- Beranda
- Stories from the Heart
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
...
TS
breaking182
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
ASU AJAG PEGUNUNGAN TEPUS
Quote:

SINOPSIS
Quote:
Sekelompok anak muda dari universitas di Jogja yang sedang melaksanakan KKN di desa Telaga Muncar salah satu desa terpencil di kawasan Tepus Gunung Kidul. Tiga sosok anjing misterius mencegat salah satu dari mahasiswa itu yang bernama Zulham. Misteri berlanjut lagi tatkala sesampainya di base camp. Zulham harus dihadapkan dengan ketua kelompok KKN tersebut yang diterror oleh mahkluk –mahkluk asing yang memperlihatkan diri di mimpi –mimpi. Bahkan, bulu –bulu berwarna kelabu kehitaman ditemukan di ranjang Ida. Hingga pada akhirnya misteri ini berlanjut kedalam pertunjukan maut. Nyawa Zulham dan seluruh anggota KKN terancam oleh orang –orang pengabdi setan yang tidak segan –segan mengorbankan nyawa sesama manusia. Bahkan, nyawa darah dagingnya sendiri!
INDEX
Diubah oleh breaking182 22-02-2021 10:13
sukhhoi dan 35 lainnya memberi reputasi
32
110.5K
Kutip
378
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#10
MISTERI DESA TELAGA MUNCAR
Quote:
Bus kecil jurusan Jogja – Wonosari bergerak dengan knalpot terbatuk –batuk mengeluarkan asap kelabu kehitaman. Lampu sign di atas bumper sebelah kanan beberapa saat berkedip –kedip memancarkan sinar kuning keemasan kemudian padam. Tinggal lampu belakang berwarna merah yang makin lama makin mengecil di kejauhan. Lalu menghilang setelah ditelan kegelapan malam. Seekor anjing berwarna hitam di seberang jalan mendengus penuh curiga menatap tajam ke arah ku.
Segera aku betulkan ransel yang sedari tadi menempel erat di punggung. Kemudian berjalan ke seberang jalan. Anjing yang sedari tadi diam di seberang jalan depan sebuah warung yang hanya menyisakan satu pintu yang terbuka tiba –tiba berdiri dan berjalan menyongsong langkah ku. Dengusan anjing itu terdengar berat, disusul lolongan lirih. Tidak lama kemudian terdengar sahutan lolongan serupa di kejauhan. Aku mengetuk pintu yang masih terbuka itu.
“ Kulo nuwun...permisi...”
Tidak lama kemudian seorang perempuan paruh baya mengenakan kain panjang menyerupai baju tidur muncul dari dalam. Rambutnya yang panjang tergerai sampai menyentuh punggung.
“ Maaf Den, warung sudah tutup. Sudah terlalu larut malam “.
Aku hanya tersenyum.
“ Saya hanya mau bertanya Bu..Desa Telaga Muncar masih jauh tidak dari sini?”
“ Wah, masih lumayan jauh. Biasanya di ujung jalan itu ada ojeg. Hanya saja untuk jam segini sepertinya sudah pada pulang. Apalagi tadi siang habis diguyur hujan lebat ”.
Aku menghela nafas pajang. Tampaknya kesialan ku hari ini belum juga ada ujungnya!
“ Kalau begitu saya akan berjalan kaki saja. Arahnya kemana untuk sampai ke desa Telaga Muncar?”
“ Aden lurus saja, nanti ada pertigaan belok kanan. Setelah itu lurus ikuti jalan saja yang ada nanti Aden akan ketemu gardu depan desa Telaga Muncar “.
Aku bermaksud meneruskan perjalanan ku seketika itu juga, waktu perempuan pemilik warung itu bergerak ke arah pagar mencabut salah satu obor yang menempel disana dan kemudian menyodorkan kepadaku.
“ Ambil ini Den, sekedar buat penerang jalan. Di desa ini lampu listrik belum masuk secara merata. Saya lihat aden juga tidak membawa senter atau pun alat penerangan yang lain“.
Aku mengangguk, seraya mengucapkan terimakasih.
Aku sedikit tercekat tatkala perempuan pemilik warung itu bertanya.
“ Aden bawa senjata?”
“ Senjata...”aku menggeleng. Pertanyaan tiba –tiba terbersit di benakku.
“ Senjata untuk apa?”
“......ah, bukan apa –apa sebaiknya Aden pungut balok kayu atau apalah yang berserakan bisa di temukan di sepanjang jalan itu. Lumayan buat pentungan kalau – kalau di tengah jalan bertemu celeng atau ...... anjing liar “. Sebutan pada binatang terakhir itu serasa ditekankan.
Aku tidak menganggap serius. Asalkan bukan harimau atau sejenisnya masih aman lah. Begitu batin ku berucap.
Segera aku betulkan ransel yang sedari tadi menempel erat di punggung. Kemudian berjalan ke seberang jalan. Anjing yang sedari tadi diam di seberang jalan depan sebuah warung yang hanya menyisakan satu pintu yang terbuka tiba –tiba berdiri dan berjalan menyongsong langkah ku. Dengusan anjing itu terdengar berat, disusul lolongan lirih. Tidak lama kemudian terdengar sahutan lolongan serupa di kejauhan. Aku mengetuk pintu yang masih terbuka itu.
“ Kulo nuwun...permisi...”
Tidak lama kemudian seorang perempuan paruh baya mengenakan kain panjang menyerupai baju tidur muncul dari dalam. Rambutnya yang panjang tergerai sampai menyentuh punggung.
“ Maaf Den, warung sudah tutup. Sudah terlalu larut malam “.
Aku hanya tersenyum.
“ Saya hanya mau bertanya Bu..Desa Telaga Muncar masih jauh tidak dari sini?”
