SANTET GODONG SURUH
Quote:
Mangun Sarkoro terhenyak dari tidurnya. Tubuh tuanya nampak terguncang –guncang berusaha untuk mengatur nafas yang tidak teratur tersengal –sengal. Masih mengatur nafas dia duduk di bale –bale bambu.
“ Mimpi buruk ...aku mimpi buruk. Setelah sekian lama bayangan itu tidak pernah muncul. Mengapa tiba –tiba muncul lagi?”
Pandangan matanya menyapu ke luar pondok. Di luar hari telah berganti dengan malam. Suasana sunyi mencekam di lereng pegunungan Seribu. Diraihnya pipa tembakau yang tergeletak di atas meja. Menggunakan korek di nyalakannya pipa itu. Mangun Sarkoro menghisap dalam –dalam pipa rokok tembakaunya.
“ Dosa ku telah terlalu banyak dan besar. Perempuan –perempuan itu telah banyak yang jadi korban. Jadi tumbal penghuni bukit Jatipadas. Hingga akhirnya aku bertemu dengan Nawang perempuan asal tanah Pasundan itu berbeda dari perempuan lain. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku tidak ingin mengorbankan dia. Tetapi pada akhirnya. Dia juga menjadi korban. Meski pun begitu buah cinta ku dengannya masih bisa terselamatkan “.
Batin Mangun Sarkoro berkecamuk hebat. Seperti buku lama tiba –tiba lembar per lembar terbuka dengan semua tulisan yang tertera di dalamnya.
Saat itulah terdengar suara sesuatu berdesing berputar-putar di atas atap. Bau kemenyan seketika semerbak mengganggu indera penciuman.
“Aku mencium bau seperti kemenyan terbakar…” bisik Mangun Sarkoro dalam hati.
Tiba-tiba suara mendesing itu terdengar tambah nyaring lalu sebuah benda menerobos atap pondok yang terbuat dari blarak! Benda ini langsung melesat ke arah kepala Mangun Sarkoro yang masih berdiri. Melihat bahaya besar mengancam nyawanya, Mangun Sarkoro menggeser badannya ke samping dengan cepat. Pipa rokok yang terselip di bibirnya terlepas jatuh. Bara api tembakau bercerai berai di lantai pondok. Lalu tangan kanannya dihantamkan ke atas benda yang menukik melesat dari atas atap. Benda yang tadi melesat terpental kesamping dan jatuh tergeletak di atas meja. Meskipun sanggup dibuat mental tapi ternyata benda itu tidak patah atau hancur.
Mangun Sarkoro memandang membelalak pada benda di atas meja itu. Benda ini adalah sebuah pisau, badan dan matanya berbentuk daun sirih. Kelihatannya terbuat dari tembaga merah yang seluruh badannya penuh ukiran tulisan-tulisan aneh. Pada gagangnya yang juga terbuat dari tembaga terikat sehelai kain putih. Di dalam kain putih ini terdapat beberapa keping kemenyan!
Mangun Sarkoro meraih pisau aneh itu dari atas meja. Kedua matanya terpejam. Pisau aneh yang dipegangnya di tangan kanan diangkat ke depan mulutnya lalu Mangun Sarkoro meniup tiga kali. Mangun Sarkoro mengangkat pisau aneh tinggi-tinggi di atas kepalanya. Lalu terdengar dia membentak,
“Pergi! Kembali ke asalmu! Minum darah asal leluhurmu!”
Habis membentak begitu, Mangun Sarkoro lemparkan pisau aneh ke udara. Senjata itu melesat dan lenyap di kegelapan malam!
Mangun Sarkoro menghela nafas. Peluh bercucuran dari tubuhnya.
“ Ternyata masih ada juga yang mengincar selembar nyawa tua ku ini? Tapi siapa?!”
Ki Dukun Dipo Wongso tersentak dari samadinya. Telinganya menangkap suara mendesing dikejauhan. Makin keras, makin keras tanda tambah dekat. Sesaat dia mengenali suara desingan itu, pucatlah wajah sang dukun, dia melompat sambil berseru keras.
“Pergi! Pergi! Bukan disini sasaranmu! Bukan disini asalmu! Bukan disini leluhurmu! Pergi!”
Suara berdesing semakin keras. Lalu terdengar suara jebolnya atap bangunan disusul melesatnya sebuah benda! Benda ini langsung mengarah Ki Dukun Dipo Wongso. Si orang tua menjerit keras untuk kedua kalinya.
“ Pergi!” teriaknya.
“Bukan disini asalmu! Bukan disini sasaranmu. Bukan… aakhhhhh!!!”
Ki Dukun Dipo Wongso berusaha menghindar. Untung saja pisau daun sirih hanya menancap di pipi sebelah kiri Ki Dukun Dipo Wongso. Sehingga nyawanya tidak minggat ke akherat. Tubuhnya langsung roboh terjengkang. Kedua kakinya kelojotan beberapa kali. Pipinya terdapat luka besar yang menganga. Darah segar muncrat keluar dari luka itu.
BERSAMBUNG