- Beranda
- Stories from the Heart
Become True (Kakak)
...
TS
riani14
Become True (Kakak)
Quote:
WARNING!!!
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
DILARANG KERAS!!! MENGCOPY / AKSI PLAGIAT/ SHARE TANPA SEIZIN PENULIS.
JIKA TERJADI, SAYA AKAN MENINDAK TEGAS, TERKAIT DENGAN HAK CIPTA PENULIS.
Quote:
Jangan Lupa...tinggalkan jejak berupa KRITIK/ SARAN agan2 dan Sista2.



Dan Jangan Lupa






Dan Jangan Lupa



Quote:
Genre:FIKSI

Quote:

Quote:
INDEX
Part 1
Part 2
Part 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40 ( revisi )
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
PART 57
PART 58
PART 59
PART 60
PART 61
PART 62
PART 63
PART 64
PART 65
PART 66
PART 67
PART 68
PART 69
PART 70 + extra part
PART 71
PART 72
PART 73
PART 74
PART 75
EPILOG
ADAM MOMENT
Prolog
Barisan antrian mengular mengisi salah satu sisi toko buku besar yang ada di kawasan mall ibu kota. Antrian terjadi bukan tanpa alasan, kehadiran penulis novel bestseller dengan judul fenomenal 'BECOME TRUE' menjadi pemyebabnya.
Penulis berjilbab itu tampak ramah menyapa para pembacanya sambil membubuhkan tanda tangan di novel karyanya yang selalu ludes di buru penggemar. Berbagai komentar manis dan menyenangkan terlontar dari para pembaca setianya yang berasal dari berbagai kalangan dan usia itu.
Ya ampun kak Medina, aslinya cantik banget.
Iya. Ramah banget lagi.
Nggak heran sih dia bisa sesukses sekarang, orangnya baik gitu
Berbagai celotehan itu samar – samar melewati indra pendengarannya, ia tersenyum sekaligus bersyukur atas apa yaang ia raih saat ini.
Tapi...kebahagiaan yang ia dapatkan sekarang terasa kurang lengkap oleh satu hal. Hal paling penting dalam hidupnya, yang pernah ia tinggalkan.Dan saat ia ingin semuanya kembali, ia malah kehilangan segalanya. Ia kehilangan kepercayaan dan senyuman itu. Bahkan ia kehilangan kesempatan untuk sekedar menyampaikan permintaan maaf.
Lamunan tentang masa lalu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Membuat heran para penggemarnya. Sadar jadi pusat perhatian, lekas ia mengusap air mata yang turut jatuh membasahi buku yang seharusnya ia tanda tangani itu.
" Jangan sedih. Dia nggak pernah ninggalin kamu."
Suara berat seseorang yang sudah lama tidak pernah menyapanya, sontak membuat gadis berlesung pipi ini mengangkat wajah. Air mata yang tadi mulai berhenti mengalir kini kembali tumpah kian deras namun di sertai senyum bahagia mendapati siapa yang berdiri di hadapannya kini.
Dia kembali.
Quote:
PART 1
Derap langkah kaki jenjang seorang gadis terlihat lincah menapaki setiap anak tangga yang berjejer rapi. Bulir keringat terlihat kian membasahi dahi mulusnya. Rambut panjang yang di kuncir ekor kuda kini tampak lepek, tak ada indah – indahnya sama sekali. Ingin sekali rasanya dia memaki orang yang memintanya mendatangi rooftop rumah susun berlantai 15 ini.
Bukan masalah berapa lantai yang harus ia tempuh, melainkan tidak ada akses alternatif menuju rooftop selain melewati tangga. Belum lagi ramainya kawasan rumah susun yang membuat langkahnya semakin tak leluasa. Mata hitamnya sesekali melihat kearah arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.29, itu artinya satu menit lagi ia akan terlambat dari waktu yang di janjikan.
Gadis berlesung pipi ini kian mempercepat langkahnya, ia tidak boleh terlambat ini kesempatan bagus demi mewujudkan mimpinya selama ini. Mimpi yang selama ini hanya jadi bahan lelucon teman – teman satu kampusnya.
