- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#409
Quote:
Kesunyian yang dalam tiba –tiba tersentak saat jam dinding berdentang dengan suara yang mengejutkan. Lebih keras dari yang biasanya, meninggalkan gaung memanjang di ruang depan yang sempit. Beberapa orang lelaki tengah duduk membentuk sebuah lingkaran. Gaung itu seperti bersatu dengan asap dupa dan kemenyan yang berada di tengah – tengah lingkaran.
Meliuk –liuk meskipun tidak ada angin yang bertiup. Pintu terkunci rapat, berikut jendela dan tirainya pun sama rapatnya. Pengap terasa bukan main. Dan asap kemenyan yang berpendar –pendar di atas ruangan itu baunya sangat tidak enak. Seperti menyengat saluran pernafasan. Namun, tidak seorangpun yang bangkit untuk membuka tirai lalu membuka jendela. Agar hawa segar masuk ke dalam rumah.
“ .... sudah jam sepuluh malam “
Salah satu dari mereka berbisik. Pelan. Tapi begitu tiba –tiba. Semua kepala tengadah, menatap orang itu. Berpasang –pasang mata memancarkan kecemasan.
“ Ya, sudah jam sepuluh. Mengapa Sasongko belum juga datang?”
Keluh laki –laki yang usianya tergolong masih muda di dekat pintu keluar. Suaranya resah. Ia bergerak sedikit. Gelisah. Ia baru saja akan membuka mulut untuk meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar gonggongan anjing.
“ Idam yang tadi pagi aku minta untuk menjemputnya. Sudah larut begini belum balik juga? “ Orang pertama tadi yang berbicara ternyata Lik Karto. Ketua RT di Sambirejo.
“ Mungkin motornya mogok Lik? Maklum motor tua. Tanjakan ke Nglipar lumayan tinggi “
Seorang pemuda yang sedari tadi berdiam diri bersandar di tiang angkat bicara. Lik Karto dengan enggan, ia bergumam
“ Sayang, sudah terlalu larut malam. Kalau masih terang tentu aku minta kau susul Si Idam.
Ia menoleh pada pemuda yang duduk menyandar ke tiang. Lik Karto menyambung lagi.
“ Mengapa tak kau buatkan kopi lagi Kohar”
Pemuda yang bernama Kohar itu menelan ludah. Matanya memandangi gelas demi gelas di depan mereka. Ada yang sudah kosong meninggalkan ampas di dasar gelas. Ada yang tinggal setengah. Bahkan, ada juga yang masih utuh. Belum setegukpun disentuh. Tentunya sudah teramat dingin karena sudah dihidangkan sedari tadi sore.
“ Ah, tidak usah repot –repot “ untung ada suara yang mendesah.
Kohar menarik nafas. Lega.
Lalu sepi lagi.
Seseorang yang duduknya paling dekat dengan pedupaan, menambahkan batu kemenyan kependupaan. Berkeretketan bunyinya. Beberapa memercik api. Memecah kesunyian yang mencekam di ruangan itu.
Suara bergemeretakan yang keras terdengar di luar rumah. Diiringi lolongan anjing yang menyayat hati. Semua kepala tengadah lagi. Kali ini menatap ke pintu.
“Apakah itu Sasangko dan Idam? “ Lik Karto berbisik. Gemetar.
“ Entah..” Kohar menukas dengan kecut.
“ Pergilah lihat !” Lik Karto menatap tajam ke arah Kohar.
Yang diperintah lalu menelan ludah berkali –kali. Pelan – pelan bangkit. Kakinya agak gontai waktu berjalan ke arah pintu. Disana, ia tertegun sebentar.diam. mendengarkan. Lantas menoleh ke belakang pada orang –orang yan masih duduk bersila di tempat masing –masing. Mereka juga memeperhatikan dirinya, sehingga dengan segan Kohar memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar. Dan...
“ Ahh.....” suaranya tertahan di tenggorokan waktu terlonjak mundur.
Yang lain terperanjat
“ Ada apa?”
Kohar menghela nafas panjang.
“ Ah, bukan apa –apa hanya kaget “, sungutnya seraya berjalan lagi ke pintu. Ia lalu membukanya lebih lebar. Berpasang –pasang mata di belakangnya, juga tebuka lebih lebar. Engsel pintu berderit nyaring dan kemudian terhempas keras membentur tembok. Angin malam yang dingin bertiup masuk.
