Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
pulaukapokAvatar border
genji32Avatar border
andybtgAvatar border
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#865
PART 68

Gue tarik Melly keluar rumah. Meski kayaknya lagi ada masalah genting, sewaktu lewat ruang tengah anak-anak enggak ada yang nanya macem-macem dan cenderung cuekin kita. Gue rasa bukannya karena mereka enggak peduli, tapi lebih ke hormatin gue dan Melly kalo masalah ini cuma masalah kita berdua.

Sesampainya di dekat rumah pak Slamet, gue dudukkan Melly di lincak yang biasa dipakai anak-anak buat ngadem.

“Udah tenang?” tanya gue menyalakan rokok.
“Udah,” jawabnya ketus. “Ngapain lo ajak gue ke sini?”

Awalnya gue kira selama ini Cassie ngejauh dari Melly dan deket-deket sama gue tuh karena dia emang pengin udahan berhubungan sama Melly. Tapi begitu dia berani ngomong terus terang, ternyata dia pengin deket sama Melly juga tapi kayaknya dia enggak tau harus kayak gimana, deh. Konyol, tapi sebenernya serius.

Satu hal yang gue enggak suka dari Melly, dia selalu anggap apa yang dia pikirkan itu wajar. Ngekang Cassie dengan alasan karena cuma sama dia si Cassie nyaman. Umpanin gue ke Cassie biar dia diem saat itu juga. Ya faktanya emang Cassie enggak nunjukkin kalo dia itu keberatan sama Melly, tapi menurut gue itu salah.

Lihat Cassie sekarang, cewek dua puluh tahun lebih, masa iya masih harus banget dikasih tau harus apa? Enggak seharusnya kayak gitu, kan? Ya walaupun alasannya DPD, paling enggak dia tau harus ngapain kalo cuma sekedar masalah kehidupan sosialnya.

Bayangin kalo besok dia berpasangan, tinggal berdua doang, bahagia sama suaminya, terus tiba-tiba suaminya mati. Saking paniknya dia bingung enggak tau harus ngapain. Enggak tau harus minta tolong ke siapa, enggak tau harus kasih tau siapa juga. Terus mau ngapain? Diem di kamar sampai suaminya dihidupin lagi terus bilang, “Maaf ya tadi gue mati,” kan enggak.

Jangan sampai deh suaminya mati terus dia ikut-ikutan mati cuma gara-gara dia enggak tau harus ngapain. Jangan kayak Romeo dan Juliet. Tunggu, jangan-jangan Romeo sama Juliet itu DPD juga? Wow.

Tapi intinya bukan itu. Intinya dia harus bisa mandiri sebagai cewek pengidap DPD. Enggak perlu muluk-muluk, cukup tau gimana ngadepin orang-orang baru dihidupnya sama enggak berpikiran kalo sendirian itu berarti dia enggak bisa apa-apa. Ya, seenggaknya cuma itu.

“Dawi!”
“Udah tenang belum?”

Melly mendengus pelan. Perlahan dia mengatur nafasnya yang terdengar berat. Setelah dirasa agak mendingan, dia menatap gue dan memberi kode buat gue mengatakan maksud gue mengajak dia ke sini.

