ANCAMAN SANG IBLIS
Quote:
Rumah besar mewah yang berada di tengah kota Jakarta tampak berdiri megah dalam guyuran temaram bulan pucat. Pagar tinggi yang berada di sekeliling rumah seakan menjamin mutlak keselamatan penghuni di dalamnya. Di bagian depan rumah tampak pos kecil. Terlihat dua orang penjaga tengah asyik berbicara sambil sesekali minum kopi hangat yang masih terlihat mengepulkan asap.
Di salah satu kamar di dalam rumah itu terlihat Mangun Sarkoro tidur dalam gelisah. Baju tidur berwarna biru yang dikenakannya tampak terlihat lembab basah oleh peluh yang keluar. Sesekali terdengar erangan kecil dari mulutnya yang masih tetutup rapat.
Kedua matanya yang tadi tertutup membeliak mendadak. Sontak bangun dan duduk di ranjang. Nafasnya terengah –engah seperti orang yang habis berlari puluhan kilometer.
Ekor matanya melirik ke pojok ruangan yang terlihat gelap karena tidak tersorot lampu dari luar. Seperti ada bayangan orang berdiri di tempat itu. Perlahan –lahan Mangun Sarkoro beranjak dari ranjangnya menuju ke arah saklar lampu yang menempel di tembok ruangan.
Di tekan saklar itu agar lampu ruangan menyala terang. Tapi tidak bisa. Lampu kamar tetap padam dan tidak mau menyala. Dicobanya lagi. Hasilnya sama saja. Ruangan masih saja gelap.
Saat itu tiba- tiba ada angin berdesir di belakangnya. Bau busuk tiba –tiba santer memenuhi kamar itu. Mangun Sarkoro bergidik lalu menengok ke belakang. Betapa terkejutnya dia saat didapati seorang nenek tua keriput, memakai jubah hitam panjang, rambut panjang riap –riapan dan membawa sebuah tongkat telah duduk di atas ranjangnya.
“ Hai.. anak manusia. Aku datang menagih janjimu. Serahkan perempuan itu beserta bayinya. Jangan lah kau bermain –main nyawa dengan Nyai Gondosuli “.
Si nenek misterius berbicara mengeluarkan suaranya yang serak dan parau. Mangun Sarkoro terpaku dari tempat berdirinya tidak mampu berbuat apa –apa.
“ Aku tunggu sampai bulan purnama bulan depan. Kalau kau masih saja menyembunyikan dan melindunginya. Aku akan membawanya paksa bersama nyawa mu juga! “
Si nenek misterius lalu turun dari ranjang. Mengejutkan tubuhnya sangat jangkung, hampir menyentuh langit –langit kamar. Langkah kaki nya seperti terbang tidak menginjak lantai kamar. Sekarang si nenek yang bernama Nyai Gondosuli yang tidak lain manusia setengah siluman penunggu hutan Gondo Mayit telah berdiri tepat di depan Mangun Sarkoro.
“ Ingat itu anak manusia. Aku tidak akan mengulangi lagi peringatan ku ini”.
Kemudian Nyai Gondosuli mengangkat tongkatnya. Ditempelkan tongkat itu tepat di dada kiri Mangun Sarkoro. Tongkat itu seperti bara besi panas yang menusuk sampai ke jantung. Mangun Sarkoro menggigit bibirnya menahan panas yang begitu hebat. Hingga akhirnya keluarlah jeritan dari mulutnya.
Brakkk...!!! pintu kamar didobrak orang dari luar. Dua orang berbadan kekar berbaju hitam masuk dengan tergopoh –gopoh dari balik pintu yang hampir copot dari engselnya. Tampak dua puncuk pistol tergenggam erat di masing –masing tangan mereka.
“ Pak Mangun...Pak Mangun...”
Dua orang pendobrak pintu tadi mengguncang – guncang tubuh Mangun Sarkoro yang terbaring di lantai kamar sambil berteriak –teriak.
“ Pak Mangun bangun, anda sedang bermimpi. Bangunlah!”
Mangun Sarkoro membuka matanya. Peluh bercucuran. Nafas terengah –engah.
“ Dimana ini Jatmiko?”
“ Ini di kamar pribadi Bapak “.
Lelaki berbadan besar dengan rambut cepak rapi yang bernama Jatmiko menjawab.
“ Mardi...tolong kau ambil air minum yang ada di meja! “.
Jatmiko berteriak pada kawannya yang bernama Mardi.
Air minum dalam gelas itu kemudian diangsurkan pada Mangun Sarkoro. Lelaki paruh baya itu meminum habis air yang diberikan oleh Jatmiko.
Setelah Mangun Sarkoro dapat menguasai dirinya dan sedikit tenang.
“ Jatmiko tolong malam ini juga atur keberangkatan ku ke Jogja. Aku harus sampai Jogja secepatnya. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan secepat mungkin”.
Lelaki yang bernama Jatmiko itu tanpa banyak bertanya langsung mengangguk.
“ Baik Pak Mangun akan saya siapkan segala sesuatunya. Jika nanti ada tugas mendadak dari atas sementara akan saya tangani bersama anak –anak”.
“ Terimakasih banyak Jatmiko. Terimakasih banyak”.
Mangun Sarkoro lalu menepuk –nepuk bahu anak buahnya yang bernama Jatmiko itu. Sepeninggalan anak buahnya yang telah keluar dari kamar. Mangun Sarkoro duduk di sebuah kursi sudut yang berada di kamar itu. Diraba dada kiri yang tadi di tekan oleh Nyai Gondosuli menggunakan tongkat. Sekali lagi Mangun Sarkoro terperanjat. Di dada kirinya terdapat luka melepuh merah bulat sebesar tutup botol.