- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#273
ILMU DARI LIANG NERAKA
Quote:
Dia ulurkan kepalanya dan menjenguk ke dalam lobang. Bau busuk mayat menyergap indera penciumannya. Busuknya berkali –kali lipat dari aroma yang tercium selama ia melintasi hutan Gondo Mayit. Isi perut Mangun Sarkoro serasa diaduk –aduk. Hawa dingin menggidikkan seperti keluar dari lubang sebesar badan orang dewasa itu. Bau maut dan kematian.
"Guru Besar Nyai Gondosuli!"
Mangun Sarkoro berseru setelah dapat menenangkan hatinya.
"Apakah di sini tempat kediamanmu? Aku datang dari jauh sengaja untuk menemuimu!"
Seruan Mangun Sarkoro hanya dijawab oleh keheningan. Namun sesaat kemudian dari dalam lobang terdengar suara seseorang. Suara itu seolah- olah keluar dari perut bukit batu padas itu, bergema panjang sebelum lenyap dengan meninggalkan perasaan bergidik bagi Mangun Sarkoro yang mendengarnya.
"Kalau begitu silahkan masuk. Jangan hanya terdiam di depan pintu!".
Sesaat ketegangan dalam hati belum berakhir tiba-tiba dari dalam lobang goa gundukan batu mencelat keluar sesosok tubuh anak kecil berpakaian layaknya jubah berwarna hitam.
"Dia lagi!"
desis Mangun Sarkoro dalam hati.
Memang benar. Yang muncul keluar dari dalam lobang batu itu ternyata adalah anak lelaki berusia sepuluh tahun yang ditemuinya dalam perjalanan mendaki ke puncak bukit. Si bocah letakkan kaki kirinya pada sebuah batu. Tumpukan batu yang di bagian bawah lobang
gundukan berbentuk wanita hamil duduk bersimpuh itu tampak bergeser. Sesaat kemudian lobang itu terbuka lebar dan ada tangga berlumut menuju ke bawah.
"Masuk!"
perintah si bocah.
Ketika Mangun Sarkoro dilihatnya berdiri bimbang, anak itu dorongkan tangannya ke punggung Mangun Sarkoro. Tak ampun lagi lelaki ini terpental masuk ke dalam lobang, menggelinding jungkir balik sepanjang tangga batu yang menurun. Ketika akhirnya tubuhnya terhempas di sebuah ruangan redup Mangun Sarkoro merasakan sekujur tulang belulangnya seperti hancur luluh. Beberapa bagian tubuhnya lecet, luka berdarah dan nyeri.
Mangun Sarkoro memejamkan mata, menggigit bibir menahan sakit. Ketika kedua matanya dibuka, kejut orang ini bukan alang kepalang. Dia telah berada di sebuah ruangan redup dengan lilin aneh yang dibenamkan kedalam sebuah tatakan berbentuk kepala manusia berukuran kecil. Seperti tulang tengkorak bayi. Ataukah itu memang tengkorak bayi? Di dalam suasana remang –remang itu pandangan mata Mangun Sarkoro berkeliling melihat sekitarnya.
Dinding dan langit –langit ruangan itu seperti dihias dengan lukisan bergambar orang –orang yang tengah berangkul rangkulan satu dengan yang lain. Sangat nyata seperti manusia yang memang sedang berjajar. Di dekatinya dinding yang berada di samping kanannya. Dirabanya lukisan di dinding ruangan itu. Lembut, dingin dan beku. Seperti menyentuh kulit daging manusia.
Mangun Sarkoro terlonjak mundur. Tatkala salah satu lukisan manusia yang sempat dipegangnya membuka kelopak matanya. Mata itu merah.
Lalu terdengar erangan..
“ Sakit..tolong aku. Siapapun tolong aku...”
Mangun Sarkoro keluarkan suara tertahan.
Gusti...ternyata lukisan itu adalah manusia – manusia hidup yang dijahit atau direkatkan satu –sama lain dalam keadaan hidup.