“ Wah, masih lumayan jauh. Biasanya di ujung jalan itu ada ojeg. Hanya saja untuk jam segini sepertinya sudah pada pulang. Apalagi tadi siang habis diguyur hujan lebat ”.
Aku menghela nafas pajang. Tampaknya kesialan ku hari ini belum juga ada ujungnya!
“ Kalau begitu saya akan berjalan kaki saja. Arahnya kemana untuk sampai ke desa Telaga Muncar?”
“ Aden lurus saja, nanti ada pertigaan belok kanan. Setelah itu lurus ikuti jalan saja yang ada nanti Aden akan ketemu gardu depan desa Telaga Muncar “.
Aku bermaksud meneruskan perjalanan ku seketika itu juga, waktu perempuan pemilik warung itu bergerak ke arah pagar mencabut salah satu obor yang menempel disana dan kemudian menyodorkan kepadaku.
“ Ambil ini Den, sekedar buat penerang jalan. Di desa ini lampu listrik belum masuk secara merata. Saya lihat aden juga tidak membawa senter atau pun alat penerangan yang lain“.
Aku mengangguk, seraya mengucapkan terimakasih.
Aku sedikit tercekat tatkala perempuan pemilik warung itu bertanya.
“ Aden bawa senjata?”
“ Senjata...”aku menggeleng. Pertanyaan tiba –tiba terbersit di benakku.
“ Senjata untuk apa?”
“......ah, bukan apa –apa sebaiknya Aden pungut balok kayu atau apalah yang berserakan bisa di temukan di sepanjang jalan itu. Lumayan buat pentungan kalau – kalau di tengah jalan bertemu celeng atau ...... anjing liar “. Sebutan pada binatang terakhir itu serasa ditekankan.
Aku tidak menganggap serius. Asalkan bukan harimau atau sejenisnya masih aman lah. Begitu batin ku berucap.
Quote:
Aku lantas menyeberangi jalan tanah tidak beraspal yang ada di samping warung itu. Anjing tadi menggonggong panjang saat melihat sosok tubuhku berjalan menembus kegelapan. Berbekal lampu obor milik si perempuan aku berjalan menembus jalan pedesaan yang gelap. Di kanan kiri ku terhampar semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Suara serangga malam dan burung –burung di atas dahan pohon bernyanyi bagai paduan suara dari alam kegelapan. Jalan yang aku lalui penuh batu padas dan berlumpur. Kedua kaki ku seperti diganduli tangan –tangan gaib saat melangkah. Tanah merah menempel tebal di sol sepatu converse yang aku kenakan.
Desa Telaga Muncar terletak di balik bukit pegunungan Tepus. Suatu daerah yang bia dikatakan sangat terisolir. Jika panas atau musim kemarau panjang desa -desa di lereng pegunungan Tepus dilanda kekeringan dan sangat langka mendapatkan air. Lain halnya dnegan desa Telaga Muncar. Di desa ini hampir tidak pernah tersentuh kekeringan. Karena di tepi desa ini ada sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Nama desa Telaga Muncar juga didapatkan dari telaga tersebut. Karena airnya tidak pernah kering maka diberi nama Telaga Muncar.
Aku menengadah ke atas. Terlihat bulan separuh berpendar. Cahayanya tidak dapat menerangi jalan yang aku lalui. Tiba- tiba aku ingat dengan perkataan perempuan pemilik warung tentang senjata. Aku sama sekali tidak membawa senjata apa –apa. Sekali dua kali aku melihat batang kayu sebesar lengan anak –anak berserakan di atas tanah merah ataupun batuan padas yang menonjol di sepanjang jalan.Terkadang timbul keinginan untuk mengambil satu batang untuk sekedar membela diri dari celeng atau babi hutan. Tapi hal itu aku buang jauh –jauh dari pikiran ku. Berbekal keberanian aku langkahkan kaki.
Makin jauh jalan yang aku lalui makin tidak beraturan. Menanjak, licin, beberapa ada lubang menganga dan berbatu – batu mencuat tajam mengerikan. Sesekali terdengar gemeretakan ranting pohon yang seperti terinjak oleh sesuatu. Aku hentikan kayuhan kaki ku. Suara itu ikut berhenti. Seekor musang hutan tiba-tiba berlari memotong langkah ku. Cukup membuat jatung ku nyaris lepas dari rongga dada. Setelah sejenak mengurut dada ku karena peristiwa mengejutkan barusan. Aku bergegas melanjutkan perjalanan.
Memang melelahkan hampir tiga jam lebih terguncang –guncang di dalam bus rombeng itu. Namun, bagaimana pun juga aku harus sampai malam ini juga di Desa Telaga Muncar. Teman –teman KKN ku dari salah satu universitas negeri di Jogja telah mendahuluiku berangkat ke Desa Telaga Muncar. Aku telat selama tiga hari baru bergabung dengan kelompok KKN ku. Bukan tanpa alasan, aku harus menunggu sampai tujuh hari meninggalnya nenek ku. Ibu dari bapak ku.Seharusnya aku sampai di desa Telaga Muncar siang tadi. Hanya karena bus rombeng itu beberapa kali mogok di jalan. Dan sialnya tidak ada satu pun bus yang mau menerima di oper.
Ku dekatkan batang obor dekat dengan pergelangan tangan kanan ku. Jarum arloji menunjukan pukul setengah satu lewat tengah malam.
“ Hmmm.. hampir satu jam ternyata aku berjalan di jalan setapak dengan kanan kiri semak belukar dan pepohon menjulang tinggi. Seperti jalan ini tidak berujung. Dimana sebenarnya Desa Telaga Muncar?!”
Krosak!!
