marni kesini! “
“ Budhe juga tentu tidak mengetahui kalau....”
Sasongko tidak meneruskan kata –katanya. Tiba –tiba hatinya merasa gamang. Akan kah dia ceritakan soal penyebab kematian Marni? Dibunuh seseorang bernama Dipo Wongso? Prapti sekilas melihat perubahan paras pemuda di depannya itu.
“ Kalau apa Le? Coba ceritakanlah yang gamblang kepada budhe mu ini “
Sasongko hanya menggeleng pelan.
“ Tidak budhe, tidak ada yang perlu diceritakan semua telah terjadi “
Apa yang sebenarnya ia ketahui? Apakah ia tahu hal itu? Tapi tidak mungkin. Ki Dipo sangat rapi bekerja tidak mungkin hal itu bocor? Tetapi tunggu sebentar, harusnya dukun itu sudah kembali ke Muntilan kemarin. Apakah telah terjadi sesuatu dengan dukun itu?
Hati Prapti tiba –tiba diselimuti kegelisahan dan kegundahan.
Apakah aku harus turun tangan sendiri. Menghabisi anak ini? Tinggal selangkah lagi semua tumbal telah lengkap. Kalau begini masalahnya mau tidak mau aku harus menghabisi anak ini dengan tangan ku sendiri. Tiga hari lagi bulan purnama sempurna. Waktu yang sangat tepat untuk melakukan persembahan!
Sasongko sama sekali tidak sadar dan tidak mengetahui. Kedatangannya ke Muntilan hanya untuk mengantar nyawa. Pertunjukan maut sebentar lagi akan tersaji dan ia yang menjadi tokoh utamanya!
“ Iya, sebentar...”
Prapti mempercepat langkahnya. Diputar handle pintu, dan pintu terbuka lebar. Di muka pintu berdiri seoang pemuda berumur sekitar dua puluhan tahun. Prapti terperanjat melihat pemuda itu.
“ Mengapa anak ini belum mampus juga?!” Desisnya dalam hati.
“ Budhe...”
Pemuda itu yang tidak lain adalah Sasongko segera menghambur memeluk perempuan itu dengan penuh keharuan. Air matanya menetes tidak dapat terbendung lagi. Bahunya terguncang –guncang menahan kesedihan. Prapti dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. Ia lalu mengelus –elus punggung Sasongko yang masih hanyut tergelam dalam kesedihannya.
“ Sudah.. Le..sudah....hentikan tangisan mu itu “
" Ayo masuk ke dalam. Tentu kau sangat capek dan lelah "
Sasongko mengendurkan pelukan pada budhe nya itu. Sambil terisak –isak dia berkata
“ Saya ingin ke makam ibu, tujuan saya yang paling utama ke Muntilan ini selain untuk bertemu budhe juga ingin ke makam ibu “
Paras perempuan gemuk itu sedikit berubah. Tetapi, buru –buru ia dapat menguasai keadaan kembali.
“ Iya, nanti budhe antar ke tepi desa. Ibu mu aku makam kan di sana “
“ Mengapa budhe tidak membiarkan ibu di makamkan di Wonosari? Dekat dengan bapak, dengan kakek dan dengan Witri? “
“ Marni orang asli Muntilan Le, makanya budhe membawa Marni kesini! “
“ Budhe juga tentu tidak mengetahui kalau....”
Sasongko tidak meneruskan kata –katanya. Tiba –tiba hatinya merasa gamang. Akan kah dia ceritakan soal penyebab kematian Marni? Dibunuh seseorang bernama Dipo Wongso? Prapti sekilas melihat perubahan paras pemuda di depannya itu.
“ Kalau apa Le? Coba ceritakanlah yang gamblang kepada budhe mu ini “
Sasongko hanya menggeleng pelan.
“ Tidak budhe, tidak ada yang perlu diceritakan semua telah terjadi “
Apa yang sebenarnya ia ketahui? Apakah ia tahu hal itu? Tapi tidak mungkin. Ki Dipo sangat rapi bekerja tidak mungkin hal itu bocor? Tetapi tunggu sebentar, harusnya dukun itu sudah kembali ke Muntilan kemarin. Apakah telah terjadi sesuatu dengan dukun itu?