Belum sempat dia menguasai dirinya tiba –tiba...
Di hadapannya tegak berdiri sesosok tubuh wanita tua renta kurus kering tinggi luar biasa. Ruangan batu itu tingginya lebih dari dua meter dan kepala orang yang tegak memperhatikannya hampir menyodok langit-langit ruangan batu! Tetapi bukan ketinggian manusia itu yang membuat Mangun Sarkoro kecut. Nyawanya serasa terbang ketika melihat keangkeran wajah yang memandang tepat-tepat ke arahnya.
Nenek kurus dan sangat jangkung itu memiliki rambut kelabu sepanjang bahu riap -riapan. Mukanya yang sangat pucat terdapat dua matan besar dan merah angker mengerikan. Pakaiannya menyerupai jubah hitam yang telah kumal dan rombeng. Kedua pipinya sangat cekung. Hidung luar biasa besar tapi penyet pesek, hampir sama rata dengan pipi yang cekung. Dia memiliki sepasang bibir tebal dengan gigi-gigi besar tonggos menonjol dan kotor menjijikkan. Belum pernah Mangun Sarkoro melihat manusia seseram ini hingga dia merasa bimbang apakah dia saat ini benar-benar berhadapan dengan manusia atau sebangsa setan atau jin bukit batu!
Sementara di sekeliling nenek menyeramkan itu terdapat lima bocah yang memakai jubah hitam hingga menutupi kaki. Pandangan kelima bocah itu sama. Dingin, kaku dan kosong.
"Anak manusia! Lekas katakan maksud dan tujuan mu datang kesini?!"
Si nenek jangkung tiba-tiba keluarkan suara, berat dan parau.
"Nyai......"
Mangun Sarkoro beranikan diri membuka mulut.
"Apakah Nyai yang bernama Gondosuli?
Nenek jangkung menyeramkan itu hanya mengangguk.
"Maafkan saya Nyai. Maafkan saya. Saya Mangun Sarkoro, penduduk desa Tawang di kaki gunung Merapi. Saya menemui Nyai karena keperluan sangat penting. Untuk minta tolong...."
Sang nenek manggut-manggut sambil usap hulu tongkat berwarna hitam yang dipegangnya.
"Kalau kau datang dari tempat begitu jauh, pasti punya urusan penting. Katakan apa keperluanmu?!"
“ Negeri di bawah sana sedang bergolak berperang dengan bangsa kulit putih dari negeri seberang lautan. Pemuda desa di seluruh negeri ini berlomba –lomba untuk membela tumpah darahnya. Negeri yang dicintainya dengan mengorabnkan nyawa dan harta benda. Begitupun dengan saya. Hanya saja saya berpikir jika memiliki kesaktian lebih pasti untuk jangka waktu kedepannya saya akan bisa menjadi pejabat di pemerintahan atas jasa yang telah saya sumbangkan. Punya kedudukan dan dihormati oleh orang banyak “.
"Jadi kau ke sini untuk minta bekal?!"
"Betul sekali Nyai. Saya percaya Nyai mau menolong....."
"Anak manusia!"
terdengar Nyai Gondosuli berkata.
"Kau akan kutolong. Aku akan memberikan dua ilmu padamu! Itu sudah lebih dari cukup! Apa jawabmu?!"
"Terima kasih Nyai..... terima kasih. Saya betul-betul berterima kasih....." jawab Mangun Sarkoro terbungkuk-bungkuk.
"Mendekat ke mari!"
Si nenek jangkung memerintah. Mangun Sarkoro mendekat dan tegak di hadapan orang bermuka mengerikan itu dengan hati berdebar.
"Buka bajumu!"
Sesuai perintah Mangun Sarkoro buka bajunya. Nyai Gondosuli kemudian tempelkan dua telapak tangannya di dada Mangun Sarkoro. Mulutnya komat kamit. Matanya terpejam. Mangun Sarkoro merasakan ada hawa panas masuk mengalir ke dalam tubuhnya.