Bunyi itu perlahan tetapi cukup terdengar di telingaku dalam kesunyian malam seperti ini. Aku berhenti. Lalu diam mendengarkan.
Krosak!!
Bunyi itu terdengar lagi.
Krosak! Krosak! Krosak!
Urat –urat di tubuhku serasa menegang kaku.
Krosak! Krosak! Krosak!
Krosak! Krosak! Krosak!
Suara itu datang dari kanan kiri semak belukar yang membentang di tepi sepanjang jalan.
Krosak! Krosak! Krosak!
Dan kini serentak dari kiri dan kanan. Gerakannya lambat tapi pasti. Terdengar dari bunyi ranting terinjak dan belukar yang tersibak. Itu gerakan sesosok makhluk. Jelas bukan manusia. Siapa juga manusia tengah malam keluyuran di jalan sepi yang kanan kiri dikelilingi pohon besar dan semak belukar. Suara mendengus bercampur dengan geraman terdengar di sisi kiri ku. Cahaya obor yang ada di tangan kanan ku nyala nya makin kecil lalu padam. Mungkin minyak tanah di dalam buluh bambu telah habis. Aku mengumpat dalam hati. Sekarang aku hanya berharap pada sinar bulan pucat temaram yang merembes dari sela –sela dedaunan.
Dari sisi kanan ku semak belukar tersingkap. Sesosok makhluk merangkak keluar berbulu kelabu kehitaman. Dua matanya mencorong menyala berwarna merah.Aku terpekik. Akan tetapi suara ku hanya sampai di tenggorokan. Seekor anjing mungkin juga sejenis serigala sebesar kambing berhenti tepat memotong di depan ku. Sepertinya sengaja berdiri untuk menghadangku. Kembali aku teringat dengan pesan perempuan pemilik warung tadi agar berhati –hati terhadap anjing liar yang mustinya tidak akan mengganggu manusia.
Grrrr...Grrrrr...
Aku menoleh ke kiri dengan cepat. Makhluk yang sama muncul dengan langkah –langklah berat dari arah berlawanan dengan binatang yang pertama tadi. Yang ini dua ekor, dan besar tubuhnya sebesar anak sapi. Lebih besar dari binatang yang tengah berdiri menghadang di depan ku. Ketiga binatang ini berjalan ke kiri dan ke kanan. Sementara yang berdiri menghadangku berjalan mendekati ku. Lalu binatang itu berhenti. Jarak ku mungkin hanya sekitar dua meter. Jalan ku di tutup. Benar –benar tidak bisa maju.
Grrrr...Grrrrr...
Grrrr...Grrrrr...
Keterkejutan ku segera lenyap. Berganti dengan naluri untuk melawan. Setidaknya tubuhku tidak akan dicabik –cabik dengan mudah oleh tiga ekor binatang laknat itu. Gagang obor bambu yang nyala apinya sudah mulai padam aku genggam erat –erat. Bambu sepanjang sekitar satu meter ini bisa jadi pentungan yang ampuh untuk menghajar ketiga anjing besar itu.
“ Mundur ! Mundur !”
Bentakku maju ke depan sambil aku bolang –baling kan bambu yang tergenggam erat di tangan. Tiga pasang mata merah itu seperti saling pandang. Serentak ke tiga anjing besar itu maju ke arah ku disertai dengusan dan geraman menggidikkan bulu kuduk. Bentakan saja ternyata tidak cukup. Secepat yang bisa aku lakukan segera aku ayunkan batang bambu ke arah anjing yang berdiri paling dekat dengan jangkauan pukulan ku.
Satu pukulan dengan telak menghajar kepala anjing yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan dua ekor lainnya. Anjing itu terjajar ke belakang. Sambil mengeluarkan bunyi melengking kesakitan. Meski lamat –lamat aku bisa melihat kalau kening bagian atas mata anjing itu robek mengeluarkan darah. Kedua anjing lainnya sepertinya marah melihat si kecil kena pukul. Kedua ekor binatang itu menggeram memperlihatkan taringnya yang besar runcing.
Desa Telaga Muncar terletak di balik bukit pegunungan Tepus. Suatu daerah yang bia dikatakan sangat terisolir. Jika panas atau musim kemarau panjang desa -desa di lereng pegunungan Tepus dilanda kekeringan dan sangat langka mendapatkan air. Lain halnya dnegan desa Telaga Muncar. Di desa ini hampir tidak pernah tersentuh kekeringan. Karena di tepi desa ini ada sebuah telaga yang sangat jernih airnya. Nama desa Telaga Muncar juga didapatkan dari telaga tersebut. Karena airnya tidak pernah kering maka diberi nama Telaga Muncar.
Aku menengadah ke atas. Terlihat bulan separuh berpendar. Cahayanya tidak dapat menerangi jalan yang aku lalui. Tiba- tiba aku ingat dengan perkataan perempuan pemilik warung tentang senjata. Aku sama sekali tidak membawa senjata apa –apa. Sekali dua kali aku melihat batang kayu sebesar lengan anak –anak berserakan di atas tanah merah ataupun batuan padas yang menonjol di sepanjang jalan.Terkadang timbul keinginan untuk mengambil satu batang untuk sekedar membela diri dari celeng atau babi hutan. Tapi hal itu aku buang jauh –jauh dari pikiran ku. Berbekal keberanian aku langkahkan kaki.
Makin jauh jalan yang aku lalui makin tidak beraturan. Menanjak, licin, beberapa ada lubang menganga dan berbatu – batu mencuat tajam mengerikan. Sesekali terdengar gemeretakan ranting pohon yang seperti terinjak oleh sesuatu. Aku hentikan kayuhan kaki ku. Suara itu ikut berhenti. Seekor musang hutan tiba-tiba berlari memotong langkah ku. Cukup membuat jatung ku nyaris lepas dari rongga dada. Setelah sejenak mengurut dada ku karena peristiwa mengejutkan barusan. Aku bergegas melanjutkan perjalanan.
