- Beranda
- Stories from the Heart
Burung Kertas Merah Muda
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrishana
#25
Chapter 9
“Semuanya tolong diam dan perhatikan!”
Teriak kakak senior perempuan yang berada di depan. Semua mata tertuju padanya. Cantik, itulah kesan pertama Rendy melihatnya. Senior yang sekaligus panitia orientasi sekolah itu menulis namanya di papan tulis.
Rheva Rahmadhani
“Ini nama gue. Gue pembimbing kelas ini. Jadi, kalau ada apa-apa bilang ke gue ya.” ujar perempuan itu.
“Iya, Kak!” sahut seisi kelas.
“Hoki banget kita di sini. Cantik kakaknya.” bisik salah satu murid yang ada di pojok kelas.
“Ini nama gue. Gue pembimbing kelas ini. Jadi, kalau ada apa-apa bilang ke gue ya.” ujar perempuan itu.
“Iya, Kak!” sahut seisi kelas.
“Hoki banget kita di sini. Cantik kakaknya.” bisik salah satu murid yang ada di pojok kelas.
Suasana menjadi sedikit ramai dengan perbincangan kakak senior atau pembimbing cantik. Memang sudah sifat Rendy yang pendiam dan acuh tak acuh terhadap sekitarnya. Dia hanya menatap langit dari balik jendela.
“Hei, kamu!” panggil perempuan itu.
“Gue?” Rendy menunjuk dirinya.
“Iya, siapa lagi. Lo merhatiin gue gak tadi didepan?” tanya perempuan itu.
“Siapa nama gue?” perempuan itu menguji Rendy yang memang sedari tadi tidak memerhatikan.
“Sama nama lo sendiri lupa, Kak?” Rendy sedikit menantang.
“Tadi udah gue tulis di papan nama gue besar-besar, lo gak baca, hah!” bentak perempuan itu.
“Siapa suruh dihapus. Gue gak bisa baca jadinya.” Rendy tersenyum meledek.
“Songong! Maju sini!”
“Gue?” Rendy menunjuk dirinya.
“Iya, siapa lagi. Lo merhatiin gue gak tadi didepan?” tanya perempuan itu.
“Siapa nama gue?” perempuan itu menguji Rendy yang memang sedari tadi tidak memerhatikan.
“Sama nama lo sendiri lupa, Kak?” Rendy sedikit menantang.
“Tadi udah gue tulis di papan nama gue besar-besar, lo gak baca, hah!” bentak perempuan itu.
“Siapa suruh dihapus. Gue gak bisa baca jadinya.” Rendy tersenyum meledek.
“Songong! Maju sini!”
Rendy menghela nafas panjang dan berdiri. Dia berjalan perlahan menuju depan kelas. Tatapan perempuan itu sungguh tajam terhadap Rendy. Dia memerhatikan atribut MOS yang di pakai oleh Rendy.
“Oh, Rendy nama lo.” perempuan itu mengangkat nametagyang dikalungkan pada leher Rendy. “Gue tandain lo. Sekali lagi lo macem-macem, gue abisin lo sekalian di sini. Ngerti?” Rheva memberikan tanda di nametag milik Rendy menggunakan tinta hitam.
Lalu, masuklah senior lelaki kedalam kelas Rendy. “Hai, Va!”
“Kenapa?” perempuan itu bertanya pada lelaki itu.
“Udah sarapan belom? Gue bawain sarapan nih.” lelaki itu memberikan sebuah sandwich untuk kakak pembimbing kelas ini.
“Udah pergi sana!” perempuan itu menolak dan mendorong lelaki itu keluar.
Lalu, masuklah senior lelaki kedalam kelas Rendy. “Hai, Va!”
“Kenapa?” perempuan itu bertanya pada lelaki itu.
“Udah sarapan belom? Gue bawain sarapan nih.” lelaki itu memberikan sebuah sandwich untuk kakak pembimbing kelas ini.
“Udah pergi sana!” perempuan itu menolak dan mendorong lelaki itu keluar.
Lelaki itu berjalan meninggalkan kelas Rendy dengan penuh amarah. Terlihat dia sekali meninju pintu kelas yang terbuat dari kayu hingga murid perempuan yang ada di dekatnya kaget dan menghela nafas panjang.