"Apa yang kau rasakan anak manusia?!"
tanya Nyai Gondosuli.
"Ada hawa panas masuk. Tubuh saya jadi ringan. Pemandangan mata saya terasa lebih terang......"
jawab Mangun Sarkoro mengatakan apa-apa yang saat itu dirasakannya.
"Menunduk!"
perintah Nyai Gondosuli Mangun Sarkoro menunduk. Orang ini menjerit kesakitan ketika tanpa diduganya Nyai Gondosuli menggores bahunya menggunakan kuku –kukunya yang panjang itu. Darah mengucur dari tiga luka yang memanjang di bahu kanannya. Nyai Gondosuli kemudian meniup tiga kali jari jemari kuku yang berdona darah segar itu tiga kali berturut-turut. Tiupan itu menghambur bau busuk yang membuat Mangun Sarkoro seperti mau muntah. Dia bertahan dengan berusaha menutup penciumannya.
"Sudah! Sekarang ulurkan kedua tanganmu. Kembangkan telapak kiri kanan!"
Mangun Sarkoro berdiri tegak. Ulurkan tangan kiri kanan dan buka kedua telapak tangan. Nyai Gondosuli tempelkan telapak tangan Mangun Sarkoro. Lalu kembali mulutnya komat- kamit. Sekali lagi Mangun Sarkoro merasa ada hawa panas yang masuk mengalir tapi hanya sampai sebatas kedua bahunya.
"Apa yang kau rasakan anak manusia?"
"Hawa panas mengalir sampai ke bahu saya Nyai….."
"Bagus!"
Nyai Gondosuli tarik pulang kedua tangannya.
"Kau sudah memiliki dua macam ilmu sekarang. Pertama ilmu kebal terhadap segala macam senjata. Termasuk senjata yang beracun. Tapi kau sama sekali tidak kebal terhadap racun yang masuk lewat tenggorokanmu!"
"Terima kasih Nyai Gondosuli..... Apakah ilmu yang kedua yang Nyai berikan?"
"Ilmu yang kedua adalah ilmu pukulan. Siapa atau apa saja yang kena hantaman tanganmu atau tendangan mu akan menemui kematian atau kehancuran!"
Mangun Sarkoro gembira sekali. Dia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dengan dua bekal ilmu itu kini dia bisa ikut berjuang tanpa takut kehilangan nyawa membasmi penjajah kompeni yang masih bercokol dan berusaha merebut kembali tanah jajahannya. Nyai Gondosuli dapat meraba apa yang ada dalam benak orang di hadapannya itu. Dia bertepuk tangan.
Entah dari mana didapat tahu-tahu di tangannya tergenggam sebilah golok panjang berkilat. Tentu saja Mangun Sarkoro kaget bukan main. Sebelum dia sempat menghindar, bacokan, menderu ke arah kepala. Mangun Sarkoro tak kuasa mengelak ataupun menangkis. Terdengar suara bergedebuk ketika senjata tajam itu mendarat di kepala. Dia hanya merasa seperti ditepuk. Kepalanya sama sekali tak mempan dibacok! Jika tak mengalami sendiri bagaimana mungkin dia dapat mempercayai kenyataan itu!
"Aku sekarang menjadi manusia hebat! Jadi orang sakti! Tak mempan dibacok! Tak mempan senjata tajam!" begitu Mangun Sarkoro berseru gembira dalam hati.
Nyai Gondosuli gerakkan tangan kanannya. Sebuah batu sebesar kepala orang dewasa menggelinding ke arah Mangun Sarkoro.
"Ujian kedua!" seru Nyai Gondosuli.
"Pergunakan tangan kananmu! Hantam batu itu. Lihat apa yang terjadi!"
