- Beranda
- Stories from the Heart
Ndas Glundung: Si Kecil yang Buas (horor fiksi)
...
TS
dodydrogba
Ndas Glundung: Si Kecil yang Buas (horor fiksi)
[size="4"]
Sekedar share cerita horor gan, terinspirasi dari mahluk gaib lokal, das Glundung. Semoga bisa menghibur
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Di sebuah desa yang indah nan asri, terdapat sebuah komplek perumahan yang sangat luas dan lebar. Komplek perumahan megah yang bernama Batu Candi itu sendiri masih dalam tahap pembangunan. Walau begitu, dari fondasinya dapat terlihat kalau rumah - rumah di komplek baru tersebut mempunyai corak minimalis dan unik, sebagian ada yang sudah jadi dan sebagian ada yang bertingkat dua. Salah satunya rumah dari keluarga Rendi, satu dari sepuluh keluarga yang sudah menghuni sebuah rumah di komplek tersebut. Penghuni komplek tersebut memang masih sedikit, selain sebagian rumah masih tahap pembangunan, tak semua orang mungkin bisa membeli karena harganya yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Keluarga Rendi sebenarnya baru pindah setahun yang lalu, kini ia dan keluarganya sudah beradaptasi secara baik dengan lingkungan sekitar. Ibunya seorang staf marketing handal di salah satu perusahaan yang berada tak jauh dari desa itu, kakaknya Rani masih duduk di bangku SMA, sementara Rendi sendiri masih duduk di bangku kelas enam SD.
Kini ia bersama dua temannya, Raka dan Reyhan tengah pulang sekolah, menaiki sepeda melewati jalan - jalan perumahan dengan riang gembira. Sesampainya di sebuah pertigaan, mereka pun berpisah. Sementara Rendi harus terus bergerak lurus, perjalanan menuju komplek perumahannya masih sedikit jauh. Ia masih harus melewati sebuah taman permainan dekat komplek perumahannya. Dengan penuh semangat, ia terus mengayuh sepedanya dengan cepat agar bisa melaju kencang.
Tak disangka - sangka ia hampir mendekati taman itu, namun di saat yang sama perutnya mulai keroncongan. Kebetulan ia melirik seorang bapak si penjual roti bakar langganannya sedang singgah di taman itu. Tak pikir panjang, ia pun segera mengayuh sepedanya lalu menepikannya di taman tersebut dan menuju tukang roti bakar langganannya itu.
"Pak lagi sibuk ya??"
"Ah enggak kok dek, mau pesan apa nih?"
"Seperti biasa pak!!"
"Roti bakar isi cokelat keju ya."
"Yap."
"Oke, pesannya segera dibuat. Tunggu sebentar ya dek."
"Sipp... Pak!"
Rendi yang tak kuasa menahan nafsu laparnya akhirnya bisa juga memesan roti bakar kesayangannya itu. Sambil mengisi waktu, ia pun meluangkan waktunya sambil bermain bola. Sebuah bola karet berukuran sedang ia ambil dari keranjang sepedanya. Lalu dipantulkannya dengan kuat ke depan hingga bergerak memantul menuju sebuah lapangan futsal sekaligus voli dan badminton, ia pun mengejar di belakangnya. Setelah itu dengan leluasa ia menendang keras bola tersebut ke arah gawang berukuran sedang yang kosong tak terjaga. Sepak bola dan futsal memang olahraga kegemaran Randi, maka tak heran ia bisa merasa senang dan jago dalam memainkannya. Beberapa kali ia mengeluarkan tendangan dahsyat sampai akhirnya tendanganya itu menukik lalu melenceng agak jauh dari gawang tersebut. Bola itu terjatuh di rumput dan terus bergelinding cepat sampai akhirnya berhenti di dekat sebuah pohon cemara yang tinggi.
Sempat panik karena takut bolanya menghilang, Rendi pun bergegas mencari bola tersebut ke arah tempat benda miliknya itu mendarat. Ia mencari ke sana ke mari masih belum dapat juga. Dengan sebuah usaha yang tak kenal lelah, ia akhirnya berhasil menemukan bola tersebut. Tapi sepertinya ada yang mengganjal di pikirannya ketika melihat bolanya bersender dekat pohon itu. Di sampingnya ada sebuah benda aneh yang mirip telur namun sebesar telapak tangan.
"Ah, akhirnya aku temukan juga kamu bola sialan," Rendi bersyukur lalu dengan cepat melirik ke arah samping bolanya.
