- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#432
Quote:
BAGIAN DEPAN RUMAH sederhana itu hanya diterangi sebuah lampu dengan voltase kecil yang digantung di tengah serambi. Cahayanya tidak dapat menerangi serambi rumah yang luas dimana saat itu seorang lelaki paruh baya berpakaian hitam duduk diatas sebuah kursi goyang terkantuk-kantuk. Kursi goyang dari kayu itu mengeluarkan suara berderik-derik. Orang yang duduk diatasnya membenarkan letak kain sarung yang menyelubungi kedua kakinya agar terlindung dari gigitan nyamuk.
Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia tak dapat tidur. Matanya sulit sekali terpejam. Entah mengapa di dalam rumah hawanya sangat panas meskipun hampir semalaman ini di guyur hujan deras. Jam dinding bulat yang menempel di ruang tengah terlihat dari celah pintu depan yang tidak tertutup rapat menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Di langit bulan setengah lingkaran muncul nampak redup tertutup awan. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Bersamaan dengan itu tiba –tiba lampu yang tergantung berkedip –kedip. Lalu mati. Suasana seketika gelap. Pada saat itulah lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki tahu-tahu tampak berdiri di sudut serambi yang paling gelap.
"Aneh, kenapa tiba –tiba mati lampu? “ kata lelaki di kursi goyang dalam hati.
" Dan..siapa yang berdiri di kegelapan itu? Tadi mataku memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu berjalan dilantai serambi ini ?”
"Siapa disana?!" lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara menghardik.
Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak.
Si lelaki paruh baya turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil lampu minyak yang menempel di tembok. Dengan pemantik yang ada di atas meja dinyalakan lampu itu. Sambil mengacungkan lampu minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung serambi. Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi wajah serta sebagian tubuh orang itu, tersiraplah darah si lelaki paruh baya.
Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya menusuk tajam. Lebih menyeramkan lagi di bagian leher orang ini terdapat luka menganga sangat besar. Masih terlihat darah yang masih basah disana!
"Idam... Apa maksud kedatanganmu?" bertanya si paruh baya. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak berhadapan dengan manusia.
"K... au... ter.. nya... ta... ma... sih... ingat... ke... pada... ku... Lik.. Kar.. to?"
Lik Karto tersurut mundur. Kali ini karena mendengar suara orang itu yang tidak lain mayat Idam. Suaranya seperti datang dari jurang yang dalam. Kaku... terbata-bata...
“ K..au..li...hat..keada...an..ku “
Mayat Idam menyeringai. Sehingga memperlihatkan deretan gigi yang entah mengapa terlihat sangat menyeramkan.
“ I..ni...se...mua..ka..re..na mu. Ma...lam i..ni a...ku a...kan mem....ba...wa mu ber...sa..ma ku”
“ Ma...lam be...ri...kutnya Sa...song...ko ya...ng se...ka...rang te...ngah ber...sem...bu...nyi di da...lam... ru...mah i...ni “
Lik Karto tercekat mendengar hal itu. Bulu kuduknya meremang. Nalurinya mengatakan bahwa nyawanya tengah terancam!
“ Pergilah, kau telah mati. Alam mu bukan disini. Kembalilah ke alam kubur mu !”
Teriakan Lik Karto gemetar. Di hadapannya mayat Idam berjalan dengan kaku tertatih tatih. Kedua tangannya terjulur ke depan. Mengarah ke leher Lik Karto.
Sesekali dia menguap lebar-lebar. Walau kantuknya berat namun dia tak dapat tidur. Matanya sulit sekali terpejam. Entah mengapa di dalam rumah hawanya sangat panas meskipun hampir semalaman ini di guyur hujan deras. Jam dinding bulat yang menempel di ruang tengah terlihat dari celah pintu depan yang tidak tertutup rapat menunjukkan pukul 02.00 dini hari.
Di langit bulan setengah lingkaran muncul nampak redup tertutup awan. Di kejauhan terdengar suara anjing menggonggong. Bersamaan dengan itu tiba –tiba lampu yang tergantung berkedip –kedip. Lalu mati. Suasana seketika gelap. Pada saat itulah lelaki di atas kursi goyang mendadak membuka kedua matanya lebar-lebar karena entah kapan munculnya sesosok tubuh lelaki tahu-tahu tampak berdiri di sudut serambi yang paling gelap.
"Aneh, kenapa tiba –tiba mati lampu? “ kata lelaki di kursi goyang dalam hati.
" Dan..siapa yang berdiri di kegelapan itu? Tadi mataku memang terpicing, tapi telingaku tak akan lolos menangkap suara apapun. Bagaimana mungkin orang itu bisa naik ke serambi tanpa aku mendengar langkahnya sewaktu menginjak tangga dan juga sewaktu berjalan dilantai serambi ini ?”
