- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#283
Quote:
“ Sepertinya harus aku tinggalkan mobil laknat ini disini. Konyol kalau musti menunggu di tengah hutan seperti ini. Jalanan sepi tidak ada seekor tikuspun yang terlihat apalagi manusia. Terlebih lagi keselamatan bayi ku yang lebih penting “.
Mangun Sarkoro berpikir dalam hati.
Ditengok arloji berwana keperakan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tepat menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
“ Masih sekitar tiga jam lagi pagi hari akan terang. Aku harus bisa cepat keluar dari hutan ini secepatnya “.
Mangun Sarkoro kemudian menggendong bayinya. Diciumnya kedua pipi si bayi. Bergegas dia berjalan meninggalkan mobil yang masih mogok di tengah jalan. Tidak lama berselang, suatu kilatan cahaya yang samar menerangi udara di sekeliling. Hanya sekejap saja. Cahaya tadi muncul lagi di pucuk pepohonan. Lebih lama dari yang pertama, kemudian lenyap. Lamat –lamat terdengar bunyi mesin yang halus tengah mendatangi tempat itu. Sebuah mobil di tengah hutan terpencil dan di malam hari yang begitu menakutkan, tentu cukup mengherankan. Dari arah jalanan membelok di bawah sana, muncul mobil yang melaju dengan cepat membelah kegelapan malam diantara pepohonan. Kabut telah semakin menipis.
Mobil yang baru muncul menurunkan kecepatannya lalu berhenti beberapa meter di belakang mobil yang ditinggalkan oleh Mangun Sarkoro. Pintu belakang terbuka. Disusul sesosok lelaki meluncur turun. Setelah pintu ditutupkan kembali. Mobil melewati kendaraan di depannya. Setelah berjalan beberapa belas meter mobil itu menemukan bagian jalan yang lebih lapang lalu dengan hati –hati melakukan gerakan memutar untuk kembali ke arah semula. Sementara, si pendatang yang baru turun dari mobil rupanya tidak ingin membuang waktu berlama –lama. Ia langsung berjalan mendekati kendaraan di depannya. Memutarinya satu kali, lantas mengintai ke dalam mobil. Pegangan pintu pertama dan kedua diputarnya dengan sia –sia. Ia berputar lagi, dan berhasil membuka pintu di samping kemudi. Orang itu pun lalu menyurukkan setengah badannya ke dalam mobil.
“ Dia berhasil lolos”.
Desis lelaki asing itu bernada jengkel.
Pada saat bersamaan. Mobil yang tadi mencari temapt putaran telah kembali. Cahaya lampunya yang menyilaukan menerangi tempat di sekitarnya. Si pengemudi turun, lalu mendekat ke arah lelaki yang memakai sepatu mengkilat, setelan jas yang setengah terbuka dan dasi yang melilit di lehernya.
“ Kau bawa mobil itu. Aku akan mengikutimu dari belakang”.
“ Baik Tuan “, sahut si pengemudi sopan. Seraya membuka pintu untuk lelaki berjas yang jelas sudah adalah majikannya.
Setelah majikannya duduk dengan nyaman di belakang kemudi, si supir menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya. Mengangguk hormat kemudian berlalu ke mobil yang telah ditinggalkan oleh Mangun Sarkoro.
“ Manto ?”
Orang itu membalikkan tubuh seketika.
“ Saya, Tuan?”
Majikannya menjulurkan kepalanya dari jendela mobil. Tampak senyum samar –samar di bibir tebalnya, sebelum ia bertanya.
“ Kau tahu apa yang ahrus dilakukan dengan mobil itu, bukan?”
Supirnya bimbang sejenak. Kemudian, dengan sikap kaku ia menjawab.
“ Tuan percayakan saja pada saya “.
Ia mengangguk lagi, memutar tubuh dan masuk ke dalam mobil tak bertuan yang kini punya tuan baru. Setelah pintu –pintunya di tutup, mesin mobil dihidupkan. Dan anehnya mesin langsung menyala. Bunyi mesin begitu halus seperti tidak ada kendala terhadap mobil itu. Ia menjalankannya melewati mobil majikannya, memeutar agak jauh di depan sana lalu kembali lagi. Meluncur ke arah semula saat ia dan majikannya datang. Kemudian kedua mobil itu berlalu.
Mangun Sarkoro berpikir dalam hati.
Ditengok arloji berwana keperakan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Tepat menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
“ Masih sekitar tiga jam lagi pagi hari akan terang. Aku harus bisa cepat keluar dari hutan ini secepatnya “.