Hati Prapti tiba –tiba diselimuti kegelisahan dan kegundahan.
Apakah aku harus turun tangan sendiri. Menghabisi anak ini? Tinggal selangkah lagi semua tumbal telah lengkap. Kalau begini masalahnya mau tidak mau aku harus menghabisi anak ini dengan tangan ku sendiri. Tiga hari lagi bulan purnama sempurna. Waktu yang sangat tepat untuk melakukan persembahan!
Sasongko sama sekali tidak sadar dan tidak mengetahui. Kedatangannya ke Muntilan hanya untuk mengantar nyawa. Pertunjukan maut sebentar lagi akan tersaji dan ia yang menjadi tokoh utamanya!
Quote:
BEGITU TIGA ORANG penduduk desa itu selesai menimbun tanah kuburan, orang tua dengan bekas luka di pipi kirinya itu anggukkan kepala, menyerahkan sebuah bungkusan kecil dan berkata:
"Kalian bertiga boleh pergi..."
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan tempat itu. Senja merambat menuju malam. Suara serangga malam mulai terdengar nyaring. Beberapa kelelawar terbang berputar mengepakkan sayap hitam di angkasa. Cahaya bulan pucat berpendar menerengi bumi. Sementara itu di pemakaman. Orang tua bercodet di pipi kirinya itu ambil tujuh buah tabung bambu berisi air. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari kepala terus ke arah kaki.
Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam. Dengan kedua tangannya orang tua yang tidak lain Ki Dipo Wongso dukun dari desa Padas Lintang itu memegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh perempuan gemuk yang berdiri tegak tidak jauh dari gundukan tanah merah itu. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh di bagian kaki kubur, Ki Dukun Dipo Wongso kembali ke bagian kepala. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
"Prapti..." Ki Dukun Dipo Wongso melangkah mendekati perempuan gemuk itu.
"Dengar baik-baik... Demi semua keinginan mu yang tinggal selangkah lagi ini. Maka, jasad ini harus terkena tanah pekuburan ini dulu. Dengan begitu syarat untuk tumbal akan terpenuhi. Biarkan jasad ini nanti yang akan berjalan sendiri ke tempat persembahan. Dan satu lagi kuburan ini yang nantinya akan kosong juga akan berguna sebagai pengalih perhatian! Kau dengar itu Prapti...?"
Prapti menjawab dengan anggukan kepala.
Ki Dukun Dipo Wongso memutar tubuhnya, kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan seperti sebuah tembang:
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu Ki Dukun Dipo Wongso meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Namun sesaat kemudian terdengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Beberapa tabung bahkan jatuh berguling. Tanah mulai rengkah, kemudian terbongkar dengan hebat. Seperti ada sekop dan pacul yang tidak terlihat menggerakkan gundukan tanah yang masih merah itu sehingga berhamburan. Pada saat itu rembulan keluar dari balik awan sinarnya kembali menerangi bumi. Menerangi gundukan tanah merah itu. Kayu nisan terbalik, kemudian gundukan tanah merah itu lenyap. Berganti dengan lubang menganga lebar dan hitam.
Lalu suara mendesah terdengar berat. Suara desahan itu berasal dari lubang besar itu. Disusul oleh suara tangis yang pilu menyanyat. Suara seorang perempuan. Sayup –sayup terdengar lolongan anjing. Jerit lengking dari lubang menganga seketika menyentak kesunyian,
Yang menyelimuti pekuburan yang besar dan luas itu. Pada detik yang sama, sesosok tubuh muncul dari dasar lubang. Sesosok tubuh itu terbungkus kain kafan putih yang telah dikotori tanah. Kain kafan itu robek disana – sini pada saat tubuh yang terbungkus di dalamnya bergerak –gerak dengan kaku. Bercak darah mengotori beberapa bagian dari kain putih itu.