“Duduk sana! Ngapain masih disini!” perintah perempuan itu dengan sok galak.
Rendy berjalan perlahan menuju bangkunya dan duduk menyandarkan tubuhnya. Dia kembali menatap langit dari balik jendela. Kebetulan memang dia duduk di pinggir jendela kelas dan bisa menatap langit dari balik jendela kelas. Rendy sama sekali tidak pernah memerhatikan setiap kata dari para pembimbing di kelasnya. Buat Rendy, MOS adalah suatu masa yang tidak penting bahkan seharusnya dihapuskan.
****
Ini adalah hari ketiga masa orientasi yang ada di sekolah. Waktu istirahat telah tiba. Tapi, Rendy tidak ikut bersama teman-temannya yang sedang makan siang bersama dipinggir lapangan.
“Pokoknya gue gak mau liat mukanya dia di depan gue!”
Suara perempuan itu terdengar jelas oleh Rendy yang sedang tidur di meja kelasnya. Rendy terbangun karena nada berbicara perempuan itu sungguh keras dan tinggi. Kebetulan waktu istirahat sudah tiba, tetapi Rendy lebih memilih tidur-tiduran di dalam kelasnya sendirian.
“Pokoknya gue benci sama dia! Gue benci sama semua laki-laki disini!” ujar perempuan yang sekaligus pembimbing kelas Rendy.
“Tapi, kan. Gak semua cowok kayak gitu, Va. Dia masih sayang sama lo maka nya dia masih terus ngejar lo.” salah satu temannya berkata demikian.
“Kenapa sih dia harus ikut jadi panitia juga? Kenapa gue gak bisa lepas dari bayang-bayang dia sih?” perempuan itu mulai terdengar seperti sedang menangis.
“Udah udah. Jangan nangis di sini.” temannya mencoba menenangkannya.
“Gue mau di kelas aja sendirian.” perempuan itu beranjak lalu masuk ke dalam kelas. Kebetulan saja ada Rendy yang sedang duduk menatap langit disana.
“Lo ngapain disini!” perempuan itu menghampiri Rendy dan menggebrak mejanya.
“Tidur.”
“Lo nguping kan!” bentak perempuan itu.
“Gak sengaja. Abis lo berisik.”
“Brengsek! Semua cowok brengsek! Keluar lo sekarang! KELUAR!” perempuan itu semakin marah dan menyuruh Rendy keluar.
****
“Tapi, kan. Gak semua cowok kayak gitu, Va. Dia masih sayang sama lo maka nya dia masih terus ngejar lo.” salah satu temannya berkata demikian.
“Kenapa sih dia harus ikut jadi panitia juga? Kenapa gue gak bisa lepas dari bayang-bayang dia sih?” perempuan itu mulai terdengar seperti sedang menangis.
“Udah udah. Jangan nangis di sini.” temannya mencoba menenangkannya.
“Gue mau di kelas aja sendirian.” perempuan itu beranjak lalu masuk ke dalam kelas. Kebetulan saja ada Rendy yang sedang duduk menatap langit disana.
“Lo ngapain disini!” perempuan itu menghampiri Rendy dan menggebrak mejanya.
“Tidur.”
“Lo nguping kan!” bentak perempuan itu.
“Gak sengaja. Abis lo berisik.”
“Brengsek! Semua cowok brengsek! Keluar lo sekarang! KELUAR!” perempuan itu semakin marah dan menyuruh Rendy keluar.
****
Para senior memerintahkan kepada seluruh siswa baru untuk berkumpul di tengah lapangan. Mereka memberikan pengarahan serta mangsa baru yang mereka cari-cari kesalahannya. Mereka memeriksa peralatan MOS dari setiap siswa baru. Bukan hanya yang tidak lengkap, yang sudah lengkap saja bisa kena dikerjai habis-habisan karena mereka gemar mencari-cari kesalahan. Hukuman berjalan jongkok lima keliling lapangan pun diberikan dan seluruh murid diminta kembali ke kelas masing-masing.
Namun, Rendy justru tidak kembali ke kelas. Justru Rendy memerhatikan sekelompok kakak senior lelaki yang ada di lapangan. Salah satunya adalah lelaki yang diusir olek kakak pembimbingnya pada saat di kelas kemarin. Lelaki tersebut menggeledah tas kresek milik seorang murid perempuan dan menemukan sebuah telepon genggam.