Dengan nafas nyaris terputus akhirnya ia tiba di puncak gedung. Naamun apa yang ia temui ternyata sangat jauh dari ekspektasinya. Tak ada siapa – siapa di sana, hanya ada deretan jemuran yang berbaris dan melambai – lambai di hembus angin pengantar senja. Sepasang matanya terlihat sayu memandangi naskah cerita yang sudah di jilid rapi, yang sejak tadi ada dalam genggaman.
Kemana orang yang meneleponnya tadi? Kemana pimpinan penerbitan yang harus ia temui sore ini? Kemana orang yang bisa memberikannya jalan untuk mewujudkan mimpinya menjadi seorang penulis terkenal? Kemana-.
Lamunan itu pecah saat gelak tawa seseorang membentur gendang telinganya, ia menoleh cepat ke sumber suara dengan tangan terkepal. Ia kenal suara itu, seorang bocah yang senang melihatnya seperti ini. Melihatnya jatuh dan kehilangan semangat untuk mimpi – mimpinya. Bukan bocah dalam arti sesungguhnya, melainkan dalam artian sifat laki – laki itu yang menurutnya sangat kekanak – kanakan. Laki – laki jangkung berkacamata yang kini berdiri tepat dihadapannya ini, selalu jadi tersangka utama untuk setiap moment menyebalkan dalam kehidupannya sejak satu tahun terakhir.
“ Jadi ini kerjaan lo?” hardiknya yang di sambut dengan senyum meledek dari laki – laki itu. Ia semakin kesal, bolehkah ia memaki orang yang akan ia temui sekarang?
“ Lo bisa nggak sih, nggak ngusilin gue sehari aja?” kesalnya dengan tatapan marah.
“ Bisa. Asal lo mau jadi pacar gue?”
Lagi. Kata – kata yang sama yang selalu ia dengar sepanjang tahun ini. Membosankan.
“ Jadi pacar lo? Nggak akan pernah, bahkan dalam mimpi lo sekalipun.”
Hening kemudian menguasai keduanya, tak ada yang membuka suara terkecuali tatapan saling mengintimidasi satu sama lain yang mereka layangkan saat ini. Hingga beberapa saat kemudian suara berat seseorang menghentikan kegiatan keduanya.
“ Pada ngapain?” tanya cowok yang punya sorot mata teduh itu, yang kini berdiri tegak persis di antara keduanya. Tumpukan pakaian kering ada dalam dekapan tubuh tegapnya. Iris mata hitam pekatnya melirik ke kiri dan kekanan, menanti jawaban dari dua orang ini.
“ Kak Adam,” seru keduanya kompak dengan mata membelalak kaget. Entah malu atau kesal karena kehadiran Adam yang tiba – tiba, keduanya saling membuang pandangan ke sembarang arah.
Gadis berlesung pipi itu yang terlihat sangat gusar dengan kehadiran Adam, ia memilih berdiri memunggungi Adam daripada harus bertemu tatap dengannya. Terlalu mengerikan dan membuat lidahnya kelu. Kakaknya itu pasti akan sangat, sangat, sangat marah melihat kelakuannya hari ini. Belum lagi apa yaang ia kenakan saat ini, kaos hitam rangkap kemeja kebesaran, topi baseball buluk dikepala serta celana jeans sobek yang membungkus kaki jenjangnya, membuatnya terlihat seperti preman jalanan ketimbang adik satu – satunya seorang Adam Vegar Raditya, yang terkenal cerdas dan berperangai baik bak malaikat. Apa yang ia kenakan saat ini, sudah cukup menjadi alasan untuk Adam mengomelinya habis – habisan.
“ Medina. Pulang,” Itu bukan ajakan, itu perintah.
Medina reflek memutar badannya,” ta-tapi kak, urusan aku sama dia belum kelar,” sela Medina sambil mengarahkan telunjuk dan tatapan melototnya pada cowok berkacamata yang sejak tadi hanya diam memperhatikan. “ Dia tu...,” Medina menjeda ucapannya, lirikan tajam Adam dan hentakan nafasnya sukses membungkam mulutnya. Jika Adam sudah seperti itu, artinya dia tak ingin di bantah.