"Siapa disana?!" lelaki berbaju hitam bertanya dengan suara menghardik.
Yang ditanya tidak menjawab. Bergerakpun tidak.
Si lelaki paruh baya turun dari kursi goyang, ikatkan kain sarung ke pinggang. Dia perhatikan orang yang tegak di ujung serambi sana. Namun kegelapan tidak mungkin baginya untuk melihat dengan jelas, apalagi mengenali siapa adanya orang itu. Karenanya dia lalu pergi mengambil lampu minyak yang menempel di tembok. Dengan pemantik yang ada di atas meja dinyalakan lampu itu. Sambil mengacungkan lampu minyak tinggi-tinggi dia menghampiri orang yang tegak di ujung serambi. Begitu sampai dihadapan sosok itu dan cahaya lampu menerangi wajah serta sebagian tubuh orang itu, tersiraplah darah si lelaki paruh baya.
Wajah manusia itu begitu pucat, kedua matanya nyalang besar tapi tak pernah berkedip. Bibirnya hitam kebiruan dan hembusan nafasnya menusuk tajam. Lebih menyeramkan lagi di bagian leher orang ini terdapat luka menganga sangat besar. Masih terlihat darah yang masih basah disana!
"Idam... Apa maksud kedatanganmu?" bertanya si paruh baya. Hati kecilnya mendadak saja merasa yakin bahwa dia tidak berhadapan dengan manusia.
"K... au... ter.. nya... ta... ma... sih... ingat... ke... pada... ku... Lik.. Kar.. to?"
Lik Karto tersurut mundur. Kali ini karena mendengar suara orang itu yang tidak lain mayat Idam. Suaranya seperti datang dari jurang yang dalam. Kaku... terbata-bata...
“ K..au..li...hat..keada...an..ku “
Mayat Idam menyeringai. Sehingga memperlihatkan deretan gigi yang entah mengapa terlihat sangat menyeramkan.
“ I..ni...se...mua..ka..re..na mu. Ma...lam i..ni a...ku a...kan mem....ba...wa mu ber...sa..ma ku”
“ Ma...lam be...ri...kutnya Sa...song...ko ya...ng se...ka...rang te...ngah ber...sem...bu...nyi di da...lam... ru...mah i...ni “
Lik Karto tercekat mendengar hal itu. Bulu kuduknya meremang. Nalurinya mengatakan bahwa nyawanya tengah terancam!
“ Pergilah, kau telah mati. Alam mu bukan disini. Kembalilah ke alam kubur mu !”
Teriakan Lik Karto gemetar. Di hadapannya mayat Idam berjalan dengan kaku tertatih tatih. Kedua tangannya terjulur ke depan. Mengarah ke leher Lik Karto.
Quote:
Mengumpulkan keberanian yang dimilikinya. Lelaki paruh baya melangkah mudur. Setelah hampir sampai depan pintu. Tangan kanannya meraba –raba dinding di belakangnya. Tangannya menyentuh sebuah tongkat kayu yang biasanya di pergunakan untuk memukul kasur. Di genggamnya kayu itu erat –erat. Tanpa menunggu lebih lama dia ayunkan tongkat kayunya, memukul ke arah kepala si muka pucat. Dari mulut Mayat Idam terdengar suara menggerang. Tangan kanannya di ulurkan. Lik Karto menjerit keras ketika pergelangan tangannya tahu-tahu sudah dicekal. Dan bukan hanya dicekal. Detik itu juga terdengar berderak. Tulang lengannya dicengkeram hancur hingga tangan itu kini terkulai dan tongkat kayu yang tadi dipegangnya terlepas jatuh ke lantai!
Sementara lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri juga terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di lantai kayu serta merta dijilat api! Sambil melolong kesakitan Lik Karto bermaksud putar tubuh, masuk menghambur ke dalam rumah lewat pintu. Akan tetapi, Idam yang telah menjadi mayat hidup dengan cepat mencengkeram pundak Lik Karto dengan erat. Lelaki paruh baya itu mencoba melawan untuk melepaskan diri. Semua usahanya sia –sia belaka.
Cengkeraman mayat hidup itu sungguh kuat. Lalu dengan cepat mayat hidup itu membanting tubuh Lik Karto ke lantai. Terdengar suara berderak hancurnya tulang dada dan patahnya tulang-tulang iga Lik Karto. Jantungnya pecah. Darah menyembur dari mulutnya. Terkapar di lantai serambi tanpa nyawa lagi. Sementara kobaran api semakin besar menyebar lantai dan dinding serta langit-langit serambi! Saat itu juga serambi dilanda kobaran api! Mayat Idam berdiri kaku memperhatikan serambi rumah yang telah menjadi terang karena kobaran api. Perlahan –lahan sosok tubuh itu diselimuti asap berwarna kelabu. Semakin tebal. Tatkala asap itu sirna. Maka sesosok mayat itu juga turut hilang entah kemana.
