- Beranda
- Stories from the Heart
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
...
TS
dasadharma10
Yaudah 3: Kuliah Kerja Nyata?
Selamat datang di thread ketiga yang merupakan lanjutan dari Yaudah Gue Mati Ajadan Yaudah 2: Challenge Accepted.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Sebelumnya, ijinkan gue buat memperkenalkan diri. Bagi pembaca setia kisah gue, pastinya kalian udah enggak asing dengan nama Muhdawi. Tapi bagi pembaca yang baru masuk ke thread ini, pastinya kalian asing dengan nama yang enggak biasa itu. Perkenalkan, nama lengkap gue Muhammad Danang Wijaya. Biasanya orang-orang manggil gue Dawi yang diambil dari singkatan nama gue Muhdawi. Kalian bisa panggil gue Dawi, atau kalo mau ikut-ikutan manggil gue Sawi juga enggak masalah. Gue orangnya idem, apa yang lo mau, kalo gue bisa, pasti gue usahakan. Anyway, langsung aja masuk lebih dalam ke thread ini. Sekali lagi gue ucapkan, selamat datang di thread ini.
Quote:
Quote:
Spoiler for Sinopsis:
Spoiler for Index:
Diubah oleh dasadharma10 16-10-2018 23:34
andybtg dan 14 lainnya memberi reputasi
11
359.2K
1.3K
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
dasadharma10
#672
PART 52
Posisi gue, kalo dipikir-pikir mirip kayak posisi Dinda. Deket sama dua cewek, yang satu nempel terus sedangkan satunya lagi jaga jarak karena enggak berani ambil tindakan. Ya emang bukan salah Sasha atau Yansa buat hati-hati dalam proses pendekatan. Tapi bukan berarti salah gue atau Dinda juga kalo kasih kesempatan sama Cassie atau Luther buat deket. Ah… gue ini ngomong apa, jelas-jelas inti permasalahannya aja beda, ngapain gue mikir ke sana. Kayak gue lagi diincer sama Cassie aja, apa kabar Emil di Jogja coba?
Gue buka pintu kamar mandi, seorang cewek duduk tepat di sisi lain kamar mandi menatap sebelah kanannya. Dalam diam Cassie memperhatikan anak-anak desa bercanda sama Luther dan Yansa.
“Cass?” panggil gue.
“Ya?” ucapnya sedikit kaget.
“Ngapain di sini sendirian?” tanya gue mengusap rambut dengan handuk. “Udah mau maghrib juga.”
“Iya,” jawabnya lirih mengikuti gue di belakang.
“Si Echa udah selesai masaknya?”
“Udah, Bang.”
“Dingin-dingin gini emang paling enak makan masakan yang masih panas-panasnya,” terang gue. “Ya, enggak?”
“Iya,” balas Cassie sambil senyum.
Seger! Mandi sore itu emang mandi yang paling nyegerin. Enggak terlalu dingin kayak mandi pagi, dan enggak terlalu malas kayak mandi malem. Bener-bener pas, ibarat kata timbangan, pas seimbang di tengah-tengahnya.
“Mandi lo, Bang?” celetuk Luther sewaktu gue lewat.
“Ini harus banget ya gue jawab? Rambut gue masih basah, kulit gue dingin, jalan dari kamar mandi, mana mungkin gue habis ngerubuhin rumah pak Maif?”
“Kalem aja, sih,” kata Luther. “Orang nanya doang.”
“Iye….”
“Berdua sama Cassie, Bang?”
Bersamaan dengan tertutupnya mulut Luther, mata anak-anak tertuju pada gue. Seolah gue telah berbuat yang enggak-enggak di kamar mandi, pertanyaan Luther menghakimi gue.
“Y-ya enggaklah,” jawab gue membuat fokus anak-anak kembali ke kegiatan masing-masing. “Tapi ngarepnya sih gitu.”
Mata pembunuh anak-anak kembali muncul, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut gue mempertimbangkan kepala gue tetap utuh pada posisinya.
“ENGGAK! BERCANDA GUE!