“ Iya...iya...aku pulang.”
Dengan kepala tertunduk dan bibir mengerucut, Medina menyusul langkah Adam yang telah berada didepannya. Ia kembali menghentikan langkahnya ketika mendengar cekikikan dari arah belakang. Medina menoleh dan memandangi cowok berkacamata tadi dengan tatapan membunuh, darahnya serasa mendidih, melihat cowok tadi tampak puas menertawainya. Ia kembali ingin mendekat dan memberi pelajaran pada musuh bebuyutannya itu, tapi apa mau di kata, langkahnya tertahan karena Adam telah lebih dulu menarik kerah kemejanya dan menyeretnya persis anak kucing.
“ Ah...kak Adam, aku harus beri dia pelajaran dulu,” rengek Medina.
“ Pelajaran apa? Kamu sendiri masih butuh di ajari.”
“ Kak...,”
“ Diam.”
Medina tahu betul kakaknya itu tidak suka di bantah, tapi entah mengapa ia justru jadi orang yang paling sering membantah perkataan kakaknya. Walau ia bandel dan kakaknya cukup tegas serta over protective terhadap dirinya, ia tetap menyayangi kakak semata wayangnya itu. Bagaimanapun, Adam adalah satu – satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orang tuanya.
“ Kak, dia itu udah ngebohongin aku, dia harus dapat balasannya.”
“ Salah kamu, kenapa gampang banget di bohongin,” tuding Adam sambil menggedor salah satu pintu rumah yang berada di lantai 10.
“ Bukannya gitu, aku cuma-,” ucapan Medina tertahan saat si empunya rumah keluar dan menerima pakaian kering yang sedari tadi di bawa Adam.
Wanita paruh baya itu juga tampak memberikan beberapa lembar uang lima ribuan pada Adam. Adam menerimanya seraya mengucapkan terima kasih.
“ Kak, Nando itu emang rese’. Aku selalu jadi bahan lelucon dia di kampus. Kakak tahu itu kan? Jadi...apa salahnya aku kasih dia pukulan sedikit biar jera,” Medina kembali buka suara saat ibu berambut sebahu tadi masuk ke rumah dan menutup pintu.
“ Kamu itu cewek. Nggak pantes kayak gitu.”
“ Kakak...cewek itu juga perlu pertahanan diri.”
“ Pertahanan diri buat hal yang penting, bukan buat ngeladenin orang rese’.”
“ Tapi, Kak-,”
“ Kakak nggak pernah ngajarin kamu berkelakuan kayak preman begitu.”
Mereka terus saja berdebat sambil menapaki satu persatu anak tangga menuju ke lantai dasar. Keduanya saling tidak mau mengalah. Keduanya keukeuh mempertahankan argumen masing – masing.
Yang mereka ributkan tentu saja bukan hanya soal kelakuan Medina yang sebelas dua belas sama preman pasar, tapi juga cara berpakaian Medina yang sangat di tentang oleh sang kakak. Adam sudah berulang kali menasehati Medina untuk berpakaian lebih santun dan feminim, tapinpercuma nasehat itu mental duluan sebelum masuk ke telinga adiknya. Medina terlalu keras kepala.
“ Pokoknya mulai besok kakak nggak mau liat kamu berpenampilan kayak gini lagi,” tegas Adam dengan tatapan dingin.
“ Tapi...kak, aku nyaman dengan penampilan aku yang sekarang.”
Adam memijat pelipisnya, ia seperti kehabisan kata – kata untuk menasehati adiknya itu. Terlalu keras di beritahu, Medina akan semakin melawan. Tapi jika bersikap lembut, Medina malah ngelunjak.
Adam menghela nafas kasar, akan lebih baik ia menyudahi perdebatan ini sebelum Medina ngambek dan kabur dari rumah seperti kebiasaannya yang sudah – sudah.
“ Kakak berangkat kerja dulu. Kamu langsung pulang,” titah Adam dan kemudian berlalu pergi meninggalkan pelataran parkir rumah susun serta Medina yang terlihat semringah karena kakaknya tidak lagi berkomentar soal apa yang ia kenakan. Atau...lebih tepatnya belum berkomentar. Entahlah...apapun itu yang penting sekarang Medina tidak harus menuruti kemauan kakaknya untuk mengubah penampilan tomboynya itu.
