- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#284
MUSLIHAT KEJI
Quote:
Musim panas tahun ini memang gila. Delapan purnama telah berlalu tanpa sekali pun turun hujan. Sungai mengering, danau berubah menjadi lembah tandus. Pepohonan banyak yang hanya tinggal ranting-ranting meranggas. Sawah sudah sejak lama menjadi pendataran liar yang terdiri dari bongkah-bongkah tanah kering kerontang dan alang-alang. Di bawah teriknya sinar matahari yang seperti membakar bumi menghanguskan jagat, di sebelah barat Gunung Merapi, di desa Tawang.
Tampak seorang lelaki muda berbadan kekar giat mencangkul ladang yang sudah mulai tandus. Di tepi ladang dekat sebuah pematang tumpukan pokok ubi kayu tersusun rapi. Sepertinya akan ditanam sebagai ganti padi di musim kemarau yang menggila. Peluh yang membasahi sekujur badan tidak diperdulikan sama sekali.
Di sudut lain masih di ladang itu. Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun. Asyik mencari belalang. Di pinggang bocah itu terselip kantong plastik bening yang telah berisi puluhan belalang beraneka jenis.
Di ujung pematang telihat seorang wanita datang menghampiri. Baju terusan berwarna coklat membalut tubuhnya. Sementara rambut panjang terkepang dua khas penampilan gadis desa masa itu. Di tangan kanannya menenteng tumpukan rantang makanan. Sementara di tangan kirinya sebuah termos minuman tampak ada di sana.
“ Mas Hartono...!
perempuan itu berseru dari tepi ladang.
Lelaki muda itu menoleh, lalu menghentikan pekerjaannya.
“ Marni...hati –hati. Lihat jalan mu. Ingat kamu lagi hamil muda “.
“ Tidak apa –apa Mas. Ini ada makanan dan minuman. Istirahatlah dulu. Lihatlah peluh mu nampak bercucuran “.
“ Sebentar Marni...”
Lelaki muda itu kemudian menaruh cangkulnya di tepi ladang. Di lihatnya si bocah di ujung ladang masih sibuk menangkap belalang.
“ Sasongko... Le kesini dulu! Ayo kita makan bersama. Ibu mu sudah membawakan kita makanan “.
Bocah yang dipanggil Sasongko itu menoleh. Kemudian berlari –lari kecil menghampiri Hartono dan Marni.
“ Ayah, Ibu..lihat Sasongko menangkap belalang banyak. Nanti tolong goreng di rumah pakai telur ya?”
Si bocah menunjukkan hasil tangkapannya.
Hartono tersenyum. Lalu membelai kepala bocah lelaki itu.
“ Ayo buruan di makan Mas, kamu juga Sasongko jangan telat makan”.
Wanita muda yang bernama Marni itu dengan sigap menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Sebuah kain yang tidak begitu lebar di bentangkan di bawah pohon asem yang rindang. Di atas kain itu sekarang telah terhampar nasi anget yang masih kelihatan kepulan asapnya, sambel terasi dalam piring kecil, ikan asin dan bacem tempe. Sementara sayur tumis kangkung menghamburkan aroma yang memancing nafsu makan.
“ Enak sekali Marni masakan mu “.
Hartono memuji sambil menyuapkan tumis kangkung dan nasi ke dalam mulutnya.
Si bocah lelaki juga tidak kalah lahapnya. Satu buah ikan asin telah tandas. Amblas masuk ke perutnya.
“ Mas Hartono, tadi mbakyu Prapti bicara dengan ku. Mengenai keadaannya sekarang “.
“ Keadaan... keadaan seperti apa itu?”
“ Masalah kemarau ini, beberapa sawah gagal panen. Situasi jadi sulit. Desa Tawang diambang paceklik kalau tidak juga turun hujan “.
Hartono menghentikan suapannya. Di letakkan piring yang tadi ada di tangannya.
“ Aku mengerti Marni tentang kesulitan itu. Aku juga mulai tidak enak, sejak kecil aku sudah di rawat dan di besarkan oleh mbakyu. Dia sudah aku anggap seperti ibu ku sendiri ”.
“ Apa tidak kita terima saja usulan mbakyu Prapti ?”
