- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#420
Quote:
DI Serambi sebuah rumah sederhana yang diterangi satu lampu dengan watt kecil. Cahaya lampu yang pucat remang –remang menyirami dua sosok tubuh yang sedang duduk di sebuah kursi rotan. Seorang pemuda nampak duduk beku. Air mukanya kuyu. Kedua mata terlihat sembab. Disudut matanya masih ada sisa air mata yang mengambang. Sesekali bahunya tergoncang –goncang menahan kesedihan yang secara tiba –tiba datang menyergap.
Persis duduk di depannya terpisah sebuah kursi bulat terbuat dari kayu duduk lelaki paruh baya. Wajah lelaki ini hampir sama parasnya. Menampakkan kesedihan yang mendalam. Dua cangkir kopi yang berada di atas meja masih nampak penuh isinya. Sama sekali belum tersentuh. Suasana yang beku dan kaku itu dipecahkan oleh suara lelaki paruh baya itu. Pelan dan sangat lirih.
“ Kejadiannya seperti itu, paklik juga tidak tahu persis kejadian yang menimpa ibu mu “
“ Pas pagi itu, paklik langsung minta tolong Idam untuk menjemput mu di Nglipar. Hanya saja Gusti Allah berkata lain.....”
Lelaki itu yang tidak lain Lik Karto menarik nafas panjang. Tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Sesak dan berat. Pandangan mata yang sudah mulai lamur itu menerawang jauh.
“ Saya juga malam itu sudah ada firasat Lik..saya mimpi ketemu ibu membawa secarik bendera putih yang basah oleh darah. Darah yang masih segar “
Kesedihan yang sedari tadi ditahan dan sudah nyaris reda. Bergolak lagi. Pemuda itu menghentikan perkataannya yang bergetar. Dua bulir air mata menetes lagi dari matanya. Diusap air mata itu menggunakan punggung tangannya.
“ Ternyata seperti itu kejadiannya. Ibu telah meninggal. Satu –satunya keluarga terdekat yang saya miliki. Sudah tidak ada...”
Pemuda yang tidak lain Sasongko itu menangis terisak –isak. Lik Karto memandang Sasongko dengan perasaan sedih. Lalu ia berdiri dan duduk kursi di sebelah Sasongko. Penuh rasa kasih sayang di belainya kepala pemuda itu. Sasongko menangis terisak –isak. Beberapa lama Lik Karto membiarkan pemuda belia itu mencurahkan kesedihannya. Setelah bisa menguasai perasaannya kembali. Sasongko menarik nafas panjang. Disandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Di luar malam semakin larut. Gelegar guntur sesekali terdengar. Tidak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi. Suara berisik serangga malam tergantikan oleh derai air hujan yang mencurah dari langit.
“ Besok pagi selepas subuh, saya akan pergi ke Muntilan Lik. Saya ingin menemui ibu meskipun hanya ketemu gundukan makam dan nisannya. Saya sudah puas “
“ Pak lik tidak bisa menahan mu Ngger. Pergilah ke Muntilan. Toh, disana juga ada budhe mu “
Kau juga bisa memulai lembaran baru disana. Mencari pekerjaan disana. Tinggalkan Wonosari “
“ Iya Lik Karto. Maturnuwun. Terimakasih banyak. Selama ini saya selalu merepotkan keluarga Lik Karto “
Lelaki paruh baya itu tersenyum. Lalu dengan malas di raihnya kopi di dalam gelas yang sudah berubah menjadi dingin. Diteguk cairan hitam itu sampai bersisa setengah gelas. Gelas itu lalu ditaruh kembali di atas meja.
“ Sudah larut malam. Kau beristirahatlah dulu di dalam. Disini sangat dingin. Hujan turun begitu lebat. Besok pagi supaya tenaga sudah pulih untuk melakukan perjalanan jauh. Wonosari Muntilan bukan jarak yang pendek “
Sasongko mengangguk lemah. Setengah gontai ia berdiri dari tempat duduknya. Berjalan ke arah bilik yang berada di samping ruang tengah. Sasongko membuka pintu bilik yang memang sengaja tidak di kunci. Lemari berpintu dua tanpa kaca dan tempat tidur dari kayu dengan kasur tipis diatasnya. Sprei berwarna biru laut dengan sulaman bunga anggrek di setiap sisinya. Sasongko menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Kepedihan hati dan setumpuk keletihan segera saja membuat kelopak matanya sudah sangat terasa berat. Pelan –pelan pemuda itu terpejam dan terlelap. Lemari dua pintu dari kayu perlahan –lahan terbuka dengan sendirinya. Menganga lebar. Sesosok tubuh muncul dari dalam lemari. Seorang perempuan berbaju putih panjang lusuh penuh dengan bercak tanah merah. Luka besar yang ada di pelipisnya tampak bekedut membiru dan memercikkan darah. Memandang tak berkedip ke arah Sasongko yang sudah terbang ke alam mimpi. Meski resah.