“ Baru tahu gue, kalau ‘macan kampus’ punya pawang.”
Kalimat bernada meledek itu, menyentil emosi Medina yang kian menggunung. Nando kini berdiri di sisinya dengan melayangkan senyum yang dibuat semanis – manisnya, tapi entah kenapa terlihat begitu menyebalkan bagi Medina.
“ Oh...mulut lo itu kayaknya butuh belaian langsung dari bogem mentah gue ya?” tanya Medina sambil menyingsingkan lengan kemejanya, menantang.
“ Ya elah Na, jangankan bogem mentah. Di cium mesra sama lo aja, gue pasrah,” Nando semakin semringah. Tak gentar menghadapi kemarahan Medina yang sudah sangat sering ia lihat.
Tapi...tingkahnya justru semakin menaikkan kadar kemarahan Medina,” Nando!!”
Medina siap melayangkan tinjunya, Nando reflek menghindar melarikan diri.
Aksi saling kejar – kejaran layaknya Tom and Jerry mengisi pelataran parkir rumah susun yang terlihat sepi. Medina dan Nando sebenarnya telah saling mengenal sejak masih ingusan, tapi karena keusilan Nando, keduanya malah tidak pernah akur.
Walau takdir terus – terusan mempertemukan mereka di tempat yang sama. Sekolah yang sama dari jaman Tk hingga SMA, bahkan kampus yang sama, itu tak membuat keduanya bisa menjalin pertemanan yang baik, apalagi sejak Nando menyatakan cintanya pada Medina satu tahun lalu. Gadis bermata hitam pekat itu seakan kian antipati kepadanya.
Apa sikap antipati itu untuk menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya pada Nando? Atau memang ia ingin membuat Nando menjauh? Entahlah, apapun itu toh usahanya untuk membuat Nando menjauh tak pernah berhasil. Cowok manis berkacamata itu justru kian sering muncul mengisi kehidupannya.
Terkadang, cinta itu keras kepala.
●●●
Diubah oleh riani14 07-10-2023 17:38
efti108 dan tien212700 memberi reputasi
5
76.5K
Kutip
1K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
riani14
#44
Quote:
PART 12
Cowok berambut ikal, bersenyum manis itu tak henti tersenyum memandangi gadis manis berjilbab yang ada dihadapannya. Seakan tak menyangka dengan pertemuan tak terduga antara mereka.
Dengan alasan ingin mengobrol dan bercerita banyak hal, ia mengajak Medina ke sebuah coffeshop yang berada tak jauh dari kampus. Medina yang tampak sangat senang bertemu dengan teman lama. Setuju – setuju saja. Dua cangkir cappucino panas telah tersaji di atas meja, menemani obrolan keduanya.
“ Sumpah...gue nyaris nggak ngenalin lo tadi. Gila...lo beda banget Na,” ucap Tirta dengan senyum lebar.
“ Hmm...itu pujian?” tanya Medina sambil melempar senyum usai meneguk sedikit minuman berkafein itu.
“ Yah...bisa di bilang begitu.”
“ By the way, lo sibuk apa’ an sekarang?”
“ Gue Cuma ngampus sama lagi siapin novel gue yang mau di terbitin aja.”
“ Lo masih suka nulis?” Medina tampak sedikit terkejut. Tak menyangka teman SMA nya yang dulu selalu menjadi penikmat tulisannya, kini juga masih melakukan hal yang sama dengan dirinya.
Menulis.
Tirta mengangguk cepat dan tersenyum,” Gue kan pernah bilang sama lo, gue nggak akan berhenti sampe gue bisa menelurkan karya besar dari tangan gue sendiri.”
“ Iya...iya gue ingat.”
“ Terus gimana sama lo?”
“ Ya...masih gitu – gitu aja. Belum ada perubahan yang mengejutkan.” Ucap Medina seketika kehilangan semangatnya. Agak tengsin sih, melihat teman seperjuangannya yang kini jauh lebih berhasil darinya.