Mangun Sarkoro kemudian menggendong bayinya. Diciumnya kedua pipi si bayi. Bergegas dia berjalan meninggalkan mobil yang masih mogok di tengah jalan. Tidak lama berselang, suatu kilatan cahaya yang samar menerangi udara di sekeliling. Hanya sekejap saja. Cahaya tadi muncul lagi di pucuk pepohonan. Lebih lama dari yang pertama, kemudian lenyap. Lamat –lamat terdengar bunyi mesin yang halus tengah mendatangi tempat itu. Sebuah mobil di tengah hutan terpencil dan di malam hari yang begitu menakutkan, tentu cukup mengherankan. Dari arah jalanan membelok di bawah sana, muncul mobil yang melaju dengan cepat membelah kegelapan malam diantara pepohonan. Kabut telah semakin menipis.
Mobil yang baru muncul menurunkan kecepatannya lalu berhenti beberapa meter di belakang mobil yang ditinggalkan oleh Mangun Sarkoro. Pintu belakang terbuka. Disusul sesosok lelaki meluncur turun. Setelah pintu ditutupkan kembali. Mobil melewati kendaraan di depannya. Setelah berjalan beberapa belas meter mobil itu menemukan bagian jalan yang lebih lapang lalu dengan hati –hati melakukan gerakan memutar untuk kembali ke arah semula. Sementara, si pendatang yang baru turun dari mobil rupanya tidak ingin membuang waktu berlama –lama. Ia langsung berjalan mendekati kendaraan di depannya. Memutarinya satu kali, lantas mengintai ke dalam mobil. Pegangan pintu pertama dan kedua diputarnya dengan sia –sia. Ia berputar lagi, dan berhasil membuka pintu di samping kemudi. Orang itu pun lalu menyurukkan setengah badannya ke dalam mobil.
“ Dia berhasil lolos”.
Desis lelaki asing itu bernada jengkel.
Pada saat bersamaan. Mobil yang tadi mencari temapt putaran telah kembali. Cahaya lampunya yang menyilaukan menerangi tempat di sekitarnya. Si pengemudi turun, lalu mendekat ke arah lelaki yang memakai sepatu mengkilat, setelan jas yang setengah terbuka dan dasi yang melilit di lehernya.
“ Kau bawa mobil itu. Aku akan mengikutimu dari belakang”.
“ Baik Tuan “, sahut si pengemudi sopan. Seraya membuka pintu untuk lelaki berjas yang jelas sudah adalah majikannya.
Setelah majikannya duduk dengan nyaman di belakang kemudi, si supir menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya. Mengangguk hormat kemudian berlalu ke mobil yang telah ditinggalkan oleh Mangun Sarkoro.
“ Manto ?”
Orang itu membalikkan tubuh seketika.
“ Saya, Tuan?”
Majikannya menjulurkan kepalanya dari jendela mobil. Tampak senyum samar –samar di bibir tebalnya, sebelum ia bertanya.
“ Kau tahu apa yang ahrus dilakukan dengan mobil itu, bukan?”
Supirnya bimbang sejenak. Kemudian, dengan sikap kaku ia menjawab.
“ Tuan percayakan saja pada saya “.
Ia mengangguk lagi, memutar tubuh dan masuk ke dalam mobil tak bertuan yang kini punya tuan baru. Setelah pintu –pintunya di tutup, mesin mobil dihidupkan. Dan anehnya mesin langsung menyala. Bunyi mesin begitu halus seperti tidak ada kendala terhadap mobil itu. Ia menjalankannya melewati mobil majikannya, memeutar agak jauh di depan sana lalu kembali lagi. Meluncur ke arah semula saat ia dan majikannya datang. Kemudian kedua mobil itu berlalu.
Quote:
Desa Tawang merupakan desa berhawa sejuk karena berada di kaki Gunung Merapi sebelah barat. Kebanyakan penduduknya hidup dari bercocok tanam. Sebagian besar desa berupa sawah dan ladang. Dahulu desa ini dipimpin oleh kepala desa yang bernama Mangku Wiryo. Tetapi sudah hampir lima tahun beliau telah berpulang. Dan sekarang jabatan kepala desa dipegang sementara oleh anak tertua Mangku Wiryo yaitu Tejo. Di samping rumah kayu besar kediaman Tejo, terdapat sebuah halaman luas di mana anak-anak tetangga sering bermain- main di tempat itu. Pagi itu enam anak perempuan rata-rata berusia sepuluh tahun tampak bermain lompat tali. Suara pekik tawa mereka terdengar sampai jauh. Seorang lelaki dengan baju yang dekil berselimut debu dan digendongannya bayi lelaki mungil berusia lima bulan tampak tertidur pulas. Di hadapan rumah besar dia berhenti sejenak. Lalu berjalan terseok -seok mendekati anak-anak perempuan yang sedang bermain.