“ Usulan.. usulan yang mana Marni?”
Hartono mengernyitkan dahinya.
“ Tempo hari Mbakyu pernah menawarkan pekerjaan di Wonosari. Di suatu perusahaan pengolahan kayu. Mbakyu punya koneksi disana. Mas Hartono bisa langsung kerja. Nanti di bantu orang dalam “.
Hartono terdiam. Hati kecilnya sebenarnya berat untuk meninggalkan Tawang. Desa dimana ia dibesarkan. Tapi sekarang semenjak Kang Tejo kakak ipar sekaligus suami dari mbakyu nya sudah tidak menjabat jadi kepala desa dan bekerja di sebuah proyek. Keadaan ekonomi menjadi sulit. Apalagi saat ini kemarau panjang sedang melanda desa.
“ Baiklah nanti sore aku coba untuk berbicara dengan mbakyu “.
Hartono kemudian melanjutkan makannya. Setelah selesai dia meraih gelas yang berada di depannya.
“ Marni aku lanjutkan pekerjaan ku dulu. Kamu pulanglah. Ajak Sasongko sekalian pulang “.
Hartono lalu membelai perut istrinya yang sudah mulai kelihatan membuncit. Dicium perut itu. Marni tersenyum sembari mengelus perlahan kepala Hartono.
Tampak seorang lelaki muda berbadan kekar giat mencangkul ladang yang sudah mulai tandus. Di tepi ladang dekat sebuah pematang tumpukan pokok ubi kayu tersusun rapi. Sepertinya akan ditanam sebagai ganti padi di musim kemarau yang menggila. Peluh yang membasahi sekujur badan tidak diperdulikan sama sekali.
Di sudut lain masih di ladang itu. Seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun. Asyik mencari belalang. Di pinggang bocah itu terselip kantong plastik bening yang telah berisi puluhan belalang beraneka jenis.
Di ujung pematang telihat seorang wanita datang menghampiri. Baju terusan berwarna coklat membalut tubuhnya. Sementara rambut panjang terkepang dua khas penampilan gadis desa masa itu. Di tangan kanannya menenteng tumpukan rantang makanan. Sementara di tangan kirinya sebuah termos minuman tampak ada di sana.
“ Mas Hartono...!
perempuan itu berseru dari tepi ladang.
Lelaki muda itu menoleh, lalu menghentikan pekerjaannya.
“ Marni...hati –hati. Lihat jalan mu. Ingat kamu lagi hamil muda “.
“ Tidak apa –apa Mas. Ini ada makanan dan minuman. Istirahatlah dulu. Lihatlah peluh mu nampak bercucuran “.
“ Sebentar Marni...”
Lelaki muda itu kemudian menaruh cangkulnya di tepi ladang. Di lihatnya si bocah di ujung ladang masih sibuk menangkap belalang.
“ Sasongko... Le kesini dulu! Ayo kita makan bersama. Ibu mu sudah membawakan kita makanan “.
Bocah yang dipanggil Sasongko itu menoleh. Kemudian berlari –lari kecil menghampiri Hartono dan Marni.
“ Ayah, Ibu..lihat Sasongko menangkap belalang banyak. Nanti tolong goreng di rumah pakai telur ya?”
Si bocah menunjukkan hasil tangkapannya.
Hartono tersenyum. Lalu membelai kepala bocah lelaki itu.
“ Ayo buruan di makan Mas, kamu juga Sasongko jangan telat makan”.
Wanita muda yang bernama Marni itu dengan sigap menyiapkan makanan untuk suami dan anaknya. Sebuah kain yang tidak begitu lebar di bentangkan di bawah pohon asem yang rindang. Di atas kain itu sekarang telah terhampar nasi anget yang masih kelihatan kepulan asapnya, sambel terasi dalam piring kecil, ikan asin dan bacem tempe. Sementara sayur tumis kangkung menghamburkan aroma yang memancing nafsu makan.
“ Enak sekali Marni masakan mu “.
Hartono memuji sambil menyuapkan tumis kangkung dan nasi ke dalam mulutnya.
Si bocah lelaki juga tidak kalah lahapnya. Satu buah ikan asin telah tandas. Amblas masuk ke perutnya.