Memang melelahkan hampir tiga jam lebih terguncang –guncang di dalam bus rombeng itu. Namun, bagaimana pun juga aku harus sampai malam ini juga di Desa Telaga Muncar. Teman –teman KKN ku dari salah satu universitas negeri di Jogja telah mendahuluiku berangkat ke Desa Telaga Muncar. Aku telat selama tiga hari baru bergabung dengan kelompok KKN ku. Bukan tanpa alasan, aku harus menunggu sampai tujuh hari meninggalnya nenek ku. Ibu dari bapak ku.Seharusnya aku sampai di desa Telaga Muncar siang tadi. Hanya karena bus rombeng itu beberapa kali mogok di jalan. Dan sialnya tidak ada satu pun bus yang mau menerima di oper.
Ku dekatkan batang obor dekat dengan pergelangan tangan kanan ku. Jarum arloji menunjukan pukul setengah satu lewat tengah malam.
“ Hmmm.. hampir satu jam ternyata aku berjalan di jalan setapak dengan kanan kiri semak belukar dan pepohon menjulang tinggi. Seperti jalan ini tidak berujung. Dimana sebenarnya Desa Telaga Muncar?!”
Krosak!!
Bunyi itu perlahan tetapi cukup terdengar di telingaku dalam kesunyian malam seperti ini. Aku berhenti. Lalu diam mendengarkan.
Krosak!!
Bunyi itu terdengar lagi.
Krosak! Krosak! Krosak!
Urat –urat di tubuhku serasa menegang kaku.
Krosak! Krosak! Krosak!
Krosak! Krosak! Krosak!
Suara itu datang dari kanan kiri semak belukar yang membentang di tepi sepanjang jalan.
Krosak! Krosak! Krosak!
Dan kini serentak dari kiri dan kanan. Gerakannya lambat tapi pasti. Terdengar dari bunyi ranting terinjak dan belukar yang tersibak. Itu gerakan sesosok makhluk. Jelas bukan manusia. Siapa juga manusia tengah malam keluyuran di jalan sepi yang kanan kiri dikelilingi pohon besar dan semak belukar. Suara mendengus bercampur dengan geraman terdengar di sisi kiri ku. Cahaya obor yang ada di tangan kanan ku nyala nya makin kecil lalu padam. Mungkin minyak tanah di dalam buluh bambu telah habis. Aku mengumpat dalam hati. Sekarang aku hanya berharap pada sinar bulan pucat temaram yang merembes dari sela –sela dedaunan.
Dari sisi kanan ku semak belukar tersingkap. Sesosok makhluk merangkak keluar berbulu kelabu kehitaman. Dua matanya mencorong menyala berwarna merah.Aku terpekik. Akan tetapi suara ku hanya sampai di tenggorokan. Seekor anjing mungkin juga sejenis serigala sebesar kambing berhenti tepat memotong di depan ku. Sepertinya sengaja berdiri untuk menghadangku. Kembali aku teringat dengan pesan perempuan pemilik warung tadi agar berhati –hati terhadap anjing liar yang mustinya tidak akan mengganggu manusia.
Grrrr...Grrrrr...
Aku menoleh ke kiri dengan cepat. Makhluk yang sama muncul dengan langkah –langklah berat dari arah berlawanan dengan binatang yang pertama tadi. Yang ini dua ekor, dan besar tubuhnya sebesar anak sapi. Lebih besar dari binatang yang tengah berdiri menghadang di depan ku. Ketiga binatang ini berjalan ke kiri dan ke kanan. Sementara yang berdiri menghadangku berjalan mendekati ku. Lalu binatang itu berhenti. Jarak ku mungkin hanya sekitar dua meter. Jalan ku di tutup. Benar –benar tidak bisa maju.
Grrrr...Grrrrr...
Grrrr...Grrrrr...
Keterkejutan ku segera lenyap. Berganti dengan naluri untuk melawan. Setidaknya tubuhku tidak akan dicabik –cabik dengan mudah oleh tiga ekor binatang laknat itu. Gagang obor bambu yang nyala apinya sudah mulai padam aku genggam erat –erat. Bambu sepanjang sekitar satu meter ini bisa jadi pentungan yang ampuh untuk menghajar ketiga anjing besar itu.
“ Mundur ! Mundur !”
Bentakku maju ke depan sambil aku bolang –baling kan bambu yang tergenggam erat di tangan. Tiga pasang mata merah itu seperti saling pandang. Serentak ke tiga anjing besar itu maju ke arah ku disertai dengusan dan geraman menggidikkan bulu kuduk. Bentakan saja ternyata tidak cukup. Secepat yang bisa aku lakukan segera aku ayunkan batang bambu ke arah anjing yang berdiri paling dekat dengan jangkauan pukulan ku.
Satu pukulan dengan telak menghajar kepala anjing yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan dua ekor lainnya. Anjing itu terjajar ke belakang. Sambil mengeluarkan bunyi melengking kesakitan. Meski lamat –lamat aku bisa melihat kalau kening bagian atas mata anjing itu robek mengeluarkan darah. Kedua anjing lainnya sepertinya marah melihat si kecil kena pukul. Kedua ekor binatang itu menggeram memperlihatkan taringnya yang besar runcing.
Quote:
Ketika itulah terdengar suara sayup –sayup yang sampai ke telingaku. Lalu kelap – kelip titik api yang timbul tenggelam meliuk -liuk. Aku berteriak sekencang –kencangnya sekuat tenaga.
