- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#55
DANNY
Quote:
INI BENAR-BENAR merupakan satu pemandangan yang sukar dicari tandingannya. Di kaki pegunungan Tepus sebelah selatan, dibawah udara yang selalu sejuk dalam tiupan angin lembut terdapat sebuah lembah yang ditumbuhi aneka ragam pohon-pohon bunga. Bagian tanah yang tidak ditumbuhi pepohonan. Menghijau pedataran rumput. Di ujung timur lembah menjulang tinggi pohon-pohon berdaun aneka warna.
Di sebelah barat pada ketinggian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari induknya di pegunungan Tepus anak sungai ini mengalirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat sebuah telaga berbentuk bulat telur. Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air telaga itu sebenarnya berwarna biru. Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat air telaga memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.
Bagian tepi telaga dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Di antara bebatuan di sepanjang tepian telaga tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang ternyata dalamnya hanya sebatas dada. Pada malam hari, apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Namun sulit dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan tersembunyi misteri mengerikan!
Saat itu memasuki musim panas pegunungan Tepus ini sangat sering dilanda kekeringan. Tanam-tanaman mulai kekeringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar mulai susut airnya. Tapinya aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Tepus dimana terletak telaga yang dikitari pemandangan indah itu. Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau. Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Itulah Telaga Muncar.
Aku duduk di atas batu yang ada di tepi telaga. Kedua kaki aku masukkan ke dalam telaga. Hawanya sangat dingin tapi menyegarkan. Di ujung sana aku lihat Alit dan Nathan tengah mandi berkejar –kejaran sembari tertawa – tawa. Sepertinya dua orang itu memiliki kulit yang sangat tebal.
Sementara di ujung lainnya aku lihat Mira, Ajeng, Mima hanya memakai kemben tampak sedang membersihkan kulit dengan mengosok –gosk badan menggunakan batu berbentuk lonjong. Kulit tubuh ketiga gadis itu tampak berkilau ditimpa cahaya matahari pagi. Tidak ada Ida. Gadis manis yang diam – diam aku taksir itu bersikeras bahwa ia tidak akan sekalipun pernah menginjakkan kaki di telaga itu. Sesosok anjing yang hampir setiap malam selalu menteror dia di mimpinyalah penyebab hal itu. Aku menghela nafas panjang. Terlihat air telaga sangat bening dan jernih. Sesekali terlihat beberapa ekor ikan mas yang besar-besar berenang maju mundur dengan tingkah yang menyenangkan. Pikiran ku melayang saat kejadian tadi malam di tepi desa. Tiga ekor anjing yang sangat besar. Di tengah jalan seperti hendak menghadang langkah ku. Bulu kudu ku tiba –tiba meremang.
Lalu tiba - tiba terdengar sapaan seseorang:
“ Hai! “
Aku menoleh. Seorang pemuda, bercelana panjang jeans berwarna hitam pudar yang digulung bagian bawahnya sampai kepertengahan betis, memperlihatkan sepatu boot yang tinggi, berdiri di atas batu karang yang hanya berjarak sekitar tiga langkah dari tempat ku duduk. Wajahnya kelimis dengan rambut yang tersisir rapih. Cepat aku teringat bahwa dia adalah salah seorang dari kelima ronda malam yang kutemui tadi malam di mulut desa.
“ Hai “ , aku balas menyapa, lalu menunjuk ke golok besar yang terselip di pinggangnya.
“ Mau kemana? “
“ Nyari madu di hutan sana “
Telunjuknya mengarah kerapatan pepohonan yang berada di atas bukit.
“ Lagi mandi?”
“Rencananya seperti itu. Tetapi ternyata airnya sangat dingin. Aku jadi mengurungkan keinginan ku “
Lalu dia tersenyum mendengar jawaban itu.
“ Oh ya, kau mau ikut ke hutan sana? Disana pemandangannya indah tidak akan kau temui pemandangan yang seperti itu di kota “
Aku memikirkannya. Lalu teringat tugas ku disini untuk ber KKN bukan untuk berwisata. Aku juga berpikir Ida yang bisa dikatakan sedang tidak begitu sehat dan butuh seseorang untuk mendampingi.