“Bawa apa ini kamu!” bentak senior itu sambil menggengam sebuah handphone.
“HP, Kak.” jawab perempuan itu sambil tertunduk ketakutan.
“Udah tau kan selama MOS gak boleh bawa HP!”
“Tapi, saya butuh, Kak. Buat hubungin keluarga saya.”
“Alasan!”
BRAK!
“HP, Kak.” jawab perempuan itu sambil tertunduk ketakutan.
“Udah tau kan selama MOS gak boleh bawa HP!”
“Tapi, saya butuh, Kak. Buat hubungin keluarga saya.”
“Alasan!”
BRAK!
Lelaki itu membanting telepon genggam milik perempuan itu. Rendy pun geram melihatnya dan menghampiri kawanan tersebut. Dengan lembut, Rendy mengambil bagian telepon genggam yang terlepas dan memasangnya kembali.
“Ini masih nyala kok.” Rendy tersenyum dan memberikan handphone kepada pemiliknya. “Dan lo semua! Lo inget baik-baik! Jangan pernah lo kasar sama perempuan! Ngerti!” Rendy menunjuk senior itu satu persatu.
Tanpa pikir panjang, lelaki yang diketahui sebagai mantan kekasih kakak pembimbing itu melayangkan sebuah pukulan keras pada Rendy dan membuatnya terjatuh ke tanah. Perempuan yang ditolong oleh Rendy hanya bisa berteriak ketakutan. Tanpa sadar, kakak pembimbing Rendy sudah memerhatikan mereka dari lantai tiga di depan kelasnya.
Pada saat kakak perempuan itu melihat ada sebuah perkelahian, dia langsung meminta bantuan yang lain untuk memisahkan mereka. Akhirnya, mereka semua digiring ke ruang OSIS dan melanjutkan perkelahian mereka. Tapi, nasib sial bagi Rendy. Rendy harus menghadap ke bagian kesiswaan karena sudah membuat mantan kekasih sang kakak pembimbing masuk rumah sakit akibat luka yang diderita.
****
“Ngapain lo masih disini?” tanya Rendy seraya menghampiri perempuan yang ditolongnya tadi.
“Ngapain lo masih disini?” tanya Rendy seraya menghampiri perempuan yang ditolongnya tadi.
Seorang perempuan bertubuh kecil dan langsing sedang duduk di bangku taman sambil memainkan kakinya. Perempuan yang jika dilihat mempunyai kekuatan fisik yang lemah dan mata yang sembab karena sehabis menangis tadi.
“Nungguin lo.” jawabnya.
“Ngapain?”
“Gue mau bilang terima kasih.” perempuan itu berdiri dan menatap Rendy dalam-dalam sambil tersenyum manis kearahnya.
“Nama lo Rendy, kan?” perempuan itu memegang bahu Rendy. “Gue akan selalu inget kok. Terima kasih. Rendy. Gue balik ya.” Perempuan itu berjalan perlahan meninggalkan Rendy yang berdiri mematung melihatnya sampai hilang dari pandangan.
“Ngapain?”
“Gue mau bilang terima kasih.” perempuan itu berdiri dan menatap Rendy dalam-dalam sambil tersenyum manis kearahnya.
“Nama lo Rendy, kan?” perempuan itu memegang bahu Rendy. “Gue akan selalu inget kok. Terima kasih. Rendy. Gue balik ya.” Perempuan itu berjalan perlahan meninggalkan Rendy yang berdiri mematung melihatnya sampai hilang dari pandangan.
Tanpa sadar, kakak pembimbing perempuan kelas Rendy memerhatikan mereka dari depan kelas lalu dia berjalan meninggalkan kelas itu menuju ruang OSIS yang menjadi ruang panitia masa orientasi untuk sementara waktu.
Rendy kembali naik ke kelasnya hanya untuk mengambil peralatan MOS yang ditinggal di dalam kelas. Sebuah burung kertas berwarna merah mudah jatuh pada saat dia mengambil peralatan dari laci mejanya. Ada sebuah tulisan kecil di dalamnya. Rendy membuka burung kertas tersebut dan membaca kalimat tiap kalimat yang ada di dalamnya.
Diubah oleh chrishana 31-03-2018 20:23
jenggalasunyi dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