Meliuk –liuk meskipun tidak ada angin yang bertiup. Pintu terkunci rapat, berikut jendela dan tirainya pun sama rapatnya. Pengap terasa bukan main. Dan asap kemenyan yang berpendar –pendar di atas ruangan itu baunya sangat tidak enak. Seperti menyengat saluran pernafasan. Namun, tidak seorangpun yang bangkit untuk membuka tirai lalu membuka jendela. Agar hawa segar masuk ke dalam rumah.
“ .... sudah jam sepuluh malam “
Salah satu dari mereka berbisik. Pelan. Tapi begitu tiba –tiba. Semua kepala tengadah, menatap orang itu. Berpasang –pasang mata memancarkan kecemasan.
“ Ya, sudah jam sepuluh. Mengapa Sasongko belum juga datang?”
Keluh laki –laki yang usianya tergolong masih muda di dekat pintu keluar. Suaranya resah. Ia bergerak sedikit. Gelisah. Ia baru saja akan membuka mulut untuk meneruskan keluhannya waktu sayup terdengar gonggongan anjing.
“ Idam yang tadi pagi aku minta untuk menjemputnya. Sudah larut begini belum balik juga? “ Orang pertama tadi yang berbicara ternyata Lik Karto. Ketua RT di Sambirejo.
“ Mungkin motornya mogok Lik? Maklum motor tua. Tanjakan ke Nglipar lumayan tinggi “
Seorang pemuda yang sedari tadi berdiam diri bersandar di tiang angkat bicara. Lik Karto dengan enggan, ia bergumam
“ Sayang, sudah terlalu larut malam. Kalau masih terang tentu aku minta kau susul Si Idam.
Ia menoleh pada pemuda yang duduk menyandar ke tiang. Lik Karto menyambung lagi.
“ Mengapa tak kau buatkan kopi lagi Kohar”
Pemuda yang bernama Kohar itu menelan ludah. Matanya memandangi gelas demi gelas di depan mereka. Ada yang sudah kosong meninggalkan ampas di dasar gelas. Ada yang tinggal setengah. Bahkan, ada juga yang masih utuh. Belum setegukpun disentuh. Tentunya sudah teramat dingin karena sudah dihidangkan sedari tadi sore.
“ Ah, tidak usah repot –repot “ untung ada suara yang mendesah.
Kohar menarik nafas. Lega.
Lalu sepi lagi.
Seseorang yang duduknya paling dekat dengan pedupaan, menambahkan batu kemenyan kependupaan. Berkeretketan bunyinya. Beberapa memercik api. Memecah kesunyian yang mencekam di ruangan itu.
Suara bergemeretakan yang keras terdengar di luar rumah. Diiringi lolongan anjing yang menyayat hati. Semua kepala tengadah lagi. Kali ini menatap ke pintu.
“Apakah itu Sasangko dan Idam? “ Lik Karto berbisik. Gemetar.
“ Entah..” Kohar menukas dengan kecut.
“ Pergilah lihat !” Lik Karto menatap tajam ke arah Kohar.
Yang diperintah lalu menelan ludah berkali –kali. Pelan – pelan bangkit. Kakinya agak gontai waktu berjalan ke arah pintu. Disana, ia tertegun sebentar.diam. mendengarkan. Lantas menoleh ke belakang pada orang –orang yan masih duduk bersila di tempat masing –masing. Mereka juga memeperhatikan dirinya, sehingga dengan segan Kohar memutar anak kunci dengan jari jemari gemetar. Dan...
“ Ahh.....” suaranya tertahan di tenggorokan waktu terlonjak mundur.
Yang lain terperanjat
“ Ada apa?”
Kohar menghela nafas panjang.
“ Ah, bukan apa –apa hanya kaget “, sungutnya seraya berjalan lagi ke pintu. Ia lalu membukanya lebih lebar. Berpasang –pasang mata di belakangnya, juga tebuka lebih lebar. Engsel pintu berderit nyaring dan kemudian terhempas keras membentur tembok. Angin malam yang dingin bertiup masuk.
Quote:
Dua sosok tubuh berdiri tegak di muka pintu. Seorang lelaki dan perempuan. Lelaki itu masih muda usia duapuluh tahunan. Postur tubuh tinggi kurus. Bibirnya yang tebal seperti tidak bisa menutup dengan rapat karena terdesak dua gigi depan yang tampak mencuat tonggos. Sementara perempuan yang di sampingnya memiliki tubuh yang subur dengan raut muka yang pucat terpoles bedak yang telah bercampur degan keringat.