“ Tolong ! Tolong !”
Dengan obor di tangan lima orang lelaki berlari mendekati ku. Pada saat itulah ketiga ekor anjing berwarna kelabu kehitaman itu menggeram setengah menjerit kemudian lari tunggang langgang menerobos rimbunan semak belukar. Dua ekor anjing lainnya mengikuti gerakan anjing yang pertama. Semak belukar mengeluarkan suara bergemerisikan, kian lama kian menjauh kemudian sepi mencekam. Tinggal desah nafasku yang tersengal –sengal dan denyut jantung ku yang berdebar –debar. Dan aku bernafas lega. Ternyata aku tidak berada jauh dari mulut desa. Jalan di depan ku berakhir di sebuah tanah lapang yang dikelilingi rumah penduduk Telaga Muncar.
“ ..... ada apa?”
Salah seorang yang memakai ikat kepala hitam bertanya serasa memandangi sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu berhenti lama sekali di wajahku. Aku menghela nafas lega. Telah menemukan manusia lagi di sekitar ku. Setelah perjalanan yang teramat panjang dan teramat menegangkan itu. Tiga ekor anjing, dua diantaranya sangat besar untuk ukuran seekor anjing, kukira bukan cerita yang bisa menarik simpati untuk disampaikan pada orang –orang itu. Oleh karena itu, seraya membetulkan letak tali ransel yang agak longgar. Aku mneyahut dengan suara ditenang – tenangkan.
“ Enggak apa –apa. Ini desa Telaga Muncar?”
“ Ya. Ada apa tadi? Aden berteriak –teriak mengejutkan kami yang sedang meronda “
“ Maafkan atas kelancangan saya. Tadi saya cuma kaget saja “
“ Kaget ?!”
Aku cepat mencari sebab.
“ Saya terperosok lalu jatuh “
Lalu aku tertawa.
“ Tepatnya mencari sesuatu. Ransel ini, lepas talinya. Dan..saya lelah sekali. Bolehkan aku teruskan perjalanan?”
Orang itu menyingkir dari depanku.
“ Kang, mungkin dia salah seorang mahasiswa dari Jogja itu yang sekarang tinggal di tempat kepada desa “
Aku cepat membalik. Menatap wajah orang yang berbicara itu. Seorang lelaki muda mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun dari usia ku. Rambut tersisir rapi, wajah kelimis dan kain sarung dibelitkan pada pinggang. Ia agak terkesiap waktu kupandang dan kemudian menjadi biasa kembali setelah kulempar seulas senyum kepadanya.
“ Saya memang salah satu mahasiswa KKN dari Jogja. Kalu boleh tahu dimana kawan –kawan saya tinggal?”
“ Mari kami antarkan”, sambut lelaki berikat kepala itu.
“ Tolong ! Tolong !”
Dengan obor di tangan lima orang lelaki berlari mendekati ku. Pada saat itulah ketiga ekor anjing berwarna kelabu kehitaman itu menggeram setengah menjerit kemudian lari tunggang langgang menerobos rimbunan semak belukar. Dua ekor anjing lainnya mengikuti gerakan anjing yang pertama. Semak belukar mengeluarkan suara bergemerisikan, kian lama kian menjauh kemudian sepi mencekam. Tinggal desah nafasku yang tersengal –sengal dan denyut jantung ku yang berdebar –debar. Dan aku bernafas lega. Ternyata aku tidak berada jauh dari mulut desa. Jalan di depan ku berakhir di sebuah tanah lapang yang dikelilingi rumah penduduk Telaga Muncar.
“ ..... ada apa?”
Salah seorang yang memakai ikat kepala hitam bertanya serasa memandangi sekujur tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu berhenti lama sekali di wajahku. Aku menghela nafas lega. Telah menemukan manusia lagi di sekitar ku. Setelah perjalanan yang teramat panjang dan teramat menegangkan itu. Tiga ekor anjing, dua diantaranya sangat besar untuk ukuran seekor anjing, kukira bukan cerita yang bisa menarik simpati untuk disampaikan pada orang –orang itu. Oleh karena itu, seraya membetulkan letak tali ransel yang agak longgar. Aku mneyahut dengan suara ditenang – tenangkan.
“ Enggak apa –apa. Ini desa Telaga Muncar?”
“ Ya. Ada apa tadi? Aden berteriak –teriak mengejutkan kami yang sedang meronda “
“ Maafkan atas kelancangan saya. Tadi saya cuma kaget saja “
“ Kaget ?!”
Aku cepat mencari sebab.
“ Saya terperosok lalu jatuh “
Lalu aku tertawa.
“ Tepatnya mencari sesuatu. Ransel ini, lepas talinya. Dan..saya lelah sekali. Bolehkan aku teruskan perjalanan?”
Orang itu menyingkir dari depanku.
“ Kang, mungkin dia salah seorang mahasiswa dari Jogja itu yang sekarang tinggal di tempat kepada desa “
Aku cepat membalik. Menatap wajah orang yang berbicara itu. Seorang lelaki muda mungkin usianya hanya terpaut beberapa tahun dari usia ku. Rambut tersisir rapi, wajah kelimis dan kain sarung dibelitkan pada pinggang. Ia agak terkesiap waktu kupandang dan kemudian menjadi biasa kembali setelah kulempar seulas senyum kepadanya.
“ Saya memang salah satu mahasiswa KKN dari Jogja. Kalu boleh tahu dimana kawan –kawan saya tinggal?”
“ Mari kami antarkan”, sambut lelaki berikat kepala itu.