"Eh.. Ini apa ya? Bola bukan, telur bukan, aneh banget ya benda ini," setelah menatap lama, Rendi yang penasaran langsung mengulurkan kedua tangannya lalu mengambil benda tersebut.
"Benda apa ya ini, apa jangan - jangan telur alien ya? Ah tidak mungkin, ngapain alien bertelur di sini. Kayak tidak ada tempat lain saja," pikirnya dengan penuh rasa penasaran.
Rendi memang sedikit beda dengan anak lainnya, bahkan ketika kecil dulu sempat menyuri telur dari sarang biawak karena tantangan dari teman - temannya. Alhasil, ia kena ocehan pedas dari ibunya sekaligus hukuman tak boleh keluar rumah karena bermain - main dengan bahaya yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Walau begitu, ia juga manusia biasa, terkadang bisa takut terhadap hal - hal yang berada di luar nalar seperti hantu misalnya. Sama seperti saat ini, masih ada jiwa nekad dalam tubuhnya, ia pun berniat membawa benda aneh itu ke rumahnya. Siapa tahu ia bisa terkenal di sekolah nanti karena membawa benda yang sangat unik yang tak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun.
"Aaa..aku punya ide bagus, bagaimana kalau benda ini ku bawa pulang saja? Benda unik seperti ini, kan bisa bikin aku terkenal di sekolahan, terus aku di puja - puji deh."
Rendi akhirnya memutuskan untuk membawanya, namun sebelum itu, ia harus kembali terlebih dahulu untuk membayar roti bakar pesanannya itu. Ia memasukan benda aneh itu ke dalam tasnya, begitu pula dengan roti bakarnya. Sedangkan bolanya, ia taruh kembali ke dalam keranjang sepeda. Ia kembali meluncur di jalanan, menuju hunian yang paling nyaman yaitu rumahnya sendiri.
-
Waktu menunjukkan jam sembilan malam, Rendi masih saja belum terlihat mengantuk. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari benda aneh temuannya itu. Sesekali ia colokan sebuah lidi ke benda itu, dan tak ada reaksi sama sekali. Kalau dilihat - lihat, tekstur kulit benda itu seperti kulit manusia namun tanpa bulu. Sepintas seperti terlihat dua garis tipis yang kecil di bagian depan telur itu, di bawahnya terdapat garis panjang yang sedikit lebar. Rendi tak habis pikir, andai saja ia tak ke taman itu, mungkin tidak dapat benda aneh ini. Apa mungkin teman - temannya atau gurunya tahu soal ini, entahlah, yang jelas ia berniat membawanya esok hari. Ia sendiri juga tak yakin kalau kakaknya yang sok sibuk, jail dan bawel itu beserta ibunya yang sangat - sangat sibuk itu tahu soal benda ini. Maka ia pun merahasiakan benda itu untuk sementara waktu sampai ia tahu apa sebenarnya benda itu.
Ketika masih asyik memandangi benda tersebut di meja belajarnya, tiba - tiba matanya terbelalak. Ia teringat akan sesuatu penting di hari esok.
"Astaga, aku lupa, besok kan aku harus maju buat pelajaran Bahasa Indonesia. Mendingan aku tidur dulu sekarang. Kamu di sini saja ya, jangan ke mana - mana!!"
Setelah mengelus - elus benda itu ia pun menuju tempat tidurnya. Merebahkan diri agar bisa tertidur nyenyak, lalu memejamkan matanya. Dalam hati ia berharap bisa dalam kondisi bugar untuk tugas sekolah yang berat di hari esok.
Sekedar share cerita horor gan, terinspirasi dari mahluk gaib lokal, das Glundung. Semoga bisa menghibur
Bab1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Spoiler for Bab 1:
Di sebuah desa yang indah nan asri, terdapat sebuah komplek perumahan yang sangat luas dan lebar. Komplek perumahan megah yang bernama Batu Candi itu sendiri masih dalam tahap pembangunan. Walau begitu, dari fondasinya dapat terlihat kalau rumah - rumah di komplek baru tersebut mempunyai corak minimalis dan unik, sebagian ada yang sudah jadi dan sebagian ada yang bertingkat dua. Salah satunya rumah dari keluarga Rendi, satu dari sepuluh keluarga yang sudah menghuni sebuah rumah di komplek tersebut. Penghuni komplek tersebut memang masih sedikit, selain sebagian rumah masih tahap pembangunan, tak semua orang mungkin bisa membeli karena harganya yang sedikit lebih mahal dari biasanya. Keluarga Rendi sebenarnya baru pindah setahun yang lalu, kini ia dan keluarganya sudah beradaptasi secara baik dengan lingkungan sekitar. Ibunya seorang staf marketing handal di salah satu perusahaan yang berada tak jauh dari desa itu, kakaknya Rani masih duduk di bangku SMA, sementara Rendi sendiri masih duduk di bangku kelas enam SD.