Sementara lampu minyak yang tadi dipegangnya di tangan kiri juga terlepas mental dan jatuh di lantai. Minyak yang berceceran di lantai kayu serta merta dijilat api! Sambil melolong kesakitan Lik Karto bermaksud putar tubuh, masuk menghambur ke dalam rumah lewat pintu. Akan tetapi, Idam yang telah menjadi mayat hidup dengan cepat mencengkeram pundak Lik Karto dengan erat. Lelaki paruh baya itu mencoba melawan untuk melepaskan diri. Semua usahanya sia –sia belaka.
Cengkeraman mayat hidup itu sungguh kuat. Lalu dengan cepat mayat hidup itu membanting tubuh Lik Karto ke lantai. Terdengar suara berderak hancurnya tulang dada dan patahnya tulang-tulang iga Lik Karto. Jantungnya pecah. Darah menyembur dari mulutnya. Terkapar di lantai serambi tanpa nyawa lagi. Sementara kobaran api semakin besar menyebar lantai dan dinding serta langit-langit serambi! Saat itu juga serambi dilanda kobaran api! Mayat Idam berdiri kaku memperhatikan serambi rumah yang telah menjadi terang karena kobaran api. Perlahan –lahan sosok tubuh itu diselimuti asap berwarna kelabu. Semakin tebal. Tatkala asap itu sirna. Maka sesosok mayat itu juga turut hilang entah kemana.
Quote:
Desa Sambirejo yang tadi malam itu sebelumnya tenggelam dalam udara sejuk dan kesunyi-senyapan mendadak saja berubah menjadi hingar bingar. Di sebelah utara tampak kobaran api membakar sebuah rumah. Di sebelah timur terdengar pekik jerit orang-orang desa. Suara kentongan titir terdengar bersahutan beberapa kali. Di jurusan lain terdengar teriakan - teriakan orang sambil berlarian membawa ember – ember, panci, kantong plastik berisi air.
Sasongko duduk lesu di atas hamparan rumput pinggir halaman rumah Lik Karto. Mukanya kuyu. Di hadapannya rumah yang semalam ditinggali sebagian sampai ruang tengah tinggal puing –puing dilalap api. Kayu –kayu berserakan menghitam mengepulkan asap. Di beberapa tempat masih ada bara merah yang tersisa. Para penduduk bergotong royong membersihkan reruntuhan itu.
Disisi lain tampak Mbok Pono menangis sesenggukan di hadapan sesosok mayat yang sudah menghitam di beberapa bagian tubuh. Sehingga mayat itu sangat sulit dikenali. Dari cicncin yang dipakai di jari manis bisa dilihat jika mayat itu adalah Lik Karto. Aroma daging terbakar santer keluar. Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar.
Seorang polisi berpakaian preman menghampiri Sasongko. Badannya yang tinggi tegap dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam, rambut cepak rapi. Wajahnya tampan dan masih muda untuk ukuran polisi berpangkat sersan. Tangannya diulurkan. Dengan lemah Sasongko menyambut uluran tangan itu.
“ Jatmiko “, polisi berpakaian preman itu menyebutkan namanya.
“ Sasongko..”
“ Saya akan bertanya beberapa hal kepada saudara Sasongko. Saudara dalam hal ini sebagai saksi yang akan sangat dibutuhkan keterangannya “
“ Iya pak, sebisa mungkin saya akan membantu bapak dan kepolisian untuk mengungkap kasus ini “
Polisi berpangakat sersan yang bernama Jatmiko itu tersenyum ramah. Disela –sela pemeriksaan oleh polisi yang bernama Jatmiko. Sasongko berkali –kali menghela nafas. Tubuh dan pikirannya serasa letih dan capek sekali. Sasongko mulai penuturannya dari awal sebelum kejadian di malam itu.
“ Semalam saya tidur cukup larut. Berbincang –bincang dengan mendiang korban. Mendiang Lik Karto masih sempat mengantarkan saya ke kamar malam tadi “
Sasongko menghentikan perkataannya.
“ Saya tidak mengira kalu pagi buta tadi ada kecelakaan kebakaran dan merenggut nyawa Lik Karto “
Mata pemuda itu menerawang jauh.