“ Aku Prapti. Kakak mendiang Hartono. Dan yang meninggal itu adik iparku“
“ Ooo...” cetus Kohar, lalu menyingkir memberi jalan.
Kedua orang ini lantas melangkah masuk ke dalam rumah. Gerak –geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga bukan seseorang yang harus diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis memperlihatkan seulas senyum dingin disertai sinar mata yang tajam berkilat, semua orang yang berada di tempat itu seolah –olah melihat sesosok mahkluk asing yang hadir dari kegelapan. Lik Karto yang duduk dekat pintu tengah, berdiri menyongsong yang lain segera mengikuti.
“ Kami senang, mbak Prapti turut datang meskipun dari tempat yang jauh “, seraya menjabat tangan tamu yang datang itu
“ Terimakasih Pak Karto. Mana jasad adik iparku itu?”
“ Disana “ jawabnya. Menguatkan.
“ Giran, kau tunggulah disini saja bergabung dengan orang-orang desa ini. Sementara aku akan ke dalam sebentar “
“ Iya, bu..”
Pemuda berbadan kurus tinggi itu mengangguk dengan hormat. Kemudian beringsut duduk bergabung dengan orang –orang Sambirejo yang sedari tadi duduk membentuk lingkaran besar. Prapti memperhatikan dupa kemenyan yang mengepulkan asap di atas tikar pandan. Ia menghirup asap kemenyan itu dengan perasaan nikmat. Sepasang matanya berkilat – kilat tampak kesenangan. Angin dingin semakin kencang masuk melalui pintu yang masih menganga lebar.
“ Tutupkan lagi Kohar! “
Lik Karto menyuruh pemuda itu dengan sedikit berteriak. Kohar bergerak ke arah pintu dengan malas dan sebelum menutupkan. Ia sempat menjlurkan kepalanya ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan sesuatu dalam gelap. Sebuah mobil hitam besar terparkir di tepi jalan.
Aneh, sama sekali tidak terdengar suara mesin dari mobil itu. Tatkala berhenti tadi?! Kohar bergidik ngeri. Di samping mobil itu sesosok tubuh berbaring di atas rumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya tampak smar membentuk sepasang bintik kecil berwarna kemerahan.
“ Anjing...” desis Kohar, seraya menutup pintu dengan buru –buru.
“ Aku Prapti. Kakak mendiang Hartono. Dan yang meninggal itu adik iparku“
“ Ooo...” cetus Kohar, lalu menyingkir memberi jalan.
Kedua orang ini lantas melangkah masuk ke dalam rumah. Gerak –geriknya tenang, bahkan tampak lamban sehingga bukan seseorang yang harus diperhatikan secara khusus. Tetapi ketika bibirnya yang tipis memperlihatkan seulas senyum dingin disertai sinar mata yang tajam berkilat, semua orang yang berada di tempat itu seolah –olah melihat sesosok mahkluk asing yang hadir dari kegelapan. Lik Karto yang duduk dekat pintu tengah, berdiri menyongsong yang lain segera mengikuti.
“ Kami senang, mbak Prapti turut datang meskipun dari tempat yang jauh “, seraya menjabat tangan tamu yang datang itu
“ Terimakasih Pak Karto. Mana jasad adik iparku itu?”
“ Disana “ jawabnya. Menguatkan.
“ Giran, kau tunggulah disini saja bergabung dengan orang-orang desa ini. Sementara aku akan ke dalam sebentar “
“ Iya, bu..”
Pemuda berbadan kurus tinggi itu mengangguk dengan hormat. Kemudian beringsut duduk bergabung dengan orang –orang Sambirejo yang sedari tadi duduk membentuk lingkaran besar. Prapti memperhatikan dupa kemenyan yang mengepulkan asap di atas tikar pandan. Ia menghirup asap kemenyan itu dengan perasaan nikmat. Sepasang matanya berkilat – kilat tampak kesenangan. Angin dingin semakin kencang masuk melalui pintu yang masih menganga lebar.
“ Tutupkan lagi Kohar! “
Lik Karto menyuruh pemuda itu dengan sedikit berteriak. Kohar bergerak ke arah pintu dengan malas dan sebelum menutupkan. Ia sempat menjlurkan kepalanya ke luar. Lewat pekarangan sempit berpintu pagar kecil ia melihat bayangan sesuatu dalam gelap. Sebuah mobil hitam besar terparkir di tepi jalan.