Beberapa saat kemudian dari bagian atas kain tersembul sebuah kepala dengan pelipis hancur rengkah bengkak kebiruan. Wajah itu sangat pucat dan bibirnya sedikit kebiruan. Dipo Wongso tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Sementara Prapti memandang tak berkedip ke arah sesosok tubuh itu yang berdiri kaku di tepi makam yang telah menganga lebar. Lalu sesosok tubuh itu berjalan terseok –seok menjauhi area pekuburan. Mahkluk itu sama sekali tidak perduli bahkan seperti tidak melihat ada dua sosok tubuh yang berdiri memmandang tak berkedip ke arahnya. Sesosok tubuh itu berjalan terus, makin jauh dan tiba –tiba hilang ditelan kegelapan malam.
Malam itu Sasongko terlonjak bangun dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Kegelapan lampu yang sengaja dimatikan membuat matanya buta sesaat. Sayup –sayup terdengar suara isak tangis, begitu dekat sehingga sejenak membuat Sasongko terpana dalam kegelisahan.
“ Ibu....” desis pemuda ini lirih.
“ Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Sasongko beranjak dari ranjang. Duduk di tepi pembaringan. Sesaat diliriknya sebuah jam bulat yang menempel di dinding. Setengah dua belas lewat malam itu. Ia menarik nafas berat. Cahaya purnama menyelinap ke dalam kamarnya melalui ventilasi dan lubang jendela. Sasongko beranjak dari tepi ranjang menuju ke arah jendela. Perlahan pemuda ini menarik selot jendela. Setelah selot terbuka di dorong jendela itu pelan –pelan sehingga tidak menimbulkan suara. Bayangan bulan purnama limabelas hari yang terang itu mendatangkan perasaan ganjil di dalam dadanya.
"Kalian bertiga boleh pergi..."
Tiga orang itu ambil cangkul masing-masing lalu tinggalkan tempat itu. Senja merambat menuju malam. Suara serangga malam mulai terdengar nyaring. Beberapa kelelawar terbang berputar mengepakkan sayap hitam di angkasa. Cahaya bulan pucat berpendar menerengi bumi. Sementara itu di pemakaman. Orang tua bercodet di pipi kirinya itu ambil tujuh buah tabung bambu berisi air. Satu demi satu tabung bambu itu ditancapkannya di atas tanah makam yang merah, lurus mulai dari kepala terus ke arah kaki.
Setelah itu dia menyiapkan sebuah pendupaan, membakar potongan-potongan kayu kecil dalam pendupaan dan menebar bubuk kemenyan. Seantero tempat itu kini diselimuti asap dan tebaran bau kemenyan yang harum tapi terasa mencekam. Dengan kedua tangannya orang tua yang tidak lain Ki Dipo Wongso dukun dari desa Padas Lintang itu memegangi ujung tabung bambu sambil mulutnya tiada henti mengucapkan kalimat-kalimat panjang yang tak jelas terdengar oleh perempuan gemuk yang berdiri tegak tidak jauh dari gundukan tanah merah itu. Selesai memegangi tabung bambu yang ke tujuh di bagian kaki kubur, Ki Dukun Dipo Wongso kembali ke bagian kepala. Disini dia mencelupkan tangan kanannya kedalam bambu berisi air. Lalu tangan itu dikeluarkan dan air dicipratkannya ke atas kubur. Demikian dilakukannya sampai tujuh kali.
Selesai itu orang tua tersebut ambil bungkusan daun berisi kembang tujuh rupa. Bungkusan dibuka dan kembang di dalamnya bukan ditebar diatas makam melainkan dimasukkan ke dalam tabung bambu pertama, Demikian dilakukannya berturut-turut pada enam tabung lainnya dan enam bungkus bunga.
"Prapti..." Ki Dukun Dipo Wongso melangkah mendekati perempuan gemuk itu.
"Dengar baik-baik... Demi semua keinginan mu yang tinggal selangkah lagi ini. Maka, jasad ini harus terkena tanah pekuburan ini dulu. Dengan begitu syarat untuk tumbal akan terpenuhi. Biarkan jasad ini nanti yang akan berjalan sendiri ke tempat persembahan. Dan satu lagi kuburan ini yang nantinya akan kosong juga akan berguna sebagai pengalih perhatian! Kau dengar itu Prapti...?"
Prapti menjawab dengan anggukan kepala.