“ Apakah saudara tidak mendengar sesuatu atau hal yang mencurigakan dini hari tadi? “
“ Saya rasa tidak Pak. Saya tidak mendengar hal –hal yang mencurigakan. Mungkin karena terlalu lelap “
“ Coba diingat –ingat lagi “
Jatmiko mencoba mengorek keterangan dari pemuda di hadapannya itu. Lalu polisi berpangkat sersan itu mengeluarkan bungkusan rokok dari saku jaket hitamnya, menyodorkan ke depan muka Sasongko.
“ Ini untuk sekedar membuat pikiran segar “
Sasongko tersenyum kiku lalu ia ambil sebatang, dan Jatmiko menyulutkan korek api pada rokok yang telah menempel di sela-sela bibir Sasongko. Setelah ia melakukan hal yang sama dan membuang asap rokok. Asap putih itu membumbung dan berpendar diterpa angin
Sasongko terdiam sejenak. Pemuda ini seperti berusaha membuka lembaran buku usang yang ada di pikirannya. Sambil sesekali menghisap rokoknya dalam –dalam.
“ Saya sempat mendengar suara membangunkan tidur lelap saya. Itu suara ibu...ya suara Ibu “
“ Ibu saudara ?”
Jatmiko menghentikan hisapan rokoknya yang masih separuh itu.
“ Apakah perempuan tua itu?” Jatmiko menunjuk ke arah Mbok Pono yang masih menangis di teras tetangga. Beberapa orang perempuan mencoba memmbujuk dan menenangkan.
“ Bukan..Ibu saya sudah meninggal “
Jatmiko menelan ludah.
“ Maaf....”
“ Beberapa kali ibu saya datang menyelamatkan nyawa saya. Kecelakaan bus kemarin di Karangmojo. Dan yang terakhir tadi pagi. Kalau ibu saya tidak membangunkan. Saya yakin pagi ini akan menjadi mayat dan dimasukkan ke dalam kantung mayat itu “
Jatmiko memandang tajam ke arah pemuda yang duduk lesu di hadapannya itu. Tiba –tiba ada sesuatu dorongan untuk bertanya.
“ Siapa nama ibu saudara?”
“ Marni... Ibu saya bernama Marni “
“ Sebentar...Marni..Marni “
Jatmiko menyebut nama Marni berulang –ulang. Sembari mengetuk – ngetukan jari telunjuknya ke lututnya sendiri.
“ Saya seperti tidak asing dengan nama itu “
Jatmiko seperti bergumam pada dirinya sendiri.
“ Ibu saya meninggal akibat kecelakaan dua hari yang lalu “
Sasongko tersenyum getir. Tenggorokannya seperti tercekik.
“ Ya..saya ingat kasus kecelakann itu. Kebetulan saya yang menangani “
Sasongko terdiam. Kembali kedua matanya berkaca –kaca. Kesedihan seketika menyergap jiwanya. Lirih sekali Sasongko bergumam.
“ Saya tidak yakin kalau ibu meninggal dengan cara bunuh diri dengan menabrakkan diri ke arah bus yang berjalan sangat kencang. Ibu saya seorang wanita yang kuat. Tidak mungkin beliau berlaku nista seperti itu “
Sasongko berulang kali menggeleng –gelengkan kepalanya.
Jatmiko beringsut mendekati Sasongko. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti takut jika ada orang yang mendengar.
“ Saya pun berpikir seperti itu. Karena ada saksi mata yang mengatakan kalau tubuh ibu saudara didorong dengan keras saat bus itu datang dengan cepat “
Mata Sasongko terbelalak lebar –lebar. Dipandangi sersan muda yang kini tepat duduk di hadapannya.
“ Apa Bapak bilang? Benarkah seperti itu?”
Sasongko memegang kedua bahu Jatmiko lagu mengguncang –guncangkannya. Beberapa polisi dan penduudk desa sesaat menoleh ke arah mereka berdua. Seorang polisi buru –buru datang ke arah mereka. Namun,dengan isyarat lambaian tangan, Jatmiko menyuruh mereka untuk mundur.
“ Kasus itu sedang kami dalami dan selidiki. Saudara hanya tunggu saja hasilnya “
“ Untuk kasus kebakaran rumah ini sebenarnya saya juga menemukan sesuatu hal yang ganjil “
Jatmiko masih memelankan suaranya.
“ Rumah paklik saya sengaja dibakar?!”
Jatmiko mengangguk pelan. Kemudian polisi itu berkata
“ Saya tadi sudah memeriksa kondisi korban yang terbakar. Ada sesuatu yang aneh menurut saya. Hanya saja, saya belum berani memastikan. Biarlah dokter dan tim forensik yang akan menyelidiki persoalan itu “
“ Saya curiga kejadian itu sebenarnya ada orang lain yang diincar tapi ternyata salah sasaran “
Jatmiko tidak meneruskan kata –katanya.