Sesaat Mangun Sarkoro merasa ragu-ragu. Tapi ketika batu bulat itu hampir menyentuh kakinya, orang ini cepat membungkuk dan mengambilnya dengan tangan kiri. Seolah-olah yakin bahwa dia kini memang memiliki kehebatan luar biasa maka dengan tangan kanannya dihantamnya batu itu.
Byaaar!
Batu keras sebesar kepala itu hancur berantakan tanpa Mangun Sarkoro merasa sakit pada tangannya yang memukul! Nyai Gondosuli tertawa mengekeh.
"Anak manusia!" katanya.
"Sekarang kau sudah memiliki dua macam ilmu dan sudah membuktikannya sendiri! Ketahuilah, kedua ilmu itu telah menyatu padu dengan badan mu. Apakah kau mendengar anak manusia?!"
"Saya mendengar Nyai Gondosuli dan saya berterima kasih atas pemberianmu....."
"Tidak cukup dengan hanya ucapan terima kasih!" Nyai Gondosuli berkata lantang
“ Apa yang telah kuberikan tidak cukup hanya diimbal dengan ucapan terima kasih....."
Mangun Sarkoro cepat tanggap.Buru-buru dia berkata.
"Jangan kawatir Nyai Gondosuli. Saat saya sudah mempunyai pangkat, jabatan dan kedudukan saya akan datang kembali ke tempat ini. Akan saya bayar dengan uang yang banyak. Perhiasan emas ataupun perak .
"Aku tidak perlu uang atau harta!"
Berdesir darah Mangun Sarkoro. Dadanya berdebar.
"Kalau Nyai Gondosuli tidak bersedia menerimanya saya harus bagaimana....?'
"Kau harus mengikuti pantangan dari ku. Jangan pernah menikah. Kalaupun sekarang kau sudah menikah dan punya anak. Tinggalkan mereka jangan pernah menemuimu atau mereka semua akan menjadi hiasan di ruangan ku ini. Satu hal lagi yang terpenting. Kau harus menyerahkan tumbal babon angrem pada ku setiap tahunnya! Bukan sembarang babon angrem. Babon angrem itu harus hasil dari darah daging mu. Setiap orang yang dekat padamu dan memakan dari semua hasil keringat mu. Aku akan mengambilnya. Itulah tanda dari tumbal yang akan kau berikan kepada ku .Kau mengerti maksudku anak manusia?!”
Mangun Sarkoro tersentak kaget, mundur beberapa langkah dengan wajah pucat.
(Istilah tumbal babon angrem itu untuk wanita yang sedang hamil. Babon : ayam betina / Angrem : mengerami telur )
"Ha...ha....! Kau terkejut anak manusia! Kau kecut!" kekeh Nyai Gondosuli.
"Apa artinya semua itu dibandingkan dengan kesaktian dan kedudukan mu kelak….."
"Tapi Nyai Gondosuli……."
" Kalau kau mengurungkan niat mu. Tidak apa –apa hanya saja ilmu yang telah aku berikan kepadamu akan aku cabut. Dan akibatnya...Nyawa mu akan melayang dan mayat mu akan aku tempel di sini!”
Ha….ha....ha....!" Nyai Gondosuli tertawa
"Ha..ha....ha!" Lima bocah anaeh yang berdiri di samping nenek itu juga tertawa aneh.
Akhirnya dengan suara bergetar Mangun Sarkoro berkata.
“ Baiklah kalau imbalannya seperti itu. Akan saya lakukan “.
“ Bagus ... Bagus ... Urusan ku dengan mu telah selesai. Aku tunggu kesanggupan mu satu tahun ke depan dari saat ini. Jangan coba –coba melarikan diri. Dimana pun kau bersembunyi akau akan dengan mudah menemukan mu!”
Serta merta Nyai Gondosuli melompat ke belakang Mangun Sarkoro. Dengan tangan kirinya dia mendorong punggung lelaki itu. Begitu didorong tubuh Mangun Sarkoro mencelat masuk ke dalam lobang batu, terangkat melewati tangga akhirnya terhempas di luar di udara terbuka. Jatuh terkapar di tanah lapang yang di kanan kirinya terdapat bongkahan batu yang berbentuk wanita hamil tengah duduk bersimpuh!