Quote:
Kami kemudian berjalan beriring –iringan masuk desa. Tadi ku kira rumah tempat kelima laki –laki ini keluar adalah sebuah rumah. Ternyata, pos ronda berlantaikan tanah. Asap putih merembes keluar menghamburkan aroma singkong bakar. Ketegangan tadi sontak berubah berganti dengan perasaan lapar yang melilit perut.
Setelah melewati beberapa rumah yang gelap dan sepi serta hening malam dengan nyala obor pada tiap pagar depan rumah –rumah itu yang berkelap –kelip meliuk diterpa angin. Kami kemudian berhenti disebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan rumah –rumah yang telah kami lalui. Halamannya luas, di beberapa sudut tampak pohon mangga menjulang dengan kokoh. Sebuah kebun bunga tampak berseri dalam siraman cahaya bulan. Teras dengan tegel berwarna kuning. Dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota besar.
“ Nah, den”, suara seorang pengiringku dengan nada yang agak janggal.
“ Kami tidak lagi diperlukan bukan?”
Aku hanya tersenyum lalu mengucapkan terimakasih. Memperhatikan kelimanya berjalan keluar pagar. Disana, mereka berhenti, memutar tubuh memperhatikan. Aku mengangguk lagi dan mereka pergi. Obor segera aku taruh di pojok teras. Lalu mengetuk pintu.
Sepi di dalam. Hanya cahaya temaram dari pelita yang terlihat keluar dari sela –sela ventilasi dan tirai tipis yang menutup jendela kaca tadi.
Aku mengetuk lagi. Lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Ketika aku melihat bayangan tubuh lelaki di ambang pintu yang telah terbuka.
“ Selamat malam Pak “ Aku menyapa kaku.
Laki –laki itu meninggikan lampu minyak di tangannya, dekat ke wajahku. Ia berumur sekitar lima puluh tahun, bertubuh sedang dan tingginya pun sama dengan ku.
“ Kau Zulham? “
“ Ya, Pak “
Lampu minyak ia turunkan. Lalu menyisi memberi jalan.
“ Masuklah “
Aku segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus untuk ukuran di desa yang terpencil. Suara pintu dipalang terdengar di belakangku. Ransel aku lepas dan ku letakkan di lantai. Aku duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu kursi. Empuk rasanya setelah tadi siang berjam –jam duduk di kursi bus yang terbuat dari papan kayu dilapis busa tipis yang sudah berlubang –lubang. Lelaki setengah baya itu meletakkan lampu minyak di atas meja kemudian memperhatikan diriku.
“ Saya Jumadi. Kepala Desa Telaga Muncar. Semua mahasiswa kawan –kawan mu itu sementara tinggal di sini selama kalian berkegiatan “
Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangannya padaku. Aku sambut telapak tangan yang besar dan kasar itu.
“ Kata Ida kau akan datang siang hari. Ada longsor di jalan?”
Ida adalah kawan ku yang menjadi ketua KKN. Dia beda fakultas dengan ku. Akan tetapi, aku sudah mengenalnya dengan baik. Secara kami berdua tergabung dalam satu organisasi kemahasiswaan yang sama. Bahkan, aku mulai menyukainya. Tetapi hal itu tidak berani aku ungkapkan secara langsung.
“ Enggak, pak. Bus nya mogok di jalan “
Nasib mu sedang mujur Nak. Di musim hujan seperti ini jarang ada kendaraan yang mau naik. Paling juga berhenti di kaki bukit di bawah itu “ Ia tersenyum.
“ .... kubuatkan kopi, ya? “
Aku hendak mencegah, tetapi lelaki itu telah masuk ke dalam. Ku ikuti dengan pandangan mata ku sampai menghilang di balik tirai ruang tenagh yang kemudian tertutup. Tirai itu bergerak – gerak sedikit. Lalu diam. Kuharap tirai itu tersingkap dan temen – temen ku muncul di depan ku. Ida salah satu yang sangat aku harapkan menemuiku malam itu. Tetapi sampai dua kali kaki ku selonjorkan dan tiga kali otot – otot lengan kurenggangkan, gadis itu tidak kelihatan juga. Mungkin sudah terlalu lelap setelah siang sampai malam menyusun dan mengerjakan kegiatan KKN di desa ini.
Lelaki paruh baya tadi keluar dengan sebuah nampan dengan gelas berisi dua gelas kopi panas yang masih menghamparkan aroma. Ia letakkan gelas kopi itu di depanku. Duduk di kursi yang berseberangan lantas mempersilahkan aku minum.
“ Sendirian dari jalan?”
“ Ya, pak “
“ Kau pemberani. Untuk kami memang biasa, tetapi untuk orang kota yang baru datang pertama kali...”
“ Tak terjadi sesuatu di jalan tadi?”
“ Ada anjing besar lewat. Itu saja “, jawabku. Setengah tak peduli.
Tetapi akibatnya di luar dugaanku. Wajah laki –laki kepala desa Telaga Muncar itu berubah agak pucat. Ia mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Menghela nafas panjang, liirh dan resah. Aku kurang memahami soal perubahan wajah yang sangat tiba –tiba itu. Setelah sekian lama terdiam, Pak Jampadi bergumam.
“ Lapar, nak Zulham? “
“ Sudah Pak. Tadi sempat makan di bawah “
Aku berbohong soal itu. Padahal perutku rasanya seperti melilit –lilit sangat lapar. Akan tetapi, aku tidak enak. Aku lihat Pak Jumadi hanya seorang diri dan aku tidak bakalan sampai hati tengah malam hampir pagi ini rela bersibuk –sibuk untuk memasak makan untukku.
“ Oh ya, maaf Pak? Bapak disini tinggal sendiri sebelum kawan –kawan saya ada di desa ini?
Pandangan lelaki paruh baya ini kembali menerawang. Seperti berusaha membuka halaman pertama buku kenangan yang tersimpan di pikirannya.