“ Mas Hartono, tadi mbakyu Prapti bicara dengan ku. Mengenai keadaannya sekarang “.
“ Keadaan... keadaan seperti apa itu?”
“ Masalah kemarau ini, beberapa sawah gagal panen. Situasi jadi sulit. Desa Tawang diambang paceklik kalau tidak juga turun hujan “.
Hartono menghentikan suapannya. Di letakkan piring yang tadi ada di tangannya.
“ Aku mengerti Marni tentang kesulitan itu. Aku juga mulai tidak enak, sejak kecil aku sudah di rawat dan di besarkan oleh mbakyu. Dia sudah aku anggap seperti ibu ku sendiri ”.
“ Apa tidak kita terima saja usulan mbakyu Prapti ?”
“ Usulan.. usulan yang mana Marni?”
Hartono mengernyitkan dahinya.
“ Tempo hari Mbakyu pernah menawarkan pekerjaan di Wonosari. Di suatu perusahaan pengolahan kayu. Mbakyu punya koneksi disana. Mas Hartono bisa langsung kerja. Nanti di bantu orang dalam “.
Hartono terdiam. Hati kecilnya sebenarnya berat untuk meninggalkan Tawang. Desa dimana ia dibesarkan. Tapi sekarang semenjak Kang Tejo kakak ipar sekaligus suami dari mbakyu nya sudah tidak menjabat jadi kepala desa dan bekerja di sebuah proyek. Keadaan ekonomi menjadi sulit. Apalagi saat ini kemarau panjang sedang melanda desa.
“ Baiklah nanti sore aku coba untuk berbicara dengan mbakyu “.
Hartono kemudian melanjutkan makannya. Setelah selesai dia meraih gelas yang berada di depannya.
“ Marni aku lanjutkan pekerjaan ku dulu. Kamu pulanglah. Ajak Sasongko sekalian pulang “.
Hartono lalu membelai perut istrinya yang sudah mulai kelihatan membuncit. Dicium perut itu. Marni tersenyum sembari mengelus perlahan kepala Hartono.
Quote:
Senja datang menyambut sang malam. Lembayung berwarna kuning memayungi cakrawala. Cahayanya memantul di atas desa Tawang. Di serambi rumah joglo Hartono duduk di hadapan seorang wanita gemuk paruh baya. Wanita itu tidak lain kakak perempuannya.
“ Bagaimana tanaman mu di ladang Har?”
“ Sudah beres mbakyu, semua pokok pohon ubi kayu sudah saya selesaikan seharian ini “.
“ Bagus Har, aku senang kamu seorang lelaki yang rajin bekerja. Tidak salah Marni memilihmu untuk menjadi suaminya”.
Prapti tersenyum menggoda adiknya itu.
“ Ah.. mbakyu bisa saja “.
Hartono tersenyum malu.
“ Oh ya, untuk rencana mbakyu membantu cari kerjaan di Wonosari. Itu bagaimana?”
Hartono bertanya perihal pekerjaan.
Prapti menarik nafas panjang.
“ Itu kalau kamu bersedia Har, nanti mbakyu coba minta tolong temannya Kang Tejo. Kakak mu itu punya teman disana. Jaminan kamu diterima kerja sudah pasti bisa”.
“ Saya bersedia mbakyu. Tapi sebenarnya berat hati untuk meninggalkan Tawang, meninggalkan mbakyu yang sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri”.
“ Jangan seperti itu Har, itu sudah kewajiban mbakyu untuk merawat mu. Itu amanah dari bapak mu. Satu lagi....”
Prapti menghentikan perkataannya.
“ Jika kamu tinggal di Wonosari kamu akan dekat dengan bapak. Kasihan dia sudah tua tidak ada yang merawat “.
“ Bapak tinggal di Wonosari? Saya kangen sama Bapak. Ketemu juga hanya sekali pas saya masih kecil berumur sepuluh tahun. Itu saja tidak terlalu lama. Bapak cepat –cepat pergi begitu saja “.
“ Nah, itu Har. Tinggal di Wonosari kamu juga bisa berbakti pada bapak mu. Kalau kau bersedia besok akan aku hubungi temannya Kang Tejo untuk membantu kamu”.
Hartono mengangguk –angguk kan kepalanya.
