- Beranda
- Stories from the Heart
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
...
TS
breaking182
URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
URBAN LEGEND : PANTAI TRISIK 1990
Quote:
INDEX URBAN LEGEND PANTAI TRISIK 1990
Quote:
SERIES BARU
MUTILASI
MUTILASI
EPISODE 1 : MAYAT TERPOTONG DI HUTAN JATI
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
EPISODE 2 : EVAKUASI
EPISODE 3 : SANG DALANG
EPISODE 4 : KASIH TAK SAMPAI
EPISODE 5 : PENYUSUP
EPISODE 6 : LOLOS DARI MAUT
EPISODE 7 : DUKA TERDALAM
EPISODE 8 : PEMBUNUHNYA ADALAH ....
EPISODE 9 : PENYERGAPAN
CREDIT SCENE
TAMAT
SERIES BARU
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
MAHKLUK DARI SEBERANG ZAMAN
EPISODE 1 : SRITI WANGI
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
EPISODE 2 : PANGKAL BENCANA
EPISODE 3 : MAYAT DI DALAM PETI
EPISODE 4 : KECELAKAAN MAUT
EPISODE 5 : SANG DEWI
EPISODE 6 : KORBAN BERJATUHAN
EPISODE 7 : PENODONGAN DI MALIOBORO
EPISODE 8 : PENYERGAPAN DI BUKIT BINTANG
EPISODE 9 : K.O
EPISODE 10 : PETUNJUK?!
EPISODE 11 : KI AGENG BRAJAGUNA
EPISODE 12 : PERTEMPURAN TERAKHIR
STORY BRIDGE
TAMAT
KUMPULAN CERPEN HORROR
INDEX
Diubah oleh breaking182 07-05-2018 06:16
rokendo dan 40 lainnya memberi reputasi
39
252.1K
Kutip
809
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#265
PANGKAL BENCANA
Quote:
Desa Tawang merupakan satu desa di kaki gunung Merapi sebelah barat. Desa ini subur makmur dan penduduknya hidup tenteram. Hamparan sawah membentang luas di sepanjang jalan menuju ke desa. Perkebunan tomat, cabe dan semangka terlihat di beberapa sudut desa. Hari itu boleh dikatakan seluruh penduduk bersenang hati karena nanti malam akan diadakan pesta besar di rumah Kepala Desa yaitu pesta pernikahan anak laki-lakinya tertua yang bernama Karjo dengan seorang gadis pilihan hatinya.
Di halaman depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang kulit. Hiburan semacam ini jarang terjadi di desa. Meski pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi telah banyak orang. Terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Di bagian lain terlihat panggung serupa berwarna hijau. Dua kursi pelaminan bertengger berdampingan. Gebyok ( background pengantin dari kayu ukir –ukiran ) yang berada di belakang membuat semakin megah pelaminan itu. Di sisi kanan kiri dua tiang penyangga dihiasi dengan untaian bunga berwarna –warni. Janur kuning yang melengkung indah menambah semarak suasana sore itu.
Seorang gadis berbadan subur dengan baju pengantin berkebaya warna hitam dipadu kemben warna hitam sebatas dada duduk gelisah di ruang rias. Untaian bunga melati menjela menghiasi rambut tebalnya yang di konde. Wajahnya yang ditutup riasan tebal terlihat gelisah. Sesekali menoleh ke arah wanita paruh baya dengan kebaya hijau yang berdiri di sampingnya.
“ Mbok...”
Si mempelai wanita berbisik ke arah perempuan paruh baya yang ada di sampingnya.
“ Ada apa Nduk?”
“ Bapak sudah di beritahu? Kalau hari ini aku melangsungkan pernikahan?”
“ Sudah Nduk”.
“ Tapi mengapa saat ini belum juga kelihatan?”
Si mempelai wanita berbicara dengan gelisah.
“ Mungkin sibuk atau mungkin lagi di jalan. Kamu tahu sendiri bapak mu itu orang penting di Jakarta. Tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan tugas. Sabar Prapti “
Mempelai wanita yang bernama Prapti menarik nafas panjang. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.
