- Beranda
- Stories from the Heart
KABUT (Horror Story)
...
TS
endokrin
KABUT (Horror Story)
Tanpa basa-basi lagi bagi agan dan sista yang sudah pernah membaca dongeng-dongeng saya sebelumnya kali ini saya ingin mempersembahkan sebuah dongeng baru

Cerita saya sebelumnya bisa dibaca dibawah ini, tinggal diklik saja
Quote:
WARNING!!
Quote:
Saya mohon dengan sangat untuk tidak mengcopy paste cerita ini. semoga agan dan sista yang budiman bersikap bijaksana, dan mengerti bahwa betapa susahnya membuat cerita. Terima kasih
Quote:

Diubah oleh endokrin 19-05-2019 05:10
disturbing14 dan 30 lainnya memberi reputasi
29
619.5K
Kutip
2.2K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
endokrin
#1527
Quote:
CHAPTER 15
Anehnya rasa cape ketika kita sedang ketakutan tidak terasa sama sekali. Tubuh tanpa sadar sudah berkeringat. Kini aku mengerti bukan motivasilah yang menggerakan hati manusia tapi rasa takut dalam dirinya. Entah berapa lama kami menyusuri jalan setapak ini hingga suara auman misterius itu tertinggal dibelakang. Tidak terasa kami tiba dijalur yang kini turun kembali, rupanya kita tidak salah memilih jalan. Namun kebun teh belum juga terlihat seperti yang dikatakan Baim.
“Im.. aku tidak cape. Tapi sepertinya tanganku mengeluarkan darah lagi.”
“Kita berhenti dulu.”
“Sebaiknya kita obati saja nanti kalau sampai dibawah. Kita harus cepat.” Kata si pria berkacamata membalikan badannya.
“Kalau kamu ingin melanjutkan perjalanan, pergilah sendirian. Dia sahabatku.” Kata Imron yang kemudian menjatuhkan tubuhnya diatas rerumputan dan membaringkan tubuhnya.
Kain pembungkus luka tampak lecek dengan warna darah bercampur lumpur. Luka robek yang menganga kini tampak menghitam seperti daging yang membusuk. Aku mengkorek-korek luka ditangan dengan jariku, tentu saja dengan meringis, takut kalau-kalau ada belatung yang mulai bersarang didalam.
Si Pria berkaca mata berajalan menjauhi kami, entah dia pergi kemana aku tidak terlalu peduli. Imron hendak membuka botol air mineral untuk mencuci luka ditanganku, tapi aku menolak. Persediaan air minum kita semakin menipis. Dan untuk sampai dibawah entah berapa lama lagi, kami tidak mau mati konyol karena dehidrasi.
“Mungkin karena lukanya dibungkus, jadi lebam seperti ini.”
“Tapi kalau tidak dibungkus. Takutnya menggores sesuatu nanti saat berjalan.” Baim kembali membuka tas ranselnya dan mengeluarkan kaos baru untuk disobek. Konyol sekaligus miris persediaan baju yang kami bawa nyatanya hanya digunakan untuk membalut luka.
Tidak begitu lama si pria berkacamata datang dengan membawa rumput atau dedaunan ditangannya. Dia langsung jongkok didepanku.
“Ini namanya Babadotan,” Katanya, dia langsung memasukannya kedalam mulut. Setelah dikunyah diletakan ditangan. Bentuknya menjadi seperti salep hijau karena telah bercampur dengan ludah.
“Ini akan menghentikan pendarahan, sekaligus mencegah infeksi.” Si pria berkacamata mengoleskannya pada luka sobek yang menganga. Aku sempat tidak percaya, tapi Baim mendukung pernyataan si pria berkacamata.
Ada sensasi dingin yang mulai terasa, tapi tetap saja masih perih walau tidak separah sebelumnya. Luka kembali dibalut dengan kain yang baru dan bersih.
“Waktu sudah menjelang subuh.”
Setelah semua selesai kami melanjutkan perjalanan, namun kali ini dengan perasaan sedikit tenang. Langkah demi langkah tak juga membawa kami pada tempat yang kami kenal sebelumnya. Rasanya kami semakin jauh masuk kedalam hutan. Tidak ada tanda-tanda kebun teh akan terlihat, tapi tidak ada pilihan, yang kami lakukan hanya terus berjalan dengan harapan semoga beberapa meter lagi kami bisa keluar dari kepungan pohon cemara ini.
Langit sudah mulai berwarna jingga. Embun pagi membasahi rumput, kabut mulai menghalangi pandangan.
Kami baru tersadar bahwa jalan yang kami lewati diapit oleh dua bukit yang menjulang tinggi. Disitulah kami mulai sadar bahwa kami sudah salah memilih jalan.