Tirta aja yang minat nulisnya muncul karena seneng baca cerita lo, udah terbitin novel. Lah lo...apa kabar Na? Bahkan satu cerita lo pun, belum sukses tembus ke penerbit manapun. Memalukan.
“ Gue jadi kangen nih pengen baca tulisan lo lagi.” Antusias Tirta yang masih setia mempertahankan senyumannya. Berbeda dengan Medina yang kini justru lebih banyak melempar senyum canggung. Ia malu dengan Tirta.
“ Nggak ada yang berubah dari tulisan gue. Masih biasa – biasa aja.” Medina berusaha bersikap santai. Walau faktanya, ia tengah di landa perasaan minder yang udah nggak kira – kira.
“ Tetap aja, tulisan lo itu selalu jadi bacaan favorit gue.”
Tirta tak henti – henti memuji apapun dari Medina. Tapi...tak ada satupun dari pujian itu yang membuat Medina bangga apalagi merasa senang. Ia merasa Tirta terlalu berlebihan dalam memujinya.
Obrolan mereka berlanjut ke topik lain, mulai dari nostalgia masa SMA, cerita seru selama mereka tidak bertemu, hingga ke topik yang nggak penting sama sekali. Seperti...kapan wajah mereka berjerawat. Ok...abaikan yang ini.
“ Oh iya Tir, novel lo di pinang sama penerbit mana?” tanya Medina penasaran.
Tirta diam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. Medina masih memusatkan perhatiannya pada laki – laki berwajah tegas itu. Kini ia bukan hanya penasaran, tapi juga heran kenapa Tirta harus berpikir keras hanya untuk menjawab pertanyaannya yang bisa di bilang sangat...sangat sepele.
Pikiran Negatif perlahan muncul di benak Medina. Apa jangan – jangan Tirta berbohong? Tapi kenapa? Buat apa? .
Medina segera menepis jauh prasangkanya itu. Bagaimanapun ia tidak boleh berpikiran buruk terhadap siapapun.
“ Tir...kok lo diem?”
“ Ah...ng- nggak gue rada lupa nama penerbitnya. Tahu sendirilah, gue kirim naskahnya ke banyak penerbit. Jadi...gue lupa penerbit yang mana meminang karya gue.”
Medina mengangguk pelan. Alasan yang cukup masuk akal.
“ Oh iya, Na...gimana kabar kakak lo yang super protective itu?”
“ Kak Adam...alhamdulillah dia baik. “
“ Gue heran ya sama abang lo itu. Lo tu bukan anak kecil lagi, Na. Nggak perlulah seprotective itu. Udah gitu-“
“ Tir, gue cabut dulu ya,” sela Medina cepat. Ia baru ingat jika ia ada janji dengan Adam sore ini. Bahkan ia sudah lewat dari waktu yang seharusnya. Bahkan langit mulai terlihat gelap. Ia sudah sangat telat sekarang.
Kesalahan yang tadi saja belum tertebus, masa’ iya sekarang ia justru membuat kesalahan baru. Medina merasa sangat menyesal.
Medina bergegas meninggalkan cafe dalam keadaan cemas. Bahkan teriakan Tirta yang berusaha menahannya tak juga menghentikan langkahnya yang cepat.
Dalam pikirannya sekarang hanya satu, segera menemui Adam sebelum kakaknya itu marah besar. Kalian tidak akan menyangka marahnya Adam, malah lebih meengerikan daripada marahnya seorang macan kampus seperti Medina.
***
Ragu – ragu Medina menginjakkan kaki ke beranda rumahnya. Malam semakin larut, lampu – lampu jalan di daerah tempat tinggalnyapun telah menyala seluruhnya. Tak terkecuali rumahnya, yang kini terang benderang, itu artinya Adam sedang berada di rumah.
Jika saja angkot yang ia naiki tadi tidak mogok dan terjebak macet, ia pasti akan tiba di rumah lebih cepat.
Wajah Medina kian cemas usai melihat jarum jam pada arlojinya sudah menunjukkan pukul 8 malam. Jika jam segini Adam masih di rumah, itu artinya ia sedang bolos kerja. Dan demi apapun, Medina yakin kakaknya sengaja bolos karena ingin menunggunya pulang.