“Apa yang lo lakuin di dalem tadi tuh salah,” kata gue. “Ngumpanin gue jadi cowoknya Cassie biar bikin dia diem, itu salah banget.”
“Langsung ke intinya aja kenapa? Gue tau kalo lo bukan tipe orang yang mau nyudutin orang cuma gara-gara orang itu pernah bikin kesalahan.”
Gue tatap Melly sekilas, “Mungkin.”
“Tapi lo lihat sendiri kan tadi?” tanya Melly. “Dia belum pernah terbuka kayak tadi! Dia tuh berubah! Harusnya lo ikut seneng kalo lo peduli sama dia!”
“Gue peduli sama dia, tapi bukan kayak gini, Mell,” terang gue. “Bayangin kalo nantinya dia udah berubah jadi lebih baik. Terus gara-gara mikir kalo deket sama gue itu suatu hal yang dibolehin tapi ternyata enggak malah bikin dia jadi ‘down’ lagi. Bayangin, lo mau dia kayak gitu?”
“Ya enggak gitu!” sanggah Melly menendang kaki gue.
“Enggak gitu gimana?” tanya gue. “Mell, lo ngekang dia itu salah. Tapi kalo lo kasih dia harapan palsu itu lebih salah.”
“Terus gimana? Gimana solusinya?”
“Ya…, enggak tau,” jawab gue duduk di samping Melly.
“Enggak tau?! Jawaban macam apa itu?!”
“Selama ini gue mikirnya dia enggak berhubungan sama lo itu gara-gara dia anggap kalo hubungannya sama lo itu udah selesai.”
“Ya emang gitu, kan?”
“Dia tadi tuh bilang kalo dia pengin baikan sama lo tau, Mell,” ucap gue sambil senyum.
“Ya terus?”
“Bukannya berarti dia masih anggap lo?”
“M-maksudnya?”
“Dia masih mikirin lo Mell,” jelas gue. “Mungkin … mungkin gara-gara kita sering ribut dia jadi mikir kalo dia itu penyebab kita ribut.”
“Terus baikan sama gue jadi enggak mungkin gitu?”
“Ya,” angguk gue. “Dia mikir kalo dia harus pilih salah satu dari kita.”
“Padahal enggak gitu, Wi.”
“Kayaknya gue mulai ngerti cara berpikirnya Cassie, deh.”
“Cara berpikirnya Cassie?”
“Selama ini kita kira pengidap DPD itu takut hubungannya berakhir, kan?” tanya gue.
“Emangnya bukan?”
“Yang mereka takutin itu penyebab hubungan itu berakhir,” lanjut gue. “Bukan hubungannya yang berakhir.”
“Dia enggak takut kalo dia kepisah sama kita. Malahan mungkin buat dia itu wajar. Yang dia khawatirin itu penyebab hubungan itu berakhir. Pisah baik-baik, atau pisah karena hal yang salah.”
“Hubungan berakhir karena hal yang salah?” tanya Melly. “Gimana, sih? Gue bener-bener enggak ngerti sama yang lo omongin.”
“Gue tanya deh sama lo,” kata gue. “Kenapa lo sama Cassie tiba-tiba diem-dieman?”
“Ya karena udah ada lo, kan?”
“Salah,” sanggah gue sambil senyum.
“Ya terus?”
“Karena dia bingung,” jelas gue. “Bingung kenapa lo tiba-tiba pergi sama Bull tiap hari. Bingung karena dia ditinggal sendirian tanpa penjelasan. Bingung karena lo ninggalin dia gitu aja.”
“Eh?”
“Waktu lo rapat di kelurahan,” kata gue lagi. “Lo pamit enggak sama dia? Lo jelasin enggak kalo lo mau pergi ke kelurahan sebentar?”
“Kayakanya iya–”
“Enggak, kan?” tebak gue.
“Tapi sebelumnya juga gitu, kok,” kata Melly. “Di Jogja gue biasa ninggalin dia kalo ada kuliah pagi waktu dia belum bangun. Wi..., kalo cuma masalah itu sih kayaknya buat gue sama dia itu normal, deh.”
“Normal buat lo, tapi enggak buat dia,” kata gue.

Melly menyipitkan matanya tanda kurang paham.

“Menurut pemikiran gue yang ke-Cassie-Cassie-an nih ya,” lanjut gue. “Jam kuliah paling lama tuh dua jam, bener enggak?”
“Iya… bener.”
“Nah…, di mind set lo, lo tinggal dia sebelum bangun itu wajar. Padahal, di mind set gue yang ke-Cassie-Cassie-an ini, lo pergi dua jam itu wajar.”
“Oh… jadi gara-gara gue ninggalin dia lebih dari dua jam terus dia kehilangan gitu, kan?” tanya Melly mulai memahami. “Terus hubungannya sama sekarang?”
“Ya sama.”
“Sama gimana?”
“Dia tuh bingung, Mell.” Gue hembuskan asap di mulut, “Dia bingung karena gue tiba-tiba jauhin dia, cuma itu aja. Dan di sisi lainnya lagi, dia pengin baikan sama lo tapi bingung caranya gimana.”
“Hmmh….”
“Dependant personality disorder,” kata gue. “Bukannya dia ketergantungan sama orang lain dan enggak bisa hidup tanpa orang lain.”
“Tapi buat masalah yang belum pernah dia temuin,” timpal Melly sambil mengayun-ayunkan kakinya. “Dia butuh bantuan orang lain.”
“Bener banget.”
“Terus sekarang? Karena dia belum pernah baikan sama orang lain, kita cuma perlu baikan sama dia aja gitu?”
“Ah… mungkin iya,” kata gue sependapat. “Tapi kali ini enggak ada embel-embel suka dalam tanda kutip, sama kasih contoh ke dia kalo hubungan cowok sama cewek itu enggak cuma soal cinta-cintaan aja.”
“Iya…,” terima Melly. “Gue enggak bego-bego banget kali buat jatuh di lubang yang sama.”
“Gimana kalo abis ini kita bikin dia nyaman sama kehadiran orang banyak?” tanya gue mematikan rokok dengan sepatu. “Bukan cuma sama kita.”
“Maksudnya?”
“Kalo sebelumnya dia cuma biasa nyaman kalo dia di deket kita, sekarang waktunya bikin dia nyaman tanpa kita.”
“Caranya?”
“Ya lo pikirinlah,” kata gue membenturkan kepala gue ke Melly. “Lo kan EMBAKNYA.”
“Ya… tapi lo kan juga ABANGNYA,” balas Melly bikin kita berdua sama-sama senyum.
“Dasar si EMBAK!”
“Lesung pipi lo, Wi,” kata Melly pelan.
“Lesung pipi gue?” tanya gue mengusap pipi kanan gue. “Lesung pipi gue kenapa?”
“Pengin gue gigit!”
“Ah… mending kita balik,” saran gue. “Kayaknya lo kebanyakan terpapar bulan purnama, deh.”
pulaukapok
JabLai cOY
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.