Ki Dukun Dipo Wongso memutar tubuhnya, kembali melangkah ke bagian kepala kuburan. Disini dia tegak dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi ke udara. Telapak tangan dikembangkan. Dari mulutnya keluar ucapan seperti sebuah tembang:
Lir-ilir, lir-ilir
tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak nggo temanten anyar
Lir-ilir, lir-ilir
rungokno tembang iki
gereng-gereng rungokno
kanggo mapan sukma niro
tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak nggo temanten anyar
Lir-ilir, lir-ilir
rungokno tembang iki
gereng-gereng rungokno
kanggo mapan sukma niro
Selesai mengucapkan kalimat-kalimat itu dengan suara keras, lalu Ki Dukun Dipo Wongso meneruskan kata-katanya dengan suara perlahan seperti bergumam. Namun sesaat kemudian terdengar suara aneh dari dalam liang kubur yang baru saja ditimbun. Tujuh batang bambu yang menancap di tanah merah tampak bergerak, bergoyang-goyang sehingga air yang ada di dalamnya sesekali muncrat keluar!
Beberapa tabung bahkan jatuh berguling. Tanah mulai rengkah, kemudian terbongkar dengan hebat. Seperti ada sekop dan pacul yang tidak terlihat menggerakkan gundukan tanah yang masih merah itu sehingga berhamburan. Pada saat itu rembulan keluar dari balik awan sinarnya kembali menerangi bumi. Menerangi gundukan tanah merah itu. Kayu nisan terbalik, kemudian gundukan tanah merah itu lenyap. Berganti dengan lubang menganga lebar dan hitam.
Lalu suara mendesah terdengar berat. Suara desahan itu berasal dari lubang besar itu. Disusul oleh suara tangis yang pilu menyanyat. Suara seorang perempuan. Sayup –sayup terdengar lolongan anjing. Jerit lengking dari lubang menganga seketika menyentak kesunyian,
Yang menyelimuti pekuburan yang besar dan luas itu. Pada detik yang sama, sesosok tubuh muncul dari dasar lubang. Sesosok tubuh itu terbungkus kain kafan putih yang telah dikotori tanah. Kain kafan itu robek disana – sini pada saat tubuh yang terbungkus di dalamnya bergerak –gerak dengan kaku. Bercak darah mengotori beberapa bagian dari kain putih itu.
Beberapa saat kemudian dari bagian atas kain tersembul sebuah kepala dengan pelipis hancur rengkah bengkak kebiruan. Wajah itu sangat pucat dan bibirnya sedikit kebiruan. Dipo Wongso tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya. Sementara Prapti memandang tak berkedip ke arah sesosok tubuh itu yang berdiri kaku di tepi makam yang telah menganga lebar. Lalu sesosok tubuh itu berjalan terseok –seok menjauhi area pekuburan. Mahkluk itu sama sekali tidak perduli bahkan seperti tidak melihat ada dua sosok tubuh yang berdiri memmandang tak berkedip ke arahnya. Sesosok tubuh itu berjalan terus, makin jauh dan tiba –tiba hilang ditelan kegelapan malam.
Malam itu Sasongko terlonjak bangun dengan peluh membasahi sekujur tubuhnya. Kegelapan lampu yang sengaja dimatikan membuat matanya buta sesaat. Sayup –sayup terdengar suara isak tangis, begitu dekat sehingga sejenak membuat Sasongko terpana dalam kegelisahan.
“ Ibu....” desis pemuda ini lirih.
“ Apa yang sebenarnya terjadi?!”
Sasongko beranjak dari ranjang. Duduk di tepi pembaringan. Sesaat diliriknya sebuah jam bulat yang menempel di dinding. Setengah dua belas lewat malam itu. Ia menarik nafas berat. Cahaya purnama menyelinap ke dalam kamarnya melalui ventilasi dan lubang jendela. Sasongko beranjak dari tepi ranjang menuju ke arah jendela. Perlahan pemuda ini menarik selot jendela. Setelah selot terbuka di dorong jendela itu pelan –pelan sehingga tidak menimbulkan suara. Bayangan bulan purnama limabelas hari yang terang itu mendatangkan perasaan ganjil di dalam dadanya.
Diubah oleh breaking182 16-04-2018 13:53
knoopy dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Kutip
Balas
Tutup