Meski gue sebenernya kurang nyaman ditanyain kayak gitu sama anak-anak, tapi gue anggap wajar juga sih sebenernya. Ditungguin Cassie selesai mandi di depan pintu kamar mandi, bolak-balik ke kamar cowok nanya gue udah bangun apa belum, itu jauh lebih intese dan mencurigakan daripada kami berdua sekedar pacaran, lho. Anak-anak emang judegemental, tapi itu emang normal.
Ya sebenernya gue pengin banget ngomong langsung ke Cassie supaya jaga jarak dari gue. Tapi gue enggak sejantan itu. Tingkat kejantanan gue masih jauh dari Senor Pink yang dengan muka keren bisa bilang, “Gue enggak suka sama lo.”
‘Halo?’ jawab gue mengangkat telepon yang gue temukan menyala di kamar.
‘Haloooooo…?’ sahut suara cewek yang gue kangenin.
‘Iya, halo; kata gue senyum-senyum sendiri.
‘Kok lama banget angkatnya? Lagi apa, sih?’
‘Lagi abis mandi, Beb,’ jawab gue. ‘Kenapa? Kok tumben sore-sore gini telepon? Biasa juga jam sebelas baru telepon.’
‘Perasaan aku enggak enak.’
‘Perasaan enggak enak?’ tanya gue ‘Kenapa emangnya?’
‘Kenapa emangnya?!’ ucap Emil dengan suara mulai membesar. ‘Kamu tuh yang kenapa!’
‘Ah… ini kenapa jadi aku, ya?’
‘Share location abis ini!’
‘Share location?’ ulang gue. ‘Kamu mau ke sini? Kapan?’
‘Malam ini!’
‘Malam ini?! Ngapain? Sama siapa?’ tanya gue khawatir. ‘Kok tiba-tiba gini?’
‘Kamu selingkuh, ya?!’
‘Se-selingkuh?! Enggaklah.”
‘Terus kenapa panik?’ tanyanya masih dalam mode penuh curiga.
‘P-panik gimana? Aku enggak panik.’
‘Nada suara kamu berubah!’
‘N-nada suara apa, sih? A-aku biasa aja.’
‘Terus kenapa nanya kapan, ngapain terus sama siapa?’
‘Ya normal kali, Yang,’ jelas gue. ‘Kamu mau jalan dari Jogja ke Boyolali malem-malem, mana bisa aku tenang-tenang aja?’
‘Perasaan aku enggak enak.’
‘Ya perasaanmu enggak enak bukan berarti aku selingkuh, kan?’
‘Ya mungkin emang bukan soal kamu, tapi buat aku, satu-satunya yang aku khawatirin cuma hubungan sama kamu.’
‘Ah…, Yang,’ panggil gue. ‘Kayaknya kamu parno lagi, deh.’
Posisi gue, kalo dipikir-pikir mirip kayak posisi Dinda. Deket sama dua cewek, yang satu nempel terus sedangkan satunya lagi jaga jarak karena enggak berani ambil tindakan. Ya emang bukan salah Sasha atau Yansa buat hati-hati dalam proses pendekatan. Tapi bukan berarti salah gue atau Dinda juga kalo kasih kesempatan sama Cassie atau Luther buat deket. Ah… gue ini ngomong apa, jelas-jelas inti permasalahannya aja beda, ngapain gue mikir ke sana. Kayak gue lagi diincer sama Cassie aja, apa kabar Emil di Jogja coba?
Gue buka pintu kamar mandi, seorang cewek duduk tepat di sisi lain kamar mandi menatap sebelah kanannya. Dalam diam Cassie memperhatikan anak-anak desa bercanda sama Luther dan Yansa.
“Cass?” panggil gue.
“Ya?” ucapnya sedikit kaget.
“Ngapain di sini sendirian?” tanya gue mengusap rambut dengan handuk. “Udah mau maghrib juga.”
“Iya,” jawabnya lirih mengikuti gue di belakang.
“Si Echa udah selesai masaknya?”
“Udah, Bang.”
“Dingin-dingin gini emang paling enak makan masakan yang masih panas-panasnya,” terang gue. “Ya, enggak?”
“Iya,” balas Cassie sambil senyum.