“ Salah sasaran Pak? Terus siapa sasaran sebenarnya?“
Jatmiko menghela nafas panjang.
“ ..... entahlah. Saya belum bisa berbicara terlalu jauh. Saya khawatir perkiraan itu salah “
“ Baiklah untuk sementara tolong jangan pergi dulu dari Wonosari. Saya sangat membutuhkan saudara dalam dua kasus. Kalau saudara tidak berkeberatan bisa tinggal di rumah. Kebetulan saya sendiri. Ada sesuatu yang ingin saya ketahui lebih dalam lagi “
Sasongko terdiam. Pikirannya terbagi antara pergi ke Muntilan atau menyelesaikan kasus – kasus yang tiba –tiba menderanya bertubi –tubi ini? Tapi kalau benar kecelakaan yang menimpa ibunya karena ada orang lain yang sengaja menciptakan. Alahkah berdosanya sebagai anak jika dia tidak membantu menyelidiki kasus ini hingga tuntas !
“ Baiklah Pak, saya akan ikut dengan njenengan. Saya juga ingin tahu siapa sebenarnya yang membuat ibu saya celaka “
Jatmiko tersenyum. Lalu kedua orang itu beranjak pergi. Sasongko duduk di mobil terbuka milik polres Gunung Kidul. Sirene bergaung tatkala kedua mobil itu berjalan pelan. Dua mobil polisi itu berjalan beriringan meninggalkan desa Sambirejo.
Sasongko duduk lesu di atas hamparan rumput pinggir halaman rumah Lik Karto. Mukanya kuyu. Di hadapannya rumah yang semalam ditinggali sebagian sampai ruang tengah tinggal puing –puing dilalap api. Kayu –kayu berserakan menghitam mengepulkan asap. Di beberapa tempat masih ada bara merah yang tersisa. Para penduduk bergotong royong membersihkan reruntuhan itu.
Disisi lain tampak Mbok Pono menangis sesenggukan di hadapan sesosok mayat yang sudah menghitam di beberapa bagian tubuh. Sehingga mayat itu sangat sulit dikenali. Dari cicncin yang dipakai di jari manis bisa dilihat jika mayat itu adalah Lik Karto. Aroma daging terbakar santer keluar. Semua orang yang berkerumun di tempat itu merasakan kuduk merinding dan tubuh menggeletar.
Seorang polisi berpakaian preman menghampiri Sasongko. Badannya yang tinggi tegap dibalut dengan jaket kulit berwarna hitam, rambut cepak rapi. Wajahnya tampan dan masih muda untuk ukuran polisi berpangkat sersan. Tangannya diulurkan. Dengan lemah Sasongko menyambut uluran tangan itu.
“ Jatmiko “, polisi berpakaian preman itu menyebutkan namanya.
“ Sasongko..”
“ Saya akan bertanya beberapa hal kepada saudara Sasongko. Saudara dalam hal ini sebagai saksi yang akan sangat dibutuhkan keterangannya “
“ Iya pak, sebisa mungkin saya akan membantu bapak dan kepolisian untuk mengungkap kasus ini “
Polisi berpangakat sersan yang bernama Jatmiko itu tersenyum ramah. Disela –sela pemeriksaan oleh polisi yang bernama Jatmiko. Sasongko berkali –kali menghela nafas. Tubuh dan pikirannya serasa letih dan capek sekali. Sasongko mulai penuturannya dari awal sebelum kejadian di malam itu.
“ Semalam saya tidur cukup larut. Berbincang –bincang dengan mendiang korban. Mendiang Lik Karto masih sempat mengantarkan saya ke kamar malam tadi “
Sasongko menghentikan perkataannya.
“ Saya tidak mengira kalu pagi buta tadi ada kecelakaan kebakaran dan merenggut nyawa Lik Karto “
Mata pemuda itu menerawang jauh.
“ Apakah saudara tidak mendengar sesuatu atau hal yang mencurigakan dini hari tadi? “
“ Saya rasa tidak Pak. Saya tidak mendengar hal –hal yang mencurigakan. Mungkin karena terlalu lelap “
“ Coba diingat –ingat lagi “
Jatmiko mencoba mengorek keterangan dari pemuda di hadapannya itu. Lalu polisi berpangkat sersan itu mengeluarkan bungkusan rokok dari saku jaket hitamnya, menyodorkan ke depan muka Sasongko.