"Guru Besar Nyai Gondosuli!"
Mangun Sarkoro berseru setelah dapat menenangkan hatinya.
"Apakah di sini tempat kediamanmu? Aku datang dari jauh sengaja untuk menemuimu!"
Seruan Mangun Sarkoro hanya dijawab oleh keheningan. Namun sesaat kemudian dari dalam lobang terdengar suara seseorang. Suara itu seolah- olah keluar dari perut bukit batu padas itu, bergema panjang sebelum lenyap dengan meninggalkan perasaan bergidik bagi Mangun Sarkoro yang mendengarnya.
"Kalau begitu silahkan masuk. Jangan hanya terdiam di depan pintu!".
Sesaat ketegangan dalam hati belum berakhir tiba-tiba dari dalam lobang goa gundukan batu mencelat keluar sesosok tubuh anak kecil berpakaian layaknya jubah berwarna hitam.
"Dia lagi!"
desis Mangun Sarkoro dalam hati.
Memang benar. Yang muncul keluar dari dalam lobang batu itu ternyata adalah anak lelaki berusia sepuluh tahun yang ditemuinya dalam perjalanan mendaki ke puncak bukit. Si bocah letakkan kaki kirinya pada sebuah batu. Tumpukan batu yang di bagian bawah lobang
gundukan berbentuk wanita hamil duduk bersimpuh itu tampak bergeser. Sesaat kemudian lobang itu terbuka lebar dan ada tangga berlumut menuju ke bawah.
"Masuk!"
perintah si bocah.
Ketika Mangun Sarkoro dilihatnya berdiri bimbang, anak itu dorongkan tangannya ke punggung Mangun Sarkoro. Tak ampun lagi lelaki ini terpental masuk ke dalam lobang, menggelinding jungkir balik sepanjang tangga batu yang menurun. Ketika akhirnya tubuhnya terhempas di sebuah ruangan redup Mangun Sarkoro merasakan sekujur tulang belulangnya seperti hancur luluh. Beberapa bagian tubuhnya lecet, luka berdarah dan nyeri.
Mangun Sarkoro memejamkan mata, menggigit bibir menahan sakit. Ketika kedua matanya dibuka, kejut orang ini bukan alang kepalang. Dia telah berada di sebuah ruangan redup dengan lilin aneh yang dibenamkan kedalam sebuah tatakan berbentuk kepala manusia berukuran kecil. Seperti tulang tengkorak bayi. Ataukah itu memang tengkorak bayi? Di dalam suasana remang –remang itu pandangan mata Mangun Sarkoro berkeliling melihat sekitarnya.
Dinding dan langit –langit ruangan itu seperti dihias dengan lukisan bergambar orang –orang yang tengah berangkul rangkulan satu dengan yang lain. Sangat nyata seperti manusia yang memang sedang berjajar. Di dekatinya dinding yang berada di samping kanannya. Dirabanya lukisan di dinding ruangan itu. Lembut, dingin dan beku. Seperti menyentuh kulit daging manusia.
Mangun Sarkoro terlonjak mundur. Tatkala salah satu lukisan manusia yang sempat dipegangnya membuka kelopak matanya. Mata itu merah.
Lalu terdengar erangan..
“ Sakit..tolong aku. Siapapun tolong aku...”
Mangun Sarkoro keluarkan suara tertahan.
Gusti...ternyata lukisan itu adalah manusia – manusia hidup yang dijahit atau direkatkan satu –sama lain dalam keadaan hidup.
Belum sempat dia menguasai dirinya tiba –tiba...
