Kaskus

Story

dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.

Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.

Quote:


Quote:


Spoiler for Sinopsis:


Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
pulaukapokAvatar border
genji32Avatar border
andybtgAvatar border
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
dasadharma10Avatar border
TS
dasadharma10
#687
PART 56

Setelah tembok rumah pak Maif hampir seratus persen selesai dicat dan tinggal beberapa bagian yang cuma kurang dilapisi ulang, gue balik. Awalnya gue balik lebih dulu dari Luther dan Bull karena gue pengin minta maaf sama Cassie yang kata Bull barusan secara enggak sadar gue ngebentak dia. Mungkin efek enggak pernah ngebentak lagi semenjak ketemu Emil, gue jadi enggak bisa bedain ngomong keras sama ngebentak. Yah… apapun alasannya, gue tetap harus minta maaf ke Cassie. Enggak baik juga marahin dia cuma gara-gara ngajak gue balik. Toh, dianya juga lagi pusing katanya.

Kampretnya, dari kejauhan gue sempat melihat Cassie di depan rumah. Iya, sempat. Soalnya begitu dia sadar kalo gue jalan balik, dia langsung balik masuk ke rumah unit. Bangke, kan? Gue kira dia beneran pusing atau apa, enggak taunya dia cuma cari alasan buat diperhatiin. Gue perhatiin dia? Enggak.

Saat itu juga tekad gue udah bulat. Emang enggak seharusnya gue deket-deket sama Cassie, apapun itu alasannya. Niat gue yang tadinya mau minta maaf langsung hilang. Kalo gue minta maaf dan perhatiin dia yang pura-pura sakit artinya gue kasih kesempatan dia buat masuk ke kehidupan gue dan Emil. Gue udah punya Emil, enggak seharusnya gue kasih kesempatan orang lain buat masuk ke hubungan gue sama Emil. Apalagi baru juga kemarin Emil telepon katanya perasaan dia enggak enak, mana mungkin gue deket-deket sama Cassie lagi. Gue bego sempat kepikiran buat minta maaf ke Cassie. Yah…, meski sebenarnya enggak terlalu berpengaruh juga.

Enggak cuma itu, waktu balik gue juga nemuin Yansa sama Dinda lagi adu argumen soal ngerjain laporan. Jujur, gue geregetan. Antara kesel sama kelakuan Cassie, dan juga penasaran sama kenapa Dinda dan Yansa ribut sampai segitunya cuma gara-gara soal laporan. Sempat terpikir buat misahin Yansa sama Dinda, tapi begitu gue sadar kode dari Melly buat mendiamkan mereka berdua, gue langsung masuk ke rumah. Mungkin emang lebih baik mereka berdua yang beresin urusan itu sendiri.

Di dalem kamar cewek, gue nemuin Cassie lagi dikompres sama Maya. Katanya dia demam dan belum lama muntah-muntah. Gue peduli? Enggak. Bukan soal jahat apa enggak, tapi soal gimana gue bisa jaga hubungan dan kepercayaan Emil. Kalo dia emang sakit, semoga cepet sembuh. Tapi kalo emang enggak sakit, cepet-cepet sembuh aja dari sifat pura-puranya.

“Heh!” seru gue ke Yansa yang mulai terdengar rese karena bawa-bawa nama Luther. “Udah!”
“Ini salah dia sendiri, Bang!” balas Yansa. “Salah sendiri naruh laporan KKN enggak hati-hati! Mana bukannya ngerjain laporan malah mau keluar sama Luther lagi!”
“Kan besok masih ada waktu!” kata Dinda. “Cuma main sehari apa salahnya?!”
“Main terus yang ada dipikiran lo!” bentak Yansa. “Enggak perlu mikirin Luther! Pikirin laporan kita!”

Menyadari ada sesuatu yang ganjil, gue langsung beranjak dari duduk gue dan segera menghampiri Yansa. Gue tahan tangannya lalu gue tarik yansa keluar ke samping rumah. Begitu gue rasa tempatnya kondusif dan anak-anak di dalem enggak bakalan dengar kalo gue teriak, gue dorong dia jatuh ke tanah, “Lo jadi cowok gausah rese deh, Yan!”
Yansa terdiam, kepalanya tertunduk .
“Lo tuh udah gue anggap cowok gentle, lho,” lanjut gue. “Daripada Bull sama Luther, gue lebih anggap lo sebagai cowok.”
“Sorry, Bang,” kata Yansa. “Gue kelewatan.”
“Sekarang balikin laporannya Dinda,” perintah gue. “Atau lo lebih milih gue bikin malu dulu baru gue paksa lo buat balikin laporannya?”
“Bukannya gue mau bantah lo,” ucap Yansa pelan. “Tapi udah enggak bisa, Bang.”
“Lo tuh ya!” seru gue menendang kaki Yansa yang terduduk di tanah. “Kalo mau saingan yang sehat! Jangan kayak gini sampah!”
“Abang tuh enggak tau!” seru Yansa ke gue. “Dinda itu susah banget buat dideketin!”
“Susah apanya?!” balas gue kembali menendang Yansa. “Nyatanya si Luther bisa!”
“Luther beda! Dinda juga suka sama Luther! Padahal gue yang kenal sama dia duluan!”

