Quote:
MALAM itu nasib sial melemparkan Sasongko ke kantor polisi!
Sungguh menyedihkan pemuda ini. Dia bahkan sama sekali tidak tahu kalau ibu nya telah meninggal manjadi mayat.
Saat itu hari telah memasuki senja. Semburat sinar merah matahari terlihat di ufuk barat. Telihat serombongan burung yang terbang melintas di atas pucuk –pucuk pepohonan hutan. Sepertinya akan segera pulang ke sarangnya setelah seharian mencari makan. Pagi tadi Sasongko berniat untuk pulang. Akan tetapi, oleh atasannya diberi ijin kalau sudah menyelesaikan laporan dan tanggung jawabnya hari ini. Sehingga baru sore ini semuanya selesai dan beres.
Dari kawasan hutan di kaki bukit dusun Nglipar, Sasongko naik ojek ke arah pinggir jalan besar. Turun di tepi jalan yang banyak penjual oleh –oleh berderet – deret sampai puluhan meter. Pemuda itu tampak memperhatikan deretan penjual – penjual itu. Ada yang menjual makanan, buahan –buahan, ubi rambat, thiwul dan beberapa souvenir sederhana dari ukiran kayu. Dia ayunkan langkahnya ke arah penjual buahan –buahan. Di belinya dua ikat apel yang dikemas dalam sebuah jaring kecil berwarna kuning.
“ Tentu ibu akan senang dengan apel –apel ini “
Bisik hati Sasongko. Karena ia tahu Marni sangat doyan buah apel. Sasongko tersenyum teringat tatkala ibu nya tengah berbicara kepadanya.
“ Nak, buah apel ini sangat enak. Apalagi yang berwarna kuning. Lebih manis dan keras. Beda dengan apel impor “
Lamunannya buyar. Suara klakson bus antar kota antar propinsi terdengar keras. Cumiakkan gendang telinga. Ia dengan buru –buru menggapai ke arah bus itu. Suara ban berdecit keras akibat dari injakan rem dari sopir bus itu. Sasongko beruntung karena bus besar itu lalu menepikan jalan dan berhenti tepat di depannya. Sasongko segera naik melewati undak –undakan yang hanya tiga trap itu untuk masuk ke dalam bus besar itu dan ia mengambil kursi bersebelahan dengan sopir agar tidak terlalu jauh jika nanti turun. Sasongko mengagumi ketrampilan sopir –sopir bus antar kota antar propinsi yang kadang –kadang mampu bermanuver meliuk –liuk di tanjakan dan tikungan tajam.
Menjelang bada Isya. Sasongko yang sempat terlelap, mendadak bangun karena ia lamat –lamat mendengar suara seorang perempuan memanggil namanya.
“ Sasongko..bangun nak “
Matanya langsung terbuka lebar. Ia sangat mengenali suara itu. Ya..itu suara ibunya. Disapukan pandangan di saentero bus. Tidak ada siapa –siapa yang dicarinya. Suasana dalam bus terlihat remang -remang hanya terpantul dari lampu yang menyala di sepanjang jalan. Yang terlihat hanya beberapa penumpang yang sudah terlihat terlelap. Di bagian tengah terlihat pasangan muda sedang berpagut –pagutan dengan liar. Sasongko jadi jengah melihatnya.
Quote:
Ia bermaksud untuk meluruskan puggungnya lagi. Tatkala suara itu terdengar lagi. Sekarang suaranya seperti ada di bagian belakang bus dan sangat jelas. Dengan terhuyung –huyung ia sampai juga kebagian belakang bus. Di tengah bus tadi pasangan yang sedang berpagut –pagutan masih saja tambah liar. Bahkan, tangan si lelaki sudah masuk ke balik blouse si wanita. Meremas –remas di bagian dada dengan liar.
Sasongko menengok kiri kanan. Suara itu tidak terdengar lagi. Suara ibunya tidak ada lagi. Seperti ada dorongan tiba –tiba tangannya merah handle pintu toilet. Ia masuk ke toilet itu. Baru saja menutup pintu toilet keyika bus itu serasa membelok tajam. Mungkin teramat tajam, sehingga tubuh Sasongko meliuk dengan keras. Wajahnya pasti membentur kaca belakang bus. Jika saja ia tidak buru –buru berpegangan kuat –kuat pada tiang penyangga yang tegak kokoh di samping kloset. Namun, punggung Sasongko sempat terhempas dengan keras, menghnatam pintu toilet yang tekuak seketika. Ada bunyi berderak keras, hingar bingar. Bunyi benturan logam beradu dengan logam. Juga kayu –kayu, kaca pecah berderai kemana –mana.