“Tidak. Aku musti melakukan banyak perkerjaan dan kegiatan di desa ini. Terimakasih “
Tanpa kuminta atau kupersilahkan, ia kemudian duduk seenaknya di atas batu, menjulurkan kakinya ke dalam telaga tanpa melepas sepatu boot yang dikenakan. Air telaga seketika menjadi keruh berlumpur tapi setelahnya jernih lagi.
Agak urakan anak ini, pikirku seraya bersandar pada sebatang pohon kelapa.
Ia mengeluarkan bungkusan rokok dari saku kemeja kotak -kotaknya, menyodorkan ke depan mukaku. Kuambil sebatang, dan ia menyulutkan korek api pada rokok yang telah menempel di sela-sela bibirku. Setelah ia melakukan hal yang sama dan membuang asap rokok. Asap putih itu membumbung dan berpendar diterpa angin.
Pemuda itu lantas berkata,
“ Kita belum berkenalan “
“ Oh ya? “ tangannya kujabat.
“ Namaku Zulham “
“ Aku Danny. Kau dari Jogja? “
Aku mengangguk.
“ Dan kau? “
“ Aku warga asli desa Telaga Muncar ini “
Seperti takut didengar orang lain, Danny mencondongkan wajahnya sedikit ke depan lantas berkata,
“ Keluarga ku mengundang kalian datang makan malam di rumah ku “
Aku berusaha menolak. Tatkala belum sempat mulutku terbuka Danny cepat –cepat memotong.
“ Keluarga ku merupakan cikal –bakal desa Telaga Muncar ini. Kami sebagai tuan rumah yang baik harus menjamu tamu yang datang ke desa ini. Apalagi kalian kesini dengan tujuan yang baik. Kami tunggu lepas jam tujuh malam “
Dia tersenyum. Entah mengapa senyum itu serasa aneh di mataku. Seperti seringai..ya seperti menyeringai.
“ Baiklah. Tetapi dimana rumah mu? Terus terang aku baru datang di desa ini tadi malam”
“ Kau lihat ujung jalan itu? “
Danny menunjuk ke arah jalan setapak kecil yang berada di ujung telaga.
“ Ikuti saja jalan itu lurus. Nanti ada sebuah rumah besar. Disitu lah rumah ku. Rumah keluarga Dargo “
Aku hanya menganggukan kepala mendengar penjelasannya.
Sinar matahari semakin terang dan hangat. Tidak seperti tadi saat aku datang ke telaga ini. Beberapa orang warga desa terlihat telah berdatangan ke telaga itu. Beberapa juga berjalan membawa cangkul, sabit dan sekop. Tampaknya siap akan pergi bekerja. Ke kebun atau ke sawah. Terdengar suara langkah kaki mendekati. Kami berdua menoleh serentak, Ajeng tahu –tahu telah berada di belakang ku. Sepasang mata gadis itu memandang lekat –lekat ke arah ku.
“ Kalau kau sudah selesai mandi lekas kita kembali ke camp. Kita disini bukan untuk ngobrol atau berwisata “
Aku hanya tersenyum kecut. Mungkin Ajneg juga merasa satu minggu ini menjadi hari yang berat. Sementara aku datang terlambat dan terlihat hanya bersantai –santai. Aku maklumi hal itu.
Danny lantas berdiri.
“ Benar tidak mau iku kesana? “
“ Lain kali “
Danny segera berlalu dari hadapan ku. Seperti terburu –buru. Setelah sebelumnya tersenyum tipis ke arah ku. Ajeng memandangi punggung pemuda itu sampai menghilang di antara rerimbunan semak belukar. Kemudian tanpa sedikitpun mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Gadis itu balik badan dan meninggalkan aku yang masih duduk di atas batu tepi telaga. Aku beranjak lalu dengan berlari –lari kecil mengikuti langkah Ajeng dari belakang.