Aneh, sama sekali tidak terdengar suara mesin dari mobil itu. Tatkala berhenti tadi?! Kohar bergidik ngeri. Di samping mobil itu sesosok tubuh berbaring di atas rumput. Juga dengan kepala tegak memandang ke arah rumah. Sinar matanya tampak smar membentuk sepasang bintik kecil berwarna kemerahan.
“ Anjing...” desis Kohar, seraya menutup pintu dengan buru –buru.
Quote:
Berderak bunyinya, karena tergesa -gesa. Prapti masuk ke ruang bilik yang berada di samping ruang tengah. Lewat tirai gorden yang terbuat dari bekas spanduk yang terbuka sebagian waktu mereka masuk. Kedua orang itu berjalan pelan –pelan memasuki bilik yang diterangi lampu ukuran kecil. Cahaya kuning pucat membuat bilik menjadi remang –remang menyeramkan.
Di tengah bilik itu terdapat sebuah kasur berukuran kecil. Selendang batik tipis dari hasil beli di emper pasar menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Bau kemenyan bercampur aduk dengan bunga –bunga yang berserakan di dekat kepala mayat.
Prapti duduk bersimpuh diikuti olah Lik Karto. Lalu dengan tangan gemetar pelan –pelan wanita itu menyingkap ujung kain yang menutupi bagian kepala. Lik Karto pelan –pelan palingkan wajahnya ke tempat lain dengan mata terpejam. Di dekatnya Prapti memandang ke bawah dengan mata terbuka lebar. Mula –mula terlihat rambut hitam ikal, panjang tergerai. Disusul oleh dahi yang rengkah di bagian pelipis, meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru –biruan. Di bawah alis tipis sepasang matanya melotot di antara kelopak – kelopak yang hancur bercampur darah mengering.
Lik Karto yang sudah pernah melihat hal itu tadi pagi. Tidak bisa menyembunyikan raut kesedihannya. Sepasang matanya tampak berkaca –kaca. Lik Karto mulai menangis meskipun ditahan tapi isak tangis itu tetap saja keluar. Disela –sela tangisnya itu ia berkata,
“ Perempuan yang malang...sangat malang....”
Prapti mengangguk – anggukan kepalanya
“ Malang..sangat malang. Bahkan, saya sendiri yang hampir lima tahun hidup bersama hampir tidak bisa mengenali paras wajahnya. Muka itu hampir rusak parah “
Lik Karto sesenggukan.
“...nekad !” jawabnya
Marni tidak bisa menahan diri. Tadi pagi pagi buta seperti biasa ia pergi ke pasar menjual hasil bumi dengan sepeda jengki itu. Lik Karto tidak melanjutkan perkataannya. Hatinya begitu sedih. Meskipun Marni hanya tetangganya akan tetapi semenjak kepergian Witri anak bungsu dan Hartono sang suami. Marni tidak punya siapa –siapa lagi. Sementara anak sulungnya, Sasongko telah bekerja di Nglipar yang jaraknya bisa dikatakan jauh. Sehingga Marni sering berkeluh kesah dengan Mbok Pono yang tidak lain istri Lik Karto.
“ Apa yang dilakukan oleh Marni Pak Karto?”
“ Ia bunuh diri! “
“ Bunuh diri?”
“ Ya !”
“ Menabrakkan diri pada saat bus besar itu melaju dengan sangat cepat di ujung jalan besar di sana. Ada orang yang melihat Marni berdiri begitu lama di tepi jalan besar. Sepedanya masih dipegang di sebelahnya. Mula –mula disangka mau menyebrang, sampai bus itu datang dan Marni tiba –tiba melempar sepeda itu lalu berlari ke arah bus itu datang. Tubuhnya langsung disambar bus hingga terpental belasan meter “
Prapti manggut –manggut. Diam.
Sejurus kemudian.
“ Malam ini juga aku akan membawanya ke Muntilan ke desa tempat kelahirannya “
Lik Karto tertengadah, memandangi wajah Prapti. Pandangan matanya tampak tidak senang. Ucapannya terdengar getir dan pasrah.
“ Kami sengaja membiarkan disini tidak menguburkan dahulu karena menunggu anak sulungnya. Entah mengapa sampai saat ini anak itu belum juga pulang “
“ Aku juga keluarganya Pak Karto “
Mata Prapti mendelik merah.