Di hadapannya tegak berdiri sesosok tubuh wanita tua renta kurus kering tinggi luar biasa. Ruangan batu itu tingginya lebih dari dua meter dan kepala orang yang tegak memperhatikannya hampir menyodok langit-langit ruangan batu! Tetapi bukan ketinggian manusia itu yang membuat Mangun Sarkoro kecut. Nyawanya serasa terbang ketika melihat keangkeran wajah yang memandang tepat-tepat ke arahnya.
Nenek kurus dan sangat jangkung itu memiliki rambut kelabu sepanjang bahu riap -riapan. Mukanya yang sangat pucat terdapat dua matan besar dan merah angker mengerikan. Pakaiannya menyerupai jubah hitam yang telah kumal dan rombeng. Kedua pipinya sangat cekung. Hidung luar biasa besar tapi penyet pesek, hampir sama rata dengan pipi yang cekung. Dia memiliki sepasang bibir tebal dengan gigi-gigi besar tonggos menonjol dan kotor menjijikkan. Belum pernah Mangun Sarkoro melihat manusia seseram ini hingga dia merasa bimbang apakah dia saat ini benar-benar berhadapan dengan manusia atau sebangsa setan atau jin bukit batu!
Sementara di sekeliling nenek menyeramkan itu terdapat lima bocah yang memakai jubah hitam hingga menutupi kaki. Pandangan kelima bocah itu sama. Dingin, kaku dan kosong.
"Anak manusia! Lekas katakan maksud dan tujuan mu datang kesini?!"
Si nenek jangkung tiba-tiba keluarkan suara, berat dan parau.
"Nyai......"
Mangun Sarkoro beranikan diri membuka mulut.
"Apakah Nyai yang bernama Gondosuli?
Nenek jangkung menyeramkan itu hanya mengangguk.
"Maafkan saya Nyai. Maafkan saya. Saya Mangun Sarkoro, penduduk desa Tawang di kaki gunung Merapi. Saya menemui Nyai karena keperluan sangat penting. Untuk minta tolong...."
Sang nenek manggut-manggut sambil usap hulu tongkat berwarna hitam yang dipegangnya.
"Kalau kau datang dari tempat begitu jauh, pasti punya urusan penting. Katakan apa keperluanmu?!"
“ Negeri di bawah sana sedang bergolak berperang dengan bangsa kulit putih dari negeri seberang lautan. Pemuda desa di seluruh negeri ini berlomba –lomba untuk membela tumpah darahnya. Negeri yang dicintainya dengan mengorabnkan nyawa dan harta benda. Begitupun dengan saya. Hanya saja saya berpikir jika memiliki kesaktian lebih pasti untuk jangka waktu kedepannya saya akan bisa menjadi pejabat di pemerintahan atas jasa yang telah saya sumbangkan. Punya kedudukan dan dihormati oleh orang banyak “.
"Jadi kau ke sini untuk minta bekal?!"
"Betul sekali Nyai. Saya percaya Nyai mau menolong....."
"Anak manusia!"
terdengar Nyai Gondosuli berkata.
"Kau akan kutolong. Aku akan memberikan dua ilmu padamu! Itu sudah lebih dari cukup! Apa jawabmu?!"
"Terima kasih Nyai..... terima kasih. Saya betul-betul berterima kasih....." jawab Mangun Sarkoro terbungkuk-bungkuk.
"Mendekat ke mari!"
Si nenek jangkung memerintah. Mangun Sarkoro mendekat dan tegak di hadapan orang bermuka mengerikan itu dengan hati berdebar.
"Buka bajumu!"
Sesuai perintah Mangun Sarkoro buka bajunya. Nyai Gondosuli kemudian tempelkan dua telapak tangannya di dada Mangun Sarkoro. Mulutnya komat kamit. Matanya terpejam. Mangun Sarkoro merasakan ada hawa panas masuk mengalir ke dalam tubuhnya.
"Apa yang kau rasakan anak manusia?!"
tanya Nyai Gondosuli.
"Ada hawa panas masuk. Tubuh saya jadi ringan. Pemandangan mata saya terasa lebih terang......"
jawab Mangun Sarkoro mengatakan apa-apa yang saat itu dirasakannya.