Prapti sebenarnya sangat merindukan ayahnya. Akan tetapi sikap ayahnya yang seperti mengacuhkan kehadiran dia. Rasa rindu itu berubah menjadi kecewa dan lama –lama menjadi benci.
“ Tak pernah aku merasa aku ini anaknya”.
Suatu hari ia mengeluh pada ibunya.
“ Bertemu pun hanya sekali dua kali. Semasa Prapti masih berumur tujuh tahun. Apalagi sekarang. Sudah bertahun –tahun tidak sekalipun terlihat atau terdengar kabar berita “.
“ Jangan begitu nduk. Bagaimanapun. Ia tetap seorang Bapak yang wajib kau hormati “.
Mbok Lastri memohon.
“ Bapak mu melakukan hal itu karena tugas negara. Harus berjuang mempertahankan kemerdekaan ini. Bapakmu itu seorang pejuang. Harus siap sedia saat negara membutuhkan. Apalagi sekarang suasana sedang genting. Kompeni berusaha merebut kemerdekaan dari kita. Simbok harap kamu bisa memahami itu nduk “.
Mbok Lastri memeluk lalu membelai rambut anaknya itu.
Prapti akhirnya menyerah pasrah.
Sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk desa Tawang dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta perkimpoian itu. Satu persatu naik ke panggung untuk memberi selamat kepada dua mempelai yang duduk di kursi bagaikan raja dan ratu sehari.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian. Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
Sebuah mobil Mercedez Benz E200 W115 keluaran tahun 70an berwarna silver metalic berhenti di ujung jalan tempat pesta pernikahan itu. Orang –orang yang larut dalam kegembiraan tidak menyadari kehadiran mobil itu. Dibelakang kemudi tampak seorang lelaki memakai jas hitam yang melekat ketat di badannya yang kekar. Sementara di jok belakang. Seorang lelaki paruh baya dengan rambut sudah mulai kelabu. Sisa –sisa ketampanan dan tegap tubuhnya masih terlihat. Jas warna putih dengan setelan celana putih serasi dengan penampilannya. Sebatang tongkat panjang dari kayu cendana berhulu gading berwarna kecoklatan tergenggam erat di tangan kanannya.
Dari balik kaca jendela samping mobil lelaki paruh baya itu melihat ke arah pelaminan yang masih bisa terlihat dari ujung jalan. Matanya berkaca –kaca. Satu bulir air mata tak terbendung lagi jatuh berderai menetes di pipinya yang mulai tergurat tua. Lalu perlahan di usap air mata itu dengan ujung lengan jas yang dikenakan.
“ Maaf kan Bapak...”
Lelaki paruh baya itu berbisik lirih.
“ Jatmiko lekas tinggalkan tempat ini. Kita kembali ke Jakarta malam ini juga!”.
“ Baik Pak ”
Lelaki tegap yang duduk di belakang kemudi mengangguk hormat. Mobil berwarna silver metalic itu perlahan berjalan menjauhi desa Tawang.
Di halaman depan telah di bangun sebuah panggung untuk tempat pertunjukan wayang kulit. Hiburan semacam ini jarang terjadi di desa. Meski pertunjukan itu beberapa jam lagi baru akan dimulai tapi telah banyak orang. Terutama anak-anak—yang berkumpul di sekitar panggung.
Di bagian lain terlihat panggung serupa berwarna hijau. Dua kursi pelaminan bertengger berdampingan. Gebyok ( background pengantin dari kayu ukir –ukiran ) yang berada di belakang membuat semakin megah pelaminan itu. Di sisi kanan kiri dua tiang penyangga dihiasi dengan untaian bunga berwarna –warni. Janur kuning yang melengkung indah menambah semarak suasana sore itu.
Seorang gadis berbadan subur dengan baju pengantin berkebaya warna hitam dipadu kemben warna hitam sebatas dada duduk gelisah di ruang rias. Untaian bunga melati menjela menghiasi rambut tebalnya yang di konde. Wajahnya yang ditutup riasan tebal terlihat gelisah. Sesekali menoleh ke arah wanita paruh baya dengan kebaya hijau yang berdiri di sampingnya.