“Kita tersesat. Sudah bisa dipastikan.” Kata Baim kemudian berhenti dan menjatuhkan badannya diatas rerumputan. Nafasnya terengah-engah karena dari dini hari tadi sampai sekarang belum satupun dari kami menyentuh air mineral.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang ?”
“Sepertinya kita harus menaiki salah satu bukit, yang sebelah kiri atau kanan untuk melihat dibalik sana apa ada jalan turun atau tidak.” Ucap si pria berkacamata.
“Jika kita salah memilih bukit, bukannya itu hanya menghabiskan tenaga ?”
“Daripada kita diam tidak melakukan apa-apa.” Si pria berkacamata menjawab pertanyaanku.
“Kita kembali saja kejalan semula.” Kata Imron
Aku melihat kebelakang. Pohon-pohon cemara dan sebagian lagi entah pohon apa dengan batang yang cukup besar berjajar tidak beraturan. Tidak ada jalan setapak yang jelas, entah tadi kami datang dari sekat yang mana. Berjalan ditempat yang gelap membuat kami tidak terlalu memperhatikan arah. Dan sekarang ketika pagi menjelang, kami baru sadar.
Baim membuka ranselnya, dia mengeluarkan persediaan makanan. hanya tersisa tiga bungkus mie instan, satu telur dan lima bungkus roti saja. dan satu sachet minuman jahe.
“Kita harus mulai menghemat makanan, sebelum kita menemukan jalan pulang. Dan yah sepertinya menaiki bukit hanya membuang tenaga saja, pohon-pohon disini begitu rimbun. Sekalipun kita sampai dipuncak bukit tidak akan bisa melihat jelas kebawah. Sebaiknya kita sarapan dulu. Kita istirahat sambil memikirkan jalan keluarnya. Dari semalam kita juga belum istirahat kan.”
Baim membagikan satu bungkus roti pada setiap satu orang. aku merasa haus. Aku mengambil embun yang tertampung diatas daun. Aku tahu ini tidak sehat, tapi aku sudah tidak tahan lagi karena tenggorokanku terasa kering.
“Ini untuk menghilangkan haus, daripada minum embun.” Baim membawa buah seperi jenis beri berwarna merah dan kuning yang ia petik dari sekitaran tempat kami beristirahat. Sepanjang pendakian memang banyak tumbuhan seperti ini, tapi aku tidak tahu bahwa ternyata bisa dimakan.
“Mungkin kalau kita berjalan terus kedepan, kita akan sampai dipemukiman. Walaupun bukan ditempat awal kita mendaki. Tapi pasti ada ujungnya kan ?”
“Ya, tapi mau berapa lama sampai kita kehabisan tenaga. Ini hutan, bukan taman kota yang luasnya bisa dihitung dengan langkah kaki.” Jawab Imron.
“Sebenarnya aku punya pendapat. Ide lebih tepatnya. Tapi aku tidak tahu mungkin ide ini terdengar konyol dan aku baru sadar sekarang.”
Kami bertiga memperhatikan Baim. “Apa ?”
“Semalam saat mendengar suara geraman atau auman kita malah lari menghindarinya karena ketakutan. Bukankah kamu bilang bahwa itu ulah teman-temanmu yang memanggilnya. Itu artinya makhluk itu mendatangi temanmu ?” Tanya Baim sambil menatap si pria berkacamata.
“Iyah seperti itu. dia akan mendatangi orang yang telah memanggilnya. Kalau suara auman itu sangat jauh berarti makhluk itu sedang berada disarangnnya. Tapi kalau terdengar dekat mungkin saja dia berada disekitar kita.”
“Sekeras itukah aumannya ?” si pria berkacamata mengangguk.
“Ini menjadi kesemptan kita untuk keluar dari sini. Begini, jika temanmu memanggil kembali hewan itu, jelas akan ada suara makhluk itu lagi. dan makhluk itu mungkin akan mendatangi temanmu yang sedang berada dijalur pendakian. Bila kita mengikuti arah suara itu, artinya kita akan keluar dari sini.”
“Ide brilian, tapi kita tidak tahu apa temanmu masih hidup atau sudah dimakan mahkluk itu bukan ?” aku membantah pendapat Baim.
‘Sebenarnya makhluk apa itu ? kamu belum menjelaskan apapun tentangnya.” Kata Baim.
Si pria berkacamata menyuapkan potongan roti terakhirnya. Sebelum mulai berbicara dia menyunyah beberapa butir buah beri yang telah dipetiknya. Mukanya terlihat meringis karena buahnya mungkin terasa asam.
“Aku tidak terlalu yakin dengan ucapanku karena cerita ini hanya dari mulut ke mulut. Beberapa artikel yang aku baca dari majalah misteri hanya berdasarkan asumsi. Ya hal gaib memang susah dicari sumber kebenarannya bukan ?”
Aku mencari pohon terdekat untuk bersandar sambil mendengarkan cerita.