Bus berhenti secara tiba –tiba!!
Masih tetap berpegangan pada tiang penyangga dengan punggung setengah goyah menahan nyeri dan matanya yang mulai berkunang –kunang. Sayup-sayup telinganya mendengar suara orang menjerit, merintih kesakitan dan berteriak –teriak histeris. Lalu semuanya gelap dan ia ambruk tanpa sadarkan diri.
Dua jam berikutnya, barulah Sasongko menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Itupun, setelah ambulance silih berganti datang dan pergi dengan membawa tiga orang yang meninggal seketika dan sekitar tujuh orang menderita lauka berat. Sasongko dan beberapa orang lainnya yang mengalami luka ringan telah selesai dirawat di pos perawatan darurat. Ia melihat jalanan yang tadi sepi dan sunyi diramaikan oleh kerumunan penduduk. Sejumlah polisi dibantu beberapa orang sibuk mengatur lalu lintas yang macet. Lampu –lampu sorot mobil polisi dibantu lampu –lampu petromaks menerangi bus yang semula di tumpangi Sasongko. Bagian depan bus ringsek berat, bagian sisi sebelah kiri terpapas habis. Bak belakang sebuah truk yang tadi berbenturan dengan kepala bus, hancur berantakan.
Menurut pembicaraan yang sempat didengar oleh Sasongko, konon truk itu mendadak berhenti karena tiba –tiba ada bayangan lima orang anak kecil yang tengah bermain – main di bak belakang. Setahu dia di bak belakang itu kosong. Lalu Kernetnya baru saja melompat turun untuk melihat siapa adanya anak - anak kecil itu. Seketika saja ada bus dengan kecepatan penuh memasuki belokan tajam dimana truk itu berhenti. Si kernet tubuhnya hancur tergencet tak tentu rupa. Sasongko bergidik mendengar cerita itu. Pikirannya teringat lagi dengan mayat kepala hancur yang ditemuinya dini hari tadi di tengah hutan kaki bukit.
Sasongko bergidik lebih hebat lagi sewaktu dengan bantuan siraman cahaya lampu sorot matanya menangkap bagian depan sebelah dalam kepala bus. Salah satu tonggak kayu pecahan bak belakang truk masih menghunjam di kap depan bus yang berlipat – lipat mengerikan. Ujung runcing kayu itu menembus ke dalam dan menembus terus ke sebuah sandaran kursi. Kursi di sebelah sopir.
Kursi yang beberapa detik sebelumnya peristiwa naas itu terjadi, ditinggalkan oleh Sasongko karena mendengar bisikan suara ibunya berkali –kali. Seketika wajh Sasongko memucat seperti kertas.
“ Suara ibu menolongku terhindar dari kematian...” desisnya perlahan.
Di kantor polisi setempat, disela –sela pemeriksaan darurat oleh para petugas pada para penumpang yang selamat untuk dimintai keterangan atau kesaksian Sasongko berkali –kali menghela nafas. Tubuh dan pikirannya serasa letih dan capek sekali. Sasongko kemudian rebah di sebuah bangku panjang di ruangan itu. Berbantalkan tas ransel berisi pakaian. Ia terpaksa harus menunggu sampai besok pagi tiba dan mencegat bus yang masih mungkin menampung penumpang tambahan. Sementara itu, lebih baik mata dipejamkan. Barangkali dengan tidur sejenak bisa sedikit mengurai kepenatan badan dan batinnya.
Kelopak Sasongko terbuka lagi. Malas. Terasa ada sesuatu yang mengganjal dan mengganggu pikirannya. Kelelahan yang sedari tadi mencengkeram kesadarannya perlahan –lahan mengendur. Akhirnya pemuda itu tertidur juga.
Tidur yang jelas tidak pulas, sesekali a menggeliat. Resah. Sesekali matanya setengah terbuka, menerawang terjaga, lantas terpejam lagi. Diantara kesadaran dalam tidur yang tidak pulas. Seperti ada yang berbisik di telinganya, bahwa bencana –bencana tadi adalah awal dari sebuah pertunjukan berbau maut. Dimana kejadian sebenarnya akan segera berlangsung dan menimpa diri para pelakunya. Celakanya Sasongko adalah sang pemeran utama.
Bayangan Marni ibunya melintas tanpa kata. Sosok itu hanya berdiri terpaku, mematung memandang tidak berkedip ke arahnya. Pandangan yang hampa dan dingin seperti pandangan mahkluk dari dimensi lain. Sasongko menggapai. Kemudian merintih. Rintihan resah dan takut...