" Anak-anak! "
Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah rumah besar.
" Apakah ini rumahnya Mangku Wirya kepala desa Tawang ? "
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan menjawab mengiyakan.
Seorang anak perempuan berambut hitam panjang tiba-tiba berbicara.
" Kakek Mangku Wirya telah meninggal, sekarang rumah itu ditinggali keluarga Pak Tejo anak lelaki Lurah Mangku Wiryo "
Pada saat itulah muncul seorang perempuan berbadan rada gemuk memakai kain lurik dan baju menyerupai kebaya berwarna coklat keluar dari balik pintu rumah. Pandangannya tertumbuk pada seorang lelaki yang telah berdiri di pekarangan rumahnya sambil menggendong bayi. Dengan pandangan heran ia berjalan mendekati si orang tua. Perasaannya berkecamuk. Seperti pernah melihat orang itu. Tapi dimana? Siapa dia?
“ Maaf, njenengan siapa ya?”
Perempuan gemuk itu bertanya dengan heran.
“ Apakah kamu Prapti Nduk?”
Mangun Sarkoro tidak menjawab pertanyaan si gemuk. Malah balik bertanya.
“ Iya, saya Prapti. Apakah njenengan saudara Kang Tejo dari jauh?”
Si gemuk yang bernama Prapti itu semakin keheranan. Karena lelaki asing itu tahu namanya.
“ Bapak ini siapa sebenarnya?”
“ Apakah kau tidak mengenaliku Nduk? Bagaimana kabar simbok mu?”
Prapti tercekat. Dipandangi lekat –lekat lelaki paruh baya yang berada di depannya itu.
Saat ia tersadar dan mulai mengenali siapa yang berdiri di depannya. Tiba –tiba ia berteriak.
“ Silahkan bapak segera angkat kaki dari sini !”
Mangun Sarkoro terpaku dari tempat duduknya. Mulutnya kaku tidak bisa bergerak. Hatinya serasa ditusuk –tusuk.
“ Prapti... maafkan bapak. Bapak selama ini tidak pernah menjenguk, menengok bahkan mengurusi mu dengan mbok mu”.
Mata Mangun Sarkoro berkaca –kaca.
“ Sudah cukup, sejak saya dilahirkan. Saya sudah memutuskan bahwa saya tidak pernah punya bapak. Hanya punya satu simbok yang dengan susah payah merawat dan membesarkan saya!”
Teriakan Prapti yang kencang itu sontak membuat anak –anak perempuan yang sedang bermain di pekarangan satu –persatu membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
“ Setelah sekian lama tidak ada kabar berita. Mengapa sekarang muncul? Dimana saat simbok sakit kemudian meninggal. Simbok selalu menyebut –nyebut nama mu. Menangis setiap malam untuk bisa sebentar saja bertemu dengan mu. Dimana hati mu?Dimana perasaanmu?”.
Prapti berteriak histeris. Air mata jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya yang tembem.
Mangun Sarkoro hanya terdiam. Batinnya sakit. Di tahannya air mata agar tidak berderai. Selaksa perasaan bercampur aduk di dalam dada. Tapi penyesalan tiada guna. Semua sudah terjadi.
Terdengar suara motor dari dari ujung jalan. Suaranya semakin lama semakin jelas. Sebuah honda bebek berwarna merah keluaran tahun 70-an datang mendekat. Pengendaranya seorang lelaki berkumis tipis dengan postur sedang sedang saja tidak terlalu tinggi. Badannya yang sedikit gemuk dengan raut wajah bundar, sepasang alis tebal menaungi ke dua matanya yang sedikit belok. Motor itu berhenti tepat di samping Prapti. Pengendaranya turun.
“ Ada apa Prapti? Kenapa kau berteriak –teriak sambil bercucuran air mata begitu?”
Lanjutnya..
“ Bapak ini siapa?”
Tejo memandang ke arah Mangun Sarkoro berdiri. Mangun Sarkoro tergagap.
“ Saya Mangun Sarkoro, bapak kandung dari istri mu ini “.
“ Aku tidak pernah punya Bapak macam kau!”
Prapti tambah histeris.