"Menunduk!"
perintah Nyai Gondosuli Mangun Sarkoro menunduk. Orang ini menjerit kesakitan ketika tanpa diduganya Nyai Gondosuli menggores bahunya menggunakan kuku –kukunya yang panjang itu. Darah mengucur dari tiga luka yang memanjang di bahu kanannya. Nyai Gondosuli kemudian meniup tiga kali jari jemari kuku yang berdona darah segar itu tiga kali berturut-turut. Tiupan itu menghambur bau busuk yang membuat Mangun Sarkoro seperti mau muntah. Dia bertahan dengan berusaha menutup penciumannya.
"Sudah! Sekarang ulurkan kedua tanganmu. Kembangkan telapak kiri kanan!"
Mangun Sarkoro berdiri tegak. Ulurkan tangan kiri kanan dan buka kedua telapak tangan. Nyai Gondosuli tempelkan telapak tangan Mangun Sarkoro. Lalu kembali mulutnya komat- kamit. Sekali lagi Mangun Sarkoro merasa ada hawa panas yang masuk mengalir tapi hanya sampai sebatas kedua bahunya.
"Apa yang kau rasakan anak manusia?"
"Hawa panas mengalir sampai ke bahu saya Nyai….."
"Bagus!"
Nyai Gondosuli tarik pulang kedua tangannya.
"Kau sudah memiliki dua macam ilmu sekarang. Pertama ilmu kebal terhadap segala macam senjata. Termasuk senjata yang beracun. Tapi kau sama sekali tidak kebal terhadap racun yang masuk lewat tenggorokanmu!"
"Terima kasih Nyai Gondosuli..... Apakah ilmu yang kedua yang Nyai berikan?"
"Ilmu yang kedua adalah ilmu pukulan. Siapa atau apa saja yang kena hantaman tanganmu atau tendangan mu akan menemui kematian atau kehancuran!"
Mangun Sarkoro gembira sekali. Dia mengucapkan terima kasih berulang kali. Dengan dua bekal ilmu itu kini dia bisa ikut berjuang tanpa takut kehilangan nyawa membasmi penjajah kompeni yang masih bercokol dan berusaha merebut kembali tanah jajahannya. Nyai Gondosuli dapat meraba apa yang ada dalam benak orang di hadapannya itu. Dia bertepuk tangan.
Entah dari mana didapat tahu-tahu di tangannya tergenggam sebilah golok panjang berkilat. Tentu saja Mangun Sarkoro kaget bukan main. Sebelum dia sempat menghindar, bacokan, menderu ke arah kepala. Mangun Sarkoro tak kuasa mengelak ataupun menangkis. Terdengar suara bergedebuk ketika senjata tajam itu mendarat di kepala. Dia hanya merasa seperti ditepuk. Kepalanya sama sekali tak mempan dibacok! Jika tak mengalami sendiri bagaimana mungkin dia dapat mempercayai kenyataan itu!
"Aku sekarang menjadi manusia hebat! Jadi orang sakti! Tak mempan dibacok! Tak mempan senjata tajam!" begitu Mangun Sarkoro berseru gembira dalam hati.
Nyai Gondosuli gerakkan tangan kanannya. Sebuah batu sebesar kepala orang dewasa menggelinding ke arah Mangun Sarkoro.
"Ujian kedua!" seru Nyai Gondosuli.
"Pergunakan tangan kananmu! Hantam batu itu. Lihat apa yang terjadi!"
Sesaat Mangun Sarkoro merasa ragu-ragu. Tapi ketika batu bulat itu hampir menyentuh kakinya, orang ini cepat membungkuk dan mengambilnya dengan tangan kiri. Seolah-olah yakin bahwa dia kini memang memiliki kehebatan luar biasa maka dengan tangan kanannya dihantamnya batu itu.
Byaaar!