Kini ia bersama dua temannya, Raka dan Reyhan tengah pulang sekolah, menaiki sepeda melewati jalan - jalan perumahan dengan riang gembira. Sesampainya di sebuah pertigaan, mereka pun berpisah. Sementara Rendi harus terus bergerak lurus, perjalanan menuju komplek perumahannya masih sedikit jauh. Ia masih harus melewati sebuah taman permainan dekat komplek perumahannya. Dengan penuh semangat, ia terus mengayuh sepedanya dengan cepat agar bisa melaju kencang.
Tak disangka - sangka ia hampir mendekati taman itu, namun di saat yang sama perutnya mulai keroncongan. Kebetulan ia melirik seorang bapak si penjual roti bakar langganannya sedang singgah di taman itu. Tak pikir panjang, ia pun segera mengayuh sepedanya lalu menepikannya di taman tersebut dan menuju tukang roti bakar langganannya itu.
"Pak lagi sibuk ya??"
"Ah enggak kok dek, mau pesan apa nih?"
"Seperti biasa pak!!"
"Roti bakar isi cokelat keju ya."
"Yap."
"Oke, pesannya segera dibuat. Tunggu sebentar ya dek."
"Sipp... Pak!"
Rendi yang tak kuasa menahan nafsu laparnya akhirnya bisa juga memesan roti bakar kesayangannya itu. Sambil mengisi waktu, ia pun meluangkan waktunya sambil bermain bola. Sebuah bola karet berukuran sedang ia ambil dari keranjang sepedanya. Lalu dipantulkannya dengan kuat ke depan hingga bergerak memantul menuju sebuah lapangan futsal sekaligus voli dan badminton, ia pun mengejar di belakangnya. Setelah itu dengan leluasa ia menendang keras bola tersebut ke arah gawang berukuran sedang yang kosong tak terjaga. Sepak bola dan futsal memang olahraga kegemaran Randi, maka tak heran ia bisa merasa senang dan jago dalam memainkannya. Beberapa kali ia mengeluarkan tendangan dahsyat sampai akhirnya tendanganya itu menukik lalu melenceng agak jauh dari gawang tersebut. Bola itu terjatuh di rumput dan terus bergelinding cepat sampai akhirnya berhenti di dekat sebuah pohon cemara yang tinggi.
Sempat panik karena takut bolanya menghilang, Rendi pun bergegas mencari bola tersebut ke arah tempat benda miliknya itu mendarat. Ia mencari ke sana ke mari masih belum dapat juga. Dengan sebuah usaha yang tak kenal lelah, ia akhirnya berhasil menemukan bola tersebut. Tapi sepertinya ada yang mengganjal di pikirannya ketika melihat bolanya bersender dekat pohon itu. Di sampingnya ada sebuah benda aneh yang mirip telur namun sebesar telapak tangan.
"Ah, akhirnya aku temukan juga kamu bola sialan," Rendi bersyukur lalu dengan cepat melirik ke arah samping bolanya.
"Eh.. Ini apa ya? Bola bukan, telur bukan, aneh banget ya benda ini," setelah menatap lama, Rendi yang penasaran langsung mengulurkan kedua tangannya lalu mengambil benda tersebut.
"Benda apa ya ini, apa jangan - jangan telur alien ya? Ah tidak mungkin, ngapain alien bertelur di sini. Kayak tidak ada tempat lain saja," pikirnya dengan penuh rasa penasaran.
Rendi memang sedikit beda dengan anak lainnya, bahkan ketika kecil dulu sempat menyuri telur dari sarang biawak karena tantangan dari teman - temannya. Alhasil, ia kena ocehan pedas dari ibunya sekaligus hukuman tak boleh keluar rumah karena bermain - main dengan bahaya yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya. Walau begitu, ia juga manusia biasa, terkadang bisa takut terhadap hal - hal yang berada di luar nalar seperti hantu misalnya. Sama seperti saat ini, masih ada jiwa nekad dalam tubuhnya, ia pun berniat membawa benda aneh itu ke rumahnya. Siapa tahu ia bisa terkenal di sekolah nanti karena membawa benda yang sangat unik yang tak pernah ditemukan di belahan dunia mana pun.