“ Mbok...”
Si mempelai wanita berbisik ke arah perempuan paruh baya yang ada di sampingnya.
“ Ada apa Nduk?”
“ Bapak sudah di beritahu? Kalau hari ini aku melangsungkan pernikahan?”
“ Sudah Nduk”.
“ Tapi mengapa saat ini belum juga kelihatan?”
Si mempelai wanita berbicara dengan gelisah.
“ Mungkin sibuk atau mungkin lagi di jalan. Kamu tahu sendiri bapak mu itu orang penting di Jakarta. Tidak bisa seenaknya pergi meninggalkan tugas. Sabar Prapti “
Mempelai wanita yang bernama Prapti menarik nafas panjang. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya.
Prapti sebenarnya sangat merindukan ayahnya. Akan tetapi sikap ayahnya yang seperti mengacuhkan kehadiran dia. Rasa rindu itu berubah menjadi kecewa dan lama –lama menjadi benci.
“ Tak pernah aku merasa aku ini anaknya”.
Suatu hari ia mengeluh pada ibunya.
“ Bertemu pun hanya sekali dua kali. Semasa Prapti masih berumur tujuh tahun. Apalagi sekarang. Sudah bertahun –tahun tidak sekalipun terlihat atau terdengar kabar berita “.
“ Jangan begitu nduk. Bagaimanapun. Ia tetap seorang Bapak yang wajib kau hormati “.
Mbok Lastri memohon.
“ Bapak mu melakukan hal itu karena tugas negara. Harus berjuang mempertahankan kemerdekaan ini. Bapakmu itu seorang pejuang. Harus siap sedia saat negara membutuhkan. Apalagi sekarang suasana sedang genting. Kompeni berusaha merebut kemerdekaan dari kita. Simbok harap kamu bisa memahami itu nduk “.
Mbok Lastri memeluk lalu membelai rambut anaknya itu.
Prapti akhirnya menyerah pasrah.
Sesudah bedug magrib ditabuh orang maka kelihatanlah penduduk desa Tawang dan desa-desa tetangga datang, berbondong-bondong menghadiri pesta perkimpoian itu. Satu persatu naik ke panggung untuk memberi selamat kepada dua mempelai yang duduk di kursi bagaikan raja dan ratu sehari.
Sementara itu di atas panggung, ki dalang telah mulai menjalankan tugasnya. Malam itu sengaja dipilihnya cerita pewayangan yang termasyhur yaitu cerita Bharatayuda. Semua orang menonton dengan penuh perhatian. Semakin larut malam, semakin asyik cerita yang dibawakan oleh ki dalang. Suasana tegang terjadi sewaktu Werkudara atau yang dikenal dengan panggilan Bima yaitu salah seorang dari lima bersaudara Pandawa, muncul ke tengah kancah perang saudara itu, berhadapan dengan tokoh Kurawa yang tak asing lagi yakni Duryudana atau Suyudana.
Sebuah mobil Mercedez Benz E200 W115 keluaran tahun 70an berwarna silver metalic berhenti di ujung jalan tempat pesta pernikahan itu. Orang –orang yang larut dalam kegembiraan tidak menyadari kehadiran mobil itu. Dibelakang kemudi tampak seorang lelaki memakai jas hitam yang melekat ketat di badannya yang kekar. Sementara di jok belakang. Seorang lelaki paruh baya dengan rambut sudah mulai kelabu. Sisa –sisa ketampanan dan tegap tubuhnya masih terlihat. Jas warna putih dengan setelan celana putih serasi dengan penampilannya. Sebatang tongkat panjang dari kayu cendana berhulu gading berwarna kecoklatan tergenggam erat di tangan kanannya.
Dari balik kaca jendela samping mobil lelaki paruh baya itu melihat ke arah pelaminan yang masih bisa terlihat dari ujung jalan. Matanya berkaca –kaca. Satu bulir air mata tak terbendung lagi jatuh berderai menetes di pipinya yang mulai tergurat tua. Lalu perlahan di usap air mata itu dengan ujung lengan jas yang dikenakan.