Penunggang motor yang ternyata Tejo. Berusaha menenangkan istrinya. Dipeluk tubuh gemuk itu. Di usap –usap bahunya.
“ Sudah Prapti, jangan seperti itu. Malu di dengar tetangga. Ayo..ajak bapak ke dalam. Biar semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin “.
Prapti menggeleng –gelengkan kepalanya. Seperti suatu simbol menolak usulan suaminya itu.
Tejo yang mengetahui gelagat itu berusaha membujuk lagi istrinya.
Terdengar suara Mangun Sarkoro memecah suasana.
“ Prapti...tidak apa –apa kau tidak mengakui bapak sebagai orang tua mu. Tidak apa –apa. Mungkin memang itu yang harus bapak terima. Sebagai tebus dosa masa lalu. Kedatangan bapak cuma satu tolong rawat bayi ini “.
Prapti melepaskan pelukan suaminya. Pandangannya nanar melihat bayi yang ada dalam dekapan Mangun Sarkoro.
“ Siapa bayi itu. Sekian tahun tidak ada kabar berita. Tiba –tiba datang kesini dengan membawa bayi dan meminta ku untuk merawatnya? Dimana letak otak mu Mangun Sarkoro?”
Prapti menyebut nama Mangun Sarkoro tanpa embel –embel bapak. Amarah nampaknya telah menguasai jalan pikirannya. Mukanya yang bulat tampak merah membara.
“ Prapti tidak seharusnya kau bersikap demikian. Hormatilah orang tua mu!”
Tejo berusaha meredam kemarahan Prapti istrinya.
Mangun Sarkoro tiba –tiba berlutut di depan kaki Prapti.
“ Nduk..sekali saja bapak minta tolong rawat ini. Bapak tidak minta lebih. Tolong rawat anak ini sampai dewasa?”
Mangun Sarkoro tak kuasa menahan kepedihannya. Kepedihan itu serasa mencabik –cabik hatinya. Butiran air mata mengucur perlahan dari sepasang bola matanya.
Prapti tertegun melihat hal itu. Di dalam hati kecilnya dia sangat menyayangi bapaknya itu. Hatinya sedikit melunak.
“ Rawat bayi itu Prapti. Toh, kita juga belum dikaruniai anak setelah hampir tiga tahun menikah. Siapa tahu bayi itu membawa keberuntungan untuk keluarga kita”.
Tejo berusaha membujuk istrinya.
“ Baiklah demi rasa kemanusiaan ku. Bukan berarti aku telah menganggap mu sebagai bapak ku. Tapi sebelumnya aku bertanya. Siapa bayi itu dimana orang tuanya?!”
“ Dia adik mu Nduk. Meski beda ibu tapi dia tetap adik mu “.
Prapti menghela nafas panjang. Entah dari mana datangnya seperti ada dorongan untuk merawat bayi itu.
“ Baiklah aku akan merawat bayi ini...siapakah namanya?”
“ Bayi itu ku beri nama Hartono. Aku mencintai anak ini seperti aku mencintai mu. Aku ingin ia hidup! Hanya dengan dijauhkan dari diriku dan tidak memakan apa pun yang kuhasilkan dari keringatku, ia akan tetap hidup!” kata Mangun Sarkoro
Tanpa sepengetahuan Prapti dan Tejo. Mangun Sarkoro melukai jari telunjuk dengan kukunya sendiri. Darah keluar dari luka itu. Dengan cepat jari yang berdarah itu di susupkan ke mulut si bayi.
“ Darah ku ini akan melindungi mu dari jangkauan mahkluk itu nak. Maaf bapak tidak bisa mendampingi dan merawat mu. Kau akan dirawat oleh kakakmu. Bapak pergi dulu”
Mangun Sarkoro berkata dalam hati. Diciuminya si bayi. Bayi itu tampak tersenyum dan mengeluarkan celotehan saat Mangun Sarkoro menyerahkan bayi itu kepada Prapti.
Bapak akan menyepi di Wonosari di kawasan pegunungan sewu. Jika nanti Hartono telah dewasa. Suruh dia menemuiku di sana. Aku pergi dulu Prapti. Tolong jaga baik -baik adik mu. Nak Tejo, terimakasih atas kebaikannya. Bapak pergi dulu".
Tejo sebenarnya berniat untuk menahan langkah lelaki itu akan tetapi Mangun Sarkoro bersikeras untuk pergi. Langkah -langkah kakinya yang gontai perlahan meninggalkan pekarangan rumah besar itu.