Batu keras sebesar kepala itu hancur berantakan tanpa Mangun Sarkoro merasa sakit pada tangannya yang memukul! Nyai Gondosuli tertawa mengekeh.
"Anak manusia!" katanya.
"Sekarang kau sudah memiliki dua macam ilmu dan sudah membuktikannya sendiri! Ketahuilah, kedua ilmu itu telah menyatu padu dengan badan mu. Apakah kau mendengar anak manusia?!"
"Saya mendengar Nyai Gondosuli dan saya berterima kasih atas pemberianmu....."
"Tidak cukup dengan hanya ucapan terima kasih!" Nyai Gondosuli berkata lantang
“ Apa yang telah kuberikan tidak cukup hanya diimbal dengan ucapan terima kasih....."
Mangun Sarkoro cepat tanggap.Buru-buru dia berkata.
"Jangan kawatir Nyai Gondosuli. Saat saya sudah mempunyai pangkat, jabatan dan kedudukan saya akan datang kembali ke tempat ini. Akan saya bayar dengan uang yang banyak. Perhiasan emas ataupun perak .
"Aku tidak perlu uang atau harta!"
Berdesir darah Mangun Sarkoro. Dadanya berdebar.
"Kalau Nyai Gondosuli tidak bersedia menerimanya saya harus bagaimana....?'
"Kau harus mengikuti pantangan dari ku. Jangan pernah menikah. Kalaupun sekarang kau sudah menikah dan punya anak. Tinggalkan mereka jangan pernah menemuimu atau mereka semua akan menjadi hiasan di ruangan ku ini. Satu hal lagi yang terpenting. Kau harus menyerahkan tumbal babon angrem pada ku setiap tahunnya! Bukan sembarang babon angrem. Babon angrem itu harus hasil dari darah daging mu. Setiap orang yang dekat padamu dan memakan dari semua hasil keringat mu. Aku akan mengambilnya. Itulah tanda dari tumbal yang akan kau berikan kepada ku .Kau mengerti maksudku anak manusia?!”
Mangun Sarkoro tersentak kaget, mundur beberapa langkah dengan wajah pucat.
(Istilah tumbal babon angrem itu untuk wanita yang sedang hamil. Babon : ayam betina / Angrem : mengerami telur )
"Ha...ha....! Kau terkejut anak manusia! Kau kecut!" kekeh Nyai Gondosuli.
"Apa artinya semua itu dibandingkan dengan kesaktian dan kedudukan mu kelak….."
"Tapi Nyai Gondosuli……."
" Kalau kau mengurungkan niat mu. Tidak apa –apa hanya saja ilmu yang telah aku berikan kepadamu akan aku cabut. Dan akibatnya...Nyawa mu akan melayang dan mayat mu akan aku tempel di sini!”
Ha….ha....ha....!" Nyai Gondosuli tertawa
"Ha..ha....ha!" Lima bocah anaeh yang berdiri di samping nenek itu juga tertawa aneh.
Akhirnya dengan suara bergetar Mangun Sarkoro berkata.
“ Baiklah kalau imbalannya seperti itu. Akan saya lakukan “.
“ Bagus ... Bagus ... Urusan ku dengan mu telah selesai. Aku tunggu kesanggupan mu satu tahun ke depan dari saat ini. Jangan coba –coba melarikan diri. Dimana pun kau bersembunyi akau akan dengan mudah menemukan mu!”
Serta merta Nyai Gondosuli melompat ke belakang Mangun Sarkoro. Dengan tangan kirinya dia mendorong punggung lelaki itu. Begitu didorong tubuh Mangun Sarkoro mencelat masuk ke dalam lobang batu, terangkat melewati tangga akhirnya terhempas di luar di udara terbuka. Jatuh terkapar di tanah lapang yang di kanan kirinya terdapat bongkahan batu yang berbentuk wanita hamil tengah duduk bersimpuh!
Diubah oleh breaking182 04-03-2018 06:06
knoopy dan ableh80 memberi reputasi
2
Kutip
Balas