“ Ini untuk sekedar membuat pikiran segar “
Sasongko tersenyum kiku lalu ia ambil sebatang, dan Jatmiko menyulutkan korek api pada rokok yang telah menempel di sela-sela bibir Sasongko. Setelah ia melakukan hal yang sama dan membuang asap rokok. Asap putih itu membumbung dan berpendar diterpa angin
Sasongko terdiam sejenak. Pemuda ini seperti berusaha membuka lembaran buku usang yang ada di pikirannya. Sambil sesekali menghisap rokoknya dalam –dalam.
“ Saya sempat mendengar suara membangunkan tidur lelap saya. Itu suara ibu...ya suara Ibu “
“ Ibu saudara ?”
Jatmiko menghentikan hisapan rokoknya yang masih separuh itu.
“ Apakah perempuan tua itu?” Jatmiko menunjuk ke arah Mbok Pono yang masih menangis di teras tetangga. Beberapa orang perempuan mencoba memmbujuk dan menenangkan.
“ Bukan..Ibu saya sudah meninggal “
Jatmiko menelan ludah.
“ Maaf....”
“ Beberapa kali ibu saya datang menyelamatkan nyawa saya. Kecelakaan bus kemarin di Karangmojo. Dan yang terakhir tadi pagi. Kalau ibu saya tidak membangunkan. Saya yakin pagi ini akan menjadi mayat dan dimasukkan ke dalam kantung mayat itu “
Jatmiko memandang tajam ke arah pemuda yang duduk lesu di hadapannya itu. Tiba –tiba ada sesuatu dorongan untuk bertanya.
“ Siapa nama ibu saudara?”
“ Marni... Ibu saya bernama Marni “
“ Sebentar...Marni..Marni “
Jatmiko menyebut nama Marni berulang –ulang. Sembari mengetuk – ngetukan jari telunjuknya ke lututnya sendiri.
“ Saya seperti tidak asing dengan nama itu “
Jatmiko seperti bergumam pada dirinya sendiri.
“ Ibu saya meninggal akibat kecelakaan dua hari yang lalu “
Sasongko tersenyum getir. Tenggorokannya seperti tercekik.
“ Ya..saya ingat kasus kecelakann itu. Kebetulan saya yang menangani “
Sasongko terdiam. Kembali kedua matanya berkaca –kaca. Kesedihan seketika menyergap jiwanya. Lirih sekali Sasongko bergumam.
“ Saya tidak yakin kalau ibu meninggal dengan cara bunuh diri dengan menabrakkan diri ke arah bus yang berjalan sangat kencang. Ibu saya seorang wanita yang kuat. Tidak mungkin beliau berlaku nista seperti itu “
Sasongko berulang kali menggeleng –gelengkan kepalanya.
Jatmiko beringsut mendekati Sasongko. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri seperti takut jika ada orang yang mendengar.
“ Saya pun berpikir seperti itu. Karena ada saksi mata yang mengatakan kalau tubuh ibu saudara didorong dengan keras saat bus itu datang dengan cepat “
Mata Sasongko terbelalak lebar –lebar. Dipandangi sersan muda yang kini tepat duduk di hadapannya.
“ Apa Bapak bilang? Benarkah seperti itu?”
Sasongko memegang kedua bahu Jatmiko lagu mengguncang –guncangkannya. Beberapa polisi dan penduudk desa sesaat menoleh ke arah mereka berdua. Seorang polisi buru –buru datang ke arah mereka. Namun,dengan isyarat lambaian tangan, Jatmiko menyuruh mereka untuk mundur.
“ Kasus itu sedang kami dalami dan selidiki. Saudara hanya tunggu saja hasilnya “
“ Untuk kasus kebakaran rumah ini sebenarnya saya juga menemukan sesuatu hal yang ganjil “
Jatmiko masih memelankan suaranya.
“ Rumah paklik saya sengaja dibakar?!”
Jatmiko mengangguk pelan. Kemudian polisi itu berkata
“ Saya tadi sudah memeriksa kondisi korban yang terbakar. Ada sesuatu yang aneh menurut saya. Hanya saja, saya belum berani memastikan. Biarlah dokter dan tim forensik yang akan menyelidiki persoalan itu “
“ Saya curiga kejadian itu sebenarnya ada orang lain yang diincar tapi ternyata salah sasaran “
Jatmiko tidak meneruskan kata –katanya.
“ Salah sasaran Pak? Terus siapa sasaran sebenarnya?“
Jatmiko menghela nafas panjang.
“ ..... entahlah. Saya belum bisa berbicara terlalu jauh. Saya khawatir perkiraan itu salah “
“ Baiklah untuk sementara tolong jangan pergi dulu dari Wonosari. Saya sangat membutuhkan saudara dalam dua kasus. Kalau saudara tidak berkeberatan bisa tinggal di rumah. Kebetulan saya sendiri. Ada sesuatu yang ingin saya ketahui lebih dalam lagi “
Sasongko terdiam. Pikirannya terbagi antara pergi ke Muntilan atau menyelesaikan kasus – kasus yang tiba –tiba menderanya bertubi –tubi ini? Tapi kalau benar kecelakaan yang menimpa ibunya karena ada orang lain yang sengaja menciptakan. Alahkah berdosanya sebagai anak jika dia tidak membantu menyelidiki kasus ini hingga tuntas !