" Anak-anak! "
Orang itu berseru. Dia mengangkat tangan kirinya menunjuk ke arah rumah besar.
" Apakah ini rumahnya Mangku Wirya kepala desa Tawang ? "
Anak-anak yang tengah asyik bermain hentikan permainan mereka dan menjawab mengiyakan.
Seorang anak perempuan berambut hitam panjang tiba-tiba berbicara.
" Kakek Mangku Wirya telah meninggal, sekarang rumah itu ditinggali keluarga Pak Tejo anak lelaki Lurah Mangku Wiryo "
Pada saat itulah muncul seorang perempuan berbadan rada gemuk memakai kain lurik dan baju menyerupai kebaya berwarna coklat keluar dari balik pintu rumah. Pandangannya tertumbuk pada seorang lelaki yang telah berdiri di pekarangan rumahnya sambil menggendong bayi. Dengan pandangan heran ia berjalan mendekati si orang tua. Perasaannya berkecamuk. Seperti pernah melihat orang itu. Tapi dimana? Siapa dia?
“ Maaf, njenengan siapa ya?”
Perempuan gemuk itu bertanya dengan heran.
“ Apakah kamu Prapti Nduk?”
Mangun Sarkoro tidak menjawab pertanyaan si gemuk. Malah balik bertanya.
“ Iya, saya Prapti. Apakah njenengan saudara Kang Tejo dari jauh?”
Si gemuk yang bernama Prapti itu semakin keheranan. Karena lelaki asing itu tahu namanya.
“ Bapak ini siapa sebenarnya?”
“ Apakah kau tidak mengenaliku Nduk? Bagaimana kabar simbok mu?”
Prapti tercekat. Dipandangi lekat –lekat lelaki paruh baya yang berada di depannya itu.
Saat ia tersadar dan mulai mengenali siapa yang berdiri di depannya. Tiba –tiba ia berteriak.
“ Silahkan bapak segera angkat kaki dari sini !”
Mangun Sarkoro terpaku dari tempat duduknya. Mulutnya kaku tidak bisa bergerak. Hatinya serasa ditusuk –tusuk.
“ Prapti... maafkan bapak. Bapak selama ini tidak pernah menjenguk, menengok bahkan mengurusi mu dengan mbok mu”.
Mata Mangun Sarkoro berkaca –kaca.
“ Sudah cukup, sejak saya dilahirkan. Saya sudah memutuskan bahwa saya tidak pernah punya bapak. Hanya punya satu simbok yang dengan susah payah merawat dan membesarkan saya!”
Teriakan Prapti yang kencang itu sontak membuat anak –anak perempuan yang sedang bermain di pekarangan satu –persatu membubarkan diri meninggalkan tempat itu.
“ Setelah sekian lama tidak ada kabar berita. Mengapa sekarang muncul? Dimana saat simbok sakit kemudian meninggal. Simbok selalu menyebut –nyebut nama mu. Menangis setiap malam untuk bisa sebentar saja bertemu dengan mu. Dimana hati mu?Dimana perasaanmu?”.
Prapti berteriak histeris. Air mata jatuh bercucuran membasahi kedua pipinya yang tembem.
Mangun Sarkoro hanya terdiam. Batinnya sakit. Di tahannya air mata agar tidak berderai. Selaksa perasaan bercampur aduk di dalam dada. Tapi penyesalan tiada guna. Semua sudah terjadi.
Terdengar suara motor dari dari ujung jalan. Suaranya semakin lama semakin jelas. Sebuah honda bebek berwarna merah keluaran tahun 70-an datang mendekat. Pengendaranya seorang lelaki berkumis tipis dengan postur sedang sedang saja tidak terlalu tinggi. Badannya yang sedikit gemuk dengan raut wajah bundar, sepasang alis tebal menaungi ke dua matanya yang sedikit belok. Motor itu berhenti tepat di samping Prapti. Pengendaranya turun.
“ Ada apa Prapti? Kenapa kau berteriak –teriak sambil bercucuran air mata begitu?”
Lanjutnya..
“ Bapak ini siapa?”
Tejo memandang ke arah Mangun Sarkoro berdiri. Mangun Sarkoro tergagap.
“ Saya Mangun Sarkoro, bapak kandung dari istri mu ini “.
“ Aku tidak pernah punya Bapak macam kau!”
Prapti tambah histeris.
Penunggang motor yang ternyata Tejo. Berusaha menenangkan istrinya. Dipeluk tubuh gemuk itu. Di usap –usap bahunya.