“Beberapa orang percaya bahwa makhluk ini adalah sosok penjaga. Kalian melihatnya diatas pos empat ?”
“Kami belum sampat melanjutkan perjalanan keatas.”
“Diatas sana ada sebuah Goa. Kedalamannya mungkin hanya beberapa meter saja. tapi banyak orang yang percaya bahwa itu adalah gerbang menuju Alam lain. Disanalah aku dan teman-temanku pertama kali melihat makhluk itu. maksudnya beberapa dari kami melihatnya.”
“Dan kalian memanggilnya ? Hanya demi sebuah pembuktian ?”
Si pria berkacamata menyilangkan tangannya. Dia duduk bersila sebelum mulai berbicara
……………………………………………..
Menurut si pria berkacamata dia dan teman-temannya rutin membuat proposal. Mereka kesana kemari mencari orang yang ingin mendanai rencananya untuk membuat majalah bergengsi yang membahas dunia mistis. Tentu saja tidak begitu banyak orang yang tertarik, dijaman milenial seperti ini hantu hanya dipercaya dalam film saja.
Sampai akhirnya seorang seorang pemilik museum barang-barang kuno tertarik dengan proposal si pria berkacamata dan teman-temannya. Si pria berkacamata memberikan beberapa contoh tulisan yang pernah ia buat saat masih dikampus.
“Dia tertarik dengan salah satu tulisan kami yang membahas tentang makhluk itu. bahkan dia menunjukan kami sebuah benda yang terpajang dimuseumnya. Benda itu adalah bagian dari gunung ini yang telah ia simpan. Katanya itu warisan dari bapaknya semasa hidup.”
“Lalu ?” tanyaku
“Dia berkata bahwa apa yang aku tulis persis dengan apa yang diceritakan bapaknya dulu. Awalnya kami mengira bahwa dia terlalu serius, semua orang mungkin tahu ceritanya dan bukan hanya bapaknya saja. sampai akhirnya dia menunjukan sebuah benda yang dia sebut pusaka.”
“Benda itu seperti kotak yang terbuat dari perunggu, pinggirnya dihiasi dengan ukiran-ukiran bergambar akar tumbuhan dan dedaunan. dan yang membuat takjub adalah saat benda itu kalian bakar atau didekatkan dengan api, akan tercium wangi. Seperti bau jenis bunga tertentu atau apapun itu.”
“Jadi benda itulah yang kalian bakar didepan gua yang kalin maksud ?” Kata Baim.
“Iyah.”
“Dan menurut pemilik meseum itu. dulu ayahnya hilang saat melakukan pendakian digunung ini. Cerita itu ia dapatkan tidak sengaja saat ibunya berbincang dengan kakeknya. Karena kepada orang-orang, ibunya selalu bilang bahwa ayahnya maninggal dilaut saat memancing dan mayatnya tidak ditemukan.”
“Lantas kenapa dia menginginkan kalian mencari makhluk ini ?”
“Aku tidak tahu. Dia hanya menginginkan gambar dari makhluk itu katanya. Kami terlalu bersemangat karena dia berjanji akan mengeluarkan sejumlah uang sebagai modal usaha untuk kami. Bahkan aku mengira bahwa sebenarnya makhluk itu tidak ada, sampai akhirnya yah kejadiannya seperti sekarang ini.”
………………………………………………………………
Hari sudah siang, matahari begitu terik tidak seperti kemarin. Baim menyuruh kami untuk mencari tumbuhan yang bisa direbus dan dimakan. Atau kalau beruntung mungkin bisa menemukan jamur. Sebagai makan siang.
“Jadi yang akan kita lakukan sekarang hanya menunggu ?”
“Menunggu sambil memulihkan tenaga. Kalau sampai nanti malam rencanaku untuk menunggu suara makhluk itu tidak berhasil. Kita akan mencari cara lain, seperti yang kamu bilang berjalan terus sampai menemukan ujung dari hutan ini.” Jawab Baim.
“Sebaiknyan selesai makan, kita mencari ranting pohon, untuk dijadikan api unggun nanti malam. Kita tidak tahu hewan buas apa yang ada disekitar kita.”
Satu mie instan yang dipenuhi dengan pucuk pakis menjadi santapan makan siang. Kami makan bergiliran, beberapa sendok untuk masing-masing. Kami harus melakukannya agar tidak kehabisan jatah makanan sebelum menemukan jalan pulang.
Semoga saja teman-teman dari si pria berkacamata masih hidup, dan semoga saja suara auman makhluk itu malam ini kembali terdengar. Aneh rasanya, mengharapkan sesuatu yang sebenarnya kami takutkan.
Bersambung.....
Jangan lupa like, comen, share and subcribe
Diubah oleh endokrin 17-05-2019 09:52
twiratmoko dan 16 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas
Tutup