“ Baiklah Pak, saya akan ikut dengan njenengan. Saya juga ingin tahu siapa sebenarnya yang membuat ibu saya celaka “
Jatmiko tersenyum. Lalu kedua orang itu beranjak pergi. Sasongko duduk di mobil terbuka milik polres Gunung Kidul. Sirene bergaung tatkala kedua mobil itu berjalan pelan. Dua mobil polisi itu berjalan beriringan meninggalkan desa Sambirejo.
Quote:
SAAT ITU menjelang fajar menyingsing. Kesunyian dirobek oleh suara roda sepeda yang beradu dengan jalanan berbatu dan bertanah merah. Seseorang wanita tampak bersemangat sekali mengayuh sepeda itu. Dibagian jok belakang sepeda itu terdapat dua kronjot yang berisi penuh sayur –sayuran yang masih segar. Dari bibir perempuan itu seskali terdengar senandung lirih.
Beberapa kali perempuan di atas sepeda ini tersenyum dan menyapa beberapa orang yang ditemui di sepanjang perjalanan.
“ Monggo Lik Soma..”
Dia menyapa kepada seorang lelaki tua yang berjalan pelan sambil memanggul pacul di bahu kirinya. Lelaki tua yang dipanggil Lik Soma itu membalas tersenyum.
“ Hati –hati di jalan Marni. Semoga dagangan mu hari ini laris “
“ Maturnuwun Lik...”
Tubuh perempuan di atas sepeda itu segera menghilang di kerapatan pepohonan. Setelah melewati beberapa belokan. Akhirnya, perempuan yang ternyata Marni itu. Menghentikan kayuhan sepedanya. Di depannya jalan besar terpampang jelas. Beberapa kendaraan berlalu lalang. Cahaya yang keluar dari lampu mobil, truk dan bus tampak sesekali berkelebat. Marni berdiri di tepi jalan itu. Sepeda ia pegang berada di sebelah kanan tubuhnya. Kedua tangan memegang setang kanan kiri. Dia berdiri lama di tepi jalan itu. Menunggu sepi untuk menyeberang. Kendaraan masih saja lewat berlalu lalang.
“ Tumben, masih pagi akan tetapi suasana jalan sudah begitu ramai. Apa karena hari ini senin? “ Marni bergumam dalam hati.
Rambut panjang ikalnya sesekali berkibar dihembus angin. Dia masih saja berdiri menunggu. Tidak disadari sama sekali sebuah bayangan mengendap –endap dan memperhatikan dengan seksama ke arah Marni. Sesosok tubuh itu bersembunyi di balik pepohonan tidak jauh dari tepi jalan tempat Marni berdiri.
Sebuah kilatan lampu menyala dari sebuah bus yang melaju sangat kencang dari arah barat. Sesosok tubuh di balik pepohonan itu dengan cepat keluar dari tempat persembunyian dan berlari dengan cepat ke arah Marni. Perempuan itu terkejut tatkala sebuah dorongan menghempaskan tubuhnya ke depan. Pada saat yang bersamaan bus yang tadi melaju dengan kencang muncul. Tak ayal lagi tubuh itu disambar oleh bus itu. Hingga terpental belasan meter. Keempat ban besar berdecit dengan keras akibat injakan rem mendadak dari pengemudinya. Terdengar teriakan kaget dari orang –orang di dalam bus. Suasana bus yang tadi remang kini terang benderang. Sopir dan kernet bus segera turun. Memeriksa seseorang yang telah ditabraknya. Beberapa kendaraan dan beberapa orang yang akan berangkat ke pasar sontak berkumpul di tepi jalan itu. Pagi itu tepi jalan langsung padat oleh orang –orang dan kendaraan yang berhenti.
Sesosok tubuh lelaki tua dengan bekas codet di pipi kiri terlihat diantara kerumunan itu. Ia tampak menyeringai ke arah Marni yang terbujur di atas aspal. Darah menggenang di aspal itu. Kepala perempuan malang itu rengkah mengerikan. Sekujur tubuhnya lecet parah beradu dengan aspal. Lalu dengan perlahan lelaki tua itu pergi dengan cara menerobos kerumunan orang yang mulai padat. Beberapa orang menggerutu karena terinjak kakinya.