“ Saya di desa ini hidup sendirian tanpa anak sejak istri meninggal dua puluh tahun lalu itu. Anak saya ada tiga orang semuanya merantau ke luar Pulau Jawa “
Aku sebenarnya ingin berbasa –basi. Ternyata salah.
“ Maaf, Pak. Saya tidak tahu “
“ Tidak apa Nak. Ayo, silahkan di habiskan kopinya keburu dingin. Setelah itu akan saya tunjukkan kamar dimana bisa beristirahat sampai besok pagi “
Ia tersenyum agak kaku tampaknya.
“ Kuantar kan ke kamar, nak Zulham ?”
Aku hanya mengangguk dan beranjak dari kursi, mengikuti Pak Jumadi yang telah terlebih dahulu berjalan di depan ku. Setelah sebelumnya aku raih tas ransel yang tadi aku geletakkan di atas lantai. Melewati ruang tengah merangkap ruang makan dengan tiga buah pintu tertutup yang saling berdampingan. Kami kemudian memasuki salah satu kamar yang berderet –deret menyerupai paviliun kecil di samping rumah. Segalanya tampak sudah dipersiapkan. Sepasang kursi duduk tersusun rapi, sebuah meja ukuran besar dengan beberapa buku tulis, lembaran kertas kerja serta beberapa majalah.
“ Kawan –kawan mu semua sudah beristirahat di kamar –kamar itu nak “
“ Kau juga masuklah “
Pak Jumadi membuka pintu kamar yang memang sengaja tidak di kunci. Lemari berpintu dua yang salah satunya berkaca pantul dan tempat tidur bersusun dua berkasur tebal dengan sulaman bunga anggrek di setiap sisinya.
Aku lihat Nathan dan Alit tidur berpunggungan di bagian atas ranjang itu. Keduanya tidur sangat lelap seperti orang mati. Hanya nafas dan dengkur liirh mereka yang sesekali terdengar.
“ Tidurlah yang nyenyak Nak dan besok pagi kau dan kawan –kawan mu sudah bisa bertemu dan berkumpul lagi. Bapak tinggal dulu ya ?”
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih lalu menutup pintu. Tubuh aku hempaskan ke atas ranjang. Rasanya sangat nikmat! Segelas kopi tadi tidak mempengaruhi diriku, karena sebentar saja kelopak mata ku sudah sangat terasa berat. Aku hampir terlelap ke alam mimpi. Tatkala terdengar bunyi berderak seperti jendela kamar diterjang bersamaan dengan pekik nyaring ketakutan dari suara seorang perempuan. Aku terlonjak dari tempat tidur. Sontak aku berlari keluar dari kamar!
Setelah melewati beberapa rumah yang gelap dan sepi serta hening malam dengan nyala obor pada tiap pagar depan rumah –rumah itu yang berkelap –kelip meliuk diterpa angin. Kami kemudian berhenti disebuah rumah yang termasuk agak besar dibandingkan dengan rumah –rumah yang telah kami lalui. Halamannya luas, di beberapa sudut tampak pohon mangga menjulang dengan kokoh. Sebuah kebun bunga tampak berseri dalam siraman cahaya bulan. Teras dengan tegel berwarna kuning. Dan bentuk jendela kaca yang sedang populer di kota besar.
“ Nah, den”, suara seorang pengiringku dengan nada yang agak janggal.
“ Kami tidak lagi diperlukan bukan?”
Aku hanya tersenyum lalu mengucapkan terimakasih. Memperhatikan kelimanya berjalan keluar pagar. Disana, mereka berhenti, memutar tubuh memperhatikan. Aku mengangguk lagi dan mereka pergi. Obor segera aku taruh di pojok teras. Lalu mengetuk pintu.
Sepi di dalam. Hanya cahaya temaram dari pelita yang terlihat keluar dari sela –sela ventilasi dan tirai tipis yang menutup jendela kaca tadi.
Aku mengetuk lagi. Lebih keras.
Lalu ada suara langkah –langkah kaki. Tertegun –tegun dan agak kaku. Ketika aku melihat bayangan tubuh lelaki di ambang pintu yang telah terbuka.
“ Selamat malam Pak “ Aku menyapa kaku.
Laki –laki itu meninggikan lampu minyak di tangannya, dekat ke wajahku. Ia berumur sekitar lima puluh tahun, bertubuh sedang dan tingginya pun sama dengan ku.
“ Kau Zulham? “
“ Ya, Pak “
Lampu minyak ia turunkan. Lalu menyisi memberi jalan.
“ Masuklah “
Aku segera berada di ruang tamu yang cukup besar, dilengkapi dengan perabotan yang bisa dikatakan bagus untuk ukuran di desa yang terpencil. Suara pintu dipalang terdengar di belakangku. Ransel aku lepas dan ku letakkan di lantai. Aku duduk seraya menghela nafas panjang disalah satu kursi. Empuk rasanya setelah tadi siang berjam –jam duduk di kursi bus yang terbuat dari papan kayu dilapis busa tipis yang sudah berlubang –lubang. Lelaki setengah baya itu meletakkan lampu minyak di atas meja kemudian memperhatikan diriku.
“ Saya Jumadi. Kepala Desa Telaga Muncar. Semua mahasiswa kawan –kawan mu itu sementara tinggal di sini selama kalian berkegiatan “
Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangannya padaku. Aku sambut telapak tangan yang besar dan kasar itu.
“ Kata Ida kau akan datang siang hari. Ada longsor di jalan?”
