PERTEMUAN
Quote:
Siang itu cuaca tampak cerah. Angin berhembus sepoi –sepoi seperti belaian untuk segera memejamkan mata. Burung –burung berkicau di pucuk –pucuk pohon dan hutan yang ada di sekitar kaki pegunungan seribu Wonosari bagaikan nyanyian pengantar tidur lelap di siang hari. Sebuah pedati tampak bergerak perlahan berjalan terseok –seok. Bunyi roda kayunya berkerontakan beradu dengan batuan padas dan kapur. Sesekali meliuk ke kanan dan ke kiri karena rodanya menghantam jalanan yang berlubang –lubang. Yang menjadi kusirnya seorang lelaki tua berjanggut dan berambut kelabu duduk tenang-tenang saja karena dia memang tidak terburu-buru. Di sampingnya duduk lelaki memakai kemeja hitam. Rambutnya yang hitam pendek disisir klimis rapi. Duduk di bagian belakang pedati seorang perempuan berambut panjang tergerai, di sampingnya seorang anak lelaki usia belasan tahun. Anak ini terlihat ceria. Sepanjang perjalanan dia selalu menyanyi kecil sambil menggoyang-goyangkan tangan kanannya yang memegang sebuah tangkai daun ubi kayu.
“ Jadi njenengan ini Hartono? Putra Ki Mangun Sarkoro?”
“ Iya Mbah, saya dari desa Tawang di kaki gunung Merapai bersama anak istri untuk mengunjungi bapak saya itu. Sekalian pindah ke desa Sambirejo agar dekat dengan tempat kerja. Kebetulan kakak saya punya rumah kosong yang bisa ditinggali di Sambirejo. Oh, ya Mbah ini siapa? Kenal dengan bapak saya?”
“ Kenalkan saya yang tua ini Gito. Orang –orang desa memanggil mbah Gito. Kenal baik dengan bapak njenengan. Setiap minggu dua kali saya ke pondok Ki Mangun untuk mengambil sayuran hasil kebun untuk di jual ke pasar “.
“ Ohhh ... jadi sekarang bapak jadi petani “.
Setelah belok di sebuah tikungan. Pedati itu berhenti di depan sebuah pondok kayu sederhana bertingkat. Di depan pondok itu menghampar kebun dengan beraneka macam tanaman. Rata –rata ditanamai sayur –sayuran dan beberapa petak terhampar tanaman jagung dan ubi kayu. Di sekeliling pekarangan terdapat pagar dari bambu setinggi satu meter.
Seorang lelaki tua bertelanjang dada menghentikan pekerjaannya mencangkul petak ladang yang nampaknya akan ditanami dengan pokok batang tebu. Dia memandang ke arah pedati yang berhenti di depan pagar rumah. Pedati itu sangat dia kenal pemiliknya. Berlari –lari kecil Mangun Sarkoro menghampiri pedati itu.
“ Gito, bukankah ini belum jatahnya kau angkut sayuran ku untuk di jual ke pasar?”
Seorang lelaki tua turun dari atas pedati.
“ Niatku kesini hanya untuk mengantar tamu –tamu ini Mangun. Kebetulan tadi ketemu di ujung jalan. Ternyata meraka tamu –tamu mu”.
Seorang lelaki muda turun dari pedati membawa dua tas besar. Tidak lama, seorang wanita turun di bantu oleh lelaki itu. Di susul seorang anak lelaki turun. Mangun Sarkoro berkernyit keningnya. Berusaha mengenali ke tiga orang yang baru turun dari pedati itu.
Hartono kemudian menghambur dan memeluk bapaknya itu. Mangun Sarkoro terkejut. Penuh tanda –tanya disambut pelukan lelaki muda yang baru datang tadi.
“ Bapak ... ini Hartono. Sejak umur sepuluh tahun kita tidak pernah bertemu lagi “.
Mangun Sarkoro berkaca –kaca matanya. Sekarang tahulah dia siapa yang sedang memeluknya itu. Anaknya yang bernama Hartono.
“ Kamu sudah besar Har...”
Mangun Sarkoro tidak mampu menyembunyikan keharuan. Bulir air mata menetes dari mata tuanya itu. Bapak dan anak ini berpelukan melepaskan kerinduan. Setelah beberapa saat diselimuti keharuan. Hartono melepaskan pelukannya.
“ Bapak..kenalkan ini istri saya. Namanya Marni ”.
“ Ayo Marni mendekat kesini “.
Marni berjalan ke arah Mangun Sarkoro. Berjabat tangan kemudian mencium punggung tangan lelaki tua itu. Mangun Sarkoro tersenyum kemudian menepuk pelan pundak Marni.
“ Cantik menantuku ini. Kau sedang mengandung nduk?”
Mangun Sarkoro memandang perut Marni yang tampak membuncit.
Marni mengangguk.
“ Anak kedua Pak”.
Hartono menyahut pertanyaan bapaknya itu.
“ Itu siapa Har?Cucuku?”
“ Ayo Sasongko sini jangan malu –malu kenalan dulu sama eyang “.
Marni memanggil anak lelakinya yang sedari tadi hanya berdiri di dekat gerobak pedati.
Anak kecil yang bernama Sasongko itu dengan malu –malu mendekati Mangun Sarkoro. Mengulurkan tangan kemudian mencium punggung tangan kakeknya itu.
“ Kamu sudah besar Le? Ganteng ya? Siapa nama mu?”
Mangun Sarkoro berlutut dan mengusap pipi cucunya itu.
“ Sasongko Eyang?”
Sasongko menjawab dengan malu –malu.
“ Berapa umur mu?”
“ Dua belas tahun eyang..”
Sasongko masih menjawab dengan malu –malu.
“ Sekolah yang pinter. Biar jadi orang besar, jadi orang mapan”.
Lalu Mangun Sarkoro memeluk tubuh anak kecil itu. Dibelai rambut ikal Sasongko.
Keharuan, kebahagiaan bercampur menjadi satu di depan pondok itu. Mbah Gito yang sedari tadi melihat kejadian itu diam –diam hatinya tergetar juga. Kemudian dia mendeham.
“ Mangun, aku pamit diri dulu. Sapiku ini belum makan rumput segar sedari pagi. Besok habis subuh aku kesini lagi mengambil sayuran yang akan dijual ke pasar”.
Mangun Sarkoro berdiri, lalu menghampiri Mbah Gito.
“ Terimakasih telah mengantar anak, mantu dan cucu ku “.
“ Sudah lupakan itu Mangun. Aku pamit dulu. Nak Hartono, saya pamit dulu”.
“ Terimakasih Mbah Gito atas bantuannya. Hati –hati di jalan “.
Hartono menyahuti sembari siap –siap mengangkat tas besar yang tadi hanya diletakkan diatas tanah.
Mbah Gito mengangguk seraya melambaikan tangan. Lalu naik di atas pedati. Disentakan dua tali kekang dengan perlahan. Dua ekor sapi yang sedari tadi diam tidak bergerak mulai berjalan perlahan. Meluncur lalu pedati itu hilang tertutup rapat oleh pohon-pohon besar dan semak belukar. Hanya tinggal suara roda kayunya yang sayup –sayup masih terdengar makin pelan, makin pelan. Kemudian sama sekali tidak terdengar lagi.