"Aaa..aku punya ide bagus, bagaimana kalau benda ini ku bawa pulang saja? Benda unik seperti ini, kan bisa bikin aku terkenal di sekolahan, terus aku di puja - puji deh."
Rendi akhirnya memutuskan untuk membawanya, namun sebelum itu, ia harus kembali terlebih dahulu untuk membayar roti bakar pesanannya itu. Ia memasukan benda aneh itu ke dalam tasnya, begitu pula dengan roti bakarnya. Sedangkan bolanya, ia taruh kembali ke dalam keranjang sepeda. Ia kembali meluncur di jalanan, menuju hunian yang paling nyaman yaitu rumahnya sendiri.
-
Waktu menunjukkan jam sembilan malam, Rendi masih saja belum terlihat mengantuk. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari benda aneh temuannya itu. Sesekali ia colokan sebuah lidi ke benda itu, dan tak ada reaksi sama sekali. Kalau dilihat - lihat, tekstur kulit benda itu seperti kulit manusia namun tanpa bulu. Sepintas seperti terlihat dua garis tipis yang kecil di bagian depan telur itu, di bawahnya terdapat garis panjang yang sedikit lebar. Rendi tak habis pikir, andai saja ia tak ke taman itu, mungkin tidak dapat benda aneh ini. Apa mungkin teman - temannya atau gurunya tahu soal ini, entahlah, yang jelas ia berniat membawanya esok hari. Ia sendiri juga tak yakin kalau kakaknya yang sok sibuk, jail dan bawel itu beserta ibunya yang sangat - sangat sibuk itu tahu soal benda ini. Maka ia pun merahasiakan benda itu untuk sementara waktu sampai ia tahu apa sebenarnya benda itu.
Ketika masih asyik memandangi benda tersebut di meja belajarnya, tiba - tiba matanya terbelalak. Ia teringat akan sesuatu penting di hari esok.
"Astaga, aku lupa, besok kan aku harus maju buat pelajaran Bahasa Indonesia. Mendingan aku tidur dulu sekarang. Kamu di sini saja ya, jangan ke mana - mana!!"
Setelah mengelus - elus benda itu ia pun menuju tempat tidurnya. Merebahkan diri agar bisa tertidur nyenyak, lalu memejamkan matanya. Dalam hati ia berharap bisa dalam kondisi bugar untuk tugas sekolah yang berat di hari esok.
Diubah oleh dodydrogba 15-03-2018 05:49
anasabila memberi reputasi
1
2.7K
Kutip
10
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.7KThread•43.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dodydrogba
#2
Spoiler for Bab 3:
Di dalam kamarnya, Rendi seakan termenung akan sesuatu. Sambil belajar, Dagunya ia sandarkan pada kedua tangannya. Ia masih kepikiran akan dari mana Riko berasal. Tak ingin terus diselimuti oleh rasa penasaran tinggi, maka Rendi pun berniat meminjam laptop ibunya untuk mencari tahu informasi apa aja yang ia bisa dapat terkait hal itu. Ia bangkit dari kursinya, lalu berlari kencang keluar kamar menuju lantai bawah tempat ibunya berada. Sesampainya di bawah, ibunya terlihat sibuk menelpon seseorang sembari senderan di sofa empuknya. Rendi awalnya sedikit ragu karena tak ingin mengusik urusan ibunya, tapi karena takut menunggu terlalu lama, maka ia memberanikan diri nya untuk bertanya seputar laptop ibu nya.
"Ibuu??!!" Rendi bertanya dengan pelan.
Tak mendapat respon maka ia kembali memanggilnya "Ibuuuuu???!!"
Lagi - lagi ia dicuekin oleh ibunya sendiri. Ibunya tampak tak menggubrisnya sama sekali, seperti sedang fokus ke sesorang yang ditelponya. Merasa dihiraukan, Rendi pun kembali memanggil, tapi kali ini dengan teriakan kencang.
"Ibuuuu!!!!!"