Tanpa disadari oleh lelaki tua tadi. Ada sepasang mata yang terus mengawasi dan dengan perlahan –lahan menguntit kemana arah lelaki tua tadi berjalan. Sampai di sebuah belokan lelaki tua dengan codet di pipi itu berhenti menghentikan langkah kaki nya. Lalu menoleh ke belakang. Dia merasa seperti sedang diikuti oleh seseorang. Akan tetapi, dibelakang tidak ada siapa –siapa hanya pepohonan dan semak belukar yang mulai meremang diguyur cahaya matahari pagi. Bergegas lelaki tua itu mempercepat langkahnya. Tubuhnya menghilang dibalik semak belukar di tepi desa.
Beberapa kali perempuan di atas sepeda ini tersenyum dan menyapa beberapa orang yang ditemui di sepanjang perjalanan.
“ Monggo Lik Soma..”
Dia menyapa kepada seorang lelaki tua yang berjalan pelan sambil memanggul pacul di bahu kirinya. Lelaki tua yang dipanggil Lik Soma itu membalas tersenyum.
“ Hati –hati di jalan Marni. Semoga dagangan mu hari ini laris “
“ Maturnuwun Lik...”
Tubuh perempuan di atas sepeda itu segera menghilang di kerapatan pepohonan. Setelah melewati beberapa belokan. Akhirnya, perempuan yang ternyata Marni itu. Menghentikan kayuhan sepedanya. Di depannya jalan besar terpampang jelas. Beberapa kendaraan berlalu lalang. Cahaya yang keluar dari lampu mobil, truk dan bus tampak sesekali berkelebat. Marni berdiri di tepi jalan itu. Sepeda ia pegang berada di sebelah kanan tubuhnya. Kedua tangan memegang setang kanan kiri. Dia berdiri lama di tepi jalan itu. Menunggu sepi untuk menyeberang. Kendaraan masih saja lewat berlalu lalang.
“ Tumben, masih pagi akan tetapi suasana jalan sudah begitu ramai. Apa karena hari ini senin? “ Marni bergumam dalam hati.
Rambut panjang ikalnya sesekali berkibar dihembus angin. Dia masih saja berdiri menunggu. Tidak disadari sama sekali sebuah bayangan mengendap –endap dan memperhatikan dengan seksama ke arah Marni. Sesosok tubuh itu bersembunyi di balik pepohonan tidak jauh dari tepi jalan tempat Marni berdiri.
Sebuah kilatan lampu menyala dari sebuah bus yang melaju sangat kencang dari arah barat. Sesosok tubuh di balik pepohonan itu dengan cepat keluar dari tempat persembunyian dan berlari dengan cepat ke arah Marni. Perempuan itu terkejut tatkala sebuah dorongan menghempaskan tubuhnya ke depan. Pada saat yang bersamaan bus yang tadi melaju dengan kencang muncul. Tak ayal lagi tubuh itu disambar oleh bus itu. Hingga terpental belasan meter. Keempat ban besar berdecit dengan keras akibat injakan rem mendadak dari pengemudinya. Terdengar teriakan kaget dari orang –orang di dalam bus. Suasana bus yang tadi remang kini terang benderang. Sopir dan kernet bus segera turun. Memeriksa seseorang yang telah ditabraknya. Beberapa kendaraan dan beberapa orang yang akan berangkat ke pasar sontak berkumpul di tepi jalan itu. Pagi itu tepi jalan langsung padat oleh orang –orang dan kendaraan yang berhenti.
Sesosok tubuh lelaki tua dengan bekas codet di pipi kiri terlihat diantara kerumunan itu. Ia tampak menyeringai ke arah Marni yang terbujur di atas aspal. Darah menggenang di aspal itu. Kepala perempuan malang itu rengkah mengerikan. Sekujur tubuhnya lecet parah beradu dengan aspal. Lalu dengan perlahan lelaki tua itu pergi dengan cara menerobos kerumunan orang yang mulai padat. Beberapa orang menggerutu karena terinjak kakinya.
Tanpa disadari oleh lelaki tua tadi. Ada sepasang mata yang terus mengawasi dan dengan perlahan –lahan menguntit kemana arah lelaki tua tadi berjalan. Sampai di sebuah belokan lelaki tua dengan codet di pipi itu berhenti menghentikan langkah kaki nya. Lalu menoleh ke belakang. Dia merasa seperti sedang diikuti oleh seseorang. Akan tetapi, dibelakang tidak ada siapa –siapa hanya pepohonan dan semak belukar yang mulai meremang diguyur cahaya matahari pagi. Bergegas lelaki tua itu mempercepat langkahnya. Tubuhnya menghilang dibalik semak belukar di tepi desa.
knoopy dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Kutip
Balas