“ Masalah Sasongko serahkan pada ku ! Jika anak itu nanti pulang. Suruh dia pergi ke Muntilan menemui ku! Budhe Prapti! Memang tujuan ku juga ingin mengajak anak itu pulang ke Muntilan. Biar ada yang menjaga dan mengurusnya. Dia punya banyak saudara di Muntilan “
Lik Karto memandang Prapti dengan perasaan sedikit heran. Matanya beradu dengan sepasang mata perempuan gemuk yang bersinar ganjil itu. Dengan kecut, Lik Karto bangkit lalu memanggil orang –orang di ruang depan. Bersama –sama mereka masuk ke dalam. Enggan. Bersama – sama pula mereka pindahkan mayat yang sudah rusak wajah dan bagian –bagian tubuhnya itu ke dalam mobil yang terparkir di depan pekarangan. Selesai melakukan tugasnya orang –orang itu berlalu ke ruang depan.
“ Aku harus segera pamit diri Pak Karto. Kasihan jasad Marni kalau terlalu lama dibiarkan “
Lik Karto hanya mengangguk lemah. Orang tua itu berjalan mengiringi langkah Prapti. Beberapa orang serentak berdiri ikut mengiringi sampai di dekat mobil hitam itu. Perempuan Gemuk itu tersenyum sembari berkata,
“ Sampaikan salam ku pada Sasongko saat dia pulang nanti. Sampaikan pesan ku, ditunggu budhe Prapti di Muntilan “
Pemuda kurus yang merupakan sopir Prapti segera beranjak dari tempat berdirinya. Bergegas ia buka pintu kiri bagian depan. Prapti segera membenamkan diri ke dalam mobil. Setelah majikannya duduk dengan nyaman di samping kemudi, si supir yang bernama Giran segera menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya. Mengangguk hormat kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi. Di belakang membujur sesosok jasad Marni diam membeku berselimutkan kain jarik!
Kemudian mobil hitam itu berlalu. Diikuti oleh pandangan Lik Karto dan beberapa pasang mata penduduk desa Sambirejo. Lelaki paruh baya itu memperhatikan mobil Prapti yang membawa jasad Marni tengah membelok di sebuah tikungan tajam. Lampu belakangnya menyala merah lebih terang karena injakan pedal rem. Lalu cahaya dari lampu mobil tidak terlihat lagi tertutup kerapatan pohon diujung jalan sana. Diam –diam Lik Karto menyesal. Mengapa tidak bersikeras menahan agar orang itu tidak mebawa jasad Marni. Ia tarik nafas dalam –dalam. Bergegas masuk ke dalam rumah. Beberapa orang mengikuti langkahnya.
Di tengah bilik itu terdapat sebuah kasur berukuran kecil. Selendang batik tipis dari hasil beli di emper pasar menutupi sesosok tubuh mulai dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Bau kemenyan bercampur aduk dengan bunga –bunga yang berserakan di dekat kepala mayat.
Prapti duduk bersimpuh diikuti olah Lik Karto. Lalu dengan tangan gemetar pelan –pelan wanita itu menyingkap ujung kain yang menutupi bagian kepala. Lik Karto pelan –pelan palingkan wajahnya ke tempat lain dengan mata terpejam. Di dekatnya Prapti memandang ke bawah dengan mata terbuka lebar. Mula –mula terlihat rambut hitam ikal, panjang tergerai. Disusul oleh dahi yang rengkah di bagian pelipis, meninggalkan bengkak berwarna merah kebiru –biruan. Di bawah alis tipis sepasang matanya melotot di antara kelopak – kelopak yang hancur bercampur darah mengering.
Lik Karto yang sudah pernah melihat hal itu tadi pagi. Tidak bisa menyembunyikan raut kesedihannya. Sepasang matanya tampak berkaca –kaca. Lik Karto mulai menangis meskipun ditahan tapi isak tangis itu tetap saja keluar. Disela –sela tangisnya itu ia berkata,
“ Perempuan yang malang...sangat malang....”
Prapti mengangguk – anggukan kepalanya
“ Malang..sangat malang. Bahkan, saya sendiri yang hampir lima tahun hidup bersama hampir tidak bisa mengenali paras wajahnya. Muka itu hampir rusak parah “
Lik Karto sesenggukan.