Gue tahan kaki gue yang sebenarnya udah gue ayunkan untuk menendang Yansa untuk yang kesekian kalinya. Bukan karena gue kasihan atau iba, tapi karena kata-katanya sama persis dengan apa yang dikatakan Peppy ketika memukuli gue di toilet waktu itu.

“Dinda juga suka sama Luther! Kalo sampai mereka besok jadi jalan ke bukit Gancik dan Luther beneran nembak Dinda, gue udah enggak bisa apa-apain lagi! Harusnya abang bantuin gue! Bukan malah mojokin gue kayak gini!”

Ini semua sama persis sama kayak gue sama Peppy. Bedanya, sekarang orang yang terduduk di depan gue ini berada di posisi Peppy. Bener-bener membuka mata gue. Kalo aja Peppy sifatnya semelankolis Yansa, mungkin aja dia bakal ngelakuin sesutu yang lebih dari sekedar ngumpetin laporan program kerja. Ya, mungkin lebih.

“Yan,” panggil gue duduk di sebelahnya. “Yang lo lakuin ini salah.”
“Iya, gue sadar monyet!, enggak perlu lo jelasin lagi.”
“Lo tenang dulu–”
“Gimana gue bisa tenang?!” potong Yansa. “Gimana gue bisa tenang kalo cewek yang gue suka malah balik suka ke cowok lain–”

Gue pukul Yansa tepat di sebelah telinganya.

“Itu buat kelakuan lo,” ucap gue menarik Yansa yang sempat tengkurap untuk kembali duduk. “Buat mulut kampret lo yang barusan ngatain gue
monyet juga.”

Yansa menatap tajam ke arah gue sambil memegangi telinganya.

“Kejadian lo ini sama kayak gue sama temen deket gue. Bedanya, gue di posisi Luther tapi gue enggak suka sama Dinda.” Gue senyum ke arah Yansa, “Lo mau ngelakuin sesuatu yang bener enggak? Kayak yang dilakuin temen gue.”
“Apa?”
“Temuin Dinda, balikin laporannya, dan bilang kalo lo udah lama suka sama dia.”
“Tapi Dinda kan suka sama Luther.”
“Gapapa, kalo emang dia juga ada rasa sama lo, dia pasti lari ke lo.”
“Abang tau dari mana?”
“Cewek yang dulu gue perebutin sama temen gue, sekarang lagi cari-cari temen gue yang pernah dia tolak sebelumnya. Terus terang aja, gue juga lagi bantu buat cariin dia.”
“Abang yakin itu bakalan ngaruh ke Dinda?” tanya Yansa ragu.
“Bukan cowok humoris atau romantis yang cewek suka, tapi cowok yang punya nyali,” kata gue. “Nyali buat nentuin, dia romatis atau humoris.”

Yansa tertunduk memikirkan kata-kata gue.

“Lo cowok romantis, Luther cowok humoris, satu-satunya yang bisa kalian bandingin ya nyali kalian, lebih nyali mana, lo apa Luther. Lebih tahan banting mana, Luther apa lo.”

Dia yang tertunduk kini melirik ke arah samping pada sekumpulan abu kertas yang berterbangan tertiup angin.

“Sekarang, lo mau kan balikin laporannya?” tanya gue
“Enggak bisa, Bang.”
“Kampret!” seru gue mengambil ancang-ancang. “Masih enggak paham juga?!”
“T-tunggu! Tunggu dulu!” kata Yansa menahan kaki gue. “Laporannya udah gue bakar! Laporannya udah gue bakar! Udah enggak bakal bisa dibalikin lagi!”

Si kampret!

“Laporannya lo bakar?! Lo gila?!”
“Demi cinta apapun gue lakukan! Termasuk bakar laporan!”
“Gue enggak mau tau!” bentak gue menariknya berdiri. “Lo harus–”
Yansa ketawa ngakak ketika gue tarik, “Makasih ya, Bang.”
“Makasih?!” Gue jitak kepala Yansa, “Yang harus lo ucapin itu kata ‘maaf!’ ”
“Maaf udah bikin lo mukul gue, Bang,” ucapnya mengibas-ibaskan pantatnya dari pasir. “Gue bakal ngaku sama Dinda kalo udah bakar laporan dia dan bilang kalo gue suka sama dia.”
pulaukapok
JabLai cOY
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.