Di sebelah barat pada ketinggian yang menurun, diapit oleh pohon-pohon bunga dan pedataran rumput, mengalir sebuah anak sungai. Dari induknya di pegunungan Tepus anak sungai ini mengalirkan air sejuk bening ke dalam lembah di mana terdapat sebuah telaga berbentuk bulat telur. Seperti air sungai yang menjadi sumbernya, air telaga itu sebenarnya berwarna biru. Namun pantulan daun-daun pepohonan dan bunga-bunga yang sedang berkembang serta pedataran rumput yang seperti berkilauan tertimpa cahaya matahari, membuat air telaga memiliki belasan warna yang indah menakjubkan.
Bagian tepi telaga dilingkari oleh batu-batu besar hitam. Demikian rata dan bagusnya letak bebatuan itu hingga sulit dipercaya kalau batu-batu itu terletak begitu dengan sendirinya tanpa diatur oleh tangan manusia. Di antara bebatuan di sepanjang tepian telaga tumbuh banyak pohon-pohon bunga melati yang menebar bau harum semerbak. Siapa saja yang berdiri di tepi kolam itu pasti akan tergerak hatinya untuk turun ke dalam air, berkecimpung bermain air yang ternyata dalamnya hanya sebatas dada. Pada malam hari, apalagi ketika saat bulan purnama, pemandangan di atas kolam dan sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Namun sulit dipercaya kalau di balik semua keindahan menakjubkan dan kesejukan yang menyegarkan tersembunyi misteri mengerikan!
Saat itu memasuki musim panas pegunungan Tepus ini sangat sering dilanda kekeringan. Tanam-tanaman mulai kekeringan. Para petani mulai mengeluh. Sumur-sumur banyak yang menjadi kering. Bahkan sungai-sungai besar mulai susut airnya. Tapinya aneh kalau kekeringan yang menggila itu seperti tak sanggup menyentuh kaki selatan pegunungan Tepus dimana terletak telaga yang dikitari pemandangan indah itu. Pohon-pohon bunga di sana tetap subur dan berkembang sebagaimana biasanya. Rerumputan tetap menghijau. Anak sungai tetap mengalirkan air sejuk ke dalam kolam, dan tiupan angin tetap lembut menyegarkan. Itulah Telaga Muncar.
Aku duduk di atas batu yang ada di tepi telaga. Kedua kaki aku masukkan ke dalam telaga. Hawanya sangat dingin tapi menyegarkan. Di ujung sana aku lihat Alit dan Nathan tengah mandi berkejar –kejaran sembari tertawa – tawa. Sepertinya dua orang itu memiliki kulit yang sangat tebal.
Sementara di ujung lainnya aku lihat Mira, Ajeng, Mima hanya memakai kemben tampak sedang membersihkan kulit dengan mengosok –gosk badan menggunakan batu berbentuk lonjong. Kulit tubuh ketiga gadis itu tampak berkilau ditimpa cahaya matahari pagi. Tidak ada Ida. Gadis manis yang diam – diam aku taksir itu bersikeras bahwa ia tidak akan sekalipun pernah menginjakkan kaki di telaga itu. Sesosok anjing yang hampir setiap malam selalu menteror dia di mimpinyalah penyebab hal itu. Aku menghela nafas panjang. Terlihat air telaga sangat bening dan jernih. Sesekali terlihat beberapa ekor ikan mas yang besar-besar berenang maju mundur dengan tingkah yang menyenangkan. Pikiran ku melayang saat kejadian tadi malam di tepi desa. Tiga ekor anjing yang sangat besar. Di tengah jalan seperti hendak menghadang langkah ku. Bulu kudu ku tiba –tiba meremang.
Lalu tiba - tiba terdengar sapaan seseorang:
“ Hai! “
Aku menoleh. Seorang pemuda, bercelana panjang jeans berwarna hitam pudar yang digulung bagian bawahnya sampai kepertengahan betis, memperlihatkan sepatu boot yang tinggi, berdiri di atas batu karang yang hanya berjarak sekitar tiga langkah dari tempat ku duduk. Wajahnya kelimis dengan rambut yang tersisir rapih. Cepat aku teringat bahwa dia adalah salah seorang dari kelima ronda malam yang kutemui tadi malam di mulut desa.
