AKHIR HIDUP MANGUN SARKORO
Quote:
Mangun Sarkoro duduk seperti dihenyakkan di bangku panjang itu. Kepalanya tiba –tiba terasa berat pening berkunang - kunang dan nafasnya tiba –tiba sesak.
"Aneh, kenapa kepala ku jadi pening seperti ini. Dan sekujur tubuhku terasa letih….."
membatin Mangun Sarkoro.
"Minuman apa ini. Harum, manis. Wedang jahe aneh…… Jangan-jangan minuman ini yang membuat aku celaka, tapi tidak mungkin. Ini minuman yang diberikan Prapti untukku……."
Diangkatnya cangkir tanah itu lalu didekatkannya ke hidungnya. Ketika dia mencium minuman itu dalam-dalam memang terasa seperti ada hawa aneh yang ikut masuk ke dalam hidungnya dan terus menjalar ke tenggorokan.
“ Aku harus keluar ke udara terbuka. Nafas ku jadi sesak begini?”
Nafas Mangun Sarkoro mendadak jadi tambah sesak. Dari mulutnya keluar suara nafas berat dan parau. Seperti suara sapi yang sedang disembelih oleh tukang jagal. Lalu Mangun Sarkoro berdiri dari bangku dan dengan langkah terhuyung-huyung berjalan ke arah pintu pondok. Saat berada di ambang pintu dengan pandangan yang sedikit kabur. Mangun Sarkoro mendengar suara mendesis. Dihadapannya lima ekor ular dengan warna hitam kelas sebesar lengan orang dewasa telah mengangkat kepalanya. Ada yang aneh pada kepala ular –ular itu. Karena satu ekor ular memiliki dua kepala.
Mangun Sarkoro mundur dengan terhutung -huyung. Lima ular hitam berkepala dua melata naik ke serambi pondok. Kepala masing-masing bergerak naik ke atas. Mulut binatang ini terpentang mengerikan. Pada saat lima ekor ular hitam berkepala dua semakin meninggikan tubuh dan siap mematuk, Mangun Sarkoro tidak terpikir lagi bahwa dirinya juga kebal terhadap bisa ular. Dengan sangat hati-hati agar gerakannya tidak menarik perhatian lima ekor ular, Mangun Sarkoro berjalan menyamping merapat ke dinding pondok. Tiba-tiba ular paling kanan bergerak maju.
Empat kawannya mendesis dan ikut bergerak dengan cepat meloncat ke arah leher Mangun Sarkoro. Dengan tubuh yang mulai kehilangan kesadaran Mangun Sarkoro berusaha menghindar. Mangun Sarkoro jatuhkan diri ke lantai pondok. Tubuhnya berguling – guling di lantai. Sialnya arah jatuh badannya mengarah ke arah undak – undakan serambi pondok. Tak ampun lagi lelaki ini terpental ke luar serambi pondok, menggelinding jungkir balik sepanjang tangga kayu yang menurun. Ketika akhirnya tubuhnya terhempas di tepi pekarangan yang ditumbuhi sayur –sayuran. Ia merasakan sekujur tulang belulangnya seperti hancur luluh. Beberapa bagian tubuhnya lecet, luka berdarah dan nyeri.
Kelima ekor ular hitam berkepala dua tampaknya tidak ingin mangsanya lepas. Mendesis keras kelima ular itu melata ke arah Mangun Sarkoro yang masih jatuh berkelukuran di tanah. Mangun Sarkoro sudah tidak mampu bangkit dengan tegak. Sisa-sisa tenaganya seperti lenyap terkuras habis. Bersusah payah dia beringsut –ingsut menjauhi kelima ular hitam berkepala dua yang masih mengejarnya. Mangun Sarkoro yang pandangan matanya sudah kabur akibat racun tidak menyadari dia menuju ke bibir jurang yang menganga lebar dengan batu –batu karang yang menonjol di bawahnya.
Disaat –saat yang genting itu sebuah pedati berhenti. Saisnya meloncat dengan cepat dari atas pedati. Setengah berlari sais pedati itu berlari ke arah Mangun Sarkoro yang telah berada di bibir jurang.
“ Mangun...hentikan langkah mu di depan mu ada jurang yang menganganga”.
Mangun Sarkoro sekejap mendengar suara itu. Suara yang tidak asing. Gito..ya Mbah Gito.
“ Ular itu..ular itu mengejarku Gito. Kau hati –hatilah ular itu sangat berbahaya”.
Mangun Sarkoro berbicara dengan terbata –bata.
“ Ular ... ular apa Mangun? Disini tidak satupun ular yang aku lihat”.
Mbah Gito melihat dengan bingung sekelilingnya. Disapukan pandangannya di sudut –sudut jalan dan semak belukar. Tidak ada seekor ularpun di sana.
Mangun Sarkoro nampak terhuyung ke depan. Mbah Gito berusaha melompat untuk meraih badan itu. Tapi terlambat. Tak ayal lagi tubuh Mangun Sarkoro jatuh meluncur ke bawah jurang. Badannya langsung disambut bebatuan karang di dasar jurang. Dadanya membentur keras salah batu karang yang menonjol. Terdengar seperti suara tulang remuk. Tubuh Mangun Sarkoro terlungkup di atas batu karang. Dari mulutnya mengalir darah. Matanya membeliak untuk kemudian tidak bergerak –gerak lagi. Hanya sesekali terdengar nafasnya yang masih terputus –putus.
TAMAT