“ Terimakasih mbakyu “.
“ Bagaimana tanaman mu di ladang Har?”
“ Sudah beres mbakyu, semua pokok pohon ubi kayu sudah saya selesaikan seharian ini “.
“ Bagus Har, aku senang kamu seorang lelaki yang rajin bekerja. Tidak salah Marni memilihmu untuk menjadi suaminya”.
Prapti tersenyum menggoda adiknya itu.
“ Ah.. mbakyu bisa saja “.
Hartono tersenyum malu.
“ Oh ya, untuk rencana mbakyu membantu cari kerjaan di Wonosari. Itu bagaimana?”
Hartono bertanya perihal pekerjaan.
Prapti menarik nafas panjang.
“ Itu kalau kamu bersedia Har, nanti mbakyu coba minta tolong temannya Kang Tejo. Kakak mu itu punya teman disana. Jaminan kamu diterima kerja sudah pasti bisa”.
“ Saya bersedia mbakyu. Tapi sebenarnya berat hati untuk meninggalkan Tawang, meninggalkan mbakyu yang sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri”.
“ Jangan seperti itu Har, itu sudah kewajiban mbakyu untuk merawat mu. Itu amanah dari bapak mu. Satu lagi....”
Prapti menghentikan perkataannya.
“ Jika kamu tinggal di Wonosari kamu akan dekat dengan bapak. Kasihan dia sudah tua tidak ada yang merawat “.
“ Bapak tinggal di Wonosari? Saya kangen sama Bapak. Ketemu juga hanya sekali pas saya masih kecil berumur sepuluh tahun. Itu saja tidak terlalu lama. Bapak cepat –cepat pergi begitu saja “.
“ Nah, itu Har. Tinggal di Wonosari kamu juga bisa berbakti pada bapak mu. Kalau kau bersedia besok akan aku hubungi temannya Kang Tejo untuk membantu kamu”.
Hartono mengangguk –angguk kan kepalanya.
“ Terimakasih mbakyu “.
Quote:
Ki Dukun Dipo Wongso tersentak kaget dari tidurnya ketika ada yang mengetuk pintu rumahnya keras sekali. Dia terduduk di tepi ranjang dan memasang telinga. Suara ketukan itu kini dibarengi oleh suara orang memanggil.
“Mbah Dipo! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Mbah Dukun Dipo Wongso! Buka Pintu!”
Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka pintu. Begitu pintu terbuka, seorang wanita berbadan subur telah berdiri di ambang pintu.
“ Den ayu Prapti…” desis Ki Dukun Dipo Wongso ketika dia mengenali siapa adanya yang berdiri di depannya.
“Kau datang malam -malam begini ada apakah…?!”
“Kau tahu pembicaraan ku tempo hari? Rencana itu harus segera dilaksanakan. Rentetan rencanaku tiga puluh tahun yang lalu. Pertama –tama laki –laki itu yang harus dilenyapkan. Kemudian berturut –turut anak keturunannya”.
Sentak perempuan yang ternyata adalah Prapti, suami Mangku Tejo anak kepala desa Tawang.
“Aku tahu, den ayu…Tapi hal itu tidak bisa dilakukan secara grusa – grusu. Harus pelan –pelan dan penuh perhitungan. Saya tahu betul Ki Mangun Sarkoro bukan orang sembarangan.”
“ Tapi jika kita serang dari belakang secara tiba –tiba aku yakin dia pasti tumbang. Aku punya senjata rahasia bernama santet godong suruh ( daun sirih ). Dengan senjata itu kau bisa menyingkirkan bapak mu itu. Asal kau mau dan benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik, aku setuju dengan hal itu Mbah”.
“ Karena kau seorang perempuan ritualnya pun berbeda. Penghuni hutan Rekso Pratolo tidak mungkin menggauli mu. Syaratnya seperti tempo hari yang aku katakan. Pertama tumbalkan salah satu orang tua mu. Bisa bapak atau ibu. Kemudian berturut –turut korban kan saudara –saudara mu yang masih punya hubungan darah yang dekat dengan mu “.
“ Aku sudah tidak sabar memulai hal ini Mbah. Puluhan tahun aku menantikan saat itu tiba. Dan hari ini rencana ini harus segera dimulai.”