Ida adalah kawan ku yang menjadi ketua KKN. Dia beda fakultas dengan ku. Akan tetapi, aku sudah mengenalnya dengan baik. Secara kami berdua tergabung dalam satu organisasi kemahasiswaan yang sama. Bahkan, aku mulai menyukainya. Tetapi hal itu tidak berani aku ungkapkan secara langsung.
“ Enggak, pak. Bus nya mogok di jalan “
Nasib mu sedang mujur Nak. Di musim hujan seperti ini jarang ada kendaraan yang mau naik. Paling juga berhenti di kaki bukit di bawah itu “ Ia tersenyum.
“ .... kubuatkan kopi, ya? “
Aku hendak mencegah, tetapi lelaki itu telah masuk ke dalam. Ku ikuti dengan pandangan mata ku sampai menghilang di balik tirai ruang tenagh yang kemudian tertutup. Tirai itu bergerak – gerak sedikit. Lalu diam. Kuharap tirai itu tersingkap dan temen – temen ku muncul di depan ku. Ida salah satu yang sangat aku harapkan menemuiku malam itu. Tetapi sampai dua kali kaki ku selonjorkan dan tiga kali otot – otot lengan kurenggangkan, gadis itu tidak kelihatan juga. Mungkin sudah terlalu lelap setelah siang sampai malam menyusun dan mengerjakan kegiatan KKN di desa ini.
Lelaki paruh baya tadi keluar dengan sebuah nampan dengan gelas berisi dua gelas kopi panas yang masih menghamparkan aroma. Ia letakkan gelas kopi itu di depanku. Duduk di kursi yang berseberangan lantas mempersilahkan aku minum.
“ Sendirian dari jalan?”
“ Ya, pak “
“ Kau pemberani. Untuk kami memang biasa, tetapi untuk orang kota yang baru datang pertama kali...”
“ Tak terjadi sesuatu di jalan tadi?”
“ Ada anjing besar lewat. Itu saja “, jawabku. Setengah tak peduli.
Tetapi akibatnya di luar dugaanku. Wajah laki –laki kepala desa Telaga Muncar itu berubah agak pucat. Ia mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahnya. Menghela nafas panjang, liirh dan resah. Aku kurang memahami soal perubahan wajah yang sangat tiba –tiba itu. Setelah sekian lama terdiam, Pak Jampadi bergumam.
“ Lapar, nak Zulham? “
“ Sudah Pak. Tadi sempat makan di bawah “
Aku berbohong soal itu. Padahal perutku rasanya seperti melilit –lilit sangat lapar. Akan tetapi, aku tidak enak. Aku lihat Pak Jumadi hanya seorang diri dan aku tidak bakalan sampai hati tengah malam hampir pagi ini rela bersibuk –sibuk untuk memasak makan untukku.
“ Oh ya, maaf Pak? Bapak disini tinggal sendiri sebelum kawan –kawan saya ada di desa ini?
Pandangan lelaki paruh baya ini kembali menerawang. Seperti berusaha membuka halaman pertama buku kenangan yang tersimpan di pikirannya.
“ Saya di desa ini hidup sendirian tanpa anak sejak istri meninggal dua puluh tahun lalu itu. Anak saya ada tiga orang semuanya merantau ke luar Pulau Jawa “
Aku sebenarnya ingin berbasa –basi. Ternyata salah.
“ Maaf, Pak. Saya tidak tahu “
“ Tidak apa Nak. Ayo, silahkan di habiskan kopinya keburu dingin. Setelah itu akan saya tunjukkan kamar dimana bisa beristirahat sampai besok pagi “
Ia tersenyum agak kaku tampaknya.
“ Kuantar kan ke kamar, nak Zulham ?”
Aku hanya mengangguk dan beranjak dari kursi, mengikuti Pak Jumadi yang telah terlebih dahulu berjalan di depan ku. Setelah sebelumnya aku raih tas ransel yang tadi aku geletakkan di atas lantai. Melewati ruang tengah merangkap ruang makan dengan tiga buah pintu tertutup yang saling berdampingan. Kami kemudian memasuki salah satu kamar yang berderet –deret menyerupai paviliun kecil di samping rumah. Segalanya tampak sudah dipersiapkan. Sepasang kursi duduk tersusun rapi, sebuah meja ukuran besar dengan beberapa buku tulis, lembaran kertas kerja serta beberapa majalah.
“ Kawan –kawan mu semua sudah beristirahat di kamar –kamar itu nak “
“ Kau juga masuklah “
Pak Jumadi membuka pintu kamar yang memang sengaja tidak di kunci. Lemari berpintu dua yang salah satunya berkaca pantul dan tempat tidur bersusun dua berkasur tebal dengan sulaman bunga anggrek di setiap sisinya.
Aku lihat Nathan dan Alit tidur berpunggungan di bagian atas ranjang itu. Keduanya tidur sangat lelap seperti orang mati. Hanya nafas dan dengkur liirh mereka yang sesekali terdengar.
“ Tidurlah yang nyenyak Nak dan besok pagi kau dan kawan –kawan mu sudah bisa bertemu dan berkumpul lagi. Bapak tinggal dulu ya ?”
Aku mengangguk, mengucapkan terimakasih lalu menutup pintu. Tubuh aku hempaskan ke atas ranjang. Rasanya sangat nikmat! Segelas kopi tadi tidak mempengaruhi diriku, karena sebentar saja kelopak mata ku sudah sangat terasa berat. Aku hampir terlelap ke alam mimpi. Tatkala terdengar bunyi berderak seperti jendela kamar diterjang bersamaan dengan pekik nyaring ketakutan dari suara seorang perempuan. Aku terlonjak dari tempat tidur. Sontak aku berlari keluar dari kamar!
Diubah oleh breaking182 17-12-2018 19:22
itkgid dan 13 lainnya memberi reputasi
14
Kutip
Balas