Persis duduk di depannya terpisah sebuah kursi bulat terbuat dari kayu duduk lelaki paruh baya. Wajah lelaki ini hampir sama parasnya. Menampakkan kesedihan yang mendalam. Dua cangkir kopi yang berada di atas meja masih nampak penuh isinya. Sama sekali belum tersentuh. Suasana yang beku dan kaku itu dipecahkan oleh suara lelaki paruh baya itu. Pelan dan sangat lirih.
“ Kejadiannya seperti itu, paklik juga tidak tahu persis kejadian yang menimpa ibu mu “
“ Pas pagi itu, paklik langsung minta tolong Idam untuk menjemput mu di Nglipar. Hanya saja Gusti Allah berkata lain.....”
Lelaki itu yang tidak lain Lik Karto menarik nafas panjang. Tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Sesak dan berat. Pandangan mata yang sudah mulai lamur itu menerawang jauh.
“ Saya juga malam itu sudah ada firasat Lik..saya mimpi ketemu ibu membawa secarik bendera putih yang basah oleh darah. Darah yang masih segar “
Kesedihan yang sedari tadi ditahan dan sudah nyaris reda. Bergolak lagi. Pemuda itu menghentikan perkataannya yang bergetar. Dua bulir air mata menetes lagi dari matanya. Diusap air mata itu menggunakan punggung tangannya.
“ Ternyata seperti itu kejadiannya. Ibu telah meninggal. Satu –satunya keluarga terdekat yang saya miliki. Sudah tidak ada...”
Pemuda yang tidak lain Sasongko itu menangis terisak –isak. Lik Karto memandang Sasongko dengan perasaan sedih. Lalu ia berdiri dan duduk kursi di sebelah Sasongko. Penuh rasa kasih sayang di belainya kepala pemuda itu. Sasongko menangis terisak –isak. Beberapa lama Lik Karto membiarkan pemuda belia itu mencurahkan kesedihannya. Setelah bisa menguasai perasaannya kembali. Sasongko menarik nafas panjang. Disandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Di luar malam semakin larut. Gelegar guntur sesekali terdengar. Tidak lama kemudian hujan deras mengguyur bumi. Suara berisik serangga malam tergantikan oleh derai air hujan yang mencurah dari langit.
“ Besok pagi selepas subuh, saya akan pergi ke Muntilan Lik. Saya ingin menemui ibu meskipun hanya ketemu gundukan makam dan nisannya. Saya sudah puas “
“ Pak lik tidak bisa menahan mu Ngger. Pergilah ke Muntilan. Toh, disana juga ada budhe mu “
Kau juga bisa memulai lembaran baru disana. Mencari pekerjaan disana. Tinggalkan Wonosari “
“ Iya Lik Karto. Maturnuwun. Terimakasih banyak. Selama ini saya selalu merepotkan keluarga Lik Karto “
Lelaki paruh baya itu tersenyum. Lalu dengan malas di raihnya kopi di dalam gelas yang sudah berubah menjadi dingin. Diteguk cairan hitam itu sampai bersisa setengah gelas. Gelas itu lalu ditaruh kembali di atas meja.
“ Sudah larut malam. Kau beristirahatlah dulu di dalam. Disini sangat dingin. Hujan turun begitu lebat. Besok pagi supaya tenaga sudah pulih untuk melakukan perjalanan jauh. Wonosari Muntilan bukan jarak yang pendek “
Sasongko mengangguk lemah. Setengah gontai ia berdiri dari tempat duduknya. Berjalan ke arah bilik yang berada di samping ruang tengah. Sasongko membuka pintu bilik yang memang sengaja tidak di kunci. Lemari berpintu dua tanpa kaca dan tempat tidur dari kayu dengan kasur tipis diatasnya. Sprei berwarna biru laut dengan sulaman bunga anggrek di setiap sisinya. Sasongko menghempaskan tubuh ke atas ranjang. Kepedihan hati dan setumpuk keletihan segera saja membuat kelopak matanya sudah sangat terasa berat. Pelan –pelan pemuda itu terpejam dan terlelap. Lemari dua pintu dari kayu perlahan –lahan terbuka dengan sendirinya. Menganga lebar. Sesosok tubuh muncul dari dalam lemari. Seorang perempuan berbaju putih panjang lusuh penuh dengan bercak tanah merah. Luka besar yang ada di pelipisnya tampak bekedut membiru dan memercikkan darah. Memandang tak berkedip ke arah Sasongko yang sudah terbang ke alam mimpi. Meski resah.