“ Hai “ , aku balas menyapa, lalu menunjuk ke golok besar yang terselip di pinggangnya.
“ Mau kemana? “
“ Nyari madu di hutan sana “
Telunjuknya mengarah kerapatan pepohonan yang berada di atas bukit.
“ Lagi mandi?”
“Rencananya seperti itu. Tetapi ternyata airnya sangat dingin. Aku jadi mengurungkan keinginan ku “
Lalu dia tersenyum mendengar jawaban itu.
“ Oh ya, kau mau ikut ke hutan sana? Disana pemandangannya indah tidak akan kau temui pemandangan yang seperti itu di kota “
Aku memikirkannya. Lalu teringat tugas ku disini untuk ber KKN bukan untuk berwisata. Aku juga berpikir Ida yang bisa dikatakan sedang tidak begitu sehat dan butuh seseorang untuk mendampingi.
“Tidak. Aku musti melakukan banyak perkerjaan dan kegiatan di desa ini. Terimakasih “
Tanpa kuminta atau kupersilahkan, ia kemudian duduk seenaknya di atas batu, menjulurkan kakinya ke dalam telaga tanpa melepas sepatu boot yang dikenakan. Air telaga seketika menjadi keruh berlumpur tapi setelahnya jernih lagi.
Agak urakan anak ini, pikirku seraya bersandar pada sebatang pohon kelapa.
Ia mengeluarkan bungkusan rokok dari saku kemeja kotak -kotaknya, menyodorkan ke depan mukaku. Kuambil sebatang, dan ia menyulutkan korek api pada rokok yang telah menempel di sela-sela bibirku. Setelah ia melakukan hal yang sama dan membuang asap rokok. Asap putih itu membumbung dan berpendar diterpa angin.
Pemuda itu lantas berkata,
“ Kita belum berkenalan “
“ Oh ya? “ tangannya kujabat.
“ Namaku Zulham “
“ Aku Danny. Kau dari Jogja? “
Aku mengangguk.
“ Dan kau? “
“ Aku warga asli desa Telaga Muncar ini “
Seperti takut didengar orang lain, Danny mencondongkan wajahnya sedikit ke depan lantas berkata,
“ Keluarga ku mengundang kalian datang makan malam di rumah ku “
Aku berusaha menolak. Tatkala belum sempat mulutku terbuka Danny cepat –cepat memotong.
“ Keluarga ku merupakan cikal –bakal desa Telaga Muncar ini. Kami sebagai tuan rumah yang baik harus menjamu tamu yang datang ke desa ini. Apalagi kalian kesini dengan tujuan yang baik. Kami tunggu lepas jam tujuh malam “
Dia tersenyum. Entah mengapa senyum itu serasa aneh di mataku. Seperti seringai..ya seperti menyeringai.
“ Baiklah. Tetapi dimana rumah mu? Terus terang aku baru datang di desa ini tadi malam”
“ Kau lihat ujung jalan itu? “
Danny menunjuk ke arah jalan setapak kecil yang berada di ujung telaga.
“ Ikuti saja jalan itu lurus. Nanti ada sebuah rumah besar. Disitu lah rumah ku. Rumah keluarga Dargo “
Aku hanya menganggukan kepala mendengar penjelasannya.
Sinar matahari semakin terang dan hangat. Tidak seperti tadi saat aku datang ke telaga ini. Beberapa orang warga desa terlihat telah berdatangan ke telaga itu. Beberapa juga berjalan membawa cangkul, sabit dan sekop. Tampaknya siap akan pergi bekerja. Ke kebun atau ke sawah. Terdengar suara langkah kaki mendekati. Kami berdua menoleh serentak, Ajeng tahu –tahu telah berada di belakang ku. Sepasang mata gadis itu memandang lekat –lekat ke arah ku.
“ Kalau kau sudah selesai mandi lekas kita kembali ke camp. Kita disini bukan untuk ngobrol atau berwisata “
Aku hanya tersenyum kecut. Mungkin Ajneg juga merasa satu minggu ini menjadi hari yang berat. Sementara aku datang terlambat dan terlihat hanya bersantai –santai. Aku maklumi hal itu.