Ki Dukun Dipo Wongso merasa lega. Sepasang mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Prapti.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den ayu…” kata Ki Dukun Dipo Wongso perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…”
Dari mata Ki Dukun Dipo Wongso menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang terkena sihir Prapti hanya diam saja ketika si orang tua mulai membuka pakaiannya. Di lain saat perempuan paruh baya ini sudah berada dalam keadaan polos tanpa sehelai benag pun dan mengikuti saja ketika Ki Dukun Dipo Wongso membimbingnya ke dalam kamar!
“Mbah Dipo! Lekas buka pintu! Aku perlu bicara denganmu! Mbah Dukun Dipo Wongso! Buka Pintu!”
Itu suara perempuan!
Orang tua hampir tujuh puluh tahun ini tapi masih bertubuh kekar bangkit dari ranjangnya, bergegas keluar kamar. Setelah menyalakan lampu minyak di ruangan depan dia langsung membuka pintu. Begitu pintu terbuka, seorang wanita berbadan subur telah berdiri di ambang pintu.
“ Den ayu Prapti…” desis Ki Dukun Dipo Wongso ketika dia mengenali siapa adanya yang berdiri di depannya.
“Kau datang malam -malam begini ada apakah…?!”
“Kau tahu pembicaraan ku tempo hari? Rencana itu harus segera dilaksanakan. Rentetan rencanaku tiga puluh tahun yang lalu. Pertama –tama laki –laki itu yang harus dilenyapkan. Kemudian berturut –turut anak keturunannya”.
Sentak perempuan yang ternyata adalah Prapti, suami Mangku Tejo anak kepala desa Tawang.
“Aku tahu, den ayu…Tapi hal itu tidak bisa dilakukan secara grusa – grusu. Harus pelan –pelan dan penuh perhitungan. Saya tahu betul Ki Mangun Sarkoro bukan orang sembarangan.”
“ Tapi jika kita serang dari belakang secara tiba –tiba aku yakin dia pasti tumbang. Aku punya senjata rahasia bernama santet godong suruh ( daun sirih ). Dengan senjata itu kau bisa menyingkirkan bapak mu itu. Asal kau mau dan benar-benar mengikuti petunjukku…”
“Baik, aku setuju dengan hal itu Mbah”.
“ Karena kau seorang perempuan ritualnya pun berbeda. Penghuni hutan Rekso Pratolo tidak mungkin menggauli mu. Syaratnya seperti tempo hari yang aku katakan. Pertama tumbalkan salah satu orang tua mu. Bisa bapak atau ibu. Kemudian berturut –turut korban kan saudara –saudara mu yang masih punya hubungan darah yang dekat dengan mu “.
“ Aku sudah tidak sabar memulai hal ini Mbah. Puluhan tahun aku menantikan saat itu tiba. Dan hari ini rencana ini harus segera dimulai.”
Ki Dukun Dipo Wongso merasa lega. Sepasang mata orang tua itu tiba-tiba tampak berkilat seperti memancarkan sesuatu. Pandangannya menembus ke mata Prapti.
“Ada satu syarat yang harus kau penuhi terlebih dulu den ayu…” kata Ki Dukun Dipo Wongso perlahan.
“Jangan takut, kalau berhasil pasti akan kuberi hadiah uang!”
“Tidak, bukan uang. Ku inginkan dirimu…”
Dari mata Ki Dukun Dipo Wongso menyambar kembali kilatan cahaya aneh itu. Seperti orang terkena sihir Prapti hanya diam saja ketika si orang tua mulai membuka pakaiannya. Di lain saat perempuan paruh baya ini sudah berada dalam keadaan polos tanpa sehelai benag pun dan mengikuti saja ketika Ki Dukun Dipo Wongso membimbingnya ke dalam kamar!
Quote:
Pemandangan di lereng Selatan Barisan Pegunungan Sewu Wonosari indah sekali senja itu. Di atas langit biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur, menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak tertimpa cahaya matahari senja.
Tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, tampak berdiri sebuah pondok sederhana bertiang bambu hutan, beratap belarak dan dindingnya terbuat dari papan –papan kayu jati. Seorang lelaki tua masih kelihatan duduk-duduk di atas lincak atau bale – bale dari bambu. Lelaki tua itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang warna hitam. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Meskipun sudah lanjut usia begitu orang itu masih kelihatan gagah dan kukuh. Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk walaupun kalau berjalan dia selalu dibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnya telah memutih seperti kapas. Di sela –sela bibirnya terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. Pandangan orang tua itu menerawang jauh. Sesekali asap rokok tembakau di dalam pipi menyembul dari sela – sela bibirnya.
“ Sudah tiga puluh puluh tahun sejak aku titipkan bayi itu di Tawang. Mungkin sekarang anak itu sudah jadi pemuda dewasa. Atau mungkin malah sudah menikah?”
Orang yang tidak lain Mangun Sarkoro tersenyum sendiri dalam lamunannya.
“ Aku yakin Prapti merawatnya dengan baik. Sebenci apa pun kepadaku. Dia seorang wanita yang memiliki hati yang luhur. Kesalahan ku di masa lalu mungkin tidak berampun. Entah Gusti Allah masih punya welas asihnya untuk ku atau tidak?”
Mangun Sarkoro menghela nafas. Kemudian dia beranjak dari duduknya. Kemudian memandang jauh ke arah kebun sayur berpetak –petak yang ada di depannya.
“ Aku menemui kedamaian di tempat ini. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Sambil menunggu saat itu tiba ”.
Kemudian Mangun Sarkoro balik badan bermaksud untuk duduk di tempatnya semula. Di rebahkan tubuh tuanya di atas bale –bale bambu itu beralaskan tikar pindan. Perlahan –lahan matanya tertutup. Terdengar desah nafas teratur keluar dari sela –sela bibirnya. Angin semilir pegunungan membawanya hanyut larut di alam mimpi.
Tak berapa jauh dari sebuah mata air kecil tapi jernih, tampak berdiri sebuah pondok sederhana bertiang bambu hutan, beratap belarak dan dindingnya terbuat dari papan –papan kayu jati. Seorang lelaki tua masih kelihatan duduk-duduk di atas lincak atau bale – bale dari bambu. Lelaki tua itu bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana panjang warna hitam. Usianya berkisar delapan puluh tahun. Meskipun sudah lanjut usia begitu orang itu masih kelihatan gagah dan kukuh. Tubuhnya yang tinggi tidak kelihatan bungkuk walaupun kalau berjalan dia selalu dibantu oleh sebuah tongkat berhulu gading putih kekuningan. Rambut dan kumisnya telah memutih seperti kapas. Di sela –sela bibirnya terselip sebuah pipa yang api tembakaunya hampir mati. Pandangan orang tua itu menerawang jauh. Sesekali asap rokok tembakau di dalam pipi menyembul dari sela – sela bibirnya.
“ Sudah tiga puluh puluh tahun sejak aku titipkan bayi itu di Tawang. Mungkin sekarang anak itu sudah jadi pemuda dewasa. Atau mungkin malah sudah menikah?”
Orang yang tidak lain Mangun Sarkoro tersenyum sendiri dalam lamunannya.
“ Aku yakin Prapti merawatnya dengan baik. Sebenci apa pun kepadaku. Dia seorang wanita yang memiliki hati yang luhur. Kesalahan ku di masa lalu mungkin tidak berampun. Entah Gusti Allah masih punya welas asihnya untuk ku atau tidak?”
Mangun Sarkoro menghela nafas. Kemudian dia beranjak dari duduknya. Kemudian memandang jauh ke arah kebun sayur berpetak –petak yang ada di depannya.
“ Aku menemui kedamaian di tempat ini. Jauh dari hiruk pikuk dunia. Sambil menunggu saat itu tiba ”.
Kemudian Mangun Sarkoro balik badan bermaksud untuk duduk di tempatnya semula. Di rebahkan tubuh tuanya di atas bale –bale bambu itu beralaskan tikar pindan. Perlahan –lahan matanya tertutup. Terdengar desah nafas teratur keluar dari sela –sela bibirnya. Angin semilir pegunungan membawanya hanyut larut di alam mimpi.
BERSAMBUNG
Diubah oleh breaking182 06-03-2018 01:27
knoopy memberi reputasi
3
Kutip
Balas
Tutup