Quote:
Hujan turun menggila malam itu. Bunyi derunya menegakkan bulu roma. Apalagi angin bertiup kencang, memukul daun pepohonan, menambah seramnya pendengaran. Sesekali kilat menyambar seperti hendak membelah bumi di malam gelap gulita itu. Kemudian menggelegar suara guntur. Bumi bergoncang seperti mau amblas, langit seolah-olah hendak runtuh!
“Hujan keparat!” maki sesosok tubuh berpakaian hitam yang lari di bawah hujan lebat itu.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di tepi desa itu. Terlihat hanya pepohonan besar dan semak belukar. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Seorang lelaki tua dengan wajah boleh dibilang menyeramkan. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Kepala depan hampir licin tidak ada rambut yang tumbuh disana tetapi kepala bagian belakang rambut memutih terjurah panjang. Mukanya cekung, berjanggut dan berkumis lebat berwarna kelabu. Di pipi kirinya terdapat sodetan bekas luka. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila! Kalau bukan karena perempuan yang selalu memberiku kehangatan itu. Mana sudi aku tengah malam hujan begini keluyuran di jalanan” makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya manakala di hadapannya sebuah area pekuburan menghampar dengan bisu. Hanya guyuran hujan yang masih saja tercurah dari langit. Pandangan matanya tajam menatap ke muka. Pemandangan sunyi dan suram. Hitam dan mencekam. Sesekali suara lolongan anjing dikejauhan mengiringi malam, memperdengarkan lengkingannya yang serak. Pagar yang mengelilinginya bengkok dan hampir roboh. Deretan nisan-nisan terpancang di atas gundukan tanah, entah berapa umurnya, Sebagian sudah lapuk hingga tak lagi bernama.
Sekali lagi ia memandang berkeliling. Seperti memastikan di area pemakaman itu hanya dia seorang diri tidak ada siapa –siapa lagi. Setelah merasa puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan bantuan cahaya kilat yang sering kali menyambar melangkah tenang di jalan kecil yang kanan kirinya dipenuhi gundukan – gundukan tanah serta batu- batu dan papan nisan. Di bantu ingatannya siang tadi ketika dengan sengaja mengintai pemakaman ini dari jauh. Orang itu akhirnya menemukan tempat yang ia tuju. Ia pandangi gundukan tanah yang masih baru dengan nisan yang masih baru juga, terbuat dari kayu tidak jauh dari kakinya. Di atas papan nisan itu tertera sebuah nama “ IDAM“
Ada suara berkepak tiba –tiba seperti meningkahi suara hujan yang sudah jauh lebih reda. Orang itu menoleh. Seekor kelelawar terbang dari rerimbunan dedaunan pohon kamboja yang tumbuh dnegan subur. Orang itu menghela nafas. Ia merogoh saku kemejanya yang sudah basah kuyup. Mengeluarkan sesuatu yang kemudian ia letakkan tepat di depan kayu nisan. Bau harum semerbak menusuk hidung. Menggunakan tangannya benda kecil itu diremas –remas sehingga hancur menjadi serpihan kecil –kecil. Serpihan itu ditaburkan ke arah gundukan makam.
Anehnya dari tanah gundukan itu merembes asap putih bersemu kelabu, meliuk –liuk diterpa angin malam. Bau wangi seperti bau cendana dan bunga kantil cepat memenuhi udara di sekitar tempat lelaki tua misterius ini bersila. Matanya terpejam rapat dan bibirnya komat –kamit membaca mantera. Tak lama kemudian, tubuh lelaki tua itu berguncang –guncang dengan keras. Butir –butir keringat sebesar biji jagung mulai membasahi jidat. Mantera yang keluar dari bibirnya kian keras dan nyaring.
" .....Ya, penguasa dan para penghuni dasar kegelapan. Tanpa ku utarakan lagi sesungguhnya engkau telah mengetahui apa yang aku inginkan. Aku harap kau berkenan mengabulkannya!"
“ Bangkitlah. Bangkit. Bangkit !"
Asap yang keluar dari gundukan tanah itu keluar semakin banyak. Keringat di wajah lelaki itu semakin membanjiri. Tubuhnya yang bersila bergoyang –goyang, terguncang –guncang, gemetar dengan hebat sedangkan kedua lengan yang menekan di dada menjadi kaku dan tegang. Gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika diperhatikan lebih lanjut. Gulungan asap putih kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula- mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar berbentuk tubuh manusia!