Danny lantas berdiri.
“ Benar tidak mau iku kesana? “
“ Lain kali “
Danny segera berlalu dari hadapan ku. Seperti terburu –buru. Setelah sebelumnya tersenyum tipis ke arah ku. Ajeng memandangi punggung pemuda itu sampai menghilang di antara rerimbunan semak belukar. Kemudian tanpa sedikitpun mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Gadis itu balik badan dan meninggalkan aku yang masih duduk di atas batu tepi telaga. Aku beranjak lalu dengan berlari –lari kecil mengikuti langkah Ajeng dari belakang.
Quote:
Pemandangan sunyi dan suram. Cahaya bulan mengintip di sela-sela pepohonan, bulan yang nyaris purnama sempurna tetap tidak mampu menerangi gelapnya jalan yang kami lalui. Jalan setapak berbatu dan berlubang –lubang itu lengang. Terbalut kabut dan kanan kiri dikelilingi pepohonan. Hitam dan mencekam.
Sesekali suara burung hantu mengiringi malam, memperdengarkan lengkingannya yang serak menakutkan. Aku berjalan paling depan. Nathan, Alit, Ajeng, Mira dan Mima mengikuti ku dari belakang. Dimana Ida? Ya, dia sengaja tidak ikut. Nampaknya, kondisi pikirannya belum siap untuk terlalu diajak untuk berkompromi.
“ Apa Zul? Ketempat Keluarga Dargo? Terus kalau kita kerumahnya musti lewat telaga itu?! “
“ Tidak ... aku tidak mau..Lebih baik aku tinggal di rumah saja. Mencicil membuat laporan dan tetek bengeknya “
“ Ayolah, kau ketuanya. Apa kata orang yang mengundang kita nanti? “
“ Sekali tidak..tetap tidak Zul!”
Akhirnya, aku menyerah tatkala aku lihat paras gadis itu mulai memerah dan kedua matanya tampak berkaca –kaca.
Lamunanku buyar saat suara gerutuan Ajeng terdengar di telinga.
“ Zul, kau tidak salahkah? Kaki ku sudah pegal. Rumah keluarga Dargo belum juga terlihat “
Ajeng, diam –diam menyesal telah ikut ajakan Zulham untuk memenuhi undangan keluarga Dargo.
“ Jangan –jangan salah jalan Zul “
Alit kelihatan gelisah. Sesekali menaikkan kaca mata minus yang melorot sampai di batang hidungnya.
“ Tidak, tadi pagi Danny menunjuk ke arah ini " aku berusaha membela diri
Sejujurnya aku juga mulai takut. Jalan setapak ini seperti tidak berujung. Makin jauh makin pekat. Aku menyorotkan senter ke berbagai arah.
Setelah berjalan beberapa saat telihat di depan ku sebuah bangunan besar. Menjulang kokoh. Bangunan itu mirip bangunan jaman kolonial Belanda. Ada undak –undakan yang tidak lumayan tinggi dari batu untuk mencapai ke serambi depan. Hamparan halaman yang sangat luas dengan beberapa pohon asem di beberapa sudutnya. Di kanan bangunan itu menjulang tiang dengan kincir angin raksasa di ujungnya. Gemuruh suara kincir raksasa itu terdengar tidak berkeputusan.
Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di sekeliling rumah tua itu berpagar besi. Beberapa pagar yang mengelilinginya bengkok dan hampir roboh. Beberapa potong pagar menjorok ke luar, besi pagar telah usang dan berkarat dimakan usia. Keganjilan rumah besar itu belum sampai disitu saja. Tatkala sinar senter yang aku sorotkan membentur sesuatu. Ada beberapa gundukan di halaman itu. Beberapa gundukan –gundukan itu menyerupai...Kuburan?!
Mira menarik lengan baju ku. Di bawah temaram sinar bulan. Aku dapat melihat pucatnya wajah Mira. Gadis itu sangat ketakutan.