Kali ini ia bisa membuat emosi ibunya memuncak, teriakan nyaring dari Rendi berhasil mengalihkan perhatian ibunya kepadanya. Ibunya yang sedang asyik menelpon tentu menjadi sangat terganggu dan kehilangan kesabaranya. Ibu Rendi yang kesal itu membalas dengan omelan yang luar biasa pedasnya.
"Hehh, dasar anak bandel!!! Ibu ini sedang menelpon sama rekan kantor, tidak sopan kalau diganggu seperti itu. Kamu itu mau ngapain manggil ibu keras - keras?"
"Habis ibu tidak dengar panggilan ku, jadinya ya sekalian tak teriakin kencang - kencang."
"Ya udah, kamu mau apa?"
"Mau minjam laptop ibu!!"
Tangan ibunya bergerak cepat merogoh tas ransel di sampingnya, ia lalu meletakkannya tepat di meja yang berada di depannya.
"Nih, jangan lama - lama ya!! Ntar mau ibu pakai lagi," ibu mewanti - wanti.
"Iya bu," Rendi tak beranjak dari tempatnya, ia malah menatap ibunya dengan rasa kesal.
"Kamu kenapa masih di sini? Sudah pakai dulu sana, nanti ibu ambil paksa kalau belum dipakai - pakai!" ibunya mengancam halus.
Sambil menahan kesedihan yang mendalam, Rendi terpaksa beranjak dari tempatnya, berlari tergesa - gesa menuju kamarnya. Semenjak pindah ke sini, ibunya memang mulai sedikit berbeda, lebih peduli tentang pekerjaannya ketimbang dirinya atau kakaknya. Sayangnya kakaknya sendiri menjadi mirip seperti ibunya seakan tak peduli dengan yang lain selain dirinya sendiri. Di situasi seperti ini tentu membuat Rendi semakin sedih, layaknya tinggal di hunian sepi tanpa satu orang pun yang peduli padanya. Namun kemunculan sahabat barunya itu nampaknya sedikit membuat dirinya sumringah. Pasalnya kini ia tak hidup sendirian lagi di kamarnya, ada Riko yang siap menemani hari - harinya nanti.
Sesampainya di kamar, Rendi sedikit terkejut menatap mahluk berbentuk bola itu. Mahluk itu menghadap jendela, matanya melirik bulan purnama, mulutnya mengeluarkan suara geraman yang mirip dengan suara kucing yang sedang marah. Sepertinya mahluk itu tak sedang bernyanyi, namun berkomunikasi dengan sosok yang tak diketahui keberadaanya. Entah kenapa, tiba - tiba firasat buruk mulai menyelimuti dirinya. Ia takut kalau mahluk itu sedang bersedih karena sedang tak bersama orang tuanya. Ia berharap orang tuanya Riko nanti tak memarahi dirinya. Tentu hal ini sedikit mengingatkan akan dirinya yang merasa kesepian karena tak ada yang peduli dengan dirinya walau ada orang tua sekalipun. Ia sendiri sampai saat ini masih merahasiakan Riko dari ibunya dan juga kakaknya karena tak mau mengalami hal yang kurang mengenakkan seperti dimarahin habis - habisan karena menyimpan hewan dalam rumah tanpa sepengetahuan ibunya.
Tak ingin berlama - lama, maka ia pun mulai menyalakan laptop ibunya di meja belajar. Sambil sesekali menatap Riko di sampingnya, tangannya dengan cekatan mengetik kata - kata dalam situs mesin pencari. Tangan kanannya terus menekan mouse sehingga membuat suara khas tersendiri. Sampai saat ini, Rendi belum juga menemukan deskripsi mahluk yang ditemukannya di taman itu. Ia mulai terlihat lelah, sesekali mulutnya terlihat menguap. Dalam hati ia berniat mengurungkan pencariannya di internet pada malam itu, sembari berharap suatu saat bisa menemukan asal - usul mahluk temuannya itu.
Di tempat lain, di bawah sinar rembulan yang menerangi gelapnya malam, segerombol mahluk yang mirip dengan Riko sedang berbaris melompat rendah di sebuah bukit yang dipenuhi rumput sedengkul manusia dewasa. Ada sekitar lebih dari tiga puluhan, selagi serigala terus melolong, mereka terus bergerak ke arah datangnya sinar bulan itu. Ketika sampai di ujung bukit, mereka berhenti, menatap sebuah pemandangan yang menarik hati. Ternyata itu adalah komplek perumahan tempat Rendi berada. Gemerlap cahaya dari sebagian rumah itu membuat suasana malam semakin indah. Namun sepertinya bukan itu yang mereka cari. Mereka mencari sesuatu yang hilang dari kelompok mereka yang tak lain dan tak bukan ialah Riko, sang ndas gelundung cilik.
