Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
pulaukapokAvatar border
genji32Avatar border
andybtgAvatar border
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#773
PART 60

Kurang lebih tiga jam Emil, Arin dan Arya jenguk gue. Setelah sesi kangen-kangenan dan percakapan yang kurang berfaedah bareng Arya sama Arin, mereka bertiga pulang. Meski sedikit berat lihat Emil balik, tapi akhirnya gue rela juga.

Ngomongin kejadian empat hari yang lalu. Hari dimana kepala gue bocor untuk yang pertama kalinya. Sore itu gue pinsan enggak sampai satu menit. Mungkin efek dari air hujan yang mengguyur muka, gue siuman beberapa detik kemudian. Dengan darah yang mengalir lumayan deras, gue dipapah Bull masuk ke dalam rumah. Dan begitu Melly sadar kalo kepala gue bocor, tanpa merasa segan dia segera meminta Bull sama Luther buat bawa gue ke puskesmas yang enggak terlalu jauh dari desa.

Keberuntungan di gue, puskesmas itu buka dua puluh empat jam. Misal itu cuma buka sampai jam lima sore, gue yakin Melly bakalan tega nutupin luka gue pake lakban atau selotip. Bukannya gue meragukan mahasiswa kedokteran, tapi lebih ke meragukan kapasitas Melly sebagain manusia yang berperasaan. Higenis atau enggak ya bodo amat, yang penting lukanya ketutup.

Di puskesmas gue dapet tiga jahitan tepat di sisi lain pusaran rambut gue. Kalo dilihat sekilas, katanya bekas lukanya bakalan mirip kayak pusaran rambut yang enggak memusar. Duh, kayak gimana tuh?

Ya intinya gue kayak punya dua pusaran rambut gitulah. Yang satu emang udah ada dari sebelum gue lahir, iya, kayaknya gitu. Dan yang satu lagi pusaran rambut yang baru aja dicetak sama Cassie. Udah berasa kayak bad boy gue punya dua pusaran rambut gini.

Terus terang aja, malam itu gue sepenuhnya jengkel sama Cassie. Gue sempat buta gara-gara kejadian malam itu. Bukan buta dalam artian yang sebenarnya, tapi lebih ke buta buat menilai Cassie. Dalam pandangan gue, dia freak, psiko dan sebagainya. Menurut gue dia gila, gila karena bertindak sejauh itu cuma demi orang yang dikenalnya belum sampai satu bulan.

Semisal waktu itu gue enggak berbalik menindih Melly, gue yakin Melly bisa-bisa gegar otak gara-gara pukulan Cassie. Bikin gegar otak orang yang enggak ada hubungan darah sama dia tapi mau bela-belain merawat dia selama beberapa tahun terakhir ini, gila enggak?

Ya meskipun menurut Echa secara psikologi penderita DPD bakal merasa terancam kalo hubungannya dengan orang yang dia anggap penting berakhir, tapi gue tetap aja enggak bisa membenarkan tindakan dia. Dasar disorder enggak bisa dianggap pembenaran juga, kan?

Yang bikin gue enggak habis pikir sebenernya malah pemikiran Emil tadi. Orang asma, inhaler dan terapi atau apalah itu. Jelas-jelas gue yang jadi korban, masa iya dia malah belain Cassie? Mana dia juga bilang macem-macem soal gue sebagai cowoknya harus bisa nyelesaiin masalah sama Cassie lagi. Ekspektasi dia ke gue tuh kadang enggak masuk di akal.

“Bukan kayak gitu cara nanganin penderita disorder,” kata-katanya yang masih gue inget. Dan ngeselinnya lagi sewaktu gue tanya harusnya gimana, dia malah jawab, “Cowokku lebih tau kalo soal itu.”

Argh…, maksud dari cewek emang kadang susah dipahamin.

Jujur aja, awalnya gue sempat kepikiran kalo Emil bakalan marah atau seengaknya ngambek sewaktu tau kalo gue sama Cassie ada hubungan yang di luar batasan teman. Tapi ternyata, bukannya marah tapi malah seneng dan kelihatan bangga tau ada hal aneh kayak gini. Kalo udah kayak gini, dia yang terlalu dewasa atau gue yang terlalu kekanak-kanakan coba?

“Hei, Bang!” ucap Sasha yang tiba-tiba duduk di sebelah gue. “Bengong aja!”
“Eh, Sha,” jawab gue menggeser duduk. “Seneng ketemu Arya?”
“Gausah lebay deh, Bang,” kata Sasha malu-malu. “Gue cuma nge-fan aja kok sama mas Arya. Enggak cuma sama mas Arya sih sebenernya, sama mbak Arin juga.”
“Berarti sama gue juga cuma nge-fan, kan?”
“Enggaklah,” sanggah Sasha. “Kalo sama abang tuh bener-bener suka. Bukan sekedar fan.”
“Gila ya lo,” sindir gue. “Frontal abis.”
“Hari gini jadi cewek masih jaim, bisa-bisa salah jodoh.”
“Ah… kayaknya lo mikirnya kejauhan, deh.”
“Tapi kalo dipikir-pikir wajar sih kalo gue kalah saing sama mbak Emil.”
“Kenapa gitu?”
“Blasteran, Bang!” ucap Sasha lebay. “Udah kedokteran, matanya bagus banget, setia, udah gitu dia juga lebih duluan deket sama abang lagi. Kalo dibandingi sama gue, mana mungkin bisa ngalahin dia!”
“Tuh kan, malah lo sendiri yang lebay,” komentar gue. “Emil tuh enggak se-’wah’ itu sebenernya. Malahan menurut gue lo tuh enggak kalah saing.”
“Ya terus?”
“Cuma salah waktu aja,” jawab gue. “Dia kenal gue lebih dulu dan ngajakin gue buat komitmen lebih dulu. Istilah katanya…, kita tuh beda dimensi waktu aja.”
“Jagonya kalo ngeles.”
“Terus terang aja ya, Sha,” lanjut gue. “Menurut gue lo itu sebenernya enggak kalah ‘wah’ kalo dibandingin sama Emil.”
“Hmmh…?”
“Lo tuh enggak cuma cakep, sopan, sama baik, tapi lo juga jago nyanyi.” Gue putar duduk menghadap Sasha, “Bahkan nih ya, menurut gue lo tuh ketinggian buat gue. Ditambah lagi lo tuh berani terus terang sama perasaan lo sendiri, enggak bakalan ada cowok yang bisa nolak lo.”
“Buktinya abang–”
“Udah gue bilang, kan?” potong gue sambil senyum. “Lo tuh ketinggian buat gue.”
“Abang…!” serunya memukul lengan gue pelan. “Seneng sih dengernya kalo abang yang bilang. Tapi ini lebih berasa kayak ditolak sambil ngomong, ‘Kamu tuh terlalu baik buat aku.’ ”
“E-emang kayak gitu?”
pulaukapok
JabLai cOY
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.