Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
pulaukapokAvatar border
genji32Avatar border
andybtgAvatar border
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#782
PART 62

Jam tiga lebih dua puluh empat menit. Hampir setengah jam gue nungguin di depan rumah pak Pamudji tanpa ada hasil. Suara Melly sama Maya samar-samar emang kedengeran dari dalem, tapi gue cuma bisa nungguin di luar rumah. Ya sebebnernya gue bisa aja masuk terus ikutan rapat, tapi kan kalo dipikir-pikir enggak enak juga. Meskipun nanti pada akhirnya pak RW mengijinkan gue masuk juga, tapi kalo tiba-tiba ditanya soal pendapat gue soal rapat di dalem ya bisa-bisa gue yang repot. Dengerin cuma sepotong, disuruh berpendapat panjang lebar, ekspektasi yang berlebihan terhadap mahasiswa namanya. Mungkin ada baiknya gue tunggu sedikit lebih lama lagi.

Gue keluarkan rokok dan langsung menyalakannya. Baru api gue nyala, ada seorang bapak-bapak keluar dari rumah pak Pamudji. Wajahnya familiar dan kayaknya pak RW pernah memperkenalkannya ke anak-anak KKN. Kalo gue enggak salah, namanya pak Sutrisno.

“Wah… ngaso, Mas?” ucapnya menyapa gue.
“Inggih, Pak,” sahut gue sambil menundukkan kepala.
“Ududmu opo kui?”
“U-udud?”
“Rokok,” katanya menerjemahkan. “Rokokmu apa?”
“Oh… Dunhill, Pak.”
“Ijek, ra?”
“Ijek?”
“Masih, enggak?”
“Masih, Pak.” Gue ajukan rokok gue menawarkan ke pak Sutrisno, “Mangga, Pak!”
“Njuk siji, yo?”
“Inggih!”

Beberapa hal yang kurang gue pahami soal bahasa Jawa adalah logat, arti, dan cara pengucapkan tiap suku kata yang terkadang berbeda tiap daerah. Meski cuma tetangga kota, kadang bisa beda arti, logat, dan juga cara pengucapannya. Contohnya yang barusan itu. Di Jogja, gue udah sering banget denger orang-orang ngucapin kata ‘udud’ dan juga ‘ijek.’ Tapi di Boyolali, ini pertama kalinya gue dengar orang ngucapin kata ‘udud’ dan juga ‘ijek’. Mungkin artinya sama, tapi karena cara pengucapannya yang berbeda, gue jadi kurang yakin apa yang dimaksud sama pak Sutrisno. Buat lebih jelasnya, kalian bisa bandingin sendiri cara pengucapan beberapa kata di Jogja dan juga Boyolali.

Hal lain yang perlu diingat, ada beberapa kata yang artinya sama, tapi di dua tertentu katanya berbeda. Contohnya ‘oglangan,’ di Klaten, dari anak balita sampai kakek-kakek yang udah tua, mereka tau kalo arti kata ‘oglangan’ itu mati lampu. Tapi kalo geser sedikit ke arah Jogja, lo ngomong ‘oglangan’ pasti ada aja orang yang asli Jawa masih enggak ngeh apa yang lo maksud. Kalo pun ada orang Jogja yang paham, gue yakin dia pernah dengar kata itu dari salah satu temennya yang asli orang Klaten.

Untungnya, enggak semua kata di Jawa selalu memiliki perbedaan di tiap daerah di Jawa. Contohnya kata ‘ijek’ yang artinya masih. Lo mau nanya di Jogja, Klaten, Solo, Boyolali, bahkan Semarang sekalipun, gue rasa mereka pasti paham apa itu kata ‘ijek.’

Saran gue, kalo lo paham bahasa Jawa di satu daerah, jangan serta merta pake bahasa itu di daerah lain juga meski masih sama-sama di Jawa. Mending pake bahasa Indonesia, khususnya sama orang yang lebih tua. Kalo sama temen sendiri sih, kayaknya salah paham masih bisa diminimalisir.

“Enggak nyukur, Pak?” tanya gue basa-basi.
“Libur,” jawabnya menyalakan rokok. “Wiraswasta juga butuh istirahat.”
“Oh….”
“Kamu fakultas apa to, Mas?” tanya pak Sutrisno.
“Saya fakultas hukum, Pak.”
“Dadi hakim?”
“Enggak sih, Pak,” jawab gue. “Saya jurusan bisnis.”
“Lhoh, katanya hukum?” ucap pak Sutrisno sewot. “Kok jadi bisnis? Wiraswasta?”
“Saya fakultas hukum, tapi penjurusannya ke hukum bisnis, Pak,” jelas gue. “Kalo hakim itu penjurusannya ke pidana, Pak.”
“Ealah,” katanya pak Sutrisno manggut-manggut. “Enggak paham aku, Mas.”

Sabar…, sabar, Wi. Yang di depan lo ini orang yang lebih tua, sabar ngadepinnya.

“Anakku neng Bandung yo ambil jurusan ini,” terangnya tanpa gue tanya. “Neng ITB.”
“Oh…, jurusan apa, Pak?”
“Jurusan Caheum-Ledeng,” jelasnya membingungkan gue.
“Caheum-Ledeng? M-maksudnya, Pak?”
“Yo kui Caheum-Ledeng nek dari Caheum ke jalan Ganesha pake angkot hijau,” lanjutnya mencurigakan.

Kayaknya mending gue enggak nanya lebih jauh, gue takut dosa kalo kelamaan ngobrol sama pak Sutrisno.

“Buka barbershop di daerah situ.”

Kan…! Gue bilang juga apa!

“Oh... barbershop,” tanggap gue pelan biar dia seneng.
“Kui lho, tukang cukur modern,” ucapnya menjelaskan lebih jauh seolah gue enggak ngerti apa itu barbershop. “Masa enggak ngerti? Jogja belum ada?”
“A-ada, Pak,” timpal gue singkat.

KAMPRET! Gue dicengin sama tukang cukur paruh baya. Malu sih enggak, toh enggak ada orang lain yang denger juga. Tapi keselnya itu lho! Seolah gue ini cupu banget dibandingin sama dia!

Habis cengin gue, dia ngomong panjang lebar soal perbangingan tukang cukur sama barbershop. Ngomong kalo dia cuma bisa motong beberapa model potongan rambut sedangkan anaknya lebih jago dengan model yang lebih variatif. Dia juga ngeluhin ketimpangan harga barbershop anaknya yang jauh lebih murah dibandingkan sama harga di luar negeri. Kalo di Indonesia tiga puluh ribu udah sekalian cuci, di luar negeri bisa sampai dua ratus ribu.

Ya kalo dipikir-pikir emang timpang banget. Tapi sebenernya yang bikin timpang harganya kan salah satunya karena adanya pak Sutrisno juga. Pada dasaranya kan tukang cukur rambut saingan sama barbershop. Kalo mau harga yang miring ya ke tukang cukur rambut, kalo mau yang lebih kekinian ke barbershop. Kalo harga barbershop ditinggiin kayak di luar negeri, gue yakin pada milih potong di tukang cukur semua. Jadi ya emang dasarnya enggak bisa disesuaiin sama harga di luar negeri.

“Wes, ah…,” gumamnya mengeinjak rokok gue yang baru dihisap sedikit banget. “Tak masuk sek ya mas, yo?”
“Mangga, Pak!”

Tau nunggu lama kayak gini aturan tadi gue habisin dulu sop gue. Enggak kehilangan rokok sia-sia, juga gue enggak perlu kesel-kesel ngobrol sama pak Sutrisno.
pulaukapok
pulaukapok memberi reputasi
1
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.