“...nekad !” jawabnya
Marni tidak bisa menahan diri. Tadi pagi pagi buta seperti biasa ia pergi ke pasar menjual hasil bumi dengan sepeda jengki itu. Lik Karto tidak melanjutkan perkataannya. Hatinya begitu sedih. Meskipun Marni hanya tetangganya akan tetapi semenjak kepergian Witri anak bungsu dan Hartono sang suami. Marni tidak punya siapa –siapa lagi. Sementara anak sulungnya, Sasongko telah bekerja di Nglipar yang jaraknya bisa dikatakan jauh. Sehingga Marni sering berkeluh kesah dengan Mbok Pono yang tidak lain istri Lik Karto.
“ Apa yang dilakukan oleh Marni Pak Karto?”
“ Ia bunuh diri! “
“ Bunuh diri?”
“ Ya !”
“ Menabrakkan diri pada saat bus besar itu melaju dengan sangat cepat di ujung jalan besar di sana. Ada orang yang melihat Marni berdiri begitu lama di tepi jalan besar. Sepedanya masih dipegang di sebelahnya. Mula –mula disangka mau menyebrang, sampai bus itu datang dan Marni tiba –tiba melempar sepeda itu lalu berlari ke arah bus itu datang. Tubuhnya langsung disambar bus hingga terpental belasan meter “
Prapti manggut –manggut. Diam.
Sejurus kemudian.
“ Malam ini juga aku akan membawanya ke Muntilan ke desa tempat kelahirannya “
Lik Karto tertengadah, memandangi wajah Prapti. Pandangan matanya tampak tidak senang. Ucapannya terdengar getir dan pasrah.
“ Kami sengaja membiarkan disini tidak menguburkan dahulu karena menunggu anak sulungnya. Entah mengapa sampai saat ini anak itu belum juga pulang “
“ Aku juga keluarganya Pak Karto “
Mata Prapti mendelik merah.
“ Masalah Sasongko serahkan pada ku ! Jika anak itu nanti pulang. Suruh dia pergi ke Muntilan menemui ku! Budhe Prapti! Memang tujuan ku juga ingin mengajak anak itu pulang ke Muntilan. Biar ada yang menjaga dan mengurusnya. Dia punya banyak saudara di Muntilan “
Lik Karto memandang Prapti dengan perasaan sedikit heran. Matanya beradu dengan sepasang mata perempuan gemuk yang bersinar ganjil itu. Dengan kecut, Lik Karto bangkit lalu memanggil orang –orang di ruang depan. Bersama –sama mereka masuk ke dalam. Enggan. Bersama – sama pula mereka pindahkan mayat yang sudah rusak wajah dan bagian –bagian tubuhnya itu ke dalam mobil yang terparkir di depan pekarangan. Selesai melakukan tugasnya orang –orang itu berlalu ke ruang depan.
“ Aku harus segera pamit diri Pak Karto. Kasihan jasad Marni kalau terlalu lama dibiarkan “
Lik Karto hanya mengangguk lemah. Orang tua itu berjalan mengiringi langkah Prapti. Beberapa orang serentak berdiri ikut mengiringi sampai di dekat mobil hitam itu. Perempuan Gemuk itu tersenyum sembari berkata,
“ Sampaikan salam ku pada Sasongko saat dia pulang nanti. Sampaikan pesan ku, ditunggu budhe Prapti di Muntilan “
Pemuda kurus yang merupakan sopir Prapti segera beranjak dari tempat berdirinya. Bergegas ia buka pintu kiri bagian depan. Prapti segera membenamkan diri ke dalam mobil. Setelah majikannya duduk dengan nyaman di samping kemudi, si supir yang bernama Giran segera menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya. Mengangguk hormat kemudian masuk dan duduk di belakang kemudi. Di belakang membujur sesosok jasad Marni diam membeku berselimutkan kain jarik!
Kemudian mobil hitam itu berlalu. Diikuti oleh pandangan Lik Karto dan beberapa pasang mata penduduk desa Sambirejo. Lelaki paruh baya itu memperhatikan mobil Prapti yang membawa jasad Marni tengah membelok di sebuah tikungan tajam. Lampu belakangnya menyala merah lebih terang karena injakan pedal rem. Lalu cahaya dari lampu mobil tidak terlihat lagi tertutup kerapatan pohon diujung jalan sana. Diam –diam Lik Karto menyesal. Mengapa tidak bersikeras menahan agar orang itu tidak mebawa jasad Marni. Ia tarik nafas dalam –dalam. Bergegas masuk ke dalam rumah. Beberapa orang mengikuti langkahnya.
Diubah oleh breaking182 05-04-2018 05:07
knoopy memberi reputasi
2
Kutip
Balas