“ Sudah Prapti, jangan seperti itu. Malu di dengar tetangga. Ayo..ajak bapak ke dalam. Biar semua bisa dibicarakan dengan kepala dingin “.
Prapti menggeleng –gelengkan kepalanya. Seperti suatu simbol menolak usulan suaminya itu.
Tejo yang mengetahui gelagat itu berusaha membujuk lagi istrinya.
Terdengar suara Mangun Sarkoro memecah suasana.
“ Prapti...tidak apa –apa kau tidak mengakui bapak sebagai orang tua mu. Tidak apa –apa. Mungkin memang itu yang harus bapak terima. Sebagai tebus dosa masa lalu. Kedatangan bapak cuma satu tolong rawat bayi ini “.
Prapti melepaskan pelukan suaminya. Pandangannya nanar melihat bayi yang ada dalam dekapan Mangun Sarkoro.
“ Siapa bayi itu. Sekian tahun tidak ada kabar berita. Tiba –tiba datang kesini dengan membawa bayi dan meminta ku untuk merawatnya? Dimana letak otak mu Mangun Sarkoro?”
Prapti menyebut nama Mangun Sarkoro tanpa embel –embel bapak. Amarah nampaknya telah menguasai jalan pikirannya. Mukanya yang bulat tampak merah membara.
“ Prapti tidak seharusnya kau bersikap demikian. Hormatilah orang tua mu!”
Tejo berusaha meredam kemarahan Prapti istrinya.
Mangun Sarkoro tiba –tiba berlutut di depan kaki Prapti.
“ Nduk..sekali saja bapak minta tolong rawat ini. Bapak tidak minta lebih. Tolong rawat anak ini sampai dewasa?”
Mangun Sarkoro tak kuasa menahan kepedihannya. Kepedihan itu serasa mencabik –cabik hatinya. Butiran air mata mengucur perlahan dari sepasang bola matanya.
Prapti tertegun melihat hal itu. Di dalam hati kecilnya dia sangat menyayangi bapaknya itu. Hatinya sedikit melunak.
“ Rawat bayi itu Prapti. Toh, kita juga belum dikaruniai anak setelah hampir tiga tahun menikah. Siapa tahu bayi itu membawa keberuntungan untuk keluarga kita”.
Tejo berusaha membujuk istrinya.
“ Baiklah demi rasa kemanusiaan ku. Bukan berarti aku telah menganggap mu sebagai bapak ku. Tapi sebelumnya aku bertanya. Siapa bayi itu dimana orang tuanya?!”
“ Dia adik mu Nduk. Meski beda ibu tapi dia tetap adik mu “.
Prapti menghela nafas panjang. Entah dari mana datangnya seperti ada dorongan untuk merawat bayi itu.
“ Baiklah aku akan merawat bayi ini...siapakah namanya?”
“ Bayi itu ku beri nama Hartono. Aku mencintai anak ini seperti aku mencintai mu. Aku ingin ia hidup! Hanya dengan dijauhkan dari diriku dan tidak memakan apa pun yang kuhasilkan dari keringatku, ia akan tetap hidup!” kata Mangun Sarkoro
Tanpa sepengetahuan Prapti dan Tejo. Mangun Sarkoro melukai jari telunjuk dengan kukunya sendiri. Darah keluar dari luka itu. Dengan cepat jari yang berdarah itu di susupkan ke mulut si bayi.
“ Darah ku ini akan melindungi mu dari jangkauan mahkluk itu nak. Maaf bapak tidak bisa mendampingi dan merawat mu. Kau akan dirawat oleh kakakmu. Bapak pergi dulu”
Mangun Sarkoro berkata dalam hati. Diciuminya si bayi. Bayi itu tampak tersenyum dan mengeluarkan celotehan saat Mangun Sarkoro menyerahkan bayi itu kepada Prapti.
Bapak akan menyepi di Wonosari di kawasan pegunungan sewu. Jika nanti Hartono telah dewasa. Suruh dia menemuiku di sana. Aku pergi dulu Prapti. Tolong jaga baik -baik adik mu. Nak Tejo, terimakasih atas kebaikannya. Bapak pergi dulu".
Tejo sebenarnya berniat untuk menahan langkah lelaki itu akan tetapi Mangun Sarkoro bersikeras untuk pergi. Langkah -langkah kakinya yang gontai perlahan meninggalkan pekarangan rumah besar itu.
BERSAMBUNG
Diubah oleh breaking182 05-03-2018 03:27
1980decade dan knoopy memberi reputasi
4
Kutip
Balas