“ Maaf kan Bapak...”
Lelaki paruh baya itu berbisik lirih.
“ Jatmiko lekas tinggalkan tempat ini. Kita kembali ke Jakarta malam ini juga!”.
“ Baik Pak ”
Lelaki tegap yang duduk di belakang kemudi mengangguk hormat. Mobil berwarna silver metalic itu perlahan berjalan menjauhi desa Tawang.
Quote:
Hujan lebat mengguyur bumi. Guntur menggelegar berkepanjangan. Kilat sambar menyambar. Saat itu baru lepas tengah hari. Tapi hujan lebat, gumpalan awan menghitam membuat suasana seperti dicengkeram gulitanya malam. Karena sulit melihat jalan yang ditempuh, apalagi mulai mendaki dan berbatubatu, seseorang lelaki itu tidak berani bergerak cepat mendaki bukit padas berbatu. Sesekali orang itu menghentikan langkahnya mengibas –ibaskan tangannya yang sudah mulai letih. Sesekali kilat menerangi wajahnya yang ternyata masih sangat muda. Baju putih yang dikenakan nampak belepotan lumpur dan tanah.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba beberapa meter di hadapannya, di jalan yang mendaki dan berbatu padas, pemuda itu melihat cahaya, tepatnya nyala api. Sungguh sulit dipercaya. Dan lebih tak dapat dipercaya lagi, ketika dia mendekati nyala api itu ternyata adalah nyala sebuah obor.
Obor ini dipegang oleh seorang anak kecil seusia sepuluh tahun, berpakaian hitam menyerupai jubah panjang menutupi kedua kaki dengan tudung hitam yang juga membungkus kepalanya. Meskipun hanya seorang anak tapi bocah itu menyorotkan tampang aneh dan ganjil. Sepasang matanya dingin dan kosong tak berkedip ke arah si pemuda. Obor di tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Anehnya lagi api dari obor ini sama sekali tidak mati terkena guyuran hujan yang masih menggila derasnya. Lalu terdengar suaranya berbicara. Aksen bicaranya aneh karena terlalu datar tanpa irama.
“ Apakah kau Mangun Sarkoro dari desa Tawang di kaki gunung Merapi?”
Pemuda yang ternyata Mangun Sarkoro melengak kaget.
“ Darimana bocah aneh itu tahu nama dan asal –usul ku?”
Mangun Sarkoro terdiam.
Si anak tertawa. Untuk pertama kalinya tangannya yang memegang obor diturunkan sedikit tapi tiba-tiba diangsurkan ke arah muka Mangun Sarkoro hingga kalau tidak lekas-lekas menghindar wajahnya pasti akan dijilat api obor! Si anak tampak menyeringai melihat pemuda itu mundur ketakutan.
“ Ikuti aku. Guru Besar telah menanti mu di atas bukit sana “.
Memang benar adanya Mangun Sarkoro akan menemui seorang pertapa sakti yang konon katanya bersemayam di hutan Gondo Mayit yang letaknya di atas bukit Jati Padas. Bukit Jati Padas terletak di kawasan Blambangan. Bukit ini hanya berupa padas dan tumbuh pohon jati di beberapa tempat. Di puncak bukit terdapat hutan jati yang wingit dan selalu memancarkan bau busuk mayat. Sehingga disebut Gondo Mayit ( Gondo : bau/aroma dan mayit : mayat ).
Dengan tertatih –tatih Mangun Sarkoro melangkah mengikuti jalan berbatu yang mendaki. Bocah aneh yang memakai baju jubah hitam panjang berjalan di depannya. Sesaat kemudian bocah itu telah berada jauh di sebelah depan. Setengah berlari Mangun Sarkoro mengejar. Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa sudah berlari sekencang yang bisa dilakukannya, tetapi sang bocah tak kunjung terkejar. Nyala api obor semakin menjauh.
"Aneh!"
Membatin Mangun Sarkoro.