Seger! Mandi sore itu emang mandi yang paling nyegerin. Enggak terlalu dingin kayak mandi pagi, dan enggak terlalu malas kayak mandi malem. Bener-bener pas, ibarat kata timbangan, pas seimbang di tengah-tengahnya.
“Mandi lo, Bang?” celetuk Luther sewaktu gue lewat.
“Ini harus banget ya gue jawab? Rambut gue masih basah, kulit gue dingin, jalan dari kamar mandi, mana mungkin gue habis ngerubuhin rumah pak Maif?”
“Kalem aja, sih,” kata Luther. “Orang nanya doang.”
“Iye….”
“Berdua sama Cassie, Bang?”
Bersamaan dengan tertutupnya mulut Luther, mata anak-anak tertuju pada gue. Seolah gue telah berbuat yang enggak-enggak di kamar mandi, pertanyaan Luther menghakimi gue.
“Y-ya enggaklah,” jawab gue membuat fokus anak-anak kembali ke kegiatan masing-masing. “Tapi ngarepnya sih gitu.”
Mata pembunuh anak-anak kembali muncul, kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut gue mempertimbangkan kepala gue tetap utuh pada posisinya.
“ENGGAK! BERCANDA GUE!
Meski gue sebenernya kurang nyaman ditanyain kayak gitu sama anak-anak, tapi gue anggap wajar juga sih sebenernya. Ditungguin Cassie selesai mandi di depan pintu kamar mandi, bolak-balik ke kamar cowok nanya gue udah bangun apa belum, itu jauh lebih intese dan mencurigakan daripada kami berdua sekedar pacaran, lho. Anak-anak emang judegemental, tapi itu emang normal.
Ya sebenernya gue pengin banget ngomong langsung ke Cassie supaya jaga jarak dari gue. Tapi gue enggak sejantan itu. Tingkat kejantanan gue masih jauh dari Senor Pink yang dengan muka keren bisa bilang, “Gue enggak suka sama lo.”
‘Halo?’ jawab gue mengangkat telepon yang gue temukan menyala di kamar.
‘Haloooooo…?’ sahut suara cewek yang gue kangenin.
‘Iya, halo; kata gue senyum-senyum sendiri.
‘Kok lama banget angkatnya? Lagi apa, sih?’
‘Lagi abis mandi, Beb,’ jawab gue. ‘Kenapa? Kok tumben sore-sore gini telepon? Biasa juga jam sebelas baru telepon.’
‘Perasaan aku enggak enak.’
‘Perasaan enggak enak?’ tanya gue ‘Kenapa emangnya?’
‘Kenapa emangnya?!’ ucap Emil dengan suara mulai membesar. ‘Kamu tuh yang kenapa!’
‘Ah… ini kenapa jadi aku, ya?’
‘Share location abis ini!’
‘Share location?’ ulang gue. ‘Kamu mau ke sini? Kapan?’
‘Malam ini!’
‘Malam ini?! Ngapain? Sama siapa?’ tanya gue khawatir. ‘Kok tiba-tiba gini?’
‘Kamu selingkuh, ya?!’
‘Se-selingkuh?! Enggaklah.”
‘Terus kenapa panik?’ tanyanya masih dalam mode penuh curiga.
‘P-panik gimana? Aku enggak panik.’
‘Nada suara kamu berubah!’
‘N-nada suara apa, sih? A-aku biasa aja.’
‘Terus kenapa nanya kapan, ngapain terus sama siapa?’
‘Ya normal kali, Yang,’ jelas gue. ‘Kamu mau jalan dari Jogja ke Boyolali malem-malem, mana bisa aku tenang-tenang aja?’
‘Perasaan aku enggak enak.’
‘Ya perasaanmu enggak enak bukan berarti aku selingkuh, kan?’
‘Ya mungkin emang bukan soal kamu, tapi buat aku, satu-satunya yang aku khawatirin cuma hubungan sama kamu.’
‘Ah…, Yang,’ panggil gue. ‘Kayaknya kamu parno lagi, deh.’
JabLai cOY dan pulaukapok memberi reputasi
2