Sesosok pemuda kurus tinggi di lehernya menganga luka yang masih terlihat basah oleh darah. Kain kafan putih terlihat kotor oleh tanah merah dan di beberapa tempat bernoda bercak merah. Darah! Wajah pemuda itu putih pucat. Bibir membiru mulai pecah –pecah. Aroma bacin mayat santer menghambur. Lalu suara desah yang berat mulai terdengar. Suara itu bergema seperti berasal dari dasar sumur yang teramat dalam.
Sayup –sayup terdengar suara anjing melolong yang tidak putus –putus. Lelaki tua tadi masih berdiam diri. Tidak bergerak dari tempat duduknya. Sejurus kemudian ia membuka mulut.
"Idam... Kau dengar suaraku menyebut namamu?"
Lelaki tua itu bertanya dengan suara bergetar. Idam si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya perlahan dan sangat kaku.
" Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam kematian, merupakan kehidupan sementara. Perlu kau tahu aku bisa membangkitkan mu karena ada setitik rasa kecewa dan kau sebenarnya belum ingin mati kan?! “
Mayat Idam mengangguk kaku.
“ Bila apa yang menjadi niatku dan niat mu telah tercapai, maka kau harus kembali ke sini. Kau dengar Idam...?"
Kembali Idam mengangguk.
" Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar Idam...?"
" Sa... ya... men... de...ngar..." terdengar jawaban Idam. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
"Sekarang kau boleh pergi cucuku. Bunuh seseorang yang bernama Sasongko bawa mayatnya ke hadapan ku ! Karena anak itu kau harus menerima celaka! Pergilah segera. Lakukan semua perintah ku. Balaskan sakit hatimu! “
Mayat Idam lalu berjalan dengan terseok –seok, makin lama makin jauh. Bayangan tubuhnya makin samar dan tiba –tiba lenyap ditelan kegelapan.
“Hujan keparat!” maki sesosok tubuh berpakaian hitam yang lari di bawah hujan lebat itu.
Sekujur tubuh dan pakaiannya basah kuyup. Karenanya dia tak merasa perlu lagi mencari tempat untuk berteduh. Lagi pula di mana akan ditemukan tempat berlindung di tepi desa itu. Terlihat hanya pepohonan besar dan semak belukar. Daun-daun pepohonan besar tidak kuasa membendung curahan air hujan. Kilat menyambar, membuat orang ini terkejut. Sesaat wajahnya tampak jelas dalam terangnya sambaran kilat. Seorang lelaki tua dengan wajah boleh dibilang menyeramkan. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Kepala depan hampir licin tidak ada rambut yang tumbuh disana tetapi kepala bagian belakang rambut memutih terjurah panjang. Mukanya cekung, berjanggut dan berkumis lebat berwarna kelabu. Di pipi kirinya terdapat sodetan bekas luka. Kembali dia menyumpah dalam hati. Baru saja menyumpah geledek kembali menggelegar.
“Benar-benar gila! Kalau bukan karena perempuan yang selalu memberiku kehangatan itu. Mana sudi aku tengah malam hujan begini keluyuran di jalanan” makinya kembali.
Mendadak orang ini hentikan larinya manakala di hadapannya sebuah area pekuburan menghampar dengan bisu. Hanya guyuran hujan yang masih saja tercurah dari langit. Pandangan matanya tajam menatap ke muka. Pemandangan sunyi dan suram. Hitam dan mencekam. Sesekali suara lolongan anjing dikejauhan mengiringi malam, memperdengarkan lengkingannya yang serak. Pagar yang mengelilinginya bengkok dan hampir roboh. Deretan nisan-nisan terpancang di atas gundukan tanah, entah berapa umurnya, Sebagian sudah lapuk hingga tak lagi bernama.
Sekali lagi ia memandang berkeliling. Seperti memastikan di area pemakaman itu hanya dia seorang diri tidak ada siapa –siapa lagi. Setelah merasa puas, ia lalu memasuki kompleks pekuburan. Dengan bantuan cahaya kilat yang sering kali menyambar melangkah tenang di jalan kecil yang kanan kirinya dipenuhi gundukan – gundukan tanah serta batu- batu dan papan nisan. Di bantu ingatannya siang tadi ketika dengan sengaja mengintai pemakaman ini dari jauh. Orang itu akhirnya menemukan tempat yang ia tuju. Ia pandangi gundukan tanah yang masih baru dengan nisan yang masih baru juga, terbuat dari kayu tidak jauh dari kakinya. Di atas papan nisan itu tertera sebuah nama “ IDAM“
Ada suara berkepak tiba –tiba seperti meningkahi suara hujan yang sudah jauh lebih reda. Orang itu menoleh. Seekor kelelawar terbang dari rerimbunan dedaunan pohon kamboja yang tumbuh dnegan subur. Orang itu menghela nafas. Ia merogoh saku kemejanya yang sudah basah kuyup. Mengeluarkan sesuatu yang kemudian ia letakkan tepat di depan kayu nisan. Bau harum semerbak menusuk hidung. Menggunakan tangannya benda kecil itu diremas –remas sehingga hancur menjadi serpihan kecil –kecil. Serpihan itu ditaburkan ke arah gundukan makam.