"Bagaimana anak ini tahu-tahu sudah berada jauh di depan? Tadi jelas aku di belakangnya persis. Juga tidak kulihat dia berjalan cepat atau berlari ……Jangan –jangan bocah itu demit penunggu bukit ini."
Mangun Sarkoro bergidik ngeri.
Ketika Mangun Sarkoro mencapai puncak bukit batu padas itu udara mendadak berubah.
Hujan berhenti. Angin kencang berhenti bertiup. Langit yang tadi gelap pekat kini berubah terang sehingga Mangun Sarkoro dapat melihat setiap sudut puncak bukit itu dengan jelas. Kumpulan pohon jati tumbuh dengan kokoh seperti sepasukan kaki raksasa yang sedang berdiri. Bau busuk mayat santer tercium. Membulatkan tekad Mangun Sarkoro memasuki hutan menyeramkan itu. Tidak sedikitpun ia mendengar suara burung hutan ataupun mahkluk hutan. Sunyi senyap seperti tidak ada kehidupan.
Tidak berapa lama sampailah Mangun Sarkoro di tengah hutan. Sebuah tanah lapang yang tidak terlalu luas. Tidak terlihat satu bangunan pun disana. Yang dilihatnya hanya gundukan-gundukan batu berbentuk aneh. Menyerupai seorang wanita yang sedang duduk bersimpuh dengan keadaan perut membuncit seperti mengisyaratkan kalau itu patung wanita sedang mengandung. Jumlahnya banyak, mungkin puluhan patung. Seperti sengaja disusun tangan manusia untuk memenuhi tanah lapang di puncak bukit itu. Mangun Sarkoro mencari-cari dengan sepasang matanya di mana di puncak bukit itu dia dapat menemui orang yang ingin ditemuinya. Hatinya mulai cemas ketika dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya orang yang tinggal di tempat itu. Tapi mengapa bocah aneh tadi mengatakan dia akan dapat menemui si Guru Besar di situ?
Matanya terus memandang ke setiap sudut puncak bukit. Sambil memandang dia melangkah mendekati tumpukan-tumpukan batu berbentuk wanita hamil bersimpuh itu. Ketika sampai di tumpukan batu berbentuk wanita duduk dan mengitarinya, matanya menyipit. Ternyata bagian sebelah belakang gundukan batu yang menyerupai wanita hamil sedang duduk bersimpuh itu, membentuk sebuah lobang besar seukuran tubuh manusia.
"Ah, pasti goa batu ini tempat kediaman orang yang kucari!"
kata Mangun Sarkoro dalam hati.
Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba beberapa meter di hadapannya, di jalan yang mendaki dan berbatu padas, pemuda itu melihat cahaya, tepatnya nyala api. Sungguh sulit dipercaya. Dan lebih tak dapat dipercaya lagi, ketika dia mendekati nyala api itu ternyata adalah nyala sebuah obor.
Obor ini dipegang oleh seorang anak kecil seusia sepuluh tahun, berpakaian hitam menyerupai jubah panjang menutupi kedua kaki dengan tudung hitam yang juga membungkus kepalanya. Meskipun hanya seorang anak tapi bocah itu menyorotkan tampang aneh dan ganjil. Sepasang matanya dingin dan kosong tak berkedip ke arah si pemuda. Obor di tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi. Anehnya lagi api dari obor ini sama sekali tidak mati terkena guyuran hujan yang masih menggila derasnya. Lalu terdengar suaranya berbicara. Aksen bicaranya aneh karena terlalu datar tanpa irama.
“ Apakah kau Mangun Sarkoro dari desa Tawang di kaki gunung Merapi?”
Pemuda yang ternyata Mangun Sarkoro melengak kaget.
“ Darimana bocah aneh itu tahu nama dan asal –usul ku?”
Mangun Sarkoro terdiam.
Si anak tertawa. Untuk pertama kalinya tangannya yang memegang obor diturunkan sedikit tapi tiba-tiba diangsurkan ke arah muka Mangun Sarkoro hingga kalau tidak lekas-lekas menghindar wajahnya pasti akan dijilat api obor! Si anak tampak menyeringai melihat pemuda itu mundur ketakutan.