Di barisan depan nampak dua mahluk ndas gelundung seukuran dengkul manusia dewasa yang berkelamin jantan dan betina. Sepertinya mereka pemimpin dari kelompok para mahluk itu. Tapi apa yang mereka cari masih misteri, sesekali mereka saling berbicara dengan bahasa yang sulit dimengerti, seperti sedang menggeram karena marah. Setelah berbincang, keduanya menengok belakang, memberi aba - aba dengan suara geraman yang sama. Setelah itu barulah secara cepat mahluk - mahluk itu bergelinding ke bawah menuju jalanan beraspal di sekitar komplek perumahan itu.
***
Matahari cerah menyinari pagi itu, semangat baru siap menemani aktifitas di hari itu juga. Seperti biasa ibu Randy bangun lebih awal untuk sekedar senan ringan dan juga mengambil koran harian yang diberikan oleh sang loper koran. Ketika membuka pintu, ia tiba - tiba diam tercengang. Bukan sebuah senyuman yang datang tapi sebuah raut wajah yang diselimuti aura ketakutan. Bagaimana tidak, pemandangan mengerikan sedang berada di depan matanya. Mayat - mayat hewan seperti kucing liar, tikus, burung gagak dengan keadaan tubuh tercerai berai berserakan di jalanan. Ia kebingungan, tak tahu apa yang terjadi di sekitar rumahnya. Mau bertanya tetangga tapi sayangnya tak ada tetangga di samping rumahnya karena penghuni komplek itu masih sedikit. Tak mau terus dirundung rasa takut maka ibu Rendi pun menelpon pihak kepolisian.
Beberapa menit kemudian, jalanan sekitar rumah Rendi sudah di penuhi oleh para petugas polisi dan petugas yang membidangi hewan - hewan liar dari lembaga pemerintah setempat yang berpakaian layaknya astronot itu. Keluarga Rendi untuk sementara disuruh berada di dalam untuk menghindari segala kemungkinan terburuk seperti pencemaran penyakit yang ditimbulkan oleh mayat - mayat hewan tadi. Kejadian itu ternyata juga memancing rasa penasaran warga lain penghuni komplek tersebut yang tinggal berjauhan dengan mereka. Polisi pun sebenarnya juga bingung dengan apa yang terjadi walau sudah mempunyai dugaan yang berdasarkan kejadian yang mirip dengan hal serupa.
"Jadi pak polisi, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya ibu sambil merangkul kedua anaknya.
"Entahlah bu, saya tak terlalu yakin pasti penyebabnya, tapi berkaca kejadian sebelumnya, mungkin saja ini ulah hewan liar," ujar polisi itu.
"Apa, hewan liar, jadi komplek perumahan ini tidak aman ya," ibu terkejut setengah mati.
"Tenanglah ibu, ini baru kemungkinan saja. Kami juga sudah berkordinasi dengan perusahaan pengembang perumahaan ini. Selain itu selagi kami mencari tahu, pihak security dari komplek ini akan meningkatkan pengawasan dan penjagaan sampai kejadian ini menemui titik terang," pak polisi mencoba menenangkan ibu Rendi.
"Huffh syukurlah kalau begitu," ibu merasa lega.
"Ibu yakin mau tetap tinggal di sini," celetuk kakak Rendi yang juga sedikit takut.
"Hussh kamu ini, emang mau tinggal di mana lagi. Kolong jembatan?? Untuk sementara kita tinggal di sini dulu, toh pihak keamanan juga meningkatkan penjagaan. Jadi kita tak perlu kuatir," ibu menegur sang kakak.
"Huh.. baiklah," kata sang kakak yang kesal.
"Kalau begitu, saya pamit dulu ibu, kalian semua jaga diri baik - baik. Jika menemukan hal yang mencurigakan bisa melapor kami," polisi itu meninggalkan mereka.
Dari kejadian itu Rendi nampak diam bergeming, tak mengeluatkan sepatah kata pun. Ada menggelayuti isi pikirannya, batinnya ia mulai disesaki oleh pikiran yang tidak - tidak. Salah satunya ialah mahluk kecil piarannya itu, ia mulai berpikir jangan - jangan ini semua ada kaitannya dengan si Riko.
0
Kutip
Balas