Anehnya dari tanah gundukan itu merembes asap putih bersemu kelabu, meliuk –liuk diterpa angin malam. Bau wangi seperti bau cendana dan bunga kantil cepat memenuhi udara di sekitar tempat lelaki tua misterius ini bersila. Matanya terpejam rapat dan bibirnya komat –kamit membaca mantera. Tak lama kemudian, tubuh lelaki tua itu berguncang –guncang dengan keras. Butir –butir keringat sebesar biji jagung mulai membasahi jidat. Mantera yang keluar dari bibirnya kian keras dan nyaring.
" .....Ya, penguasa dan para penghuni dasar kegelapan. Tanpa ku utarakan lagi sesungguhnya engkau telah mengetahui apa yang aku inginkan. Aku harap kau berkenan mengabulkannya!"
“ Bangkitlah. Bangkit. Bangkit !"
Asap yang keluar dari gundukan tanah itu keluar semakin banyak. Keringat di wajah lelaki itu semakin membanjiri. Tubuhnya yang bersila bergoyang –goyang, terguncang –guncang, gemetar dengan hebat sedangkan kedua lengan yang menekan di dada menjadi kaku dan tegang. Gelungan asap ini saling berangkulan dan bergabung jadi satu membentuk satu gulungan asap yang besar. Ketika diperhatikan lebih lanjut. Gulungan asap putih kelabu itu sedikit demi sedikit berubah menjadi bentuk sosok tubuh manusia. Mula- mula samar-samar seperti sosok di balik kabut. Namun lambat laun semakin jelas, semakin kentara dan akhirnya sosok itu benar-benar berbentuk tubuh manusia!
Sesosok pemuda kurus tinggi di lehernya menganga luka yang masih terlihat basah oleh darah. Kain kafan putih terlihat kotor oleh tanah merah dan di beberapa tempat bernoda bercak merah. Darah! Wajah pemuda itu putih pucat. Bibir membiru mulai pecah –pecah. Aroma bacin mayat santer menghambur. Lalu suara desah yang berat mulai terdengar. Suara itu bergema seperti berasal dari dasar sumur yang teramat dalam.
Sayup –sayup terdengar suara anjing melolong yang tidak putus –putus. Lelaki tua tadi masih berdiam diri. Tidak bergerak dari tempat duduknya. Sejurus kemudian ia membuka mulut.
"Idam... Kau dengar suaraku menyebut namamu?"
Lelaki tua itu bertanya dengan suara bergetar. Idam si mayat hidup tampak mengangguk. Anggukannya perlahan dan sangat kaku.
" Ketahuilah bahwa hidupmu saat ini adalah bangkit dari alam kematian, merupakan kehidupan sementara. Perlu kau tahu aku bisa membangkitkan mu karena ada setitik rasa kecewa dan kau sebenarnya belum ingin mati kan?! “
Mayat Idam mengangguk kaku.
“ Bila apa yang menjadi niatku dan niat mu telah tercapai, maka kau harus kembali ke sini. Kau dengar Idam...?"
Kembali Idam mengangguk.
" Bagus. Tapi aku ingin mendengar suaramu. Kau mendengar Idam...?"
" Sa... ya... men... de...ngar..." terdengar jawaban Idam. Suaranya aneh. Seperti datang jauh dari dalam sumur angker, kaku dan lamban tanpa irama sama sekali!
"Sekarang kau boleh pergi cucuku. Bunuh seseorang yang bernama Sasongko bawa mayatnya ke hadapan ku ! Karena anak itu kau harus menerima celaka! Pergilah segera. Lakukan semua perintah ku. Balaskan sakit hatimu! “
Mayat Idam lalu berjalan dengan terseok –seok, makin lama makin jauh. Bayangan tubuhnya makin samar dan tiba –tiba lenyap ditelan kegelapan.
Diubah oleh breaking182 06-04-2018 10:46
knoopy dan anggaava18 memberi reputasi
3
Kutip
Balas