“ Ikuti aku. Guru Besar telah menanti mu di atas bukit sana “.
Memang benar adanya Mangun Sarkoro akan menemui seorang pertapa sakti yang konon katanya bersemayam di hutan Gondo Mayit yang letaknya di atas bukit Jati Padas. Bukit Jati Padas terletak di kawasan Blambangan. Bukit ini hanya berupa padas dan tumbuh pohon jati di beberapa tempat. Di puncak bukit terdapat hutan jati yang wingit dan selalu memancarkan bau busuk mayat. Sehingga disebut Gondo Mayit ( Gondo : bau/aroma dan mayit : mayat ).
Dengan tertatih –tatih Mangun Sarkoro melangkah mengikuti jalan berbatu yang mendaki. Bocah aneh yang memakai baju jubah hitam panjang berjalan di depannya. Sesaat kemudian bocah itu telah berada jauh di sebelah depan. Setengah berlari Mangun Sarkoro mengejar. Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa sudah berlari sekencang yang bisa dilakukannya, tetapi sang bocah tak kunjung terkejar. Nyala api obor semakin menjauh.
"Aneh!"
Membatin Mangun Sarkoro.
"Bagaimana anak ini tahu-tahu sudah berada jauh di depan? Tadi jelas aku di belakangnya persis. Juga tidak kulihat dia berjalan cepat atau berlari ……Jangan –jangan bocah itu demit penunggu bukit ini."
Mangun Sarkoro bergidik ngeri.
Ketika Mangun Sarkoro mencapai puncak bukit batu padas itu udara mendadak berubah.
Hujan berhenti. Angin kencang berhenti bertiup. Langit yang tadi gelap pekat kini berubah terang sehingga Mangun Sarkoro dapat melihat setiap sudut puncak bukit itu dengan jelas. Kumpulan pohon jati tumbuh dengan kokoh seperti sepasukan kaki raksasa yang sedang berdiri. Bau busuk mayat santer tercium. Membulatkan tekad Mangun Sarkoro memasuki hutan menyeramkan itu. Tidak sedikitpun ia mendengar suara burung hutan ataupun mahkluk hutan. Sunyi senyap seperti tidak ada kehidupan.
Tidak berapa lama sampailah Mangun Sarkoro di tengah hutan. Sebuah tanah lapang yang tidak terlalu luas. Tidak terlihat satu bangunan pun disana. Yang dilihatnya hanya gundukan-gundukan batu berbentuk aneh. Menyerupai seorang wanita yang sedang duduk bersimpuh dengan keadaan perut membuncit seperti mengisyaratkan kalau itu patung wanita sedang mengandung. Jumlahnya banyak, mungkin puluhan patung. Seperti sengaja disusun tangan manusia untuk memenuhi tanah lapang di puncak bukit itu. Mangun Sarkoro mencari-cari dengan sepasang matanya di mana di puncak bukit itu dia dapat menemui orang yang ingin ditemuinya. Hatinya mulai cemas ketika dia sama sekali tidak melihat tanda-tanda adanya orang yang tinggal di tempat itu. Tapi mengapa bocah aneh tadi mengatakan dia akan dapat menemui si Guru Besar di situ?
Matanya terus memandang ke setiap sudut puncak bukit. Sambil memandang dia melangkah mendekati tumpukan-tumpukan batu berbentuk wanita hamil bersimpuh itu. Ketika sampai di tumpukan batu berbentuk wanita duduk dan mengitarinya, matanya menyipit. Ternyata bagian sebelah belakang gundukan batu yang menyerupai wanita hamil sedang duduk bersimpuh itu, membentuk sebuah lobang besar seukuran tubuh manusia.
"Ah, pasti goa batu ini tempat kediaman orang yang kucari!"
kata Mangun Sarkoro dalam hati.
Diubah oleh breaking182 02-03-2018 02:59
knoopy memberi reputasi
4
Kutip
Balas