Dalam benak Medina, ada dua kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Pertama, ia akan di omeli habis – habisan. Kedua, ia akan dapat nasehat bertubi – tubi atas kesalahannya hari ini.
Medina menghela nafas panjang, setidaknya itu bisa membuatnya sedikit lebih lega. Semarah apapun Adam, ia tetap harus menghadapinya. Toh...sejak tadi siang ia juga sudah berniat unuk minta maaf. Walau belum terealisasi sih. Tapikan...Medina udah punya niat baik.
Tok...tok...!!
“ Assalammualaikum,” seru Medina masih dengan wajah yang di liputi kecemasan.
Tok...tok...!!Medina kembali meengetuk pintu. Kali ini lebih keras dari yang tadi. Berharap Adam bisa lebih jelas mendengarnya.
“ Assalammualaikum...Kak Adam buka pintunya donk. “
Tak ada sahutan. Bahkan Medina tak mendengar suara langkah kaki yang mendekati pintu. Ia menghela nafas berat. Medina merasa semakin kehilangan semangat, kakaknya itu pasti sangat marah padanya. Lihat saja...bahkan Adam enggan membuka pintu untuknya.
Medina menatap pilu pintu yang masih terkunci rapat, bahunya merosot bersamaan dengan helaan nafasnya yang berat.
Ia sadar...apa yang ia lakukan tadi siang merupakan satu dari sekian ribu kesalahan besar yang ia buat. Ia berteriak memarahi kakaknya. Itu adalah salah satu hal yang paling tidak di sukai Adam.
Medina menyenderkan punggungnya di pintu,” Kak Adam masih marah ya?”
Masih tak ada sahutan. “ Aku minta maaf,” ucap Medina lagi dan perlahan tubuhnya merosot kian rendah. Ia duduk berselonjor di depan pintu. Masih dengan harapan Adam akan segera membuka pintunya.
“ Aku sadar, aku salah. Aku seharusnya nggak perlu teriak - teriak kayak tadi. Tapi...kakak tahukan, aku emang masih sakit hati sama mbak Ningrum. Di tambah lagi, dia kayaknya suka sama kakak. Aku khawatir kakak juga bakalan suka sama dia. Dan akhirnya...perhatian kakak terbagi. Aku takut kakak nggak perhatian lagi sama aku,” jujur Medina sejujur – jujurnya. Ia bahkan tidak peduli jika setelah ini Adam akan mentertawakannya. Toh...memang itu yang ia khawatirkan.
“ Aku egois ya kak? Mau gimana...emang udah begitu dari sananya. Aku sayang sama kak Adam. Aku nggak mau kita diem – dieman kayak gini. Kakak tahukan, aku paling nggak betah kita marahan kayak gini.” Sambung Medina lagi semakin melemah. Belum ada tanda – tanda Adam akan membukakan pintu. Keadaan didalam rumah terdengar masih sunyi.
“ Kak Adam, buka donk. Aku janji nggak akan berkelakuan kasar lagi kayak tadi. Aku juga janji akan belajar memaafkan mbak Ningrum. Walau aku yakin bakalan susah sih Tapi aku akan tetap coba kok. Kak Adam maafin aku ya,” bujuk Medina lagi dan lagi.
Tak lama, terdengar suara langkah kaki mendekat ke pintu. Medina tersenyum dan spontan berdiri menghadap pintu menanti Adam membuka pintu untuknya.
Cekrekk...!!
Suara anak kunci di putar terdengar semakin jelas, membuat senyum manis Medina kian terpahat jelas pula.
Tapi...apa yang terjadi setelah pintu terbuka lebar. Senyum itu, wajah bahagia itu seketika sirna di sapu angin malam.
Bukan wajah tampan sang kakak yang ia lihat, bukan pula mata teduh Adam yang selalu menyejukkan. Melainkan seorang wanita, wanita cantik berambut ikal berbalut kemeja lengan panjang dan celana jeans yang kini muncul di depan matanya sambil melempar senyum manis.
“ LO!!” Medina Kaget bercampur kesal sekarang.
Kenapa perempuan itu datang lagi?
●●●
JabLai cOY memberi reputasi
2
Kutip
Balas