“ Zul, kita pulang saja. Itu bukan rumah orang. Lebih mirip kastil atau mungkin rumah hantu “
Aku hanya diam saja. Ku permainkan sorot sinar senter yang ada di tangan mencoba meyakinkan diri apakah gundukan itu memang sebuah kuburan. Deretan kayu terpancang di atas gundukan – gundukan tanah, itu adalah nisan entah berapa umurnya dan entah itu kuburan siapa? Nisan-nisan bisu memantulkan bias senter ke berbagai arah, tetap saja sunyi dan gelap.
Sesekali suara burung hantu mengiringi malam, memperdengarkan lengkingannya yang serak menakutkan. Aku berjalan paling depan. Nathan, Alit, Ajeng, Mira dan Mima mengikuti ku dari belakang. Dimana Ida? Ya, dia sengaja tidak ikut. Nampaknya, kondisi pikirannya belum siap untuk terlalu diajak untuk berkompromi.
“ Apa Zul? Ketempat Keluarga Dargo? Terus kalau kita kerumahnya musti lewat telaga itu?! “
“ Tidak ... aku tidak mau..Lebih baik aku tinggal di rumah saja. Mencicil membuat laporan dan tetek bengeknya “
“ Ayolah, kau ketuanya. Apa kata orang yang mengundang kita nanti? “
“ Sekali tidak..tetap tidak Zul!”
Akhirnya, aku menyerah tatkala aku lihat paras gadis itu mulai memerah dan kedua matanya tampak berkaca –kaca.
Lamunanku buyar saat suara gerutuan Ajeng terdengar di telinga.
“ Zul, kau tidak salahkah? Kaki ku sudah pegal. Rumah keluarga Dargo belum juga terlihat “
Ajeng, diam –diam menyesal telah ikut ajakan Zulham untuk memenuhi undangan keluarga Dargo.
“ Jangan –jangan salah jalan Zul “
Alit kelihatan gelisah. Sesekali menaikkan kaca mata minus yang melorot sampai di batang hidungnya.
“ Tidak, tadi pagi Danny menunjuk ke arah ini " aku berusaha membela diri
Sejujurnya aku juga mulai takut. Jalan setapak ini seperti tidak berujung. Makin jauh makin pekat. Aku menyorotkan senter ke berbagai arah.
Setelah berjalan beberapa saat telihat di depan ku sebuah bangunan besar. Menjulang kokoh. Bangunan itu mirip bangunan jaman kolonial Belanda. Ada undak –undakan yang tidak lumayan tinggi dari batu untuk mencapai ke serambi depan. Hamparan halaman yang sangat luas dengan beberapa pohon asem di beberapa sudutnya. Di kanan bangunan itu menjulang tiang dengan kincir angin raksasa di ujungnya. Gemuruh suara kincir raksasa itu terdengar tidak berkeputusan.
Pada siang hari saja suaranya begitu ngeri menggetarkan. Apa lagi pada malam hari. Di sekeliling rumah tua itu berpagar besi. Beberapa pagar yang mengelilinginya bengkok dan hampir roboh. Beberapa potong pagar menjorok ke luar, besi pagar telah usang dan berkarat dimakan usia. Keganjilan rumah besar itu belum sampai disitu saja. Tatkala sinar senter yang aku sorotkan membentur sesuatu. Ada beberapa gundukan di halaman itu. Beberapa gundukan –gundukan itu menyerupai...Kuburan?!
Mira menarik lengan baju ku. Di bawah temaram sinar bulan. Aku dapat melihat pucatnya wajah Mira. Gadis itu sangat ketakutan.
“ Zul, kita pulang saja. Itu bukan rumah orang. Lebih mirip kastil atau mungkin rumah hantu “
Aku hanya diam saja. Ku permainkan sorot sinar senter yang ada di tangan mencoba meyakinkan diri apakah gundukan itu memang sebuah kuburan. Deretan kayu terpancang di atas gundukan – gundukan tanah, itu adalah nisan entah berapa umurnya dan entah itu kuburan siapa? Nisan-nisan bisu memantulkan bias senter ke berbagai arah, tetap saja sunyi dan gelap.
Diubah oleh breaking182 19-04-2018 07:32
itkgid dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Kutip
Balas